Pagi itu Mawar diantar menuju kontrakan teman Zafan. Untunglah jaraknya tidak terlalu jauh, jadi cepat sampai. Wajah Mawar layu dan kusam. Dia bahkan belum sempat mandi dan mencuci muka, Zafan sudah membangunkannya, dengan tergesa-gesa lalu langsung menarik tangannya.
"Kenapa keburu-buru banget sih, gue masih ngantuk!"
"Kalau temanku sudah sampai kontrakan dan kamu belum sampai di sana, aku bisa kena marah," kata Zafan panik sambil terus mengemudi tanpa menoleh. Mawar mengambil beberapa alat kecantikan dari dalam tasnya. Sejenak bibirnya dipoles lipstik, pipinya ditaburi bedak agar tak terkesan habis bangun tidur. Tak lupa maskara, aisido, dan yang lainnya. Parfume disemprotkan di tubuhnya.
"Kau ini sudah cantik, tanpa harus memakai make-up, Mawar." Puji Zafan.
"Semua lelaki bermata keranjang juga akan bilang seperti itu," timpal Mawar.
"Tapi aku beda dengan yang lain," Zafan coba membela diri.
 
Chika bolak-balik di depan rumahnya. Berkali-kali dia lirik jalan masuk ke rumahnya. Tak ada sosok yang ditunggunya. Bukan hanya satu kali dia mengirim sms kepada Dewa, sayangnya tak pernah ada balasan. Hatinya pun menjadi gelisah. Kekhawatiran berkecamuk di dalam dadanya. Dia takut kalau Dewa sampai tidak sekolah lagi dan waktunya akan hampa kembali. Jam menunjukkan pukul setengah tujuh tepat, belum ada langkah kaki Dewa untuk mengambil sepedanya. Sebenarnya ada apa dengan anak itu?Sepeda Dewa telah dicucikannya tadi subuh. Harapannya esok itu Dewa datang untuk mengambilnya serta mau mengajaknya berangkat bareng naik sepeda sampai sekolahan. Tak dihiraukan terlambat atau tidak, yang penting bisa naik sepeda bareng dengan Dewa. Impian itu nampaknya akan sia-sia. Dewa tak kunjung datang, dia pun hanya bisa menggerutu kesal bersama rasa kecewanya. Sekali dia lirik hapenya, berharap ada jawaban dari sms Dewa. Tidak ada juga. 'Anak itu masih tidur atau apa sih? Kenapa smsk
Dewa membuka retinanya, dia lirik jam dinding yang ada di atas kepalanya. Waktu mengatakan bahwa Nyonya Finda telah berangkat kerja. Dia pun langsung loncat dari kamarnya untuk mencari makanan. Untunglah Nyonya Finda tetap perhatian, mau memasakkan kepadanya. Oh kasih ibu memang sepanjang masa. Sekesal-kesalnya ibu beliau tidak akan pernah menerlantarkan anaknya sampai kelaparan. Lahap sekali Dewa mencernanya. Dia menghabiskan dua potong roti tawar berlapis selai strowbery, sepiring nasi beserta tiga lauk paha ayam dan sayur sopnya. Masih banyak sayur yang lainnya namun dia tidak suka. Cukup sop dan paha goreng saja. Setelah merasa kenyang naik kembali ke lantai dua."Kenyangnya..." celoteh Dewa sambil memegangi perutnya.Tidak sengaja pandangannya tertuju pada hapenya yang tergeletak layu di atas kasur. Dari kemarin dia tidak pegang hape. 'Ada sms masuk atau tidak ya?' Gumam Dewa lalu mengambilnya. Sejenak dia duduki tumpukan kapuk tuanya. Matanya me
Dewa diam sambil tersenyum sinis. Matanya memerhatikan ke bawah. Ke dua kaki Bapak itu menginjak tanah. Memang sepantasnya kalau pengemis sakit beneran mana bisa membeli perban, boro-boro beli perban makan saja susah. Setidaknya kalau pengemis itu beneran, kan akan mendahulukan mana yang lebih penting atau tidak. Dan setahu Dewa kalau pengemis yang kaki atau tangannya dibalut perban itu hanya modus (modal dusta). Seperti yang ditemuinya di Jogja atau di terminal-terminal tempat makam Sunan Wali Songo."Sakit ya, Pak?" Dewa menendangnya lagi. "Maaf," seloroh Dewa kemudian tanpa berdosa. Dia lalu memasukkan beberapa kepingan logam ke dalam gelas aqua yang sedari tadi dipegang Bapak itu."Seharusnya Bapak berpikir! Kaki Bapak masih bisa berjalan dengan sempurna, kenapa malah bohong-bohongan seperti ini? Bapak mau beneran terluka?" hardik Dewa.Bapak itu diam, tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Dia merasa telah dipermalukan oleh
