Sudah lima hari Sahara seperti bermain kucing-kucingan dengan Roy. Memang tak mengherankan kalau dia tak bisa dengan mudah menemukan Roy di bangunan sebesar itu. Sahara sudah cukup kesal. Setiap pagi rasa-rasanya dia sudah bangun lebih pagi. Tapi tetap saja pria itu sepertinya pintar sekali menghindar. “Di mana Pak Roy?” tanya Sahara pagi itu pada Clara. Dia menuju dapur tempat di mana Clara sedang menginstruksikan sesuatu kepada dua orang asistennya di dapur. Sepasang pria wanita berusia di awal tiga puluhan. Clara pernah mengatakan bahwa asistennya adalah sepasang suami istri. “Baru saja pergi,” jawab Clara, memandang nyonya rumah yang pukul enam pagi sudah mengenakan dress semata kaki, dengan model karet yang berkedut di bagian perutnya. Model itu membuat payudara Sahara tampak semakin besar. Roy benar-benar pintar memilih istri. Muda dan cantik. Clara tersenyum karena pikirannya. “Dia nggak ada ngomong sesuatu
Sama seperti dugaan Roy sebelumnya. Saat tiba di depan pagar, dia tak melihat siluet seorang gadis berada di balik tirai dan memandang keluar. Dia meletakkan mobilnya di depan teras, dan mencampakkan kunci mobilnya pada Pak Wandi. Langkahnya lebar-lebar, bergegas menuju kamarnya di sayap kiri lantai dua. Di jalan tadi, dia sudah menelepon Novan untuk menyiapkan kotak P3K untuk mengobati lengannya. Lukanya tak terlalu dalam tapi panjang dan mulai berdenyut. Darahnya mulai mengering karena benang-benang fibrin sudah mulai menutup lukanya. Roy sudah duduk di sofanya saat Novan tiba. “Siapa pelakunya?” tanya Novan saat membuka kotak P3K yang diletakkannya di atas meja kecil. “Donald. Yang namanya pernah kusebutkan kemarin,” sahut Roy. “Sisa sampah dari masa lalu,” sambung Roy lagi. “Saya akan membersihkan dan mengoleskan salep luka. Ini tidak perlu dijahit. Untungnya ini hanya goresan yang tidak dalam.” Novan dengan cekatan membasahi kasa dan mulai menyeka luka Roy. “Fortunately …,” g
Sesaat yang terasa lama, Roy tidak tahu harus berbuat apa. Berapa tahun? Lima tahun? Sepuluh tahun? Ternyata sudah tiga belas tahun dia tidak pernah menghibur seorang wanita yang menangis. Dia berpacaran dengan Shelly selama tiga tahun dan dia tak pernah membuat wanita itu mengeluarkan air mata untuknya. Bahkan sampai ketika wanita itu meregang nyawa di pelukannya. Lantas apa yang diharapkan Sahara darinya? Sebuah penghiburan? Roy menyeret langkahnya mendekati Sahara. “Aku—nggak maksud seperti itu. Aku cuma sedang sibuk.” Roy menepuk punggung Sahara. Tangis gadis itu bukannya mereda, tapi malah semakin keras. Bahunya semakin berguncang. Roy membawa gadis itu ke tepi ranjang dan mendudukkannya. “Maaf,” ucap Roy dengan suara nyaris berbisik. Dia duduk di tepi ranjang sambil memandangi Sahara yang menutup wajahnya dengan telapak tangan. Ternyata, ucapan Roy barusan membuat Sahara seketika menubr
Lebih dari setengah gelas whisky yang dihabiskan Roy sebelum mandi tadi, ternyata mulai bereaksi. Kepalanya terasa ringan dan lampu kamar tampak makin redup dalam pandangannya. Wajah Sahara terasa sangat dekat. Ternyata alis yang berbentuk sempurna itu benar-benar asli, pikirnya. Awalnya dia mengira kalau Sahara membubuhkan sesuatu agar bentuk alisnya terlihat sempurna. Roy tertawa kecil. “Ternyata Om mabuk,” kata Sahara. “Om selalu mabuk kalau di dekatku,” sambung gadis itu. Roy menghela napas pelan. Haruskah dia mengatakan kalau whisky malah membuatnya semakin waras untuk bisa berada di dekat gadis itu? “Tidurlah. Aku nggak mau kamu menangis lagi kalau kupaksa melakukan sesuatu yang kamu nggak suka,” ucap Roy, matanya masih menelusuri bintik-bintik halus di hidung Sahara. Andai wajah itu tidak terlalu mirip dengan ketampanan yang dimiliki Thomas. Roy tak menjamin bahw
