Home / Romansa / Dewa / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Dewa: Chapter 11 - Chapter 20

67 Chapters

Adakah Makna Cinta?

Bukan masalah heboh atau tidaknya. Tapi itu masalah anak jalanan yang bernaung atap kardus di pinggiran sana. Kalau hujan mana bisa atap kardus menaungi tubuh mereka dengan kehangatan. Mereka bisa kedinginan dan lebih mengenaskan lagi rumah mereka akan roboh. Oh tidak... hati Dewa perih sangat. Rasanya dia ingin kembali ke tempat Ovan dan kawan-kawan untuk mengajaknya ikut bersama tinggal di rumahnya yang megah. Tapi apa bisa, kakinya saja seolah tak mampu menopang berat tubuhnya yang tak seberapa.  "Intan, Ovan, Caca... " katanya lirih dengan tatapan menerawang. "Maksudmu?" Chika tak mengerti.  "Ah tidak, aku mau pulang," dia lalu menghempaskan tubuh Chika. Pintu dibuka. Dia keluar, sejenak langkahnya terhenti. Berdiri termenung menatap rintikan hujan yang nampak karena sorotan cahaya lampu. Gelap merajai malam. Mendung pun merajut pandang.  "Ya Tuhan, ini benar-benar hujan, bagaimana dengan mereka?" &n
Read more

Sial!

Tubuh Dewa lunglai. Badannya bertambah sakit. Pandangannya buyar-buyar samar. Dia diam saja, Chika yang berkali-kali bertanya sesuatu, tak kunjung dijawabnya. Tubuhnya lemah seringan kapas. Di tanjakan Maduretno, tetangga kampung Kaliangkrik. Tepatnya di depan sekolahan SMPnya dulu, Dewa hampir terpelanting jatuh ke jalan raya. Udara dingin dari air hujan, membuat penderitaannya semakin bertambah. Shiiiiittttt...! Chika mengerem mendadak, mengetahui Dewa yang sudah dalam keadaan miring. "Dewa, kamu pegangan dong! Nanti kamu masuk rumah sakit!" seru Chika. "Kepalaku sakit banget, Chik!" pekik Dewa dengan suara parau. "Makanya kamu pegangan nanti kalau jatuh gimana?"  Dewa memeluk tubuh Chika. Terasa hangat dan aneh. Tentu karena selama ini dia belum pernah memeluk orang. Ibunya saja jarang dipeluknya. Perasaan aneh menjalar di sekujur tubuhnya. Ah entahlah! Dewa tak memusingkan masalah itu.  "Ini
Read more

Mekarnya Mawar

  Meninggalkan Magelang kota seribu bunga adalah hal terburuk dalam waktu Mawar. Sanubarinya terbelenggu luka yang teramat getir. Pekerjaan seks bukanlah dambaannya dari dulu, walau hasilnya selalu memukau mata, tapi itu adalah sebuah pilihan. Kalau tidak bagaimana dia menyekolahkan adiknya sementara ayah dan ibunya telah meninggal dunia. Dia kini menjadi tulang punggung untuk adiknya, sebenarnya Mawar bukan anak jalanan, dia memiliki tempat tinggal yang cukup lumayan, ketimbang anak jalanan. Rumah gubuk Mawar ada di kampung sana. Lumayan jauh dari komplek gelandangan. Dia rela tidur di atap kardus, asalkan adiknya tidak tahu kalau selama ini dia melacur. Setahu adiknya, dia sedang kerja di luar kota. Adiknya sendiri kini baru duduk di kelas tiga SMP, tentunya sebentar lagi akan mengupas kantong sakunya secara besar-besaran, untuk membiyayai keperluan ujian, dan acara perpisahan, atau pun rekreasi.  Tragis lagi perasaan hatinya, kenapa pula ada ja
Read more