"Roboh, Kak." kata Intan sayu.Rumah kardus hanya menyisakan kenangan. Kertas-kertasnya tak lagi mau menjaga mereka dari terik sang surya. Tubuhnya lembek tersungkur di tanah. Tiang-tiang penyangganya pun ikut rapuh. Porak-poranda laksana rumah yang terkena badai besar. Bukan hanya milik mereka saja, milik anak jalanan yang lainnya pun juga terkena nasib yang sama. Sekarang mereka tak punya rumah lagi. Airmata Caca sebentar lagi akan merembas. Hatinya sedih, kenapa rumahnya yang dulu selalu memberi kehangatan ketika kelam datang roboh."Rumaaahhhkuuu," jerit Caca sambil jongkok memunguti kardus-kardus itu."Caca!" Ovan lari memeluknya. "Sudahlah, nanti kakak buatin lagi yang lebih bagus, jangan menangis ya?" pinta Ovan sambil mengelus kepala Caca.Enggar ditidurkan di atas tumpukan kardus itu. Dia diselimuti sarung. Intan hanya terpaku merenungi keadaan. Dalam hatinya dia menggumam, kapan penderitaan hidupnya akan beruj
"Ih kok selesai sih Kak!" Caca protes sambil memukuli tubuh Intan. "Lanjut! Lanjut!" seru Caca."Kelanjutannya, Caca itu nggak boleh sedih karena kita tidur di jalanan atau rumah kita hancur lebur, sesungguhnya kebahagiaan itu bukan karena harta. Kebahagiaan itu ada di dalam hati." Menunjuk dada Caca."Tapi Kak, kalau tidur di jalanan dingin,""Tidak apa-apa, Tuhan Maha Tahu dan Maha Penyayang, kelak Caca dan yang lainnya akan mendapatkan hadiah kebahagiaan yang kekal." Intan meyakinkan."Apa?""Surga yang abadi, asalkan kita sabar dan tabah menjalani hidup ini," seru Intan sambil mengelus kepala Caca.Banyak orang berpikiran bodoh. Dengan harta yang ditimbun kebahagiaan akan merangkul duka mereka, apa pun akan dapat digapai dengan emas permata. Bahkan cinta bisa didapatkan dengan harta. Tidak! Kebahagiaan sejati hanya ada di dalam hati dan dengan ketulusan rasa. Bahagia adalah ketenangan jiwa, di ma
Waktunya hampa. Sunyi mengelabuti. Diam dan bisu kini adalah sebuah pekerjaan. Merenung, melamun memikirkan sosok yang tidak berangkat sekolah seolah menjadi kewajiban bagi gadis manis, Chika. Bayangan menerawang kosong keluar jendela. Dia mengintip dari balik kaca, langit yang biru dan cerah itu. Pelajaran Ankuntansi tak diperhatikannya, hatinya gusar dan bimbang. Seperti ada yang hilang jika belakang bangkunya tak diisi oleh pemuda menyebalkan itu. Sesekali dia menggigiti kepala bolpoin tecnonya yang hitam. Buku catatan terbuka malang tak terpelototi iris matanya di atas meja. Lembarannya masih kosong, padahal milik kawan-kawannya telah penuh.'Langit di mana kau sembunyikan kabutmu? Kenapa kabut itu berpindah ke hatiku? Apa salahku? Aku sedih kalau Dewa tidak berangkat. Aku rindu kekonyolannya,' gumam Chika dengan tatapan kosong.Alam pikirnya malah terbang ke waktu semalam. Ada senyum yang diukir di sana. Rasa bangga karena telah mengantarkan Dewa
