Setelah Hema dan dokter pergi aku segera mengambil ponselku. Muzammil memastika bahwa aku aman tanpa kepergok Hema. Sesampai di kamar aku segera membuka rekaman itu dengan penasaran.
Pembicaraan rekaman:
Hema: "Katakan, berapa yang harus kubayar aku akan membayarmu, Dok."
Dokter: "Ini resiko besar, Putri. Kalau sampai tertangkap hukuman mati. Untuk resiko besar bayaran juga harus besar. Bayar aku dengan saham di perusahaan
"Aku berangkat pagi pakai jet kerajaan, Marwa. Kuharap kamu selalu memberi kabar kepadaku tentang maduku, kamu mengerti kan?" pinta Hema. (...) "Ada acara penobatan pangeran sebagai putra mahkota. Untung Zhee tidak diajak! Kalau diajak hancurlah suasana romantisku bersama pangeran," ujar Hema setengah berbisik. (...) "Maka itu tolong awasi dia terus, aku yakin suamimu akan mencuri kesempatan kalau tahu pangeran tidak ada di rumah," Hema menggoda. (... ) "Aku tidak tahu sampai kapan di Tukasha, terserah pangeran saja asal bersamanya dimanapun aku bahagia," jawab Hema. Tapi ingat semua rencana kita harus berhasil, aku mengandalkanmu, Marwa!" lanjutnya. ( ... ) "Sekalian pangeran juga mengurus usahanya di Tukasha. Udah dulu ya, ini mau berangkat!" pamit nya. Aku segera pergi begitu Hema selesai berbicara di telepon dengan Marwa. Takut ketahuan kalau aku sedang menguping. Begitu aku membalikkan badanku betapa terkej
Tengah malam ponselku bergetar, aku menatap layarnya ternyata Iqbal yang menelepon. Tapi aku sudah curiga ini pasti kalau bukan Marwa pasti Faruq. Tidak mungkin selarut ini Iqbal meneleponku. Tapi rasa penasaranku yang mendorong aku memberanikan diri mengangkat ya. "Assalamualaikum," sapaku. "Waalaikum salam, Sayang!" itu suara Faruq. Aku sedikit lega, karena bukan Marwa yang menelepon. Aku tercekam dengan ancaman-ancaman dan berbagai tekanan yang memojokkan aku. "Kamu lagi tidak bisa tidur ya? Kangen sama aku?" canda Faruq dengan percaya diri. "Aku sedang tidak ingin bercanda, Tuan muda," sahutku ketus. "Ih galak amat!" kata Faruq. "Ada apa malam-malam telepon, Tuan muda? Bagaimana kalau Nyonya tahu dia akan cemburu dan salah paham," tukasku. "Fahim, tidakkah kamu merindukan aku? Sekarang Muzammil mencampakkan kamu kan, padahal kamu sedang hamil besar. Kalau kamu mau aku akan datang untuk membahagiakanmu, Fahim?" ujar
Aku tidak bisa membayangkan seberapa gentingnya istana Tukasha sebenarnya. Tapi mendengar suara serak parau Muzammil bisa sedikit mengobati rinduku. Betapa hari-hari sesak menahan sakit cinta dan rindu. Menyekrol foto-foto kita bertiga di ponselku semakin membuatku tersiksa. Beberapa baju yang tergantung di kamar kubiarkan sebagai pengobat rinduku. Aroma tubuhnya masih bisa kucium, kupeluk bajunya dengan linangan air mata. Betapa beratnya dalam keadaan hamil dan jauh dari suami. Aku menghubungi Hermin dan mengajak bertemu setelah berbulan-bulan tidak bisa bertemu. Aku menceritakan permasalahan hidup yang menimpa aku dan Muzammil. "Aku kebetulan juga mau pulang ke Indonesia, Zhee. Ayahku sakit keras, aku tidak mau menyesal bila terjadi apa-apa dengan ayahku," kata Hermin. "Sekarang kita cari tiket, aku takut orang Tukasha keburu datang dan menemukan aku, Hermin. Kita harus gerak cepat!" usulku. "Ayo!" ajak Hermin menggandeng tanganku. "
