Roy membasuh wajahnya berkali-kali. Sudah sejak tadi ia menahan rasa mual di perutnya. Harusnya tadi dia menelan sebutir saja obat penenang. Setidaknya acara semi bercinta yang sedang dia lakukan tak akan rusak oleh mimpi buruknya.
Walau begitu, Roy sedikit berbangga diri. Yang baru saja terjadi merupakan kemajuan besar. Mengingat dia muntah hebat hanya karena berbicara sebentar dengan Sahara di rumah sakit.
Usai merapikan pakaiannya Roy keluar toilet dan melihat Sahara sudah kembali mengenakan seragamnya, dan duduk memangku tangan. Wajahnya terlihat lesu. Klimaks sesaat yang lalu jelas membuat gadis itu menjadi sedikit lemas. Jika menuruti cara yang benar, harusnya Sahara berbaring di ranjang dan tidur sampai pagi. Gadis itu menoleh takut-takut ke arahnya.
“Sudah dibersihkan?” tanya Roy, memandang ke arah tong sampah yang letaknya sedikit bergeser. Sahara pasti sudah membersihkan cairan yang dikeluarkannya tadi.
“Siapkan pernikahan untuk besok pagi,” ucap Roy sesaat mobil yang dikemudikan Novan melaju. “Anda terlihat lelah,” kata Novan, melirik spion tengah. “Jangan tanya soal apa yang kulakukan di dalam. Harusnya kamu menjawab soal perintahku tadi, Mr. Novan.” Roy merebahkan kepalanya di jok dan memejamkan mata. Perutnya kosong dan tubuhnya sedikit lemas. Dibenaknya sekarang terbayang tatapan Sahara saat dia menindih gadis itu. Matanya persis sama dengan mata kakak laki-lakinya, Thomas Sebastian Spencer. Roy berdecih. Dia mulai berpikir akan menggunakan alkohol alih-alih obat penenang untuk memberi pelajaran pada Sahara di malam pertama mereka. “Siap, Pak. Malam ini saya bakal menyiapkan semuanya. Besok pagi Anda akan menikah dan siang hari Anda akan berstatus seorang suami.” Novan sengaja mengatakan hal itu untuk melihat reaksi atasannya. “Gadis itu mau melanjutkan pendidikan
Malam itu Sahara tak bisa tidur. Usai Roy pulang dari club, Sahara juga meminta izin pada Nancy untuk kembali ke rumah sakit. Tadi dia sempat melihat kondisi Bu Mis. Perawat yang bertugas di ruang ICU mengatakan kondisi wanita itu mulai stabil. Penyakit Bu Mis memang sudah komplikasi. Muncul penyakit baru yang didapatnya setelah berkali-kali cuci darah. Sebelum tidur, Sahara mencuci pakaian kotornya, baru kemudian menghempaskan tubuh di ranjang kamar kos-kosan. Tempat tinggalnya di sebuah jalan persis di sisi kanan gedung rumah sakit. Cukup mahal dan bagus. Tapi, tak berisi banyak barang-barang. Barang miliknya hanya empat koper yang tergeletak di lantai. Televisi pun tak ada, cuma penanak nasi. Penghuni kos-kosan itu rata-rata adalah keluarga pihak pasien yang merasa jauh jika pulang ke rumah. Tubuhnya berbaring dan pikirannya berkelana. Ia tak bisa menghilangkan bayangan sosok Roy yang sedang menindihnya. Rambut Roy yang menutupi sebagian dahinya,