Di bawah siraman surya, Ovan dan Agus mengemis. Setiap perempatan dan persimpangan lampu merah mereka jarah. Keping demi keping logam akhirnya terkumpul. Panas yang membakar tubuh mereka tak digubris. Yang penting nanti bisa makan dan makan. Soal lelah dan kepanasan itu urusan belakangan. Entah mengapa semangat Ovan kali itu surut. Tak seperti biasanya wajahnya cemberut. Tatapannya selalu kosong. Sudah tiga kali kendaraan berasap hampir saja melenyapkan nyawanya kalau saja Agus tak membuyarkan lamunannya. Tubuhnya terlihat lesu. Nampak ada beban yang dipikirkannya.Mawar. Yah gadis itu telah meracuni kesadaran Ovan. Bagaimana keadaannya, baik sajakah? Sudah makankah? Aura cantik Mawar menggelantung di sudut kalbunya. Ingin dia memeluk Mawar dan membelai lembut rambutnya. Mengusap airmata serta menyediakan bahunya untuk bersandar membuang kesedihannya. Sayang apakah itu bisa?Pandangannya mematri gedung perusak ozon yang berderet memanjang di dep
Reihan sedari tadi telah bangkit untuk mandi. Kepuasan telah meraup hasrat nafsunya. Sementara Mawar masih terlentang dengan perih yang menjalar di selangkangannya. Lima menit kemudian dia bangun mengambil handuk untuk membalut tubuhnya yang tak berhelai satu benang pun. Bercak darah tercecer di atas kasur. Perut Mawar seketika itu mual-mual. Dia pun langsung lari ke kamar mandi, usai Reihan keluar.'Hoeeeekkkk..... hoeeekkk...' suara muntahan Mawar terdengar oleh gendang telinga Reihan. Tanpa menunggu persetujuan Mawar untuk masuk ke dalam kamar mandi, dia pun mendobrak pintu kamar mandinya yang kebetulan tidak dikunci dari dalam."Kamu hamil?" tebak Reihan dengan wajah pucat pasi. Kali ini Reihan tak terfokus tentang masalah kuliahnya yang tinggal sepuluh menit lagi. Jika dia tidak segera berangkat, terlambat adalah pilihan dan hukuman dosen akan menjadi sebuah resiko untuknya hari ini.Mawar diam tak memberi balasan. Dia mematika
Satu bulan berlalu setelah kejadian itu. Ke enam sahabat sama sekali tidak ada yang keluar rumah bahkan berangkat kuliah. Anak jalanan sering meratap dan menangis di bawah rembulan. Mawar sendiri juga ikut terdiam dengan kesedihannya antara dilema cinta yang pahit. Mengingat kondisi janinnya yang akan terkena HIV AIDS juga, serta keadaan Dewa yang tak kunjung membawa kabar indah.Untunglah waktu berbudi baik, tak mau membuat Dewa terluka berlama-lama. Sebulan penuh dia tersungkur dalam pembaringan. Bangkit dengan sisa keterkejutannya mendengar bahwa Reihan meninggal. Langsung airmatanya terjun. Dadanya sesak dicambuk kepedihan. Dewa menangis di ranjang rumah sakit. Nyonya Finda mendekapnya erat-erat."KAK REIHAAANNN!! KAK REIHAN, BU! KAK REIHAN DI MANA???" jeritnya membuat suasana semakin menyesakkan. Nyonya Finda tak kuasa menahan airmata."Sabar, Nak." Nasihat Nyonya Finda seraya mengelus ubun kepala Reihan.&nb
Satu Minggu berlalu. Mereka sudah sama-sama mendaftar di universitas yang sama, pada tanggal yang sama, waktu yang sama, keberangkatan yang sama, hanya jurusannya saja yang berbeda.Kala itu langit mendung. Nyonya Finda sedang memasak di dapur. Dewa duduk termenung di balkon depan kamarnya. Dia menatap bintang yang tidak tampak. Dia mengingat Chika dengan senyuman manis. Gadis itu membuat hatinya jatuh dalam kegelapan cinta. Suatu saat nanti kalau impiannya sudah tercapai dan kuliahnya selesai. Dia ingin langsung melamar Chika untuk memberi kejutan. Akan sangat menyenangkan masa depannya. Sekali lagi waktu pertegas bahwa mimpinya adalah ingin menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa serta mencerdaskan anak jalanan. Dia ingin menaunginya. Selamanya. Dan sekarang setidaknya mimpi itu sudah kelihatan berjalan.Praanngg...lamunanya buyar. Suara gelas pecah mencium lantai dari kamar sebelah. Yah kamarnya Reihan. Ada apa? Napas Dewa langsung se
