Malam ini dirasa amatlah panjang untuk pemuda bermata telanjang itu. Suasana diskotik memang ramai penuh aksi. Tubuh para pemuda saling senggol-menyenggol bermainkan melodi. Sair pun mengiringi lirik lagu sejati. Namun dia... duduk termenung menatap sebotol wisky yang tinggal setengah. Retinanya kosong memandang dengan tatapan menerawang. Kejadian tadi pagi betul-betul memukul palung jiwanya. Sosok Mawar kini bukan lagi bidadari telanjang melainkan hantu bajingan. Begitulah dia memaknai kehadiran gadis yang baru menginjak usia delapan belas tahun itu. Penyesalan berkecamuk di dalam dada. Ingin marah namun kepada siapa? Waktulah yang selayaknya pantas untuk disalahkan? Tidak! Nafsunya yang terlalu haus itulah yang pantas ditindaki kejahatan. Dan tentang kata penyesalan tak layak lagi untuk diungkapkan.
"Kenapa muka lo lecek banget, Reihan?" tanya Anisa wanita pendampingnya malam ini. Gemerlap lampu disko memantul ke celah-celah tubuhnya yang menawan. Tang-top pink
Sampai jugalah Dewa di rumahnya dengan ojek motor. Dia menarik napas lega sebelum akhirnya melangkah mendekat pintu masuk yang terkuak lebar-lebar. Dari kejauhan itu bisa diintip paras Revani, Ogi, Dendi, Nyonya Finda dan yang paling dia perhatikan paras Chika. Dia melangkah dengan badan tegap dan cengar-cengir sendiri. Dalam hatinya dia terkekeh karena ulah Chika yang terlalu panik jadi menimbulkan lelucon seperti ini. Lelucon yang akan menggamparnya dengan amarah Nyonya Finda."Malam semua," sapanya sambil menutup pintu rumah. Dia lalu melangkah mendekati sofa-sofa lembut yang diduduki kelima nyawa berpasung wajah khawatir yang mendalam."Dewa? Kamu..." rintih Dendi tak yakin. Dia pun berdiri menjemput langkahnya."Chika bilang lo dirawat di rumah sakit? Loh kok bisa jalan sempurna seperti itu?" katanya sambil menepuk-nepuk badan Dewa untuk memastikan.Nyonya Finda berdiri mengeluarkan tanduk harimaunya. Beliau telah
Dia terobos gundah gulita. Atap langit tak melukiskan senyum gumintang. Kabut tebal menggulung-gulung menutupi sabitnya rembulan. Angin malam menelusup ke celah-celah tubuhnya. Memeluknya dengan hawa dingin menyiksa. Badannya hanya berkain kaos tipis tak berbalut sweater. Angin lembah gunung Sumbing membuatnya menggigil dan memaksa bibirnya bergetar lantaran kedinginan. Siulan jangkrik dan kodok dari dalam semak-semak pinggiran jalan, menggoda mimpi siput telinganya.Setelah melewati gang-gang kampung dan jalan kecil yang sempit nan gelap serta mengerikan itu, akhirnya dia sampai juga di pinggiran desa. Dewa menarik napas panjang. Di depan gapura Kauman dia melamum dan tertegun. Angin malam menemani kegelisahannya. Benar dia sudah berhasil lolos dari rumah, tapi malam-malam begini mana ada angkot yang sampai ke tengah-tengah kota. Taksi pun tidak ada. Dia menggerutu kesal. Manamungkin ke Magelang jalan kaki berkilo-kilo meter. Bisa patah tulang. Pekiknya dalam hat
Dewa menggerutu kesal ketika momentum bersama anak jalan dari kemarin tidak bisa diabadikannya dalam bentuk figura. Dia menceritakan kamera Canon DSLRnya hilang kepada Chika sambil melaju ke Magelang. Angin malam menabrak tubuh mereka alih arah. Chika menarik resleting sweater pingnya ke atas. Malam itu Dewa yang mengalih kemudi motor Mio-Gnya. Sambil komat-kamit mengalunkan kalimat keluhannya, dia tak henti-hentinya mengatur gas motor yang ditumpanginya. Untunglah waktu mengizinkan Chika menjelajahi kekelaman malam bersamanya. Kalau tidak, bagaimana nasibnya malam itu? Membayangkan jalan kaki karena tidak ada kendaraan sampai Beseran ke rumah Chika saja dia sudah berkeringat dingin, apalagi sampai ke Magelang? Oh tidak mungkin!"Soal sepedamu yang masih di rumahku?" Lagi-lagi Chika mengganti alih topik pembicaraan."Itu bukan masalah, lebih masalah karena kameraku belum ketemu," sergah Dewa keras kepala."Besok aku bantu cari
"Kau terlalu lama terjerumus ke lubang hitam. Bangkitlah Dewa. Besok kita sekolah, dan tak usah urusi lagi anak jalanan. Mereka itu sumber kejahatan dan kemaksiatan. Banyak yang merampok dari kalangan mereka. Suka mabuk-mabukan dan ada yang menghisap narkoba. Aku tidak ingin kamu terjerumus ke lubang hitam itu, kumohon dengarkan nasihatku. Kalau kau merasa aku adalah sahabatmu. Lagi pula ada pemerintah yang siap mengurusi kehidupan mereka. Kamu tidak perlu susah payah mengatur hidup mereka, Dewa."Ocehan Chika sama sekali tidak mempan. Dewa cuek. Dia menyibak kelambu hijau yang digunakan sebagai pintu oleh anak-anak jalanan. Pemandangan ikan teri yang sedang berjemur di dalam tenda itu sejenak tersirami cahaya rembulan. Mereka telah berlayar ke pulau mimpi. Seperti kemarin, sarung dan karung modal mereka berlayar."Caca, Intan, Agus, dan... Ovan!" jeritnya."Dewa! Aku kesal sama kamu," gerutu Chika di balik tubuhnya."K