“Aku akan melakukannya. Jangan menangis,” kata Roy dengan sorot mata menuntut. Sahara tak menjawab, tapi tangannya masih mencengkeram bagian depan piyama Roy. Roy kembali mencium Sahara. Gadis itu langsung memejamkan mata. Pelajaran berciuman yang baru saja dia rasakan, sepertinya berguna. Kali ini Roy tidak berciuman sendirian. Sahara meladeninya. Gadis itu menikmati lidah Roy yang menembus masuk ke mulutnya. Ciuman itu terlepas dan Sahara mendongak, memberikan ruang pada Roy yang menurunkan ciuman ke lehernya. Menjilat dan menggigit pelan tiap sudut leher dan belakang telinganya. Sahara mulai terlena. Sampai bagian itu dia menikmatinya. Sahara melentingkan tubuh, membusungkan dadanya. Lenguhan halus keluar dari mulutnya. Tanpa dia sadari, Roy sudah membuka bagian luar piyamanya. Menurunkan tali tipis yang tersangkut di bahunya. Sahara memekik saat Roy mengigit pelan putingnya dari luar bra
Roy bergerak sangat perlahan. Bibirnya masih memagut bibir Sahara. Sama sekali tak membiarkan gadis itu merintih atau berteriak. Di sela-sela ciumannya yang semakin panas, erangan tipis keluar dari mulut Sahara. Sahara melepaskan ciuman Roy. Dia membutuhkan lebih banyak oksigen untuk paru-parunya. Kepalanya mendongak, membiarkan ciuman Roy berpindah ke lehernya. Roy menekan dadanya, membuat putingnya merasakan gesekan rambut halus di dada Roy. “Bagaimana?” bisik Roy di telinga Sahara. “Rasa nyeri itu hilang?” tanya Roy lagi. Sahara bisa menjawab Roy saat itu, tapi mustahil. Rasa nyerinya perlahan hilang dan gesekan kejantanan Roy membuatnya seakan sedang berjalan mendaki. Menuju satu titik yang dirasanya sebentar lagi akan ditujunya. Gerakan Roy yang tadinya perlahan, dirasanya semakin cepat. “Om,” bisik Sahara. “Kenapa?” Roy menumpukan dua tangannya, menoleh Sahara yan
Efek whisky mulai meninggalkan Roy dan dia masih memeluk Sahara yang terengah-engah di bawah tubuhnya. Sesaat lalu dia baru membanjiri gadis itu dengan kehangatan yang melimpah. Dia merasakan kalau kaki Sahara yang tadi terlilit erat di pinggangnya perlahan mengendur dan kembali menyentuh ranjang. Roy melepaskan bagian tubuhnya dari Sahara. Rasa canggung yang tak biasa merambatinya. Roy bangkit menegakkan tubuh. Pandangannya menyapu leher dan dada Sahara. Sedikit terkejut melihat begitu banyak bercak kemerahan di leher dan dada gadis itu. Harapan sederhananya saat itu hanyalah, salah satu gaun yang diberikan Rini memiliki model yang bisa menutupi semua bercak-bercak itu. “Aku akan membersihkan tubuhku lebih dulu. Enggak lama. Setelah itu kamu bisa ….” Roy terdiam. Dia merasa aneh. Harusnya dia tak perlu mengatakan hal itu. Tak perlu diperintah pun, Sahara pasti bangkit dari ranjang untuk membersihkan tubuhnya. Roy
Sebelah tangan Sahara memegangi selimut menutup dadanya. Tangan satunya memegang sebotol pil yang sedang dibacanya pelan-pelan. “Paling lama 2x24 jam,” ucap Sahara, melirik jam digital kecil yang berada di atas nakas. Sahara cepat-cepat mengenakan pakaiannya dan pergi menuju mini bar untuk mencari air putih. Dengan sekali tegukan Sahara meminum obat yang diberikan Roy. Lalu dahinya kembali mengernyit saat menimang-nimang obat itu. Kenapa Roy memiliki obat itu? Apa laki-laki itu sudah tahu kalau dia memang belum mau memiliki anak? Sedikit aneh karena pria itu ngotot mengatakan ingin segera memiliki keturunan dan sekarang malah tak keberatan dengan permintaannya. Tok Tok Tok Sahara hampir menjatuhkan obat itu dari tangannya. Buru-buru dia membuka laci nakas dan memasukkannya. “Rara! Ini aku, Rini. Kamu udah bangun? Aku bawa pakaianmu,” kata Rini dari depan pintu.
