Home / CEO / Suamiku Pangeran Muda / Chapter 81 - Chapter 90

All Chapters of Suamiku Pangeran Muda: Chapter 81 - Chapter 90

109 Chapters

81. Tamasya Bersama Iqbal

Aku benar-benar geram dan emosi, kata-kata Faruq seperti orang tidak waras lagi. Dret ... dret ... dret! Ponselku kembali berdering. Dengan geram aku mengangkatnya tanpa melihat siapa yang menelepon. Karena aku yakin telepon yang aku putus tadi akan membuat  Faruq penasaran. "Hentikan, Tuan muda! Aku bukan Fahim, tidak ada lagi Fahimmu di tubuhku. Berhenti menggodaku!" teriakku marah. "Zhee!" panggil Muzammil. "Pangeran?" pekikku. Betapa terkejutnya aku ternyata yang menelepon bukan Faruq melainkan pangeran. Aku segera menatap layar ponselku untuk memastikan. "Maaf, Pangeran!" ucapku pelan. "Apakah Faruq masih sering menghubungi kamu, Zhee?" tanya pangeran kecewa. "Tidak, Pangeran. Nanti saja aku cerita di rumah ya?" ujarku lembut menenangkan. Waktunya makan siang, Muzammil pulang untuk melayani aku makan siang. Setelah mendengar sendiri kelicikan Hema, dia takut meninggalkan aku meskipun di rumahku sendiri
Read more

82. Tragedi Saat Berwisata

Aku segera menyerahkan ponsel Muzammil yang masih terhubung dengan Hema. Muzammil diam hanya mendengarkan apa kata Hema. Hema tidak tahu kalau yang sedang mendengarkan pembicaraannya sekarang adalah pangeran. Entah apa yang sedang dibicarakan membuat pangeran marah besar."Hema!" bentaknya emosi. "Kamu benar-benar keterlaluan! Zhee adalah seorang istri pangeran, beraninya kamu berbicara seperti itu kepadanya!" lanjutnya menghardik.Aku segera memegang tangan Muzammil sambil menggelengkan kepalaku memberi isyarat kepada Muzammil agar lebih sabar. Aku segera meminta ponsel itu dan kumatikan. Aku tidak mau suasana liburan ini berubah sedih."Abi Zammil, kita lanjut main bolanya yuk!" teriak Iqbal mengajak Muzammil kembali bergabung bermain bola volley pantai bersama Faruq.Aku duduk sendiri sambil bermain ponsel. Marwa datang menghampiriku dengan muka sinis penuh kebencian. Kini dia duduk di sampingku. "Kamu pasti puas kan?" katanya tiba-tiba.
Read more

83. Masih Ada Trauma

Setelah makan bersama aku mengantar Iqbal pulang, aku belum melihat mobil tuan muda di garasi. Itu artinya mereka belum pulang."Ayo kita masuk, kita antarkan Iqbal sampai di rumah," tawar Muzammil."Aku takut, Pangeran," bisikku."Tidak perlu takut, Zhee! Sekarang kamu seorang putri dari Tukasha. Aku yakin mereka tidak akan meremehkan kamu lagi," ujar Muzammil.Iqbal berdiri menunggu kami di dekat mobil. Muzammil merangkul pundakku dan mengajak masuk rumah Tuan Hussein. Iqbal mengikuti kami dari belakang.Bel pintu ditekan oleh Muzammil dan tak lama keluarlah Ruby."Assalamualaikum," sapaku bersamaan dengan Muzammil."Waalaikum salam," jawab Ruby terperanjat."Abi belum pulang, Tante?" tanya Iqbal kepada Ruby."Belum, Tuan kecil," jawab Ruby."Mari masuk!" Ruby mempersilakan masuk. Matanya menatapku penuh selidik. Apakah dia tahu kalau aku operasi wajah? Apakah dia tahu kalau aku adalah Fahim, orang yang selalu d
Read more

