"Kamu jangan terlalu kaku. Aku cuma mau bercakap-cakap. Bisa bantu aku melepaskan ini?” Roy menurunkan tali bra dari bahu kiri sampai ke bawah lengan gadis itu.
Wajah Sahara menegang, tapi dia mengangkat lengannya membantu Roy meloloskan satu tali bra di bahu kirinya.
“Dari luar tadi aku dengar kalau kamu lebih baik menari telanjang daripada meladeniku. Perkataan kamu itu cukup menyakitkan buat aku.” Roy menyelipkan tangan kirinya masuk ke dalam Bra yang sudah mulai melorot.
“Om mabuk,” bisik Sahara, menggeser bokongnya dengan gelisah karena merasakan sesuatu menekannya dari bawah. Aroma alkohol yang sangat dikenalnya tercium dari tubuh Roy.
“Aku tersinggung kamu akan memaksakan diri. Sebegitu jelekkah aku buatmu? Kamu tahu Sahara ... seniormu yang paling cantik di club itu sangat iri padamu.” Roy mencubit pelan puting Sahara dengan tangan kirinya.
“Om,” rintih Sahara.
Ranjang tempat di mana Sahara berada, terbuat dari kayu jati asli yang berat. Warnanya senada dengan pintu dan lemari. Sangat klasik tapi dibubuhi sentuhan modern dengan perabot tambahannya. Juga kamar mandinya. Sahara menyipitkan mata. Cahaya matahari dari luar benar-benar mengganggu. Begitu terang. Dia yakin semua bintik di tubuhnya hingga yang terkecil dengan mudah terlihat. “Bagaimana kalau di sini?” Roy merebahkan tubuh Sahara di tengah ranjang. “Om,” panggil Sahara dengan suara tercekat. Dia telentang dengan tangannya kembali berusaha menarik bra-nya yang tadi sudah turun. Roy menumpukan kedua tangannya mengungkung tubuh Sahara. Kepalanya menunduk dan menatap wajah gadis itu dengan teliti. Pandangannya sedikit buram. Alkohol yang diminumnya tadi ternyata sudah bereaksi. Roy menghela napas pendek. “Hmmm?” Roy menaikkan alisnya, menatap bola mata Sahara yang ternyat
“Oh, shit!” maki Sahara. Sahara refleks mengangkat pinggulnya. “Ini menjijikkan,” gumam Sahara. “Menjijikkan?” Roy mengangkat wajahnya. Setelah memaksakan diri ternyata kata menjijikkan keluar dari mulut Sahara. Roy bangkit meraih kedua tangan Sahara. Meluruskan tangan itu di kedua sisi tubuh gadis yang menatapnya dengan wajah kesal. “Nikmati ini,” ucap Roy, menahan kedua tangan Sahara dan kembali menunduk di antara kedua paha gadis itu. Roy menyapukan lidahnya. Dari bawah ke atas celah hangat yang berusaha ditutupi Sahara dengan kakinya. Usaha Sahara menutup bagian paling intim dari tubuhnya itu sia-sia belaka. Tangannya tertahan di kedua sisi tubuhnya. Jangankan untuk beringsut mundur, mengangkat pinggulnya saja dia tak bisa. Pekikan panjang keluar dari mulutnya. Napasnya sudah tersengal-sengal. Menahan sensasi lidah lembut Roy yang bergerak liar di tiap sudut pangkal pahanya. Sahara sepert
“Sakit?” tanya Roy. Pertanyaan paling manusiawi selama tiga belas tahun terakhir dalam hidupnya. Bisa-bisanya dia merasakan iba pada gadis yang sedang berada di bawah tubuhnya. Roy melihat kelopak mata Sahara mengerjap, memicingkan matanya dengan kerut kesakitan. Gadis itu mengigit bibir bawahnya. “Aku benci Om. Aku nggak mau melakukan ini sekarang. Aku nggak nyaman. Jangan paksa aku,” isak Sahara, memukul lengan Roy berkali-kali. “Aduh,” pekik Sahara, mengangkat kepalanya dan melihat kejantanan Roy mencoba mendorongnya. “Sakit?” gumam Roy pada dirinya sendiri. Tangisan Sahara membuat kepalanya berdenyut. Kenapa dia harus merasa kasihan? Dia bahkan tak ada menyakiti tubuh gadis itu. Dia hanya mau menidurinya dengan cara yang benar. Bagi seorang perawan katanya memang menyakitkan di awal. Tapi selebihnya Sahara akan bisa menikmati. “Lain kali aja, Om,” tangis Sahara. “Sentuh,” pinta Roy. “Ini
