Dret ... dret ... dret! Ponsel Faruq terus bergetar, ternyata Marwa yang menelepon. "Angkatlah, Tuan muda!" saranku. "Tidak, Fahim, biarkan saja!" tolak Faruq. Mobil mulai menyusuri jalanan, hatiku semakin hancur membayangkan Erkan waktunya minum asi. Membayangkan dia rewel saat mengantuk, membayangkan dia kelaparan. Tangis meronta pun tidak terkendalikan lagi. "Bagaimana kalau mereka membunuh anakku, Tuan muda?" tanyaku lirih di sela tangisku. "Kamu jangan menyiksa dirimu sendiri dengan pikiran yang tidak-tidak, Fahim!" ketus Faruq. "Aku seorang ibu, terpisah dengan bayiku, tidak setiap orang bisa memahaminya, Tuan muda," runtukku. "Mungkin kamu benar, tapi paksalah berpikir positif agar kamu punya kekuatan untuk terus mencarinya, Fahim!" usul Faruq. Dret ... dret ... dret ...! Ponsel Faruq bergetar, Iqbal yang menelepon. "Iya Iqbal, ada apa?" jawab Faruq yang on lewat speaker mobil sehingga aku pun dapat mendengarkannya. "Abi, Umi Marwa meminta kita sekarang juga pulang.
Read more