Beranda / CEO / Suamiku Pangeran Muda / Bab 11 - Bab 20

Semua Bab Suamiku Pangeran Muda: Bab 11 - Bab 20

109 Bab

11. Jebakan Ruby

Aku semakin penasaran apa benar Faruq ada hubungan khusus dengan Ruby dan Sena sama seperti hubungannya denganku? Apakah Faruq akan marah kepada Sena demi membela diriku? "Senaaa ...!" teriak Faruq dari depan pintu kamarku. Aku penasaran apa yang akan terjadi?  Aku menunggu kedatangan Sena dengan hati cemas dan penasaran. "Iya Tuan Muda, ada yang bisa saya bantu?" tanya Sena yang tersenyum  genit dan menatap aku dengan tatapan  mengejek. Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Sena, tapi dengan sikap liciknya aku berkeyakinan dia sedang berpikir curang. "Apa kamu yang mengantarkan Saleeg buat Fahim?" tanya Faruq. "Saleeg? Tidak Tuan Muda saya baru keluar dari gudang mencatat bahan-bahan makanan yang harus di beli hari ini. Ini catatannya, Tuan Muda," kata Sena sambil menunjukkan selembar kertas. "Kamu yakin, Sena?" tanya Faruq datar. "Masak sih Tuan Muda tidak percaya padaku? Tapi tadi habis dari meja m
Baca selengkapnya

12.Demi Aku Faruq Terluka

Di area itu terasa perih dan basah, aku menjadi jijik pada diriku sendiri. Kujambak rambutku kuat-kuat sambil menjerit histeris."Aaaaaagh!"Kugigit bibir bawahku dengan sangat kuat untuk mengalihkan sakit hatiku. Tak henti-hentinya aku mengutuk diriku sendiri yang terlalu lemah dan bodoh sehingga jadi korban penindasan orang lain."Priya, apakah mungkin dia sudah menjamah tubuhku? Sepertinya dia sudah memperkosa aku, kenapa pakaian dalamku lepas?" tanyaku disela isak tangisku."Memang Tuan Muda butuh waktu dari kantor untuk sampai ke rumah ini. Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu, Fahim. Yang tahu kalian berdua, kamu dan Ikhsan," ujar Priya sedih."Tidaaaaak! Aku muak ... aku jijiiiiik!" tangisku histeris.Priya segera memelukku kembali dan memenangkan aku,"Kamu harus kuat, kalau kamu seperti ini mereka akan tertawa puas. Keadaan seperti inilah yang dia harapkan, Fahim," Priya menghibur."Bagaimana kalau Ikhsan berhasil memp
Baca selengkapnya

13. Pulang Bersama Marwa

Aku jadi sakit hati bila ingat Faruq memperkenalkan aku sebagai pengasuh Iqbal. Harusnya aku mengerti posisi Faruq, memang tidak mudah. Aku cemburu setelah melihat betapa cantiknya Marwa. Perawakannya sangat bagus tinggi dan sintal, beda jauh denganku. Tinggiku hanya 158 cm dan beratku hanya 46 kg, tak sebanding dengan Marwa. Secara wajah aku juga tidak ada apa-apa nya, orang menyebut dia bagai bidadari. Tak salah bila aku menaruh cemburu. Takut kalau Faruq akan melupakan aku. Bukankah harusnya aku senang tidak menjadi budak nafsunya lagi. Bahkan mungkin dia akan melepaskan aku dari penjara yang membelenggu selama sepuluh tahun. Malah mungkin juga dia mengijinkan aku pulang ke Indonesia.  "Umi, Abi pulang!" teriak Iqbal setelah membuka kamarku. Dengan tanpa memperdulikan rasa sakitku, aku segera beranjak bangun dan bergegas bersama Iqbal menyambut Faruq. "Abiiii ...!" teriak Iqbal sambil berlari menghampirinya. Aku dan Iqbal terpe
Baca selengkapnya