Semua makanan yang terlihat menggugah selera, luput dari perhatian Sahara. Clara menyodorkan dua jenis menu yang menurutnya pasti disukai Sahara. “Aku udah kenyang,” ucap Sahara. “Anda terlihat lelah, Nyonya. Harusnya makan Anda lebih banyak dari itu,” cetus Clara, melirik piring Sahara yang sebagian besarnya masih bersih. Cuma tersisa sepotong bistik daging di atas sendoknya. “Mmmm—Bibi ....” Sahara memandang Clara ragu-ragu. Dia tak tahu harus memanggil Clara apa. Wanita itu sudah tua dan dari wajahnya jelas bahwa dia bukan penduduk negara Indonesia. “Panggil aku Clara. Jangan panggil aku bibi kecuali aku menikah dengan pamanmu,” ujar Clara tertawa. “Oke. Clara. Jam berapa biasanya Pak Roy pulang?” tanya Sahara meletakkan dua sikunya di atas meja. “Harusnya Anda bertanya pada Novan. Apa perlu aku memanggilnya?” Clara yang tadinya duduk di kursi
Roy nyaris tertawa melihat perubahan di wajah Sahara. Dia menyadari kalau gadis itu pasti masih terperangah menatapnya. Roy tak mau menoleh. Dia masuk ke kamarnya dan menutup pintu. Usianya sudah empat puluh tahun. Dan dia tak sempat bermain-main dengan tema jatuh cinta pada pandangan pertama yang diusulkan Novan. Dia membuka dua kancing kemejanya dan pergi menuju bar di sudut kamar. Kembali menuangkan setengah gelas whisky untuk mengantarkannya tidur malam itu. Roy duduk di sebuah sofa yang mengarah ke halaman dengan gelas whisky di tangannya. Pikirannya kembali ke cerita saat semuanya dimulai. Usianya baru 26 tahun saat dia menemukan foto ayahnya bersama seorang pria. “Itu teman dekat papamu. Mereka sama-sama imigran dari Brasil. Temannya memiliki modal besar membangun apartemen mewah. Papamu menjadi kontraktornya. Mereka sangat dekat.” Saat itu ibunya ikut memandang foto itu. “Sekarang, ke mana teman dekat Papa ini?” tanya Roy. Pertany
“Om,” panggil Sahara lagi. Dia melihat Roy sama sekali tak menolehnya. Pria itu malah terlihat berlama-lama membasuh kepalanya di bawah pancuran. Pancuran berada di sisi kanan dan dia hanya melihat sisi tubuh Roy dari samping. Dalam hati dia bersikukuh untuk tak melihat ke bagian lagian. “Om, aku nanya. Om tadi ngapain sama Inke?!” teriak Sahara. Roy mendengar teriakan gadis itu dan menolehkan kepala. Tangannya mengusap uap dari air hangat yang mengembun di kaca. Tangannya terus mengusap sampai sisi kaca itu kembali transparan. Lalu dia menumpukan kedua tangannya di dinding kaca dan menatap Sahara. Gadis itu tengah melontarkan tatapan sengit padanya. “Apa sangat penting mengetahui apa yang kulakukan bersama seniormu di club itu?” tanya Roy, menaikkan alisnya memandang Sahara yang mulai salah tingkah. Sahara mulai salah tingkah tak tahu harus menatap ke bagian mana. Menatap wajah Roy sama saja
“Seorang wanita? Baru bisa menyetir?” gumam Roy, membuka pintu mobil dan keluar. “Ya, ampun.” Wanita itu menunduk memandang bagian depan mobilnya. “Maaf—maaf, aku nggak sengaja.” Wanita itu menutup mulutnya, menatap Roy yang baru tiba di dekatnya. “Anda mau ke mana?” tanya Roy dengan tatapan menyelidik. Jalanan itu buntu. Berkelok-kelok dan akan berakhir di depan gerbang rumahnya. Kanan-kiri jalanan adalah kebun pohon jati yang merupakan miliknya. Enam tahun yang lalu dia membeli perkebunan pohon jati yang bagian paling ujungnya dia ubah menjadi tempat tinggal. “Ma—af,” ucap wanita itu saat membuka mulutnya. Roy masih belum mengerti saat wanita itu berlari kembali masuk ke dalam mobilnya. Sejurus kemudian, dia baru memahami keadaan saat tiga orang pria keluar dari mobil yang menabraknya. “Pak Roy, makasih karena udah bayar tagihan saya di club penari telanjang. Bagaimana? Menyukai salah satu pelacur di sana? Yang mana favorit Anda?” Seorang pria yang beberapa waktu lalu menunggak t
