Bukan masalah heboh atau tidaknya. Tapi itu masalah anak jalanan yang bernaung atap kardus di pinggiran sana. Kalau hujan mana bisa atap kardus menaungi tubuh mereka dengan kehangatan. Mereka bisa kedinginan dan lebih mengenaskan lagi rumah mereka akan roboh. Oh tidak... hati Dewa perih sangat. Rasanya dia ingin kembali ke tempat Ovan dan kawan-kawan untuk mengajaknya ikut bersama tinggal di rumahnya yang megah. Tapi apa bisa, kakinya saja seolah tak mampu menopang berat tubuhnya yang tak seberapa.
"Intan, Ovan, Caca... " katanya lirih dengan tatapan menerawang.
"Maksudmu?" Chika tak mengerti.
"Ah tidak, aku mau pulang," dia lalu menghempaskan tubuh Chika. Pintu dibuka. Dia keluar, sejenak langkahnya terhenti. Berdiri termenung menatap rintikan hujan yang nampak karena sorotan cahaya lampu. Gelap merajai malam. Mendung pun merajut pandang.
"Ya Tuhan, ini benar-benar hujan, bagaimana dengan mereka?"
&n
Tubuh Dewa lunglai. Badannya bertambah sakit. Pandangannya buyar-buyar samar. Dia diam saja, Chika yang berkali-kali bertanya sesuatu, tak kunjung dijawabnya. Tubuhnya lemah seringan kapas. Di tanjakan Maduretno, tetangga kampung Kaliangkrik. Tepatnya di depan sekolahan SMPnya dulu, Dewa hampir terpelanting jatuh ke jalan raya. Udara dingin dari air hujan, membuat penderitaannya semakin bertambah.Shiiiiittttt...! Chika mengerem mendadak, mengetahui Dewa yang sudah dalam keadaan miring."Dewa, kamu pegangan dong! Nanti kamu masuk rumah sakit!" seru Chika."Kepalaku sakit banget, Chik!" pekik Dewa dengan suara parau."Makanya kamu pegangan nanti kalau jatuh gimana?"Dewa memeluk tubuh Chika. Terasa hangat dan aneh. Tentu karena selama ini dia belum pernah memeluk orang. Ibunya saja jarang dipeluknya. Perasaan aneh menjalar di sekujur tubuhnya. Ah entahlah! Dewa tak memusingkan masalah itu."Ini
Meninggalkan Magelang kota seribu bunga adalah hal terburuk dalam waktu Mawar. Sanubarinya terbelenggu luka yang teramat getir. Pekerjaan seks bukanlah dambaannya dari dulu, walau hasilnya selalu memukau mata, tapi itu adalah sebuah pilihan. Kalau tidak bagaimana dia menyekolahkan adiknya sementara ayah dan ibunya telah meninggal dunia. Dia kini menjadi tulang punggung untuk adiknya, sebenarnya Mawar bukan anak jalanan, dia memiliki tempat tinggal yang cukup lumayan, ketimbang anak jalanan. Rumah gubuk Mawar ada di kampung sana. Lumayan jauh dari komplek gelandangan. Dia rela tidur di atap kardus, asalkan adiknya tidak tahu kalau selama ini dia melacur. Setahu adiknya, dia sedang kerja di luar kota. Adiknya sendiri kini baru duduk di kelas tiga SMP, tentunya sebentar lagi akan mengupas kantong sakunya secara besar-besaran, untuk membiyayai keperluan ujian, dan acara perpisahan, atau pun rekreasi.Tragis lagi perasaan hatinya, kenapa pula ada ja
Di atas awan melanju tanpa arah, begitu rupa dengan beberapa anak jalanan yang tengah melangkah menembus kegelapan menghindari terpaan embun Tuhan. Rumah mereka roboh, tak lagi mampu melindungi mimpi mereka dalam kelamnya kegelapan. Tubuh yang letih itu, kini ditatih menyusuri bermeter-meternya jalan yang masih terpeciki airmata langit. Badan mereka bermandikan air. Intan menggendong Caca, Ovan memapah Enggar yang semakin melemah, sementara Agus menggendong karung-karung berisi bantal dan baju-baju mereka. Mereka terus melaju tanpa tahu kemanakah mereka akan menepi.Tuhan menciptakan langit berhiaskan keindahan dan kesedihan. Jika bintang dan rembulan datang, tentunya pesolek wajah jubah biru di atas sangatlah menakjubkan, tapi kala kabut, petir, hujan menghantam, apalagi kalau bukan ketakutan dan kedengkian yang menjelang. Tuhan maha adil, tentunya Ia menciptakan sesuatu itu dengan saling berpasang-pasangan. Hal itu diyakini oleh para anak jalanan tersebut. Mungk