Sahara belum sempat bertanya pada Rini, tapi wanita itu sudah berbalik dan meninggalkannya. Kamar itu memanjang ke sisi kanan. Pintu yang baru saja dimasukinya, berhadapan dengan jendela bervitrase putih, dengan gantungan kayu di dekatnya, tempat empat buah gaun berjajar. Di sebelahnya ada cekungan dengan tirai putih. Sahara menebak kalau itu adalah tempat berganti pakaian. Berjalan sedikit ke kanan, sebuah ranjang besar bertirai putih terikat di kedua sisinya. Kalau tirai itu dibuka pasti bentuknya seperti kelambu. Di sisi kiri pintu ada lemari kayu besar sewarna dengan pintu. Dengan enam buah partisi, pasti cukup untuk memuat pakaian satu keluarga, pikir Sahara. “Kamar ini luas sekali,” gumamnya, melongok ke luar jendela yang di bawahnya ternyata taman dan pepohonan. “Enggak ada tetangga,” sambungnya lagi. Sahara mendekati gantungan kayu. Ada empat gaun berwarna putih. Maksudnya, semua berwarna putih bagi Sahara. Walau ada dua gaun yang warnanya seperti gad
Di luar pintu, Novan menepuk-nepuk dadanya. Biarlah Rini yang berada di dalam menghadapi Roy yang pasti akan membentak-bentak kekasihnya itu. Rini sudah cukup terlatih dan Novan tak perlu mengkhawatirkan hal itu. Lagipula ada Sahara di dalam. Roy mungkin akan sedikit menghaluskan cercaannya. “Gimana? Ada suara marah-marah dari dalam?” Rini muncul dengan wajah sedikit memerah. Novan membelalak. “Kamu bukannya di dalam? Aku—Wah, sinting! Kita berdua bisa mati,” bisik Novan. “Asal bareng kamu, mati bukan masalah.” Rini meringis. “Jadi Pak Roy—” “Udah di dalam dari tadi. Kamu dari mana, sih?” kesal Novan. “Toilet! Tinggalkan aja si Roy. Ayo kita ke taman belakang. Aku mau bunga yang sama untuk pernikahan kita. Walau pernikahan si tua Roy cuma dihadiri lima orang, tapi aku nggak mau asal-asalan. Dia menikahi gadis muda yang masih perawan. Walau aku nggak tau nanti berakhir gimana.” Rini menyeret tangan Novan menuruni tangga. Meninggalkan kamar yang
Saat meminta Sahara menjadi istrinya tadi, Roy merasakan perutnya bergolak. Dia dan Shelly pernah bercanda soal itu. Dia menjalin tanaman menjadi sebentuk cincin. Roy melamar Shelly, lalu gadis itu tersenyum, seketika mengangguk. Melihat Sahara begitu cantik hanya dengan dandanan tipis di kulit wajahnya serta gaun pengantin yang dikenakannya, hati Roy terasa berdenyut. Kakak laki-laki wanita yang dinikahinya telah menyiksa dan memperkosa Shelly berhari-hari, hingga wanita itu memohon untuk mati. Roy tiba di kamarnya dan berlari mendorong pintu kamar mandi, memuntahkan seluruh isi perutnya. Padahal dokter sudah mengatakan padanya untuk memikirkan hal yang indah-indah. Hal indah mana yang harus dipikirkannya kalau ternyata memang tak ada? “Akan memaksakan dirimu? Kamu mau tau rasanya dipaksa?” gumam Roy menatap cermin wastafel, seraya membasuh wajahnya. Dia lalu keluar kamar mandi melepaskan jasnya. Berjalan menuju c
"Kamu jangan terlalu kaku. Aku cuma mau bercakap-cakap. Bisa bantu aku melepaskan ini?” Roy menurunkan tali bra dari bahu kiri sampai ke bawah lengan gadis itu. Wajah Sahara menegang, tapi dia mengangkat lengannya membantu Roy meloloskan satu tali bra di bahu kirinya. “Dari luar tadi aku dengar kalau kamu lebih baik menari telanjang daripada meladeniku. Perkataan kamu itu cukup menyakitkan buat aku.” Roy menyelipkan tangan kirinya masuk ke dalam Bra yang sudah mulai melorot. “Om mabuk,” bisik Sahara, menggeser bokongnya dengan gelisah karena merasakan sesuatu menekannya dari bawah. Aroma alkohol yang sangat dikenalnya tercium dari tubuh Roy. “Aku tersinggung kamu akan memaksakan diri. Sebegitu jelekkah aku buatmu? Kamu tahu Sahara ... seniormu yang paling cantik di club itu sangat iri padamu.” Roy mencubit pelan puting Sahara dengan tangan kirinya. “Om,” rintih Sahara.