Sudah lima hari Sahara seperti bermain kucing-kucingan dengan Roy. Memang tak mengherankan kalau dia tak bisa dengan mudah menemukan Roy di bangunan sebesar itu. Sahara sudah cukup kesal. Setiap pagi rasa-rasanya dia sudah bangun lebih pagi. Tapi tetap saja pria itu sepertinya pintar sekali menghindar. “Di mana Pak Roy?” tanya Sahara pagi itu pada Clara. Dia menuju dapur tempat di mana Clara sedang menginstruksikan sesuatu kepada dua orang asistennya di dapur. Sepasang pria wanita berusia di awal tiga puluhan. Clara pernah mengatakan bahwa asistennya adalah sepasang suami istri. “Baru saja pergi,” jawab Clara, memandang nyonya rumah yang pukul enam pagi sudah mengenakan dress semata kaki, dengan model karet yang berkedut di bagian perutnya. Model itu membuat payudara Sahara tampak semakin besar. Roy benar-benar pintar memilih istri. Muda dan cantik. Clara tersenyum karena pikirannya. “Dia nggak ada ngomong sesuatu
Suatu tempat di Pulau Bali. Roy baru saja menginjak usia empat puluh tujuh tahun saat itu. Matahari baru saja melorot dari puncak kepala saat Roy baru saja tiba dari Jakarta setelah hari terakhir rapat evaluasi tahunan. Pagi tadi dia mengunjungi kantor hanya untuk menutup agenda tahunan itu dengan sebuah pidato singkat, lalu kembali terburu-buru menuju airport untuk pulang ke rumah. Siang itu Novan melepasnya di airport dengan senyum simpul berkata, “Senang bisa melihat Anda dalam balutan jas setelah sekian lama. Saya benar-benar merindukan pemandangan ini.” Roy ikut memandang tubuhnya dari atas ke bawah. Memang benar. Dia sendiri terkadang merindukan saat-saat menyimpul dasinya dengan simetris dan meletakkan penjepit emas di bagian tengah. “Aku juga merindukan saat-saat harus berdandan rapi dan mentereng hanya untuk ke rapat harian. Tapi setelah lima hari di kota ini, aku lebih merindukan anak istriku,” sahut Roy tersenyum tipis. “Anda lebih santai dan terlihat lebih bahagia,” u
Roy mendorong paha Sahara agar membuka untuk dirinya. Lalu jemarinya tiba lebih dulu di bawah sana.Sahara memejamkan mata. Jemari Roy menuntunnya untuk terus membuka diri. Dia menikmati bagaimana jari Roy mengusapnya, menekannya dan membuatnya seakan terbang sejenak. Sahara menggeliat. Lalu tubuhnya menegang sejenak saat merasakan puncak kemaskulinan Roy mengusapnya. Mulut Sahara setengah ternganga menantikan dan tak lama lenguhan halus meluncur keluar dari bibirnya. Roy masuk perlahan, mendorong dan mengisi tubuhnya perlahan-lahan. “Mmmm,” lirih Sahara, menarik napas dan semakin melengkungkan tubuh untuk menerima Roy sepenuhnya.Telinga Sahara bisa mendengar napas Roy yang keras dan kasar. Seakan Roy merasakan kenikmatan yang sangat kuat hingga pria itu terlihat seperti kesakitan.Sahara memekik tertahan ketika jemari Roy kembali terjulur dan memijat di mana tempat mereka bersatu. Dia memang ingin disentuh di bagian itu. Sahara merintih. Tak lama serbuan kenikmatan itu berkumpul da