84. Membuka Rekaman

Setelah Hema dan dokter pergi aku segera mengambil ponselku. Muzammil memastika bahwa aku aman tanpa kepergok Hema. Sesampai di kamar aku segera membuka rekaman itu dengan penasaran.  Pembicaraan rekaman: Hema: "Katakan, berapa yang harus                          kubayar aku akan membayarmu,                   Dok." Dokter: "Ini resiko besar, Putri. Kalau                         sampai tertangkap hukuman                       mati. Untuk resiko besar bayaran                 juga harus besar. Bayar aku                         dengan saham di perusahaan                 
Read more

85. Muzammil Pulang ke Tukasha

"Aku berangkat pagi pakai jet kerajaan, Marwa. Kuharap kamu selalu memberi kabar kepadaku tentang maduku, kamu mengerti kan?" pinta Hema. (...) "Ada acara penobatan pangeran sebagai putra mahkota. Untung Zhee tidak diajak! Kalau diajak hancurlah suasana romantisku bersama pangeran," ujar Hema setengah berbisik. (...) "Maka itu tolong awasi dia terus, aku yakin suamimu akan mencuri kesempatan kalau tahu pangeran tidak ada di rumah," Hema menggoda. (... ) "Aku tidak tahu sampai kapan di Tukasha, terserah pangeran saja asal bersamanya dimanapun aku bahagia," jawab Hema. Tapi ingat semua rencana kita harus berhasil, aku mengandalkanmu, Marwa!" lanjutnya. ( ... ) "Sekalian pangeran juga mengurus usahanya di Tukasha. Udah dulu ya, ini mau berangkat!" pamit nya. Aku segera pergi begitu Hema selesai berbicara di telepon dengan Marwa. Takut ketahuan kalau aku sedang menguping. Begitu aku membalikkan badanku betapa terkej
Read more

86. Istana Genting

Tengah malam ponselku bergetar, aku menatap layarnya ternyata Iqbal yang menelepon. Tapi aku sudah curiga ini pasti kalau bukan Marwa pasti Faruq. Tidak mungkin selarut ini Iqbal meneleponku. Tapi rasa penasaranku yang mendorong aku memberanikan diri mengangkat ya. "Assalamualaikum," sapaku. "Waalaikum salam, Sayang!" itu suara Faruq. Aku sedikit lega, karena bukan Marwa yang menelepon. Aku tercekam dengan ancaman-ancaman dan berbagai tekanan yang memojokkan aku. "Kamu lagi tidak bisa tidur ya? Kangen sama aku?" canda Faruq dengan percaya diri. "Aku sedang tidak ingin bercanda, Tuan muda," sahutku ketus. "Ih galak amat!" kata Faruq. "Ada apa malam-malam telepon, Tuan muda? Bagaimana kalau Nyonya tahu dia akan cemburu dan salah paham," tukasku. "Fahim, tidakkah kamu merindukan aku? Sekarang Muzammil mencampakkan kamu kan, padahal kamu sedang hamil besar. Kalau kamu mau aku akan datang untuk membahagiakanmu, Fahim?" ujar
Read more

87. Pamit Kepada Iqbal

Aku tidak bisa membayangkan seberapa gentingnya istana Tukasha sebenarnya. Tapi mendengar suara serak parau Muzammil bisa sedikit mengobati rinduku. Betapa hari-hari sesak menahan sakit cinta dan rindu. Menyekrol foto-foto kita bertiga di ponselku semakin membuatku tersiksa. Beberapa baju yang tergantung di kamar kubiarkan sebagai pengobat rinduku. Aroma tubuhnya masih bisa kucium, kupeluk bajunya dengan linangan air mata. Betapa beratnya dalam keadaan hamil dan jauh dari suami. Aku menghubungi Hermin dan mengajak bertemu setelah berbulan-bulan tidak bisa bertemu. Aku menceritakan permasalahan hidup yang menimpa aku dan Muzammil. "Aku kebetulan juga mau pulang ke Indonesia, Zhee. Ayahku sakit keras, aku tidak mau menyesal bila terjadi apa-apa dengan ayahku," kata Hermin. "Sekarang kita cari tiket, aku takut orang Tukasha keburu datang dan menemukan aku, Hermin. Kita harus gerak cepat!" usulku. "Ayo!" ajak Hermin menggandeng tanganku. "
Read more