Intan

Di atas awan melanju tanpa arah, begitu rupa dengan beberapa anak jalanan yang tengah melangkah menembus kegelapan menghindari terpaan embun Tuhan. Rumah mereka roboh, tak lagi mampu melindungi mimpi mereka dalam kelamnya kegelapan. Tubuh yang letih itu, kini ditatih menyusuri bermeter-meternya jalan yang masih terpeciki airmata langit. Badan mereka bermandikan air. Intan menggendong Caca, Ovan memapah Enggar yang semakin melemah, sementara Agus menggendong karung-karung berisi bantal dan baju-baju mereka. Mereka terus melaju tanpa tahu kemanakah mereka akan menepi.  Tuhan menciptakan langit berhiaskan keindahan dan kesedihan. Jika bintang dan rembulan datang, tentunya pesolek wajah jubah biru di atas sangatlah menakjubkan, tapi kala kabut, petir, hujan menghantam, apalagi kalau bukan ketakutan dan kedengkian yang menjelang. Tuhan maha adil, tentunya Ia menciptakan sesuatu itu dengan saling berpasang-pasangan. Hal itu diyakini oleh para anak jalanan tersebut. Mungk
Read more

Pemimpin Kancil

 "Pangeran itu selalu memerhatikan rakyatnya, dari sandang dan pangan serta pendidikan, kesemuanya terpenuhi dengan baik. Tidak ada kerusuhan dan pemberontakan, ketika pangeran bijaksana itu memerintah. Kesemua rakyat pun sangat mencintainya. Namun... beberapa tahun kemudian, datang kancil-kancil busuk yang menjijikkan. Mereka menggerogoti harta pangeran, ketenangan rakyat pun menjadi gusar. Semenjak itu negara kita menjadi awut-awutan." "Terusin Kak, terusin Kak..." seru Caca dengan bertepuk tangan. Ovan tersenyum sinis, sementara Agus malah sudah terlelap dengan balutan mimpinya. "Setahun kemudian, negara kita diperintah oleh kancil-kancil itu. Pangeran sakit parah, akhirnya dia meninggal. Negara kita pun menangis darah, rakyat dilanda kesedihan yang tak kunjung berhenti. Bagaimana tidak, pangeran yang dikenal bijak dan bisa memberi kesejahteraan kepada rakyat itu, kini malah pergi meninggalkan mereka ke surga, sementara negara kita sedang dikuasai o
Read more

Esok Kelabu

Daun flamboyan yang ada di halaman rumah Dewa telah kembali menyimpan embun. Tetes-tetes air pagi itu menjatuhi bumi, dari satu daun ke dedaunan yang lainnya. Ayam jago milik tetangga saling berkokok. Derap langkah kaki renta telah sedari tadi pulang dari surau sebelah. Seekor burung bertengger di ranting pohon nangka mematuk ulat bercat hijau. Hewan piaraan kampung saling bergongong meminta jatah makan. Sang petani pun menatih langkah menuju sawah.  Nyonya Finda telah bangun dari tadi shubuh. Seperti biasanya sebelum berangkat kerja ke kota, beliau tak lupa melaksanakan rutinitas istana yang seolah telah menjadi kewajibannya. Barang ditinggal sehari saja, akan berantakan, jika rutinitas itu dicampakkan. Sebelum mengetuk daun pintu kamar putra termalasnya, beliau membersihkan debu-debu ruangan. Menyedotnya dengan sanyo, atau mencumbu tubuh marmer dengan kain pel, beserta sahabatnya cairan superpell. Usainya, masakan di dapur harus disajikan. Tak lupa menyiram tanam
Read more

Bangun Tidur

Tempat bernaung saja beratap langit, apalagi sekolah. Nampaknya bisa disebut mustahil. Kali ini dia duduk di kasurnya. Celingak-celinguk sembari menggagapi permukaan kasurnya. Ada benda yang dicari. Kamera, oh ya, kamera Cannon SLRnya di mana? Dia panik. Langsung loncat ke bawah ranjang. Mengintip kolong ranjang. Oh tak ada, di depan pintu semalam dia bersandar juga tidak ada. Lantas? Dia melangkah menuju tikar yang dilembar di bawah, sejenak dia jongkok. Mengobrak-abrik buku dan alat-alat belajar yang ada di atas meja depan tikar itu. Oh tidak ada juga. Di mana?  "Di mana kameraku? Jangan bilang hilang! Itu benda berharga milikku, jangan bilang hilaaaannnnggggg!!!!" jeritnya lalu mengacak-acak rambutnya. Pening pun semakin menyekat. Dia membanting tubuhnya lagi ke kasur. Nampaknya dia telah pesimis menjelajahi ruang sempit itu untuk mencari benda berharganya. Masih ada tempat lain yang membuatnya optimis, rumah Chika atau pun penjual makanan kemarin. Tapi tampakny
Read more