Dari ruang kerjanya di lantai satu, Roy tak lagi mendengar suara-suara dari luar. Ia baru saja membongkar lemari besinya dan mengambil beberapa lembar foto yang disukainya.“Akhirnya aku bisa meletakkan ini dalam pigura. Sungguh, aku baru sadar kalau aku sudah jatuh cinta padamu saat itu.” Roy memandang pigura foto berukuran jumbo yang baru saja disisipkannya foto Sahara. Foto ketika Sahara berulang tahun ketujuh belas sedang memeluk sebuket baby breath mengenakan blouse berwarna kuning. Dua hal yang paling disukai Roy sampai sekarang. Sahara mengenakan pakaian berwarna kuning dan tersenyum memeluk buket bunganya.Roy kembali memasukkan semua isi lemari besinya, lalu keluar ruangan itu dengan empat buah foto di tangannya. Tujuannya selanjutnya adalah kamar tidur. Sahara mungkin sudah terlelap kembali dan akan bangun tengah malam nanti. Dia akan memeluk istrinya seraya menunggu kantuk.“Lagi banyak pekerjaan, ya?” Sahara langsung menoleh saat pintu kamar terbuka.“Aku sengaja meningga
“Aku kira sudah tidur,” ucap Roy, membungkuk di atas pipi Sahara dan menenggelamkan hidungnya. “Jangan basa-basi. Kamu pasti tahu kalau aku sedang menunggu. Aku ngantuk, tapi mau tidur nanggung,” ucap Sahara, meletakkan telapak tangan kirinya ke pipi Roy. “Baiklah, aku mandi sekarang. Minggu depan aku sudah bersiap menyambut tangis bayi yang ingin menyusu di tengah malam.” Roy meninggalkan Sahara di ranjang dan pergi ke ruang ganti. Saat melintasi kamar dengan balutan bath robe, dia sengaja mengerling Sahara yang mengerjapkan matanya terkantuk-kantuk. Saat keran air menyala, Sahara mengeratkan pelukannya pada guling. Pandangannya cermat memperhatikan siluet tubuh Roy di balik dinding kaca yang beruap. Bahu yang lebar, lengan yang berisi dan pinggul yang kecil. Roy memang sangat seksi, pikirnya. Di tambah dengan lembaran rambut keperakan yang muncul di antara sisiran rambut Roy yang rapi. Rambut perak itu seakan disusun untuk memberi warna kedewasaan baru pada diri Roy. “Sudah tidu
“Kenapa dia jadi berubah begitu? Biasanya dia ramah denganku. Ramah dan santai. Sering cerita macam-macam soal pengalamannya kuliah di luar negeri. Tapi … tapi tadi terlalu kaku,” Sahara menoleh ke belakang tempat di mana seorang pria muda yang baru menyapanya dengan sebutan ‘Nyonya Smith’ menghilang. “Karena dia sudah memahami di mana posisinya sekarang. Bisa jadi ayahnya sudah menceritakan padanya bahwa mereka butuh untuk tetap bekerja sama dengan perusahaanku. Ini kelasmu, kan?” Roy menghentikan langkahnya di depan kelas yang bahkan Sahara juga lupa.Sahara menghentikan langkahnya di depan ruangan yang memang kelasnya. Di ruangan itu tak ada dua gadis yang dicarinya. Hanya ada teman yang tak bisa dikatakan benar-benar teman.“Mencari teman-temanmu? Mereka ada di kafetaria,” seru seorang gadis dari kursinya. Sahara tidak terlalu sering bicara dengan gadis itu. Dan gadis itu pun jarang bicara dengan siapa pun. “Hamil anak pertama? Kamu makin cantik, Ra.” Sahara sedikit terkesima. B
“Apa aku harus mengantarmu?" Roy meraih jas di tiang besi dan memakainya. “Kamu tidak boleh berangkat sendirian,” sambungnya.Sahara tak langsung menjawab pertanyaan suaminya karena masih sibuk mematut tubuh pada cermin besar di sudut kamar. Tangannya mengusap perut berkali-kali. Hal yang membuat bentuk kehamilannya terlihat jelas.“Perutku besar banget. Ya, Tuhan … kapan lagi aku bisa langsing,” gumam Sahara. Kali ini tangannya berada di bawah perut seakan menopang kehamilannya yang dalam waktu dua minggu lagi akan segera berakhir.“Oke, kalau begitu aku akan mengantarmu. Ayo, kita turun sekarang. Jangan bicarakan lagi soal kapan akan kembali langsing.” Sahara memandang Roy dari pantulan cermin dengan mulut mencebik. Sahara sudah cukup lama tidak datang ke kampusnya. Rini mengurus soal pembelajaran jarak jauhnya dengan baik sekali. Namun, untuk pengambilan nilai di akhir semester Sahara mengatakan ingin datang ke kampus menemui dua temannya. Dan dengan usia kehamilan yang bisa membu