Ranjang tempat di mana Sahara berada, terbuat dari kayu jati asli yang berat. Warnanya senada dengan pintu dan lemari. Sangat klasik tapi dibubuhi sentuhan modern dengan perabot tambahannya. Juga kamar mandinya. Sahara menyipitkan mata. Cahaya matahari dari luar benar-benar mengganggu. Begitu terang. Dia yakin semua bintik di tubuhnya hingga yang terkecil dengan mudah terlihat. “Bagaimana kalau di sini?” Roy merebahkan tubuh Sahara di tengah ranjang. “Om,” panggil Sahara dengan suara tercekat. Dia telentang dengan tangannya kembali berusaha menarik bra-nya yang tadi sudah turun. Roy menumpukan kedua tangannya mengungkung tubuh Sahara. Kepalanya menunduk dan menatap wajah gadis itu dengan teliti. Pandangannya sedikit buram. Alkohol yang diminumnya tadi ternyata sudah bereaksi. Roy menghela napas pendek. “Hmmm?” Roy menaikkan alisnya, menatap bola mata Sahara yang ternyat
“Oh, shit!” maki Sahara. Sahara refleks mengangkat pinggulnya. “Ini menjijikkan,” gumam Sahara. “Menjijikkan?” Roy mengangkat wajahnya. Setelah memaksakan diri ternyata kata menjijikkan keluar dari mulut Sahara. Roy bangkit meraih kedua tangan Sahara. Meluruskan tangan itu di kedua sisi tubuh gadis yang menatapnya dengan wajah kesal. “Nikmati ini,” ucap Roy, menahan kedua tangan Sahara dan kembali menunduk di antara kedua paha gadis itu. Roy menyapukan lidahnya. Dari bawah ke atas celah hangat yang berusaha ditutupi Sahara dengan kakinya. Usaha Sahara menutup bagian paling intim dari tubuhnya itu sia-sia belaka. Tangannya tertahan di kedua sisi tubuhnya. Jangankan untuk beringsut mundur, mengangkat pinggulnya saja dia tak bisa. Pekikan panjang keluar dari mulutnya. Napasnya sudah tersengal-sengal. Menahan sensasi lidah lembut Roy yang bergerak liar di tiap sudut pangkal pahanya. Sahara sepert
Suatu tempat di Pulau Bali. Roy baru saja menginjak usia empat puluh tujuh tahun saat itu. Matahari baru saja melorot dari puncak kepala saat Roy baru saja tiba dari Jakarta setelah hari terakhir rapat evaluasi tahunan. Pagi tadi dia mengunjungi kantor hanya untuk menutup agenda tahunan itu dengan sebuah pidato singkat, lalu kembali terburu-buru menuju airport untuk pulang ke rumah. Siang itu Novan melepasnya di airport dengan senyum simpul berkata, “Senang bisa melihat Anda dalam balutan jas setelah sekian lama. Saya benar-benar merindukan pemandangan ini.” Roy ikut memandang tubuhnya dari atas ke bawah. Memang benar. Dia sendiri terkadang merindukan saat-saat menyimpul dasinya dengan simetris dan meletakkan penjepit emas di bagian tengah. “Aku juga merindukan saat-saat harus berdandan rapi dan mentereng hanya untuk ke rapat harian. Tapi setelah lima hari di kota ini, aku lebih merindukan anak istriku,” sahut Roy tersenyum tipis. “Anda lebih santai dan terlihat lebih bahagia,” u
Roy mendorong paha Sahara agar membuka untuk dirinya. Lalu jemarinya tiba lebih dulu di bawah sana.Sahara memejamkan mata. Jemari Roy menuntunnya untuk terus membuka diri. Dia menikmati bagaimana jari Roy mengusapnya, menekannya dan membuatnya seakan terbang sejenak. Sahara menggeliat. Lalu tubuhnya menegang sejenak saat merasakan puncak kemaskulinan Roy mengusapnya. Mulut Sahara setengah ternganga menantikan dan tak lama lenguhan halus meluncur keluar dari bibirnya. Roy masuk perlahan, mendorong dan mengisi tubuhnya perlahan-lahan. “Mmmm,” lirih Sahara, menarik napas dan semakin melengkungkan tubuh untuk menerima Roy sepenuhnya.Telinga Sahara bisa mendengar napas Roy yang keras dan kasar. Seakan Roy merasakan kenikmatan yang sangat kuat hingga pria itu terlihat seperti kesakitan.Sahara memekik tertahan ketika jemari Roy kembali terjulur dan memijat di mana tempat mereka bersatu. Dia memang ingin disentuh di bagian itu. Sahara merintih. Tak lama serbuan kenikmatan itu berkumpul da