"Pangeran itu selalu memerhatikan rakyatnya, dari sandang dan pangan serta pendidikan, kesemuanya terpenuhi dengan baik. Tidak ada kerusuhan dan pemberontakan, ketika pangeran bijaksana itu memerintah. Kesemua rakyat pun sangat mencintainya. Namun... beberapa tahun kemudian, datang kancil-kancil busuk yang menjijikkan. Mereka menggerogoti harta pangeran, ketenangan rakyat pun menjadi gusar. Semenjak itu negara kita menjadi awut-awutan.""Terusin Kak, terusin Kak..." seru Caca dengan bertepuk tangan. Ovan tersenyum sinis, sementara Agus malah sudah terlelap dengan balutan mimpinya."Setahun kemudian, negara kita diperintah oleh kancil-kancil itu. Pangeran sakit parah, akhirnya dia meninggal. Negara kita pun menangis darah, rakyat dilanda kesedihan yang tak kunjung berhenti. Bagaimana tidak, pangeran yang dikenal bijak dan bisa memberi kesejahteraan kepada rakyat itu, kini malah pergi meninggalkan mereka ke surga, sementara negara kita sedang dikuasai o
Daun flamboyan yang ada di halaman rumah Dewa telah kembali menyimpan embun. Tetes-tetes air pagi itu menjatuhi bumi, dari satu daun ke dedaunan yang lainnya. Ayam jago milik tetangga saling berkokok. Derap langkah kaki renta telah sedari tadi pulang dari surau sebelah. Seekor burung bertengger di ranting pohon nangka mematuk ulat bercat hijau. Hewan piaraan kampung saling bergongong meminta jatah makan. Sang petani pun menatih langkah menuju sawah.Nyonya Finda telah bangun dari tadi shubuh. Seperti biasanya sebelum berangkat kerja ke kota, beliau tak lupa melaksanakan rutinitas istana yang seolah telah menjadi kewajibannya. Barang ditinggal sehari saja, akan berantakan, jika rutinitas itu dicampakkan. Sebelum mengetuk daun pintu kamar putra termalasnya, beliau membersihkan debu-debu ruangan. Menyedotnya dengan sanyo, atau mencumbu tubuh marmer dengan kain pel, beserta sahabatnya cairan superpell. Usainya, masakan di dapur harus disajikan. Tak lupa menyiram tanam
Tempat bernaung saja beratap langit, apalagi sekolah. Nampaknya bisa disebut mustahil. Kali ini dia duduk di kasurnya. Celingak-celinguk sembari menggagapi permukaan kasurnya. Ada benda yang dicari. Kamera, oh ya, kamera Cannon SLRnya di mana? Dia panik. Langsung loncat ke bawah ranjang. Mengintip kolong ranjang. Oh tak ada, di depan pintu semalam dia bersandar juga tidak ada. Lantas? Dia melangkah menuju tikar yang dilembar di bawah, sejenak dia jongkok. Mengobrak-abrik buku dan alat-alat belajar yang ada di atas meja depan tikar itu. Oh tidak ada juga. Di mana?"Di mana kameraku? Jangan bilang hilang! Itu benda berharga milikku, jangan bilang hilaaaannnnggggg!!!!" jeritnya lalu mengacak-acak rambutnya. Pening pun semakin menyekat. Dia membanting tubuhnya lagi ke kasur. Nampaknya dia telah pesimis menjelajahi ruang sempit itu untuk mencari benda berharganya. Masih ada tempat lain yang membuatnya optimis, rumah Chika atau pun penjual makanan kemarin. Tapi tampakny
Pagi itu Mawar diantar menuju kontrakan teman Zafan. Untunglah jaraknya tidak terlalu jauh, jadi cepat sampai. Wajah Mawar layu dan kusam. Dia bahkan belum sempat mandi dan mencuci muka, Zafan sudah membangunkannya, dengan tergesa-gesa lalu langsung menarik tangannya."Kenapa keburu-buru banget sih, gue masih ngantuk!""Kalau temanku sudah sampai kontrakan dan kamu belum sampai di sana, aku bisa kena marah," kata Zafan panik sambil terus mengemudi tanpa menoleh. Mawar mengambil beberapa alat kecantikan dari dalam tasnya. Sejenak bibirnya dipoles lipstik, pipinya ditaburi bedak agar tak terkesan habis bangun tidur. Tak lupa maskara, aisido, dan yang lainnya. Parfume disemprotkan di tubuhnya."Kau ini sudah cantik, tanpa harus memakai make-up, Mawar." Puji Zafan."Semua lelaki bermata keranjang juga akan bilang seperti itu," timpal Mawar."Tapi aku beda dengan yang lain," Zafan coba membela diri. 