Dengan tas punggung dan satu koper derek aku dan Hermin mulai menapak kaki di pelataran bandara. Setelah koper masuk bagasi aku dan Hermin mulai menuju pesawat. Semua seperti mimpi, aku bisa masuk pesawat untuk pulang ke Indonesia meskipun dengan nama Zhee Amalia dan berganti wajah. Sepuluh tahun lebih aku menginginkan detik-detik seperti ini. Tapi begitu terwujud justru hatiku sedih dan sakit. Meninggalkan Iqbal, anak yang kusayangi dengan segenap hidupku sangatlah menyakitkan. Pesawat perlahan mulai take off, debar-sebar dadaku saat pesawat mulai naik sangat menyiksaku. Apalagi aku dalam keadaan hamil besar, hanya dengan duduk lama sudah terasa tersiksa. Sebentar-sebentar pramugari berkeliling menawari minuman. Sebentar kemudian membagikan cemilan. Kini pesawat harus transit di Singapura untuk menuju ke Surabaya. Berganti hari kemudian pesawat landing di Surabaya. Begitu keluar pesawat sontak semua berubah dengan dratis. Aku menatap wajah-wajah orang
Aku mulai melatih diriku hidup sendiri, sekalipun ada ibu di sampingku aku tidak berharap banyak. "Kamu sudah masak, Nak Zhee? Ini ibu ada sedikit lauk buat kamu sayur lodeh lombok tempe, sama urap lauknya ikan asin. Maklum masakan desa cuma begituan," ujar ibu. "Wah itu kesukaanku, ibuku sering memasakan itu untukku. Terima kasih, Bu!" ucapku sambil mataku berkaca-kaca. "Oh ya? Syukurlah kalau nak Zhee suka," sahut ibu. "Bagaimana keadaan kandungan kamu pasti semakin berat ya apalagi tanpa seorang suami di sisi kamu," lanjutnya. "Keadaanku baik-baik saja, Bu. Memang sekarang lebih sering merasa capek saja," jawabku sedih. "Duduklah, Bu! Akan kubuatkan teh jahe buat ibu," lanjutku. "Darimana kamu tahu aku suka teh jahe?" tanya ibu. "Nggak sih, feeling saja," sahutku sambil tersenyum. Aku membuatkan teh jahe buat ibu. Sekalian menaruh makanan dari ibu di meja makan. "Ayo diminum, Bu?" aku mempersilahkannya. Dret
"Benarkah ini Pangeran?" tanyaku ragu."Ini aku, Zhee," jawabnya serak parau."Pangeran, aku menunggumu! Aku takut kamu melupakan aku dan pangeran kecil kita," ujarku menangis."Zhee, perutku sakit sekali. Aku pernah meminta kepada Allah agar rasa sakit saat melahirkan biarlah aku yang menanggungnya. Saat ini aku benar-benar kesakitan, Zhee. Apakah kamu kesakitan juga? Apakah pangeranku sudah waktunya lahir?" tanya Muzammil menahan tangis karena masih kesakitan."Pangeran, kita video call ya?" usulku."Iya, Zhee," jawab Muzammil semangat. "Tapi kamu jangan terkejut ya?" pesan Muzammil.Kini panggilan beralih ke panggilan video dan Hermin memberikan ponselnya kepadaku. Aku menerima panggilan Muzammil. Betapa terkejutnya aku melihat suamiku mengenakan baju kebesaran seorang sultan. Aku terperanjat, terpana seolah aku berhadapan dengan orang asing. Aura yang memancar karena kharismanya serta ketampanannya membuat aku hampir tidak mengenalinya l
Aku terperanjat ternyata ibu sudah berdiri dan mendengarkan semua monologku di depan pusara ayah."Jadi kecurigaanku selama ini benar bahwa kamu adalah Fahim," gumam ibu."Maafkan saya ibu, saya tidak tahu bagaimana cara saya meyakinkan ibu kalau saya adalah Fahim. Bahkan aku datang dengan keadaan hamil besar tanpa suami. Saya takut hanya akan membuat ibu malu," ujarku menjelaskan.Ibu menghampiriku dan memelukku dengan erat. Kami saling menangis mencurahkan rindu dan sayang."Aku sudah curiga, tapi apa daya wajah itu bukan wajah Fahim. Meskipun kebiasaannya dan sifat serta perilaku sama persis Fahim," gumam ibu."Maafkan Fahim, Ibu!" bisikku lirih."Ibu mengerti ketakutanmu, Sayang," jawab ibu. "Selama didekatmu, ibu sempat berhayal dan membayangkan kalau kamu adalah Fahim putri ibu," lanjut ibu menggumam.Akhirnya aku bersama ibu bersimpuh berlama-lama di depan pusara ayah. Seolah sekalian memamerkan Erkan di depan ayah."Fah
