Beranda / Romansa / Dewa / Bab 31 - Bab 40

Semua Bab Dewa: Bab 31 - Bab 40

67 Bab

Khawatir

"Den! Kita harus ke rumah sakit, Dewa dirawat di rumah sakit," messege received to Dendi. "Maksud lo? Dewa sakit atau bagaimana?"  "Iya, tadi aku sms dia. Aku bilang aku mau ke rumahnya jam empat sore. Dia balasnya nggak bisa begitu karena dia sedang di rumah sakit," "Loh kok gitu? Sahabat kita yang satu ini bagaimana nasibnya! Wah... wah pasti gara-gara kebanyakan main sama anak jalanan nih,"  "Aduh! Itu pikirkan belakang, yang penting sekarang kita harus cari dia di rumah sakit mana. Ayo kita ke rumahnya semoga saja ibunya ada di rumah. Masalahnya sewaktu tadi aku tanya ada di rumah sakit mana, dia tidak balas." "Tunggu sebentar, sepuluh menit lagi aku tiba di rumahmu," sms terakhir Dendi. Benak Chika dihuni rasa cemas yang sangat menghantui. Gundah kini seutuhnya menjadi miliknya. Dia duduk di ruang tamu, menanti kedatangan sahabatnya Dendi. Sepuluh menit serasa satu tahun baginya. Lama sekali
Baca selengkapnya

Surat Panggilan

Nyonya Finda membukakan pintu rumah. Tatapannya tercengang heran. Bingung akan tamu yang datang. Wajah mereka dirasa asing dalam pandangan beliau. Benaknya pun membesit pertanyaan siapa dan untuk apa. Jelaslah! Selama ini yang tahu rumah Dewa hanya Dendi dan Chika tak ada yang lain. Selama ini Dewa selalu berusaha keras untuk menyembunyikan jati diri keluarganya, dengan alasan dia malu karena mempunyai orangtua yang kaya raya. Bukan hanya itu, tapi juga karena Nyonya Finda sibuk mengurusi bisnisnya. Dewa iri sekali dengan keluarga teman-temannya yang selalu bisa berkumpul dengan keceriaan walau harta pas-pasan. Ketakjuban hidup sederhana adalah sebuah cerita kehidupan Dewa yang tersembunyi.  "Malam Bu," sapa Ogi dengan senyuman madu. "Malam, maaf kalian siapa ya?"  "E... e... kami temannya Dewa Bu, Dewanya ada?" sambung Rivani memecah keheningan beberapa saat. "Teman sekolah maksud kalian?" tebak Nyonya Finda. 
Baca selengkapnya

Semuanya Untuk Enggar

Dewa menarik napas lega. Sepeda motornya telah laku terjual. Kini uang yang tertimbun di kantongnya telah cukup untuk digunakan membayar administrasi Enggar dan Refan. Lima belas juta, delapan juta untuk Enggar, tiga juta enamratus untuk Refan, sisanya bisa dia pegang untuk sementara waktu. Dia merasa telah mencuri harta ibundanya, tapi mau bagaimana lagi kalau tidak dengan itu, lalu apalagi? Semua itu dilakukannya lantaran keterpaksaan yang amat mendesak. Hatinya akan terluka jika penderitaan anak jalanan tak teratasi.  Dia kembali ke rumah sakit dengan naik ojek sepeda motor. Di tengah perjalanan hapenya berdering. Dia tak sempat melirik siapa yang menelpon, nantilah kalau sudah sampai di rumah sakit baru akan diangkatnya jika itu penting pasti yang memanggil akan menelpon ulang. Jarak rumah sakit dengan tempat dia menjual motornya tidak terlalu jauh. Lima menit lagi akan sampai.  Dewa tadi sempat membelikan roti tawar dengan selainya untuk Engg
Baca selengkapnya