Chika bolak-balik di depan rumahnya. Berkali-kali dia lirik jalan masuk ke rumahnya. Tak ada sosok yang ditunggunya. Bukan hanya satu kali dia mengirim sms kepada Dewa, sayangnya tak pernah ada balasan. Hatinya pun menjadi gelisah. Kekhawatiran berkecamuk di dalam dadanya. Dia takut kalau Dewa sampai tidak sekolah lagi dan waktunya akan hampa kembali. Jam menunjukkan pukul setengah tujuh tepat, belum ada langkah kaki Dewa untuk mengambil sepedanya. Sebenarnya ada apa dengan anak itu?Sepeda Dewa telah dicucikannya tadi subuh. Harapannya esok itu Dewa datang untuk mengambilnya serta mau mengajaknya berangkat bareng naik sepeda sampai sekolahan. Tak dihiraukan terlambat atau tidak, yang penting bisa naik sepeda bareng dengan Dewa. Impian itu nampaknya akan sia-sia. Dewa tak kunjung datang, dia pun hanya bisa menggerutu kesal bersama rasa kecewanya. Sekali dia lirik hapenya, berharap ada jawaban dari sms Dewa. Tidak ada juga. 'Anak itu masih tidur atau apa sih? Kenapa smsk
Satu bulan berlalu setelah kejadian itu. Ke enam sahabat sama sekali tidak ada yang keluar rumah bahkan berangkat kuliah. Anak jalanan sering meratap dan menangis di bawah rembulan. Mawar sendiri juga ikut terdiam dengan kesedihannya antara dilema cinta yang pahit. Mengingat kondisi janinnya yang akan terkena HIV AIDS juga, serta keadaan Dewa yang tak kunjung membawa kabar indah.Untunglah waktu berbudi baik, tak mau membuat Dewa terluka berlama-lama. Sebulan penuh dia tersungkur dalam pembaringan. Bangkit dengan sisa keterkejutannya mendengar bahwa Reihan meninggal. Langsung airmatanya terjun. Dadanya sesak dicambuk kepedihan. Dewa menangis di ranjang rumah sakit. Nyonya Finda mendekapnya erat-erat."KAK REIHAAANNN!! KAK REIHAN, BU! KAK REIHAN DI MANA???" jeritnya membuat suasana semakin menyesakkan. Nyonya Finda tak kuasa menahan airmata."Sabar, Nak." Nasihat Nyonya Finda seraya mengelus ubun kepala Reihan.&nb
Satu Minggu berlalu. Mereka sudah sama-sama mendaftar di universitas yang sama, pada tanggal yang sama, waktu yang sama, keberangkatan yang sama, hanya jurusannya saja yang berbeda.Kala itu langit mendung. Nyonya Finda sedang memasak di dapur. Dewa duduk termenung di balkon depan kamarnya. Dia menatap bintang yang tidak tampak. Dia mengingat Chika dengan senyuman manis. Gadis itu membuat hatinya jatuh dalam kegelapan cinta. Suatu saat nanti kalau impiannya sudah tercapai dan kuliahnya selesai. Dia ingin langsung melamar Chika untuk memberi kejutan. Akan sangat menyenangkan masa depannya. Sekali lagi waktu pertegas bahwa mimpinya adalah ingin menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa serta mencerdaskan anak jalanan. Dia ingin menaunginya. Selamanya. Dan sekarang setidaknya mimpi itu sudah kelihatan berjalan.Praanngg...lamunanya buyar. Suara gelas pecah mencium lantai dari kamar sebelah. Yah kamarnya Reihan. Ada apa? Napas Dewa langsung se