Sebuah taksi berhenti di depan rumahku. Saat itu aku dan Erkan sedang bermain-main di halaman depan rumah. Aku terkejut hati penasaran, siapakah gerangan? Tidak mungkin Hermin karena Hermin baru saja pulang ke Ponorogo naik motor. Sambil menggendong Erkan aku berjalan mendekati taksi. Pintunya terbuka dan keluarlah Iqbal. Seperti mimpi di siang bolong rasanya. Aku mengucek mataku berkali-kali seolah meyakinkan apa yang sedang kulihat. "Umiiii ...!" teriak Iqbal. Antara percaya dan tidak aku terus berjalan menghampiri Iqbal. Di sisi pintu yang lain terbuka dan keluarlah Faruq. Aku mencubit pipiku sendiri, saat aku merasakan sakit baru aku meyakini bahwa semua ini bukanlah mimpi. Iqbal berlari menghampiriku dan memeluk tubuhku dengan erat. Kami berdua bersamaan menangis, tidak menyangka semua ini terjadi, semua seperti mimpi. Kuciumi wajah tampan yang imut dan mungil itu dengan air mata haru. "Berikan adikku padaku, Umi!" pinta Iqbal.
Ternyata orang yang sangat kucintai menusukku dari belakang. Diam-diam dia akan mengambil Erkan dariku. Pandainya dia bersandiwara seolah dia adalah pahlawanku, pelindungku juga anak-anak. Ternyata dia ular yang berbisa. Semenjak aku mendengar telepon dari Hema itu aku harus lebih hati-hati kepada Muzammil."Faruq, berikan Erkan kepadaku!" pinta Muzammil kepada Faruq.Dengan suka hati Faruq memberikannya kepada Muzammil. Aku menatapnya dengan kecewa, "harusnya kamu menjaganya, Pangeran, bukannya malah akan menculiknya," batinku."Aku akan menyuapinya, Pangeran," kataku."Suapi saja biar kugendong," usul Muzammil.Tanpa berontak terpaksa aku menyuapi Erkan yang dalam gendongan Muzammil. Sambil bergurau riang menghibur Erkan agar mudah makan. Aku melihat Faruq terpaku menatapku, perasaan canggung mulai menghinggapiku."Assalamualaikum ...?" sapa Marwa yang tiba-tiba muncul di depan kami."Waalaikum salam," jawab kami bersamaan."Marwa?" panggil Faruq terkejut."Nyonya Marwa?" panggilku
Muzammil terkejut ternyata yang menelepon pengawal istana dan mengabarkan hasil penyelidikannya. Ternyata benar wanita yang aku curigai itu adalah Marwa. Berarti Marwa ada di Indonesia? Apa yang dilakukan di negaraku? Apa karena Faruq dan Iqbal belum pulang ke Inagara? Apakah Marwa sudah tahu kalau Faruq sedang sakit? Kalau benar dia sudah tahu tapi kenapa masih mengejar-ngejar Faruq? Apa itu artinya cinta Marwa tulus kepada Faruq? Faruq tidak boleh menyia-nyiakan ketulusan hati seorang istri. Aku tahu Marwa begitu membenciku karena rasa cemburunya yang begitu buta karena takut kehilangan Faruq. Tapi kalau ternyata dia belum mengetahui kalau Faruq sedang sakit, apa yang akan terjadi bila akhirnya dia tahu? Apakah dia akan meninggalkannya?"Awasi terus jangan sampai kehilangan jejak!" perintah Muzammil kepada pengawal istana kemudian menutup teleponnya."Ternyata feeling kamu benar, dia adalah Marwa," gumam Muzammil."Aku takut, Pangeran!" ujarku lirih.Muzammil segera memelukku, hang
