Beranda / Romansa / SULTAN DESA / Bab 81 - Bab 90

Semua Bab SULTAN DESA: Bab 81 - Bab 90

102 Bab

81. Tidak Setia

Gilang mendapat persetujuan dari tiga dosen pembimbing untuk maju sidang. Dia sebetulnya ingin memberikan bingkisan sebagai ucapan terima kasih. Tapi orang jaman sekarang tidak membedakan mana gratifikasi mana tanda terima kasih dan dia tidak ingin mengundang polemik. Dia lebih senang cari aman untuk memberikan hadiah setelah wisuda. Gilang sebenarnya ingin menginap di apartemen Luki agar tidak bolak-balik ke Bandung. Dia ingin daftar ujian skripsi pada sesi pertama, lebih cepat lebih baik, pepatah lama itu masih berlaku untuknya. Hanya Rara pasti khawatir kalau dia tidak pulang dan tentu saja timbul rasa curiga. Di kota ini berderet mantan pacarnya. Jadi wajar jika muncul pikiran macam-macam tentang dirinya. Segala sesuatu bisa terjadi disaat dia haus kehangatan. Dia ingin menjaga perasaan istrinya. Rara bersedia melayani jika Gilang menginginkan. Dia tidak peduli dengan segala pantangan untuk menjaga suami agar tidak mencari kehangatan pada perempuan lain,
Baca selengkapnya

82. Tanpamu

Gilang pulang cukup malam. Dia melihat istrinya duduk di beranda menanti sambil bermain handphone. Biasanya Rara sudah tidur jam segini. Dia harusnya beristirahat selagi ada kesempatan karena sering terbangun tengah malam karena tangis sang bayi. "Baiknya kamu pergi tidur," kata Gilang sambil berjalan masuk ke dalam rumah. "Tidak usah tunggu aku." "Tanpamu aku tidak bisa tidur." "Bagaimana kalau aku ditugaskan oleh ibu CEO ke daerah dan tidak pulang?" "Informasinya jelas kamu tidak pulang." "Kamu harus jaga kesehatan. Sejak punya bayi kamu kurang istirahat." "Risiko seorang ibu." Ruang tengah sunyi, tidak ada yang nonton televisi. Mereka sudah pergi tidur. Gilang hendak duduk di ruang tengah, Rara menarik tangannya untuk masuk ke kamar mereka. "Sudah empat puluh hari," kata Rara sambil tersenyum penuh arti. "Ambu sudah tidur di kamarnya." Gilang berjalan lagi dan masuk ke kamar mereka. Di atas kasur sudah disiap
Baca selengkapnya

83. Mbah Sontoloyo

Gubuk reyot itu terletak di lereng bukit. Melihatnya saja sudah bikin sakit mata karena kumuh tidak terawat. Herannya banyak tamu dari jauh berdatangan dan mereka bukan orang sembarangan.Kebanyakan tamu adalah perempuan yang butuh pengasihan, susuk, dan penglaris. Gubuk terpencil itu menjadi terkenal karena dihuni oleh seorang kakek renta yang memiliki ilmu sangat tinggi. Penduduk setempat menyebutnya Mbah Sontoloyo.Beberapa perempuan yang sukses berkat bantuan penghuni gubuk itu ingin membangunkan rumah megah di kota supaya mereka tidak perlu susah payah mendaki gunung jika ada keperluan. Mbah Sontoloyo menolak segala kemewahan dunia yang diberikan. Dia hanya ingin kenikmatan dunia sebagai imbal jasa. Jika tidak bersedia, silakan pergi ke tempat lain.Pembayaran yang nyeleneh itu tidak membuat tamu surut. Mereka justru ketagihan datang karena kesaktian ilmu penghuni gubuk dapat mengabulka
Baca selengkapnya