Keesokan harinya dia mengkopi surat yang ditulisnya itu. Dia lalu mengirimkannya ke sekolahan SD ketika berangkat ke perkampungan kumuh. Setiap didapati sekolahan, dia berhenti dan menitipkan surat itu kepada satpam agar disampaikan ke Kepala Sekolah dengan segera. Setiap mengulurkan surat itu, dia berkata keras-keras SEGERA. SEGERA PAK. NGGAK PAKAI LAMA! Satpam pun hanya menggeleng-geleng.Dewa memang anak yang bertekad baja. Keinginannya tidak pernah bisa diganggugugat. Apalagi jika ada yang sampai bisa mengalahkan watak keras kepalanya. MUSTAHIL. Ada yang pernah mencoba tapi selalu gagal.Sampai di perkampungan kumuh alias perumahan kardus. Mata Dewa berkedip-kedip. Anak-anak jalanan sudah tertata rapi dan belajar seperti kemarin. Mereka malah tampak lebih semangat. Sesekali terdengar suara tawa yang menggelegar karena banyolan Den...eih itu siapa? Den? Dendi??"SUPRAISE!!!" jerit Chika dan ketiga kawannya, Edvin, Rivani, Y
Pagi menguning di ufuk Timur. Senyumnya telah mengembun di dedaunan. Burung ikut menyambut semarak hari dengan berhening cipta di kabel listrik yang mengular sepanjang jalan, terpikir mereka sedang bersyukur dengan kekuasaan Tuhan. Hari itu usai salat shubuh berjamaah bersama Reihan dan Nyonya Finda. Kejadian yang dialami mereka menyadarkan mereka semua tentang makna ketuhanan. Selama ini mereka telah melangkah dalam jalan yang gelap, walhasil hidup pun tak pernah lelap. Ada saja masalah hingga membuat hidup susah. Bagaikan tidur di springbed lembut tapi mata terjemput mimpi buruk, itulah mengapa hidup tak pernah lelap. Dewa langsung loncat dari ranjang tidurnya bergegas mandi, sarapan dan melesat menenteng tasnya, tak lupa dia membungkuskan nasi serta sayur dan lauk pauknya. Kamera canonnya dikalungkan di leher."Mau ke mana?" sapa Reihan yang tengah duduk di meja makan. Tangan kirinya memegang gelas berisi air putih, sementara yang kanan memegang kapsul obat.&nb
Perjuangan menahan sakit, begadang setiap malam ternyata tak berujung kesia-siaan. Chika dan kawannya yang sering main ke rumah sakit untuk mengajari Dewa, ternyata semuanya masuk sepuluh besar. Dan apakah Anda tahu? Dewa yang jarang masuk sekolah dan tidak pernah ikut les, masuk dalam kategori tiga besar. Chika si gadis menggemaskan itu meraih peringkat pertama, Rivani ke dua, Dewa ke tiga, Dendi ke empat, Edvin ke lima, sementara Ogi mendapat peringkat ke dua dalam urutan kelas IPAnya. Oh menakjubkan! Senang sekali ketika perjuangan mereka membuahkan hasil, terutama bagi Dewa. Kau tahu? Nyonya Finda amat bangga mendengar kabar menggembirakan itu. Selama ini Nyonya Finda tidak pernah yakin kalau Dewa akan lulus. Bagaimana tidak? Dia saja jarang sekolah, mbolos kerjaannya. Detik-detik akhir ujian malah harus rawat inap, bagaikan mukjizat yang turun dari langit kesuksesan Dewa bagi beliau.Akhirnya hari selanjutnya setelah pengumuman kelulusan. Nyonya Finda mengada