Dua Kupu

Malam ini dirasa amatlah panjang untuk pemuda bermata telanjang itu. Suasana diskotik memang ramai penuh aksi. Tubuh para pemuda saling senggol-menyenggol bermainkan melodi. Sair pun mengiringi lirik lagu sejati. Namun dia... duduk termenung menatap sebotol wisky yang tinggal setengah. Retinanya kosong memandang dengan tatapan menerawang. Kejadian tadi pagi betul-betul memukul palung jiwanya. Sosok Mawar kini bukan lagi bidadari telanjang melainkan hantu bajingan. Begitulah dia memaknai kehadiran gadis yang baru menginjak usia delapan belas tahun itu. Penyesalan berkecamuk di dalam dada. Ingin marah namun kepada siapa? Waktulah yang selayaknya pantas untuk disalahkan? Tidak! Nafsunya yang terlalu haus itulah yang pantas ditindaki kejahatan. Dan tentang kata penyesalan tak layak lagi untuk diungkapkan.  "Kenapa muka lo lecek banget, Reihan?" tanya Anisa wanita pendampingnya malam ini. Gemerlap lampu disko memantul ke celah-celah tubuhnya yang menawan. Tang-top pink
Baca selengkapnya

Niat Mulia

Sampai jugalah Dewa di rumahnya dengan ojek motor. Dia menarik napas lega sebelum akhirnya melangkah mendekat pintu masuk yang terkuak lebar-lebar. Dari kejauhan itu bisa diintip paras Revani, Ogi, Dendi, Nyonya Finda dan yang paling dia perhatikan paras Chika. Dia melangkah dengan badan tegap dan cengar-cengir sendiri. Dalam hatinya dia terkekeh karena ulah Chika yang terlalu panik jadi menimbulkan lelucon seperti ini. Lelucon yang akan menggamparnya dengan amarah Nyonya Finda.  "Malam semua," sapanya sambil menutup pintu rumah. Dia lalu melangkah mendekati sofa-sofa lembut yang diduduki kelima nyawa berpasung wajah khawatir yang mendalam. "Dewa? Kamu..." rintih Dendi tak yakin. Dia pun berdiri menjemput langkahnya. "Chika bilang lo dirawat di rumah sakit? Loh kok bisa jalan sempurna seperti itu?" katanya sambil menepuk-nepuk badan Dewa untuk memastikan.  Nyonya Finda berdiri mengeluarkan tanduk harimaunya. Beliau telah
Baca selengkapnya

Larut Malam

Dia terobos gundah gulita. Atap langit tak melukiskan senyum gumintang. Kabut tebal menggulung-gulung menutupi sabitnya rembulan. Angin malam menelusup ke celah-celah tubuhnya. Memeluknya dengan hawa dingin menyiksa. Badannya hanya berkain kaos tipis tak berbalut sweater. Angin lembah gunung Sumbing membuatnya menggigil dan memaksa bibirnya bergetar lantaran kedinginan. Siulan jangkrik dan kodok dari dalam semak-semak pinggiran jalan, menggoda mimpi siput telinganya.  Setelah melewati gang-gang kampung dan jalan kecil yang sempit nan gelap serta mengerikan itu, akhirnya dia sampai juga di pinggiran desa. Dewa menarik napas panjang. Di depan gapura Kauman dia melamum dan tertegun. Angin malam menemani kegelisahannya. Benar dia sudah berhasil lolos dari rumah, tapi malam-malam begini mana ada angkot yang sampai ke tengah-tengah kota. Taksi pun tidak ada. Dia menggerutu kesal. Manamungkin ke Magelang jalan kaki berkilo-kilo meter. Bisa patah tulang. Pekiknya dalam hat
Baca selengkapnya

Malaikat Tanpa Sayap

 Dewa menggerutu kesal ketika momentum bersama anak jalan dari kemarin tidak bisa diabadikannya dalam bentuk figura. Dia menceritakan kamera Canon DSLRnya hilang kepada Chika sambil melaju ke Magelang. Angin malam menabrak tubuh mereka alih arah. Chika menarik resleting sweater pingnya ke atas. Malam itu Dewa yang mengalih kemudi motor Mio-Gnya. Sambil komat-kamit mengalunkan kalimat keluhannya, dia tak henti-hentinya mengatur gas motor yang ditumpanginya. Untunglah waktu mengizinkan Chika menjelajahi kekelaman malam bersamanya. Kalau tidak, bagaimana nasibnya malam itu? Membayangkan jalan kaki karena tidak ada kendaraan sampai Beseran ke rumah Chika saja dia sudah berkeringat dingin, apalagi sampai ke Magelang? Oh tidak mungkin!  "Soal sepedamu yang masih di rumahku?" Lagi-lagi Chika mengganti alih topik pembicaraan.  "Itu bukan masalah, lebih masalah karena kameraku belum ketemu," sergah Dewa keras kepala. "Besok aku bantu cari
Baca selengkapnya