88. Kembali ke Indonesia

Dengan tas punggung dan satu koper derek aku dan Hermin mulai menapak kaki di pelataran bandara. Setelah koper masuk bagasi aku dan Hermin mulai menuju pesawat. Semua seperti mimpi, aku bisa masuk pesawat untuk pulang ke Indonesia meskipun dengan nama Zhee Amalia dan berganti wajah. Sepuluh tahun lebih aku menginginkan detik-detik seperti ini. Tapi begitu terwujud justru hatiku sedih dan sakit. Meninggalkan Iqbal, anak yang kusayangi dengan segenap hidupku sangatlah menyakitkan. Pesawat perlahan mulai take off, debar-sebar dadaku saat pesawat mulai naik sangat menyiksaku. Apalagi aku dalam keadaan hamil besar, hanya dengan duduk lama sudah terasa tersiksa. Sebentar-sebentar pramugari berkeliling menawari minuman. Sebentar kemudian membagikan  cemilan. Kini pesawat harus transit di Singapura untuk menuju ke Surabaya. Berganti hari kemudian pesawat landing di Surabaya. Begitu keluar pesawat sontak semua berubah dengan dratis. Aku menatap wajah-wajah orang
Read more

89. Lahirnya Pangeran Kecil Tukasha

Aku mulai melatih diriku hidup sendiri, sekalipun ada ibu di sampingku aku tidak berharap banyak. "Kamu sudah masak, Nak Zhee? Ini ibu ada sedikit lauk buat kamu sayur lodeh lombok tempe, sama urap lauknya ikan asin. Maklum masakan desa cuma begituan," ujar ibu. "Wah itu kesukaanku, ibuku sering memasakan itu untukku. Terima kasih, Bu!" ucapku sambil mataku berkaca-kaca. "Oh ya? Syukurlah kalau nak Zhee suka," sahut ibu. "Bagaimana keadaan kandungan kamu pasti semakin berat ya apalagi tanpa seorang suami di sisi kamu," lanjutnya. "Keadaanku baik-baik saja, Bu. Memang sekarang lebih sering merasa capek saja," jawabku sedih. "Duduklah, Bu! Akan kubuatkan teh jahe buat ibu," lanjutku. "Darimana kamu tahu aku suka teh jahe?" tanya ibu. "Nggak sih, feeling saja," sahutku sambil tersenyum. Aku membuatkan teh jahe buat ibu. Sekalian menaruh makanan dari ibu di meja makan. "Ayo diminum, Bu?" aku mempersilahkannya. Dret
Read more

90. Pangeran Kecil Erkan Fuat

"Benarkah ini Pangeran?" tanyaku ragu."Ini aku, Zhee," jawabnya serak parau."Pangeran, aku menunggumu! Aku takut kamu melupakan aku dan pangeran kecil kita," ujarku menangis."Zhee, perutku sakit sekali. Aku pernah meminta kepada Allah agar rasa sakit saat melahirkan biarlah aku yang menanggungnya. Saat ini aku benar-benar kesakitan, Zhee. Apakah kamu kesakitan juga? Apakah pangeranku sudah waktunya lahir?" tanya Muzammil menahan tangis karena masih kesakitan."Pangeran, kita video call ya?" usulku."Iya, Zhee," jawab Muzammil semangat. "Tapi kamu jangan terkejut ya?" pesan Muzammil.Kini panggilan beralih ke panggilan video dan Hermin memberikan ponselnya kepadaku. Aku menerima panggilan Muzammil. Betapa terkejutnya aku melihat suamiku mengenakan baju kebesaran seorang sultan. Aku terperanjat, terpana seolah aku berhadapan dengan orang asing. Aura yang memancar karena kharismanya serta ketampanannya membuat aku hampir tidak mengenalinya l
Read more
PREV
1
...
67891011
DMCA.com Protection Status