Keesokan harinya dia mengkopi surat yang ditulisnya itu. Dia lalu mengirimkannya ke sekolahan SD ketika berangkat ke perkampungan kumuh. Setiap didapati sekolahan, dia berhenti dan menitipkan surat itu kepada satpam agar disampaikan ke Kepala Sekolah dengan segera. Setiap mengulurkan surat itu, dia berkata keras-keras SEGERA. SEGERA PAK. NGGAK PAKAI LAMA! Satpam pun hanya menggeleng-geleng.Dewa memang anak yang bertekad baja. Keinginannya tidak pernah bisa diganggugugat. Apalagi jika ada yang sampai bisa mengalahkan watak keras kepalanya. MUSTAHIL. Ada yang pernah mencoba tapi selalu gagal.Sampai di perkampungan kumuh alias perumahan kardus. Mata Dewa berkedip-kedip. Anak-anak jalanan sudah tertata rapi dan belajar seperti kemarin. Mereka malah tampak lebih semangat. Sesekali terdengar suara tawa yang menggelegar karena banyolan Den...eih itu siapa? Den? Dendi??"SUPRAISE!!!" jerit Chika dan ketiga kawannya, Edvin, Rivani, Y
Pagi menguning di ufuk Timur. Senyumnya telah mengembun di dedaunan. Burung ikut menyambut semarak hari dengan berhening cipta di kabel listrik yang mengular sepanjang jalan, terpikir mereka sedang bersyukur dengan kekuasaan Tuhan. Hari itu usai salat shubuh berjamaah bersama Reihan dan Nyonya Finda. Kejadian yang dialami mereka menyadarkan mereka semua tentang makna ketuhanan. Selama ini mereka telah melangkah dalam jalan yang gelap, walhasil hidup pun tak pernah lelap. Ada saja masalah hingga membuat hidup susah. Bagaikan tidur di springbed lembut tapi mata terjemput mimpi buruk, itulah mengapa hidup tak pernah lelap. Dewa langsung loncat dari ranjang tidurnya bergegas mandi, sarapan dan melesat menenteng tasnya, tak lupa dia membungkuskan nasi serta sayur dan lauk pauknya. Kamera canonnya dikalungkan di leher."Mau ke mana?" sapa Reihan yang tengah duduk di meja makan. Tangan kirinya memegang gelas berisi air putih, sementara yang kanan memegang kapsul obat.&nb
Perjuangan menahan sakit, begadang setiap malam ternyata tak berujung kesia-siaan. Chika dan kawannya yang sering main ke rumah sakit untuk mengajari Dewa, ternyata semuanya masuk sepuluh besar. Dan apakah Anda tahu? Dewa yang jarang masuk sekolah dan tidak pernah ikut les, masuk dalam kategori tiga besar. Chika si gadis menggemaskan itu meraih peringkat pertama, Rivani ke dua, Dewa ke tiga, Dendi ke empat, Edvin ke lima, sementara Ogi mendapat peringkat ke dua dalam urutan kelas IPAnya. Oh menakjubkan! Senang sekali ketika perjuangan mereka membuahkan hasil, terutama bagi Dewa. Kau tahu? Nyonya Finda amat bangga mendengar kabar menggembirakan itu. Selama ini Nyonya Finda tidak pernah yakin kalau Dewa akan lulus. Bagaimana tidak? Dia saja jarang sekolah, mbolos kerjaannya. Detik-detik akhir ujian malah harus rawat inap, bagaikan mukjizat yang turun dari langit kesuksesan Dewa bagi beliau.Akhirnya hari selanjutnya setelah pengumuman kelulusan. Nyonya Finda mengada
Dewa berdiri di depan jendela. Ke dua lensanya menatap lurus ke angkasa. Pijaran gumintang di sana begitu menawan. Rembulan membentuk pisang dan tersenyum kepadanya. Cerah. Melintir kehangatan pada gulita dalam penerangan. Hari itu adalah menit terakhir Dewa belajar menyambut ujian Nasional. Mulai besok dia sudah akan bertempur dengan segala macam soal-soal ujian. Bahasa Indonesia, Matematika, Akuntansi, dan Bahasa Inggris. Jantungnya berdegup kencang membelah keheningan malam. Akan sanggupkah besok? Dia baru belajar selama satu minggu. Jam menunjukkan pukul dua belas pagi. Pergantian tanggal dan hari, tinggal menunggu beberapa jam lagi, Dewa akan dihadapkan dengan soal ujian esok nanti.Keadaannya cukup membaik. Hanya tampak masih lemas. Itu karena beban pikirannya selama ini. Walau sudah berusaha fokus terhadap pelajaran, tetap saja bayang anak jalanan yang menderita di keheningan malam, dalam balutan gerimis langit, serta panasnya mentari kala siang menje