Dari ruang kerjanya di lantai satu, Roy tak lagi mendengar suara-suara dari luar. Ia baru saja membongkar lemari besinya dan mengambil beberapa lembar foto yang disukainya.“Akhirnya aku bisa meletakkan ini dalam pigura. Sungguh, aku baru sadar kalau aku sudah jatuh cinta padamu saat itu.” Roy memandang pigura foto berukuran jumbo yang baru saja disisipkannya foto Sahara. Foto ketika Sahara berulang tahun ketujuh belas sedang memeluk sebuket baby breath mengenakan blouse berwarna kuning. Dua hal yang paling disukai Roy sampai sekarang. Sahara mengenakan pakaian berwarna kuning dan tersenyum memeluk buket bunganya.Roy kembali memasukkan semua isi lemari besinya, lalu keluar ruangan itu dengan empat buah foto di tangannya. Tujuannya selanjutnya adalah kamar tidur. Sahara mungkin sudah terlelap kembali dan akan bangun tengah malam nanti. Dia akan memeluk istrinya seraya menunggu kantuk.“Lagi banyak pekerjaan, ya?” Sahara langsung menoleh saat pintu kamar terbuka.“Aku sengaja meningga
“Aku kira sudah tidur,” ucap Roy, membungkuk di atas pipi Sahara dan menenggelamkan hidungnya. “Jangan basa-basi. Kamu pasti tahu kalau aku sedang menunggu. Aku ngantuk, tapi mau tidur nanggung,” ucap Sahara, meletakkan telapak tangan kirinya ke pipi Roy. “Baiklah, aku mandi sekarang. Minggu depan aku sudah bersiap menyambut tangis bayi yang ingin menyusu di tengah malam.” Roy meninggalkan Sahara di ranjang dan pergi ke ruang ganti. Saat melintasi kamar dengan balutan bath robe, dia sengaja mengerling Sahara yang mengerjapkan matanya terkantuk-kantuk. Saat keran air menyala, Sahara mengeratkan pelukannya pada guling. Pandangannya cermat memperhatikan siluet tubuh Roy di balik dinding kaca yang beruap. Bahu yang lebar, lengan yang berisi dan pinggul yang kecil. Roy memang sangat seksi, pikirnya. Di tambah dengan lembaran rambut keperakan yang muncul di antara sisiran rambut Roy yang rapi. Rambut perak itu seakan disusun untuk memberi warna kedewasaan baru pada diri Roy. “Sudah tidu
“Kenapa dia jadi berubah begitu? Biasanya dia ramah denganku. Ramah dan santai. Sering cerita macam-macam soal pengalamannya kuliah di luar negeri. Tapi … tapi tadi terlalu kaku,” Sahara menoleh ke belakang tempat di mana seorang pria muda yang baru menyapanya dengan sebutan ‘Nyonya Smith’ menghilang. “Karena dia sudah memahami di mana posisinya sekarang. Bisa jadi ayahnya sudah menceritakan padanya bahwa mereka butuh untuk tetap bekerja sama dengan perusahaanku. Ini kelasmu, kan?” Roy menghentikan langkahnya di depan kelas yang bahkan Sahara juga lupa.Sahara menghentikan langkahnya di depan ruangan yang memang kelasnya. Di ruangan itu tak ada dua gadis yang dicarinya. Hanya ada teman yang tak bisa dikatakan benar-benar teman.“Mencari teman-temanmu? Mereka ada di kafetaria,” seru seorang gadis dari kursinya. Sahara tidak terlalu sering bicara dengan gadis itu. Dan gadis itu pun jarang bicara dengan siapa pun. “Hamil anak pertama? Kamu makin cantik, Ra.” Sahara sedikit terkesima. B