14. Persekongkolan

Saat aku membuka mataku, ada tangan kekar melingkar di pinggangku. Betapa terkejutnya ternyata Faruq tidur di sampingku. Aku melirik jam di atas meja kecil di samping ranjang menunjukkan pukul 03.00. Aku terbiasa terbangun di jam-jam itu, karena kebiasaan aku sholat Tahajud. Kenapa tiba-tiba Faruq menyusul tidur di kamarku? Padahal tadi Abi dan uminya, marah besar kepadaku. Mencaci aku separah itu, bila mengingatnya benar-benar membuat sakit hatiku. Aku perlahan menyibakkan tangan Faruq dan bangun untuk mengambil air wudhu untuk sholat Sunnah Tahajud. Dalam sholatku aku selalu menumpahkan tangisku kepada Zat Yang Maha Pengasih. Kadang aku berpikir, tubuhku yang kotor, selalu jadi pelampiasan nafsu majikan dan aku tak mampu menghindarinya hingga melahirkan seorang anak. Bagaimana dengan ibadahku, apakah Allah bisa menerima ibadahku? Wallahu A'lam Bish-shawab. Sekalian aku sholat Istikharah, sebentar lagi Faruq ulang tahun, aku harus memenuhi permintaan
Baca selengkapnya

15. Pertemuan Kedua Dengan Muzammil

Aku masih penasaran apa yang sedang direncanakan mereka bertiga di depan kamarku. Aku melihat dan samar-samar mendengar ada pertengkaran diantara mereka. Setelah aku memberikan sarapan Iqbal, dengan alasan mengambil tas ke kamar Iqbal aku kepo ingin mendengarkan percakapan mereka. Kebetulan kamarku bersebelahan dengan kamar Iqbal. "Aku tidak mau tahu, aku tetap akan mengusirnya, aku tidak mau keluarga Marwa memutuskan hubungan ini, Faruq," Tuan Hussein emosi. Seketika tubuhku lemas lunglai mendengarnya. Kalau saja aku mendengarkannya saat aku belum mempunyai Iqbal, jelas aku bahagia sekali. Tapi sekarang, aku berpikir bagaimana dengan Iqbalku? Apakah aku bisa berpisah dengan Iqbal, anakku?  "Apa kalian tidak memikirkan perasaan Iqbal? Bagaimana dia dipisahkan dari uminya?" tanya Faruq memohon. "Kalau begitu kamu harus bisa meyakinkan Marwa agar dia tidak cemburu dan tidak membatalkan pernikahan ini!  Dan yakinkanlah keberadaan Fahim
Baca selengkapnya

16. Spontan Aku Memanggil Muzammil

Plog ... Plog ... Plog ... Plog! Faruq bertepuk tangan dengan senyum bangga."Sama sekali aku tidak menyangka, Fahim," ujarnya sambil mengacak rambutku.Aku bisa melihat matanya menatap aku dengan berbinar-binar. Dengan penuh kekaguman dia terus memainkan rambutku. Dia mengambil gelas berisi air putih dan disodorkannya kepadaku."Tuan Muda, bisa lihat sendiri kelakuannya. Sok kuasa, arogan! Kita bertiga bisa membalasnya, tapi ini bukan negara kami, kami takut terlibat masalah hukum, Tuan Muda," ujar Ruby menahan malu karena sedang roboh di lantai.Aku hanya diam menatap Markamah yang salah tingkah. Sebenarnya aku kasian padanya yang harus jadi pecundang untuk mencari aman. Faruq juga memandang sinis kepada Markamah, tapi dia tidak mengungkapkannya dengan kata-kata."Tanganku sakit sekali, Tuan, kalau sampai terjadi cidera aku bisa memenjarakan dia!" hardik Sena sambil mengusap lengannya yang kesakitan."Kalian bertiga pantas mendapatkannya,
Baca selengkapnya

17. Muzammil Menelepon

Faruq terperanjat dengan permintaan Marwa, dia menatap mataku sendu. "Kok diam Faruq, aku tanya kamu bisa usir dia kan? Apa permintaanku berat buat kamu? Bukankah Om Hussein sudah berjanji akan mengusirnya?" Marwa mengingatkannya. "Iya aku tahu, tapi bagaimana dengan Iqbal anakku? Aku bisa kehilangan apa saja tapi bukan Iqbal anakku. Mereka berdua ibu anak yang tidak bisa terpisahkan, Marwa. Beri aku waktu berpikir ya?" kata Faruq sedih sambil menutup teleponnya. Paling sedih adalah diriku, bagaimana aku dipisahkan dari Iqbal? Aku bisa menerima sakit sebesar apapun asal aku tetap bersama Iqbal. Dia adalah sumber kekuatan bagiku, dia adalah nafasku bagaimana aku bisa hidup tanpa dia? "Aku bisa tinggalkan semuanya termasuk Marwa, asal kamu menikah denganku di hari ulang tahunku dua hari lagi," bisik Faruq di telingaku. "Ini tawaran terakhirku, Fahim," lanjutnya berbisik menyentuh daun telingaku membuat aku terbelalak merinding. Aku menatap pungg
Baca selengkapnya