Aku sudah kembali ke rumah, betapa bahagianya melihat Iqbal dan Erkan serta adik barunya bermain dengan rukunnya.. Gadis yang manis itu akan aku adopsi dengan nama Naura. Sepertinya itu nama yang cantik dan cocok buat dia. Aku dan Muzammil menemani mereka bermain di teras rumah."Iqbal suka punya adik cantik dan manis seperti dia?" tanyaku kepada Iqbal."Suka, Umi," jawab Iqbal. "Aku senang tinggal di sini, Umi, rasanya tidak ingin kembali ke Inagara," gumamnya."Kasihan abi juga opa dan oma, Sayang," hiburku."Nanti Iqbal akan semakin sering bertemu dengan mereka, jangan khawatir!" Muzammil juga menghiburnya."Iqbal sayang kan sama adik-adik?" tanyaku."Iya Umi, aku sayang banget sama adik-adikku, mereka imut," sahut Iqbal. "Sekarang adikku ada dua iya kan, Abi?" lanjutnya bertanya Muzammil."Iya, ada dua, kamu mau nambah lagi?" kelakar Muzammil."Ih apaan sih, Pangeran, mereka masih kecil-kecil repot tahu?" selaku berbisik sambil mencubit lengan Muzammil."Auh sakit, Zhee!" tawa Muz
Aku segera membacanya, betapa terkejutnya hatiku membaca isinya. Ibu menginginkan aku menikah dan bahagia dengan Faruq. Karena di depan matanya Faruq banyak melakukan pengorbanan dan selalu melindungiku. Ibuku menyaksikan sendiri betapa besar cinta Faruq untukku. Sementara dengan Muzammil dia belum pernah bertemu. Meskipun Muzammil seorang sultan dari Kerajaan Tukasha ternyata tidak membuat ibuku silau dengan pangkat dan derajat."Apa isinya, Zhee?" tanya Muzammil yang ikut mengamati surat itu."Bukan apa, Pangeran," jawabku. "Untung kamu tidak mengerti bahasanya," pikirku dalam hati."Kita lihat ibuku, kamu belum pernah melihat ibu kan?" kataku sambil menggandeng tangan Muzammil mencari jenazah ibu di baringkan.Dengan penasaran dia mengikutiku menuju ruang tengah. Aku melihat jenazah ibu sudah dimasukkan keranda. Akhirnya paman dan beberapa orang membantu membuka keranda itu agar aku bisa melihatnya untuk terakhir kalinya."Jangan menangis, Fahim, jangan sampai air matamu menetes di
Entah apa yang sedang kupikirkan, tiba-tiba saja aku balik kanan dan berlari sambil menggendong Erkan. Tanpa berpikir lagi Muzammil sedang di sisiku. Juga hampir lupa bahwa Erkan sedang dalam gendonganku. "Zhee!" teriak Muzammil memanggilku. Aku tidak menggubrisnya lagi, yang ada di otakku wajah Faruq yang melemah dan butuh dukungan orang yang dicintainya. Tanpa terasa aku sudah berdiri di depan pintu ruang dokter spesialis kanker atau Dokter Onkologi. Tanpa ragu aku menerobos masuk. "Nyonya, ada apa ini?" hardik perawat spontan. Aku tidak peduli, aku terus masuk hingga akhirnya menerobos ruang periksa dokter. "Siapa dia, Tuan?" tanya dokter dalam bahasa Inggris. "Dokter, bagaimana keadaannya?" sahutku panik. "Apa dia istrimu, Tuan?" tanya dokter lagi. "Saya keluarganya, Dok," jawabku. "Kebetulan, Nyonya, silakan duduk!" perintah dokter. "Hanya dukungan keluarga yang paling dibutuhkan. Satu-satunya jalan dia harus kemoterapi, Nyonya, tapi Tuan Faruq menolaknya," ujar dokter
Aku dan Faruq terbelalak kaget tidak mengira Muzammil tiba-tiba muncul. Dan kami tidak siap jawaban dengan pertanyaan itu. Aku dan Faruq saling berpandangan. Ada rasa tidak nyaman dengan kehadiran Muzammil terpancar di wajah Faruq."Ada apa kalian? Kenapa kelihatan tegang seperti itu?" tanya Muzammil sok polos."Penyusup itu, dia ... dia ... meninggal," ujarku pelan dan terbata-bata."Bagaimana bisa? Bukankah sebelumnya dia baik-baik saja?" tanya Muzammil heran. "Bagaimana bisa dengan tiba-tiba dia meninggal?" lanjutnya."Pura-pura!" sahut Faruq menggumam lirih."Maksudmu?" bentak Muzammil heran.Sontak mataku memberi isyarat agar Faruq bisa menahan diri. Belum saatnya kita membongkar kejahatan ini karena bukti belum jelas. Akhirnya Faruq pun menahan diri. Muzammil hendak membuka pintu ruang penyusup itu dirawat tapi perawat lebih dulu membuka pintu dan keluar membawa jenazah pindah ke kamar mayat."Mana mungkin? Dia satu-satunya harapan kita untuk mengungkapkan misteri kejahatan ini?