Resepsi pernikahan Herbert dan Letta dilaksanakan di taman sebuah resor pinggiran kota. Roy mendanai lebih dari setengah biaya yang dikeluarkan untuk resepsi itu. Walau dia dengan tegas mengatakan akan menanggung semua, tampaknya Herbert dan Letta berusaha keras untuk meyakinkannya bahwa mereka juga punya tabungan. Malam itu Roy meminta staf khususnya untuk menjadi supir dan ajudan pribadi sebagai pengganti Novan dan Herbert. Dua orang babysitter turut menyertai langkah mereka saat memasuki venue. Sabina dan Elara melangkah ceria dengan gaun berwarna sama dengan Sahara, dalam genggaman tangan masing-masing pengasuhnya.“Cantik sekali dekorasinya,” ucap Sahara.“Kamu sedang memuji wanita yang membuatmu cemburu,” kata Roy mengingatkan.“Aku tidak terlalu buta melihat kelebihan orang lain meskipun aku tak menyukainya. Aku hanya mencoba realistis,” bisik Sahara.“Realistis,” ulang Roy.“Kalau aku tidak realistis, mungkin aku akan berpindah kamar saat mengetahui kalau wanita itu pernah ti
Novan melambatkan laju mobil saat tiba di jalan yang kanan-kirinya dipenuhi pohon jati. Mereka hampir tiba di gerbang besi tinggi. Setidaknya dia harus memberi waktu kepada atasannya untuk berpakaian dengan benar sebelum turun dari mobil nanti.Tiba di depan teras samping, Novan bahkan tak perlu turun untuk membukakan pintu mobil. Roy langsung keluar dan berjalan tergesa sambil memeluk Sahara yang terkikik-kikik dengan buket bunga dalam dekapannya. Keduanya langsung menuju anak tangga terbawah.“Seperti sepasang remaja jatuh cinta,” gumam Novan, lanjut melajukan mobil ke bagian belakang rumah.Langkah kaki Roy dan Sahara melambat di anak tangga paling atas. Keduanya kembali berciuman cukup lama. Sahara yang sedang mendekap bunga, membuka satu-persatu sepatunya tanpa melepaskan bibir dari pagutan Roy. Tubuh Sahara membelakangi pintu kamar dengan langkah kakinya yang mundur merangsek mendekati kamar yang dituju Roy.Malam itu, Sahara bahkan lupa dengan mualnya. Lupa bahwa biasanya pukul
Tak salah lagi kalau malam itu menjadi perjalanan pulang dari suatu tempat ke rumah yang terasa paling singkat dirasa Roy dan Sahara. Novan ternyata tak sampai menjemput atasannya ke dalam. Roy dan Sahara berada di depan lift lantai mezanin. “Tidak menunggu sampai selesai, Sir?” tanya Novan saat beradu pandang dari pintu lift yang terbuka. “Acara selanjutnya kuserahkan pada Herbert. Aku menjamin kalau Letta tak akan berani menolak lamaran itu. Letta pasti cukup sadar bahwa Herbert dipinjamkan nyaris seisi gedung hanya untuk melamarnya,” Roy memeluk pinggang Sahara dan membawa wanita itu masuk ke dalam lift. Novan mengangkat bahu. Benar juga. Saat atasan calon pengantin meminjamkan gedung untuk prosesi kebahagiaan mereka, apa salah satunya akan bertingkah? Mustahil, pikir Novan. Dia yang tadi keluar sejenak untuk menahan tombol lift, masuk kembali untuk membawa Roy dan Sahara kembali ke basement. Mobil yang ditumpangi mereka baru meninggalkan basement gedung. Roy mengatakan pada Nov