18. Berdarah Lagi

Faruq masih penasaran dengan tingkahku yang menurutnya aku banyak menyembunyikan sesuatu. "Berikan ponselnya!" pintanya. "Ponsel apa? Maksudku ponsel siapa?" tanyaku masih nekat berpura-pura. "Kamu semakin berani berbohong ya? Kalau aku bisa menemukan ponsel itu, awas kuhajar kamu, ingat itu!" ancam Faruq. "Kenapa sih Tuan Muda, selalu mengancamku?" tanyaku sedih. "Karena sekarang kamu pembohong dan licik," sahut Faruq. "Apa? Aku?" tanyaku memekik. "Sudah jangan banyak bicara, lusa kamu harus berdandan secantik mungkin, aku akan menikahimu!" gumam Faruq. "Tidak, Tuan Muda, jangan lakukan itu! Bukankah Tuan Muda harus menikahi Nona Marwa," jawabku menolak. "Itu bukan urusanmu, Fahim! Kamu tinggal bilang iya, sulit amat sih!" hardik Faruq. "Maaf Tuan Muda, aku tidak bisa!" jawabku pelan. "Sombong sekali, memangnya aku memberi pilihan kepadamu, mau atau tidak?" hardik Faruq. "Aku orang Indon
Baca selengkapnya

19. Iqbal Relakan Aku Pergi

Aku dan Priya memasak di dapur. Tuan Hussein request nasi kebuli, yaitu indentik nasi goreng tapi sebenarnya dia nasi yang dimasak dengan daging kambing dengan rempah-rempah lengkap yang terasa sekali. Faruq dan Iqbal request kebab, mereka berdua seleranya sama yaitu kebab. Sebagai kuahnya aku membuatkan sop buntut dengan sayurnya wartel kentang dan lobak serta tomat. Dan yang ini mereka semua suka sekali, masakan andalanku. "Aku tata meja makannya, ya Fahim?" Priya menawarkan. "Iya Priya, aku siapkan dan kamu yang menata meja makan?" usulku. Setelah semua siap aku menarik Priya dan membisikkan di telinganya, "Nanti kalau Tuan Muda menanyakan ponselnya tolong kamu bilang kalau ponselnya sudah kamu buang di tempat sampah, Priya!" pintaku kepada Priya. "Beres, Fahim," jawab Priya. Makan malam sudah siap, semua sudah berkumpul di meja makan. Iqbal masih jelalatan mencari-cari keberadaanku. Aku memang sengaja tidak ingin muncul di
Baca selengkapnya

20. Persiapan Ulang Tahun

Muzammil masih penasaran dan terus mendesak aku agar menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Aku tidak mungkin mengungkapkan kejelekan Faruq kepada temannya. "Ayolah Fahim, aku penasaran katakan padaku apa yang terjadi sebenarnya? Kamu orang Indonesia kan? Apakah Faruq memperlakukan kamu dengan  baik,Fahim? Kenapa kamu memanggil suamimu dengan sebutan tuan? Apa yang terjadi tadi malam, Fahim?" tanyanya menyelidik. "Fahim, kamu tidak percaya kepadaku ya? Kita kan berteman, aku tulus tidak punya niatan jelek kepadamu, Fahim," ujar Muzammil meyakinkan. "Aku percaya, Kak Zammil," sahutku meyakinkannya. "Tapi kita belum pernah bertemu, bahkan Kak Zammil belum pernah melihat wajahku kan?" lanjutku. "Aku sudah melihat matamu yang indah dan tajam, aku pernah melihat bibirmu yang sexi yang sedang terluka," kata Muzammil pelan. "Kapan, bahkan aku selalu pakai cadar saat bertemu orang asing?" sahutku tak percaya. "Kamu lupa ya? Bahkan aku
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
11
DMCA.com Protection Status