Sewaktu berangkat les, Chika menyempatkan diri mampir ke toko buat membeli buah-buahan dan membungkus kejutan untuk Dewa. Benda yang sejak SMP menemaninya itu telah ditemukan di warung bakso tiga hari lalu. Sebenarnya sudah dari kemarin-kemarin ingin memberikannya, tapi karena nomor Dewa tidak aktif, ya terpaksa dia simpan terlebih dahulu. Dia tersenyum manis membayangkan kebahagiaan Dewa yang sebentar lagi akan terukir karenanya. "Pasti dia akan amat berterimakasih kepadaku," gumamnya kepedean.Waktu cepat bergulir. Senja tak mau menunggu terang terlalu lama, dia singkirkan bolam api langit ke rumah Barat. Usai les ke lima kawan langsung berangkat ke rumah sakit. Perjuangan! Begitulah mereka menamainya. Bagaimana tidak? Mereka harus mencari kamar Reihan tanpa tahu nama lengkapnya. Suster bilang nama Reihan yang dirawat di rumah sakit itu ada lima. Dari ke lima kamar yang disebutkan oleh suster itu didatangi semua. Dari ujung Barat sampai ujung Selatan. Mereka akhir
Agus lari terbirit-birit kembali ke kamar Enggar. Wajahnya menampakkan keterkejutan yang amat mendalam. Caca dan Intan sudah dari tadi malam di kamar Enggar, membereskan barang-barang yang akan dibawa pulang ke rumah kardus, seperti bajunya Enggar yang kotor, dan peralatan makannya yang dibawa dari rumah kardus, sendok plastik, gelas plastik, dan piring plastik. Semua barang dimasukkan ke dalam karung yang masih bersih. Napas Agus putus-putus, dia menumpukan tangannya di lututnya. Seperti sedang rukuk di depan mulut pintu."Dari mana saja kamu, Agus?" tanya Enggar dan Intan hampir bersamaan. "Kenapa setelah mengejar Ovan kamu tidak balik lagi ke sini?" kata Intan dengan nada menuntut.Agus berdiri, dia menghela napasnya. "Aku menunggu Kak Dewa, dia sakit. Dari semalam belum sadarkan diri," seru Agus berusaha menjelaskan.Caca yang duduk manis di ranjang mendadak terperanjat kaget. Dia langsung loncat ke bawah dan berjalan meng
Diam. Satu kata pun jarang terucap. Menyendiri di kelas, sama sekali tak mau beranjak. Belajar malas. Pelajaran tak pernah mampu ditangkapnya. Yang ada hanya sosok pemuda yang amat dicintainya. Tapi semu. Pemuda itu hanya menjadi bayang kelabu. Berangkat les lesu. Seakan-akan tak pernah ada semangat dalam hidupnya. Walau di sampingnya ada seorang pangeran yang siap memberikan cintanya dengan sempurna. Bodohnya dia malah ingin memetik cinta yang belum jelas kepastiannya.Chika merenung di kelas. Ke dua tangannya menyangga dagu manisnya. Lensanya menerawang jauh di balik kaca jendela. Sudah berpuluh kali Chika menghubungi nomer hape Dewa tapi tidak aktif-aktif juga. Itu suda empat hari Dewa tidak masuk sekolah. Setelah ada kabar Reihan masuk rumah sakit Dewa sama sekali tak masuk sekolah dan Nyonya Finda pun tak memberi informasi di mana keberadaan Dewa. Tiga hari lalu Dendi dan dia ingin menengok Reihan di rumah sakit, tapi sayang, niat itu terpaksa harus digugurka