Sakit menghajar uluh hatinya. Perasaannya seakan-akan ditombak oleh panah maut. Memang dia orang kaya, tapi tidak seburuk itu juga perbuatannya. Apakah semua orang kaya itu berjiwa busuk? Tidak bukan? Kenapa perkataan menyakitkan itu sampai keluar dari mulut Ovan. Sungguh kalimat itu membuatnya mengendapkan luka pedih. Dewa bungkam karena sakit hatinya. Dia tahan sesak karena emosinya meledak. Dadanya naik turun beriringan dengan napasnya yang tak beraturan. Gerahamnya terkatup keras. Ingin sekali dia menonjok mulut Ovan agar tahu sopan santun. Sayang dia kalah cepat. Sebelum dia melakukan hal itu, Ovan telah mendahuluinya.Buk... buk... dua tonjokan menembus perut Dewa. Buk... satu tendangan meleokkan kakinya."Hey jangan pukuli sahabatku, dia tidak menghamili pelacur murahan itu! Tidak mungkin," Chika membela Dewa."Kalian berdua keparat!" Ovan telah siap mengepalkan tonjokan ke wajah Chika. Namun kepalan itu hanya mengendap di ud
Reihan membuka matanya. Asing suasana di tempat itu. Temboknya bercat biru. Springbed setebal seratus lima puluh senti kini memeluk tubuhnya. Dia menoleh ke samping kanan dan ke kiri. Memastikan di manakah dia berada. Sebuah kamar wanita. Banyak boneka yang tertata rapi di meja dan di atas kepalanya. Milik siapakah? Dia lirik figura yang berdiri di depan lampu jamur. Gadis yang tak asing lagi di matanya. Hatinya berdesir hebat setelah tahu siapa yang menolongnya. Kepalanya masih terasa berdenyut-denyut. Perutnya juga diaduk-aduk rasa mual yang menyiksa. Ingin segera memuntahkan semua isinya. Dia bangkit membuka pintu dengan paksa. Tubuhnya membungkuk di mulut pintu sementara tangannya memegangi perutnya."Kamar mandi mana? Kamar mandi mana?" tanya dengan kalimat yang terburu-buru. Gadis itu sedang duduk di ruang tamu sederhana yang ada di depan kamar. Matanya menajam pada setumpuk halaman majalah."Reihan, kamu sudah bangun?" Gadis itu menatap paras R
Hari ini Dewa berpenampilan berbeda. Rambutnya diacak dengan minyak gatsby yang dicurinya dari kamar kakaknya. Sepatu disemir hingga mengkilat. Seragam yang jarang disetrika kini disetrika halus hingga licin. Dasinya dipakai. Bajunya dimasukkan ke dalam celananya. Perfect penampilannya untuk berangkat ke sekolahan dengan kerapian. Kamarnya ditata seindah mungkin. Selimut dilipat rapi. Bantal dan guling diletakkan di atas sendiri. Tak lupa seprainya dibenarkan agar tidak nampak terlipat-lipat. Namun bukan hal itu yang membuat suasana kamarnya indah. Melainkan karena tampilan kamar itu kini berbeda. Teropong yang sering digunakannya untuk melamun bersama bintang disingkirkan di samping lemari, tempat itu kini menjadi kediaman meja belajar dan setumpuk gunung buku pelajaran. Mulai dari kelas satu SD sampai kelas tiga SMP. Buku-buku itu ditata rapi per kelas dan per semester, menjadi sebuah barisan buku seolah sedang ingin berjualan buku. Buku tidak hanya cukup di atas meja saja. Lihatl
Reihan membanting tubuhnya di atas kasur. Kepalanya seberat lima kilo. Pandangannya berkunang-kunang. Napasnya juga sesak. Badannya hancur seperti dipukuli oleh preman. Entah apa sebabnya dia sampai seperti itu. Hari ini dia sakit. Dia tarik selimut tebalnya. Pandangannya perlahan ditutup. Dia pikir mungkin hanya kurang istirahat saja.Bayang-bayang senyum Adelia terlintas dalam memorinya. Otaknya keliling ke sana kemari walau ke dua lensanya telah mengatup. Baru saja dia pulang dari kontrakannya, kalau tidak keburu-buru katanya dia mau menemani dirinya. Sayang sudah terlanjur memiliki janji, jadi harus ditepati. Terpaksa dia pun harus pergi, walau sebenarnya dia enggan meninggalkan Reihan sendirian dengan keadaan seperti itu. Ini bukan karena ada rasa yang mengendap di dada, melainkan karena kepedulian dirinya terhadap sesama.Kecantikan murni Adelia menari-nari di depan pupil matanya. Sungguh gadis itu memang menggetarkan jiwanya. Dalam keadaa