Harga Diri

Pagi itu Mawar diantar menuju kontrakan teman Zafan. Untunglah jaraknya tidak terlalu jauh, jadi cepat sampai. Wajah Mawar layu dan kusam. Dia bahkan belum sempat mandi dan mencuci muka, Zafan sudah membangunkannya, dengan tergesa-gesa lalu langsung menarik tangannya.  "Kenapa keburu-buru banget sih, gue masih ngantuk!" "Kalau temanku sudah sampai kontrakan dan kamu belum sampai di sana, aku bisa kena marah," kata Zafan panik sambil terus mengemudi tanpa menoleh. Mawar mengambil beberapa alat kecantikan dari dalam tasnya. Sejenak bibirnya dipoles lipstik, pipinya ditaburi bedak agar tak terkesan habis bangun tidur. Tak lupa maskara, aisido, dan yang lainnya. Parfume disemprotkan di tubuhnya.  "Kau ini sudah cantik, tanpa harus memakai make-up, Mawar." Puji Zafan. "Semua lelaki bermata keranjang juga akan bilang seperti itu," timpal Mawar. "Tapi aku beda dengan yang lain," Zafan coba membela diri. 
Read more

Penantian

Chika bolak-balik di depan rumahnya. Berkali-kali dia lirik jalan masuk ke rumahnya. Tak ada sosok yang ditunggunya. Bukan hanya satu kali dia mengirim sms kepada Dewa, sayangnya tak pernah ada balasan. Hatinya pun menjadi gelisah. Kekhawatiran berkecamuk di dalam dadanya. Dia takut kalau Dewa sampai tidak sekolah lagi dan waktunya akan hampa kembali. Jam menunjukkan pukul setengah tujuh tepat, belum ada langkah kaki Dewa untuk mengambil sepedanya. Sebenarnya ada apa dengan anak itu? Sepeda Dewa telah dicucikannya tadi subuh. Harapannya esok itu Dewa datang untuk mengambilnya serta mau mengajaknya berangkat bareng naik sepeda sampai sekolahan. Tak dihiraukan terlambat atau tidak, yang penting bisa naik sepeda bareng dengan Dewa. Impian itu nampaknya akan sia-sia. Dewa tak kunjung datang, dia pun hanya bisa menggerutu kesal bersama rasa kecewanya. Sekali dia lirik hapenya, berharap ada jawaban dari sms Dewa. Tidak ada juga. 'Anak itu masih tidur atau apa sih? Kenapa smsk
Read more

Penderitaan Palsu

Dewa membuka retinanya, dia lirik jam dinding yang ada di atas kepalanya. Waktu mengatakan bahwa Nyonya Finda telah berangkat kerja. Dia pun langsung loncat dari kamarnya untuk mencari makanan. Untunglah Nyonya Finda tetap perhatian, mau memasakkan kepadanya. Oh kasih ibu memang sepanjang masa. Sekesal-kesalnya ibu beliau tidak akan pernah menerlantarkan anaknya sampai kelaparan. Lahap sekali Dewa mencernanya. Dia menghabiskan dua potong roti tawar berlapis selai strowbery, sepiring nasi beserta tiga lauk paha ayam dan sayur sopnya. Masih banyak sayur yang lainnya namun dia tidak suka. Cukup sop dan paha goreng saja. Setelah merasa kenyang naik kembali ke lantai dua. "Kenyangnya..." celoteh Dewa sambil memegangi perutnya.  Tidak sengaja pandangannya tertuju pada hapenya yang tergeletak layu di atas kasur. Dari kemarin dia tidak pegang hape. 'Ada sms masuk atau tidak ya?' Gumam Dewa lalu mengambilnya. Sejenak dia duduki tumpukan kapuk tuanya. Matanya me
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status