84. Cinta Membawa Sengsara

Dennis marah-marah lewat telepon. "Kamu laporan sama bude dan bulik? Tidak tahu diuntung! Kamu tidak bisa menikah dengan keponakanku kalau aku tidak bersedia jadi wali!" "Memangnya ada apa?" tanya Gilang tenang. "Pagi-pagi sudah ngegas. Salah sarapan apa?" "Gara-gara kamu aku kena maki bude dan bulik!" "Gara-gara aku apa gara-gara Tarlita? Sehingga om tersayang lupa diri ingin mengorbankan anak yang lagi butuh kasih sayang," sindir Gilang sinis. "Kurang ajar!" "Aku paling tidak suka dimaki oleh lelaki brengsek macam kamu. Dengar baik-baik, jangan hubungi nomorku kalau kamu menempatkan nafsu di atas segalanya, atau aku lapor atasanmu agar dipecat." "Kamu laki-laki terlicik yang aku kenal." "Aku pria terdahsyat yang kamu kenal. Kamu boleh tanya sama keponakanmu kalau tidak percaya." "Urusanmu!" "Jadi buat apa ngebel kalau bukan untuk tahu urusanku? Aku jauh lebih brengsek dari kamu, dan berhenti jadi orang brengse
Baca selengkapnya

85. Momen Penting

"Kamu tidak malu wisuda bawa bayi?" tanya Rara saat mobil yang dikendarai Gilang memasuki gerbang kampus dan meluncur menuju gedung serba guna. "Aku kira hanya kamu yang membawa anak istri." "Aku ingin Idyla menyaksikan kehebatan ayahnya," sahut Gilang kalem. "Dan kamu adalah perempuan tercantik pendamping calon wisudawan." "Aku sampai pergi ke salon karena tidak percaya diri." "Nyonya itu sudah kayak bidadari turun dari kahyangan," puji Mimin yang duduk di belakang bersama Ambu dan Nita. "Masa tidak percaya diri? Bagaimana saya? Bedaknya tidak ketebalan kan, Ambu?" Ambu tersenyum sedikit. "Tidak. Kamu dandan cantik-cantik buat apa? Usiamu itu ketuaan untuk cari brondong." "Duda tidak masalah. Yang penting jangan suami orang. Males berantemnya." "Aku tidak ingin suamiku mendapat malu," kata Rara. "Maka itu aku berusaha untuk tampil sempurna." Rara sangat bahagia karena suaminya tidak malu membawa anak istri di hari bahagia ini.
Baca selengkapnya

86. Takdir

Karlina tidak dapat melawan takdir. Dia sudah berencana jauh-jauh hari untuk menikah dengan Roby. Maut menghapus semua impian yang ada. Satu hari setelah pengumuman kelulusan, Roby pergi untuk selamanya karena leukemia. Penyakit ganas itu membuat uang tak berkuasa atas segalanya. Keinginan Roby yang berkuasa. Maka itu mami papinya mengabulkan setiap keinginan anaknya, termasuk menikah muda. Satu-satunya permintaan Roby yang tidak terpenuhi karena ajal sudah terlebih dahulu menjemput. "Kepergian Roby membuat aku harus menerima perjodohan ini," kata Wisnu dalam perjalanan menuju tempat perayaan wisuda di sebuah restoran mewah. Gilang dan istrinya ikut dengan Wisnu. Sementara Nita dan keluarga membuntuti di belakang. Jalan raya tidak begitu padat. "Aku tidak tahu bagaimana perasaan Andini." Wisnu mengurungkan niat untuk menunjukkan video syur ke ibunya. Dia tidak ingin banyak nama terjungkal karena video itu. Lebih-lebih saat Roby sudah pergi. Karlina sendiri me
Baca selengkapnya

87. Kado Istimewa

Gilang menghentikan kendaraan di depan rumah. Mereka turun dari dalam mobil. Gilang membukakan pintu buat istrinya, kemudian mengambil toga yang tersimpan di dalam tas jinjing. Toko kelihatan sangat ramai. "Marto dan istrinya keteteran melayani pembeli," kata Ambu. "Aku langsung ke toko." "Istirahat saja dulu, Ambu," cegah Gilang. "Pembeli bisa antri." "Kita harus memberi pelayanan yang terbaik," sahut Ambu. "Mereka tidak boleh menunggu." Ambu pergi ke toko untuk membantu Pak Marto dan istri. Mereka masuk ke dalam rumah. Mimin langsung pergi ke dapur untuk menyiapkan hidangan buat makan sore. Nita masuk ke dalam kamar beristirahat. Hari-hari ini dia banyak waktu luang menunggu hasil testing masuk perguruan tinggi negeri. Rara menidurkan bayi di ranjang, kemudian membuka sepatu dan pakaian suaminya. Kebiasaan yang tak pernah ditinggalkan bagaimanapun sibuknya. Gilang mengenakan pakaian rumah dan berebahan di kasur beristirahat, Rara men
Baca selengkapnya