Dewa berdiri di depan jendela. Ke dua lensanya menatap lurus ke angkasa. Pijaran gumintang di sana begitu menawan. Rembulan membentuk pisang dan tersenyum kepadanya. Cerah. Melintir kehangatan pada gulita dalam penerangan. Hari itu adalah menit terakhir Dewa belajar menyambut ujian Nasional. Mulai besok dia sudah akan bertempur dengan segala macam soal-soal ujian. Bahasa Indonesia, Matematika, Akuntansi, dan Bahasa Inggris. Jantungnya berdegup kencang membelah keheningan malam. Akan sanggupkah besok? Dia baru belajar selama satu minggu. Jam menunjukkan pukul dua belas pagi. Pergantian tanggal dan hari, tinggal menunggu beberapa jam lagi, Dewa akan dihadapkan dengan soal ujian esok nanti.Keadaannya cukup membaik. Hanya tampak masih lemas. Itu karena beban pikirannya selama ini. Walau sudah berusaha fokus terhadap pelajaran, tetap saja bayang anak jalanan yang menderita di keheningan malam, dalam balutan gerimis langit, serta panasnya mentari kala siang menje
Sewaktu berangkat les, Chika menyempatkan diri mampir ke toko buat membeli buah-buahan dan membungkus kejutan untuk Dewa. Benda yang sejak SMP menemaninya itu telah ditemukan di warung bakso tiga hari lalu. Sebenarnya sudah dari kemarin-kemarin ingin memberikannya, tapi karena nomor Dewa tidak aktif, ya terpaksa dia simpan terlebih dahulu. Dia tersenyum manis membayangkan kebahagiaan Dewa yang sebentar lagi akan terukir karenanya. "Pasti dia akan amat berterimakasih kepadaku," gumamnya kepedean.Waktu cepat bergulir. Senja tak mau menunggu terang terlalu lama, dia singkirkan bolam api langit ke rumah Barat. Usai les ke lima kawan langsung berangkat ke rumah sakit. Perjuangan! Begitulah mereka menamainya. Bagaimana tidak? Mereka harus mencari kamar Reihan tanpa tahu nama lengkapnya. Suster bilang nama Reihan yang dirawat di rumah sakit itu ada lima. Dari ke lima kamar yang disebutkan oleh suster itu didatangi semua. Dari ujung Barat sampai ujung Selatan. Mereka akhir
Agus lari terbirit-birit kembali ke kamar Enggar. Wajahnya menampakkan keterkejutan yang amat mendalam. Caca dan Intan sudah dari tadi malam di kamar Enggar, membereskan barang-barang yang akan dibawa pulang ke rumah kardus, seperti bajunya Enggar yang kotor, dan peralatan makannya yang dibawa dari rumah kardus, sendok plastik, gelas plastik, dan piring plastik. Semua barang dimasukkan ke dalam karung yang masih bersih. Napas Agus putus-putus, dia menumpukan tangannya di lututnya. Seperti sedang rukuk di depan mulut pintu."Dari mana saja kamu, Agus?" tanya Enggar dan Intan hampir bersamaan. "Kenapa setelah mengejar Ovan kamu tidak balik lagi ke sini?" kata Intan dengan nada menuntut.Agus berdiri, dia menghela napasnya. "Aku menunggu Kak Dewa, dia sakit. Dari semalam belum sadarkan diri," seru Agus berusaha menjelaskan.Caca yang duduk manis di ranjang mendadak terperanjat kaget. Dia langsung loncat ke bawah dan berjalan meng
Diam. Satu kata pun jarang terucap. Menyendiri di kelas, sama sekali tak mau beranjak. Belajar malas. Pelajaran tak pernah mampu ditangkapnya. Yang ada hanya sosok pemuda yang amat dicintainya. Tapi semu. Pemuda itu hanya menjadi bayang kelabu. Berangkat les lesu. Seakan-akan tak pernah ada semangat dalam hidupnya. Walau di sampingnya ada seorang pangeran yang siap memberikan cintanya dengan sempurna. Bodohnya dia malah ingin memetik cinta yang belum jelas kepastiannya.Chika merenung di kelas. Ke dua tangannya menyangga dagu manisnya. Lensanya menerawang jauh di balik kaca jendela. Sudah berpuluh kali Chika menghubungi nomer hape Dewa tapi tidak aktif-aktif juga. Itu suda empat hari Dewa tidak masuk sekolah. Setelah ada kabar Reihan masuk rumah sakit Dewa sama sekali tak masuk sekolah dan Nyonya Finda pun tak memberi informasi di mana keberadaan Dewa. Tiga hari lalu Dendi dan dia ingin menengok Reihan di rumah sakit, tapi sayang, niat itu terpaksa harus digugurka