Suatu tempat di Pulau Bali. Roy baru saja menginjak usia empat puluh tujuh tahun saat itu. Matahari baru saja melorot dari puncak kepala saat Roy baru saja tiba dari Jakarta setelah hari terakhir rapat evaluasi tahunan. Pagi tadi dia mengunjungi kantor hanya untuk menutup agenda tahunan itu dengan sebuah pidato singkat, lalu kembali terburu-buru menuju airport untuk pulang ke rumah. Siang itu Novan melepasnya di airport dengan senyum simpul berkata, “Senang bisa melihat Anda dalam balutan jas setelah sekian lama. Saya benar-benar merindukan pemandangan ini.” Roy ikut memandang tubuhnya dari atas ke bawah. Memang benar. Dia sendiri terkadang merindukan saat-saat menyimpul dasinya dengan simetris dan meletakkan penjepit emas di bagian tengah. “Aku juga merindukan saat-saat harus berdandan rapi dan mentereng hanya untuk ke rapat harian. Tapi setelah lima hari di kota ini, aku lebih merindukan anak istriku,” sahut Roy tersenyum tipis. “Anda lebih santai dan terlihat lebih bahagia,” u
Roy mendorong paha Sahara agar membuka untuk dirinya. Lalu jemarinya tiba lebih dulu di bawah sana.Sahara memejamkan mata. Jemari Roy menuntunnya untuk terus membuka diri. Dia menikmati bagaimana jari Roy mengusapnya, menekannya dan membuatnya seakan terbang sejenak. Sahara menggeliat. Lalu tubuhnya menegang sejenak saat merasakan puncak kemaskulinan Roy mengusapnya. Mulut Sahara setengah ternganga menantikan dan tak lama lenguhan halus meluncur keluar dari bibirnya. Roy masuk perlahan, mendorong dan mengisi tubuhnya perlahan-lahan. “Mmmm,” lirih Sahara, menarik napas dan semakin melengkungkan tubuh untuk menerima Roy sepenuhnya.Telinga Sahara bisa mendengar napas Roy yang keras dan kasar. Seakan Roy merasakan kenikmatan yang sangat kuat hingga pria itu terlihat seperti kesakitan.Sahara memekik tertahan ketika jemari Roy kembali terjulur dan memijat di mana tempat mereka bersatu. Dia memang ingin disentuh di bagian itu. Sahara merintih. Tak lama serbuan kenikmatan itu berkumpul da
Dari ruang kerjanya di lantai satu, Roy tak lagi mendengar suara-suara dari luar. Ia baru saja membongkar lemari besinya dan mengambil beberapa lembar foto yang disukainya.“Akhirnya aku bisa meletakkan ini dalam pigura. Sungguh, aku baru sadar kalau aku sudah jatuh cinta padamu saat itu.” Roy memandang pigura foto berukuran jumbo yang baru saja disisipkannya foto Sahara. Foto ketika Sahara berulang tahun ketujuh belas sedang memeluk sebuket baby breath mengenakan blouse berwarna kuning. Dua hal yang paling disukai Roy sampai sekarang. Sahara mengenakan pakaian berwarna kuning dan tersenyum memeluk buket bunganya.Roy kembali memasukkan semua isi lemari besinya, lalu keluar ruangan itu dengan empat buah foto di tangannya. Tujuannya selanjutnya adalah kamar tidur. Sahara mungkin sudah terlelap kembali dan akan bangun tengah malam nanti. Dia akan memeluk istrinya seraya menunggu kantuk.“Lagi banyak pekerjaan, ya?” Sahara langsung menoleh saat pintu kamar terbuka.“Aku sengaja meningga