88. Barang Bukti

Gilang mengamati pisau dapur yang dipegangnya secara seksama. "Pisau ini sama persis dengan pisau yang menancap di punggung Abah dalam mimpiku." "Pisau dapur di rumah itu banyak dan jenisnya sama persis." "Gagang pisau ini sedikit cacat, kayak bekas menumbuk sesuatu." Surya angkat bahu sedikit. "Lalu apa yang hendak kamu lakukan dengan pisau itu?" Gilang menggeleng pelan. "Entahlah. Aku cuma yakin pisau ini yang digunakan untuk membunuh mertuaku." "Keyakinanmu tidak berguna. Kamu butuh bukti di alam nyata, bukan di alam mimpi." "Maka itu aku minta kamu untuk menjalankan misi terakhir. Kamu harus bisa masuk ke rumah itu untuk memeriksa dan melihat situasi di dalam rumah." "Ini harusnya tugas kamu. Kedatanganmu tidak akan dicurigai tukang kebun. Kamu bebas masuk ke kamar mana saja." "Tukang kebun dan istrinya tidak curiga. Kartika pasti curiga, apalagi jika dia pelakunya. Aku jadi terlilit masalah, Rara pasti tidak meneri
Baca selengkapnya

89. Penyelidikan

Mengunjungi orang sakit adalah kebiasaan langka di kampung ini. Paling antar saudara saja. Kalau antar tetangga, jarang sekali. Jadi sangat surprise jika Surya membawa buah tangan yang cukup banyak. Dia turun di depan gerbang rumah Kartika. "Aku langsung pulang ya, Sur," kata Gilang. "Hati-hati pisaunya. Kau nanti kena sweeping. Hari ini di kota kecamatan ada demo." "Aku tidak lewat kota, sedikit lebih jauh tapi aman." "Bagusnya begitu." Surya membuka pintu gerbang yang tidak terkunci dan memasuki pelataran rumah sambil menjinjing beberapa kantong plastik berisi buah tangan. Dia pencet bel rumah. Kemudian muncul Mirna dari dalam rumah. "Kang Dudung update status lagi sakit, apa benar, Teh?" "Oh iya, dia kena demam," sahut Mirna. "Dari pagi tidak bangun-bangun dari tempat tidur. Masuk, Sur." Surya masuk dan Mirna menutup pintu. Kemudian dia menyerahkan buah tangan ke wanita itu. "Tidak dibawa ke Puskesmas?" tanya
Baca selengkapnya

90. Pilihan Sulit

Gilang menyodorkan sertifikat nilai ke hadapan Marliana. Wanita cantik itu tersenyum bangga melihat nilai yang tercantum. Gilang adalah lelaki terdahsyat dalam segala aspek kehidupan, begitu informasi yang didapat dari orang kepercayaannya. Hal yang sangat menggugah sifat kewanitaannya. "Jauh sekali dengan anakku, Bimo," puji Marliana. "Mestinya kamu jadi CEO." "Posisi saat ini sudah cukup baik bagi saya," kata Gilang. "Saya ingin diterima sebagai pegawai secara penuh, tentu saja kalau Ibu berkenan." "Aku ada posisi yang sangat menarik untukmu. Kamu bisa mendampingi Bimo sebagai CEO Junior. Kamu dapat mewujudkan semua mimpi dengan fasilitas eksklusif yang kuberikan." Gilang menolak secara halus. "Saya belum ada pengalaman untuk itu, masih harus banyak belajar." Marliana tersenyum manis. "Kamu bisa belajar banyak nanti. Aku tidak akan melepas kalian begitu saja." "Menurut saya ada yang lebih pantas." Handa, staf senior lebih lay
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
67891011
DMCA.com Protection Status