“Apa aku harus mengantarmu?" Roy meraih jas di tiang besi dan memakainya. “Kamu tidak boleh berangkat sendirian,” sambungnya.Sahara tak langsung menjawab pertanyaan suaminya karena masih sibuk mematut tubuh pada cermin besar di sudut kamar. Tangannya mengusap perut berkali-kali. Hal yang membuat bentuk kehamilannya terlihat jelas.“Perutku besar banget. Ya, Tuhan … kapan lagi aku bisa langsing,” gumam Sahara. Kali ini tangannya berada di bawah perut seakan menopang kehamilannya yang dalam waktu dua minggu lagi akan segera berakhir.“Oke, kalau begitu aku akan mengantarmu. Ayo, kita turun sekarang. Jangan bicarakan lagi soal kapan akan kembali langsing.” Sahara memandang Roy dari pantulan cermin dengan mulut mencebik. Sahara sudah cukup lama tidak datang ke kampusnya. Rini mengurus soal pembelajaran jarak jauhnya dengan baik sekali. Namun, untuk pengambilan nilai di akhir semester Sahara mengatakan ingin datang ke kampus menemui dua temannya. Dan dengan usia kehamilan yang bisa membu
Resepsi pernikahan Herbert dan Letta dilaksanakan di taman sebuah resor pinggiran kota. Roy mendanai lebih dari setengah biaya yang dikeluarkan untuk resepsi itu. Walau dia dengan tegas mengatakan akan menanggung semua, tampaknya Herbert dan Letta berusaha keras untuk meyakinkannya bahwa mereka juga punya tabungan. Malam itu Roy meminta staf khususnya untuk menjadi supir dan ajudan pribadi sebagai pengganti Novan dan Herbert. Dua orang babysitter turut menyertai langkah mereka saat memasuki venue. Sabina dan Elara melangkah ceria dengan gaun berwarna sama dengan Sahara, dalam genggaman tangan masing-masing pengasuhnya.“Cantik sekali dekorasinya,” ucap Sahara.“Kamu sedang memuji wanita yang membuatmu cemburu,” kata Roy mengingatkan.“Aku tidak terlalu buta melihat kelebihan orang lain meskipun aku tak menyukainya. Aku hanya mencoba realistis,” bisik Sahara.“Realistis,” ulang Roy.“Kalau aku tidak realistis, mungkin aku akan berpindah kamar saat mengetahui kalau wanita itu pernah ti
Novan melambatkan laju mobil saat tiba di jalan yang kanan-kirinya dipenuhi pohon jati. Mereka hampir tiba di gerbang besi tinggi. Setidaknya dia harus memberi waktu kepada atasannya untuk berpakaian dengan benar sebelum turun dari mobil nanti.Tiba di depan teras samping, Novan bahkan tak perlu turun untuk membukakan pintu mobil. Roy langsung keluar dan berjalan tergesa sambil memeluk Sahara yang terkikik-kikik dengan buket bunga dalam dekapannya. Keduanya langsung menuju anak tangga terbawah.“Seperti sepasang remaja jatuh cinta,” gumam Novan, lanjut melajukan mobil ke bagian belakang rumah.Langkah kaki Roy dan Sahara melambat di anak tangga paling atas. Keduanya kembali berciuman cukup lama. Sahara yang sedang mendekap bunga, membuka satu-persatu sepatunya tanpa melepaskan bibir dari pagutan Roy. Tubuh Sahara membelakangi pintu kamar dengan langkah kakinya yang mundur merangsek mendekati kamar yang dituju Roy.Malam itu, Sahara bahkan lupa dengan mualnya. Lupa bahwa biasanya pukul
Tak salah lagi kalau malam itu menjadi perjalanan pulang dari suatu tempat ke rumah yang terasa paling singkat dirasa Roy dan Sahara. Novan ternyata tak sampai menjemput atasannya ke dalam. Roy dan Sahara berada di depan lift lantai mezanin. “Tidak menunggu sampai selesai, Sir?” tanya Novan saat beradu pandang dari pintu lift yang terbuka. “Acara selanjutnya kuserahkan pada Herbert. Aku menjamin kalau Letta tak akan berani menolak lamaran itu. Letta pasti cukup sadar bahwa Herbert dipinjamkan nyaris seisi gedung hanya untuk melamarnya,” Roy memeluk pinggang Sahara dan membawa wanita itu masuk ke dalam lift. Novan mengangkat bahu. Benar juga. Saat atasan calon pengantin meminjamkan gedung untuk prosesi kebahagiaan mereka, apa salah satunya akan bertingkah? Mustahil, pikir Novan. Dia yang tadi keluar sejenak untuk menahan tombol lift, masuk kembali untuk membawa Roy dan Sahara kembali ke basement. Mobil yang ditumpangi mereka baru meninggalkan basement gedung. Roy mengatakan pada Nov