“Aku kira sudah tidur,” ucap Roy, membungkuk di atas pipi Sahara dan menenggelamkan hidungnya. “Jangan basa-basi. Kamu pasti tahu kalau aku sedang menunggu. Aku ngantuk, tapi mau tidur nanggung,” ucap Sahara, meletakkan telapak tangan kirinya ke pipi Roy. “Baiklah, aku mandi sekarang. Minggu depan aku sudah bersiap menyambut tangis bayi yang ingin menyusu di tengah malam.” Roy meninggalkan Sahara di ranjang dan pergi ke ruang ganti. Saat melintasi kamar dengan balutan bath robe, dia sengaja mengerling Sahara yang mengerjapkan matanya terkantuk-kantuk. Saat keran air menyala, Sahara mengeratkan pelukannya pada guling. Pandangannya cermat memperhatikan siluet tubuh Roy di balik dinding kaca yang beruap. Bahu yang lebar, lengan yang berisi dan pinggul yang kecil. Roy memang sangat seksi, pikirnya. Di tambah dengan lembaran rambut keperakan yang muncul di antara sisiran rambut Roy yang rapi. Rambut perak itu seakan disusun untuk memberi warna kedewasaan baru pada diri Roy. “Sudah tidu
“Kenapa dia jadi berubah begitu? Biasanya dia ramah denganku. Ramah dan santai. Sering cerita macam-macam soal pengalamannya kuliah di luar negeri. Tapi … tapi tadi terlalu kaku,” Sahara menoleh ke belakang tempat di mana seorang pria muda yang baru menyapanya dengan sebutan ‘Nyonya Smith’ menghilang. “Karena dia sudah memahami di mana posisinya sekarang. Bisa jadi ayahnya sudah menceritakan padanya bahwa mereka butuh untuk tetap bekerja sama dengan perusahaanku. Ini kelasmu, kan?” Roy menghentikan langkahnya di depan kelas yang bahkan Sahara juga lupa.Sahara menghentikan langkahnya di depan ruangan yang memang kelasnya. Di ruangan itu tak ada dua gadis yang dicarinya. Hanya ada teman yang tak bisa dikatakan benar-benar teman.“Mencari teman-temanmu? Mereka ada di kafetaria,” seru seorang gadis dari kursinya. Sahara tidak terlalu sering bicara dengan gadis itu. Dan gadis itu pun jarang bicara dengan siapa pun. “Hamil anak pertama? Kamu makin cantik, Ra.” Sahara sedikit terkesima. B
“Apa aku harus mengantarmu?" Roy meraih jas di tiang besi dan memakainya. “Kamu tidak boleh berangkat sendirian,” sambungnya.Sahara tak langsung menjawab pertanyaan suaminya karena masih sibuk mematut tubuh pada cermin besar di sudut kamar. Tangannya mengusap perut berkali-kali. Hal yang membuat bentuk kehamilannya terlihat jelas.“Perutku besar banget. Ya, Tuhan … kapan lagi aku bisa langsing,” gumam Sahara. Kali ini tangannya berada di bawah perut seakan menopang kehamilannya yang dalam waktu dua minggu lagi akan segera berakhir.“Oke, kalau begitu aku akan mengantarmu. Ayo, kita turun sekarang. Jangan bicarakan lagi soal kapan akan kembali langsing.” Sahara memandang Roy dari pantulan cermin dengan mulut mencebik. Sahara sudah cukup lama tidak datang ke kampusnya. Rini mengurus soal pembelajaran jarak jauhnya dengan baik sekali. Namun, untuk pengambilan nilai di akhir semester Sahara mengatakan ingin datang ke kampus menemui dua temannya. Dan dengan usia kehamilan yang bisa membu