Fitnah

 "Kau terlalu lama terjerumus ke lubang hitam. Bangkitlah Dewa. Besok kita sekolah, dan tak usah urusi lagi anak jalanan. Mereka itu sumber kejahatan dan kemaksiatan. Banyak yang merampok dari kalangan mereka. Suka mabuk-mabukan dan ada yang menghisap narkoba. Aku tidak ingin kamu terjerumus ke lubang hitam itu, kumohon dengarkan nasihatku. Kalau kau merasa aku adalah sahabatmu. Lagi pula ada pemerintah yang siap mengurusi kehidupan mereka. Kamu tidak perlu susah payah mengatur hidup mereka, Dewa." Ocehan Chika sama sekali tidak mempan. Dewa cuek. Dia menyibak kelambu hijau yang digunakan sebagai pintu oleh anak-anak jalanan. Pemandangan ikan teri yang sedang berjemur di dalam tenda itu sejenak tersirami cahaya rembulan. Mereka telah berlayar ke pulau mimpi. Seperti kemarin, sarung dan karung modal mereka berlayar.  "Caca, Intan, Agus, dan... Ovan!" jeritnya. "Dewa! Aku kesal sama kamu," gerutu Chika di balik tubuhnya. "K
Baca selengkapnya

Dihajar

Sakit menghajar uluh hatinya. Perasaannya seakan-akan ditombak oleh panah maut. Memang dia orang kaya, tapi tidak seburuk itu juga perbuatannya. Apakah semua orang kaya itu berjiwa busuk? Tidak bukan? Kenapa perkataan menyakitkan itu sampai keluar dari mulut Ovan. Sungguh kalimat itu membuatnya mengendapkan luka pedih. Dewa bungkam karena sakit hatinya. Dia tahan sesak karena emosinya meledak. Dadanya naik turun beriringan dengan napasnya yang tak beraturan. Gerahamnya terkatup keras. Ingin sekali dia menonjok mulut Ovan agar tahu sopan santun. Sayang dia kalah cepat. Sebelum dia melakukan hal itu, Ovan telah mendahuluinya.  Buk... buk... dua tonjokan menembus perut Dewa. Buk... satu tendangan meleokkan kakinya.  "Hey jangan pukuli sahabatku, dia tidak menghamili pelacur murahan itu! Tidak mungkin," Chika membela Dewa. "Kalian berdua keparat!" Ovan telah siap mengepalkan tonjokan ke wajah Chika. Namun kepalan itu hanya mengendap di ud
Baca selengkapnya

Omong Kosong

Reihan membuka matanya. Asing suasana di tempat itu. Temboknya bercat biru. Springbed setebal seratus lima puluh senti kini memeluk tubuhnya. Dia menoleh ke samping kanan dan ke kiri. Memastikan di manakah dia berada. Sebuah kamar wanita. Banyak boneka yang tertata rapi di meja dan di atas kepalanya. Milik siapakah? Dia lirik figura yang berdiri di depan lampu jamur. Gadis yang tak asing lagi di matanya. Hatinya berdesir hebat setelah tahu siapa yang menolongnya. Kepalanya masih terasa berdenyut-denyut. Perutnya juga diaduk-aduk rasa mual yang menyiksa. Ingin segera memuntahkan semua isinya. Dia bangkit membuka pintu dengan paksa. Tubuhnya membungkuk di mulut pintu sementara tangannya memegangi perutnya. "Kamar mandi mana? Kamar mandi mana?" tanya dengan kalimat yang terburu-buru. Gadis itu sedang duduk di ruang tamu sederhana yang ada di depan kamar. Matanya menajam pada setumpuk halaman majalah.  "Reihan, kamu sudah bangun?" Gadis itu menatap paras R
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status