Muzammil menarik tanganku dan mengajak ke ruang keamanan. Aku hanya pasrah dan mengikutinya bahkan Faruq pun mengikuti kami berdua. "Jaga kamar anak-anakku, Burhan, jangan sampai kecolongan lagi!" pesan Muzammil sambil mempercepat langkahnya menyempatkan menghubungi bodyguard yang menjaga kamar Iqbaal dan Erkan. "Aku takut anak-anak dalam masalah, Pangeran!" sahutku. "Atau biar aku yang menunggu mereka, Zammil?" usul Faruq. "Iya, Faruq, tolong!" jawab Muzammil. Akhirnya Faruq berhenti sejenak karena terlalu lemah fisiknya, dan kami pun juga berhenti mengikuti Faruq. "Kamu baik-baik saja, Faruq?" tanya Muzammil. "Aku hanya capek," jawabnya singkat dibalik napasnya yang berpacu. "Pangeran, bolehkah aku mengantar Tuan muda ke kamarnya? Kasihan dia pucat sekali," pintaku dengan pelan agar pangeran tidak cemburu. Aku melihat dia sedang berpikir, aku tidak tahu apa yang ada dalam otaknya.Tapi aku lebih kasihan melihatnya tampak kesakitan dan melemah. "Tidak perlu, Fahim, aku tidak
Kita bertiga mendatangi kamar dimana penyusup itu dirawat. Dia masih belum sadarkan diri. Di depan pintu masuk ada empat bodyguard sedang berjaga."Dia sepertinya orang Indonesia, Fahim," gumam Faruq lirih. "Betul, Tuan muda," jawabku setuju dengan pendapat Faruq. "Tapi untuk siapa dia bekerja, apa salahku?" lanjutku meruntuk. "Kita tidak mengenalnya, bahkan aku dan ibu tidak punya musuh di sini," lanjutku sambil mengingat-ingat.Tiba-tiba dokter datang bersama perawat untuk memeriksa pasien."Pak Faruq, kenapa bapak tidak istirahat malah jalan-jalan kemari," tanya dokter begitu bertemu Faruq sedang berada di kamar pasien lain."Iya Dokter, sebentar lagi saya kembali ke kamar," jawab Faruq."Dokter Farid yang menangani anda adalah dokter terkenal di Indonesia, semoga bisa membantu masalah anda, Pak Faruq," kata dokter Bagus."Amiin," sahut Faruq dan Muzammil bersamaan."Bagaimana keadaan pasien ini, Dok?" tanya Muzammi."Keadaannya sudah stabil, dia akan segera sadar," kata dokter op
Tiba-tiba dokter dan perawat gadungan itu keluar dari kamar sambil menggendong paksa Erkan. Dia menconcongkan pistol ke kepala Erkan mengancam kalau kita mengadakan perlawanan maka peluru itu akan menebus kepala Erkan. "Apa yang kalian inginkan sebenarnya? Kenapa harus menghukum bayi yang tidak berdosa? Kalau urusan kalian kepadaku atau pangeran ayo kita selesaikan kita bicara," usulku. Dua orang penjahat itu tidak merespon justru semakin kelihatan garang. Mereka semakin lari menjauh mencari jalan keluar. Yang membuat aku penasaran apa yang mereka inginkan. Kenapa selalu ingin menculik Erkan? Aku ingin lari mengikutinya, tapi sontak Muzammil menarik tanganku dan menghentikanku. "Tenangkan hatimu, Zhee!" pinta Muzammil. "Bagaimana bisa tenang, anakku dalam bahaya? Setelah hilang beberapa hari kini harus diculik lagi," tangisku menggerutu. "Dia sudah mulai berjalan keluar rumah sakit, awasi dan ikuti terus jangan sampai kehilangan jejak!" perinta Muzammil lewat telepon kepada sese