Resepsi pernikahan Herbert dan Letta dilaksanakan di taman sebuah resor pinggiran kota. Roy mendanai lebih dari setengah biaya yang dikeluarkan untuk resepsi itu. Walau dia dengan tegas mengatakan akan menanggung semua, tampaknya Herbert dan Letta berusaha keras untuk meyakinkannya bahwa mereka juga punya tabungan. Malam itu Roy meminta staf khususnya untuk menjadi supir dan ajudan pribadi sebagai pengganti Novan dan Herbert. Dua orang babysitter turut menyertai langkah mereka saat memasuki venue. Sabina dan Elara melangkah ceria dengan gaun berwarna sama dengan Sahara, dalam genggaman tangan masing-masing pengasuhnya.“Cantik sekali dekorasinya,” ucap Sahara.“Kamu sedang memuji wanita yang membuatmu cemburu,” kata Roy mengingatkan.“Aku tidak terlalu buta melihat kelebihan orang lain meskipun aku tak menyukainya. Aku hanya mencoba realistis,” bisik Sahara.“Realistis,” ulang Roy.“Kalau aku tidak realistis, mungkin aku akan berpindah kamar saat mengetahui kalau wanita itu pernah ti
Novan melambatkan laju mobil saat tiba di jalan yang kanan-kirinya dipenuhi pohon jati. Mereka hampir tiba di gerbang besi tinggi. Setidaknya dia harus memberi waktu kepada atasannya untuk berpakaian dengan benar sebelum turun dari mobil nanti.Tiba di depan teras samping, Novan bahkan tak perlu turun untuk membukakan pintu mobil. Roy langsung keluar dan berjalan tergesa sambil memeluk Sahara yang terkikik-kikik dengan buket bunga dalam dekapannya. Keduanya langsung menuju anak tangga terbawah.“Seperti sepasang remaja jatuh cinta,” gumam Novan, lanjut melajukan mobil ke bagian belakang rumah.Langkah kaki Roy dan Sahara melambat di anak tangga paling atas. Keduanya kembali berciuman cukup lama. Sahara yang sedang mendekap bunga, membuka satu-persatu sepatunya tanpa melepaskan bibir dari pagutan Roy. Tubuh Sahara membelakangi pintu kamar dengan langkah kakinya yang mundur merangsek mendekati kamar yang dituju Roy.Malam itu, Sahara bahkan lupa dengan mualnya. Lupa bahwa biasanya pukul
Tak salah lagi kalau malam itu menjadi perjalanan pulang dari suatu tempat ke rumah yang terasa paling singkat dirasa Roy dan Sahara. Novan ternyata tak sampai menjemput atasannya ke dalam. Roy dan Sahara berada di depan lift lantai mezanin. “Tidak menunggu sampai selesai, Sir?” tanya Novan saat beradu pandang dari pintu lift yang terbuka. “Acara selanjutnya kuserahkan pada Herbert. Aku menjamin kalau Letta tak akan berani menolak lamaran itu. Letta pasti cukup sadar bahwa Herbert dipinjamkan nyaris seisi gedung hanya untuk melamarnya,” Roy memeluk pinggang Sahara dan membawa wanita itu masuk ke dalam lift. Novan mengangkat bahu. Benar juga. Saat atasan calon pengantin meminjamkan gedung untuk prosesi kebahagiaan mereka, apa salah satunya akan bertingkah? Mustahil, pikir Novan. Dia yang tadi keluar sejenak untuk menahan tombol lift, masuk kembali untuk membawa Roy dan Sahara kembali ke basement. Mobil yang ditumpangi mereka baru meninggalkan basement gedung. Roy mengatakan pada Nov