Beranda / Romansa / SULTAN DESA / Bab 71 - Bab 80

Semua Bab SULTAN DESA: Bab 71 - Bab 80

102 Bab

71. Hutang Budi

Awalnya dokter keberatan Rara minta pulang hari ini. Kesehatannya belum pulih benar. Tapi wanita itu betul-betul keras kepala. "Tinggallah satu atau dua hari lagi," bujuk dokter. "Demi kebaikan ibu." "Dokter mau bayarnya?" potong Rara jengkel. "Sampai rumah sakit digusur pun saya mau tinggal kalau gratis!" Tentu saja dokter kelabakan. Keselamatan pasien adalah tanggung jawabnya. Ada dalam kode etik. Tapi kalau harus menanggung biaya pasien? Undang-undang nomor berapa itu? "Sadis kamu, Ra," kata Gilang ketika mereka sudah meninggalkan gedung rumah sakit menuju halaman parkir. Tangannya mendorong kursi roda yang ditumpangi istrinya. "Maksud dokter baik." "Ah, itu cuma alasan! Makin lama aku diam di sini makin makmur mereka!" Mereka sampai di tempat parkir mobil Gilang. Dia membantu istrinya masuk ke dalam mobil, kemudian menaruh kursi roda di lokasi pengembalian.  Mobil SUV mewah itu sudah melaju di jalan raya saat mobil Kar
Baca selengkapnya

72. Murka

Makan pagi sungguh tidak nikmat. Nyonya besar hampir tidak pernah marah sehebat ini. Dia biasanya dapat mengendalikan emosi dengan baik. Meja makan adalah satu-satunya tempat yang paling dihindari untuk terjadinya pertengkaran. "Ini adalah perintah," kata Umi tegas. "Siapapun di ruangan ini tugasnya hanya mendengarkan. Silakan keluar kalau tidak setuju dengan ucapanku nanti. Aku tidak ingin ada keributan di meja makan." Semua orang yang hadir diam. Para pegawai menyantap makanan dengan kepala tertunduk. Wisnu dan ayahnya kelihatan santai menikmati hidangan. Nyonya besar memberi perintah ke manajer rumah tangga. "Silvana, aku ingin kamu hari ini pergi ke Bandung. Temui tuan muda dan suruh pulang untuk dinikahkan dengan Karlina. Aku tidak mau kehilangan muka di hadapan calon besan. Jika dia menolak, sita semua fasilitas yang kuberikan." Silvana terkejut. Meminta tuan muda untuk meninggalkan anak dan istrinya adalah perbuatan yang bertentangan dengan nur
Baca selengkapnya

73. Bukan Tuan Muda

Gilang mengeluarkan semua pakaian dari lemari berpintu banyak dan memasukkan ke dalam beberapa travel bag. Pakaiannya sangat banyak bahkan ada yang belum dipakai. Tiap minggu dia pergi ke butik untuk membeli pakaian dengan model terbaru. Mobil pasti penuh dengan barang-barang miliknya. Handphone di atas meja kecil bunyi, dari Wisnu. Gilang terima. "Ada apa?" tanyanya. "Tolong kirim video Karlina," sahut Wisnu, suaranya terdengar tenang. "Umi minta aku untuk menggantikan posisi kakak. Aku ingin menunjukkan kalau gadis itu tidak pantas untuk jadi nyonya muda." Gilang terkejut. Ibunya ternyata berani mengambil keputusan yang jauh dari bayangannya. Mengambil Karlina jadi istri Wisnu adalah sebuah kesalahan besar. Gadis itu tidak layak untuk adiknya. "Jika Umi tetap ingin melanjutkan perjodohan itu, terserah," kata Wisnu. "Aku kira banyak waktu untuk Umi berubah pikiran. Sementara ini aku ingin meredakan ketegangan di rumah ini." "Pendirian
Baca selengkapnya

74. Tersanjung

Rara yang menunggu kepulangan suaminya di beranda heran melihat Gilang turun dari taksi. Pikiran jelek melintas di benaknya. "Mobil disita Umi?" selidik Rara penasaran saat Gilang tiba di hadapannya sambil menenteng dua buah dus berisi buku dan berkas.  "Sambutannya kasar banget," sahut Gilang santai. "Memangnya ibuku leasing apa?" Gilang masuk ke dalam rumah. Ditaruhnya dus di sudut ruang tamu. Kemudian berjalan melewati ruang tengah dan masuk ke dalam kamar. Rara melepaskan tas kuliah dari gendongan suaminya, kemudian mencopot kancing kemeja. Kebiasaan yang belum pernah ditinggalkan selama menjadi istri Gilang. Menyambut di beranda, menanggalkan pakaian dan sepatu, lalu menggantinya dengan pakaian santai. "Mereka pada ke mana?" tanya Gilang sambil duduk di tempat tidur, selesai mengenakan baju santai. "Sore begini biasanya ramai di depan televisi." "Jalan-jalan ke mall. Mimin kan habis gajian. Dia ingin mentraktir Ambu dan Nita
Baca selengkapnya

75. Biarkanlah

Kehilangan fasilitas mewah yang selama ini dinikmati tidak membuat Gilang patah arang. Dia sudah memperkirakan hal itu pasti terjadi. Maka itu dia melakukan persiapan dengan menabung. Dia cukup uang untuk membeli mobil baru. Hanya dia harus menahan ambisi untuk memiliki mobil mewah. Dia perlu menyisihkan uang untuk biaya Nita masuk perguruan tinggi. Saat ini mobil bukan kebutuhan mendesak. Gilang sementara bisa menggunakan mobil yang ada karena istrinya tidak masuk kerja cukup lama, cuti melahirkan. Setelah itu baru dia berpikir untuk ambil kreditan atau beli mobil bekas. Rara sendiri menyarankan agar menunggu kedatangan mobil dinas. Ibu Marliana bersedia merekrut Gilang jadi staf CEO secara penuh setelah lulus kuliah. Jadi dia tidak perlu susah payah cari kerja keliling ibukota. Tinggal bersabar menunggu beberapa bulan untuk menikmati fasilitas yang diberikan. Garasi mereka tidak cukup untuk menampung tiga mobil jika Gilang bersikukuh ingin memiliki mobil pr
Baca selengkapnya

76. Posesif

Rara membelai wajah suaminya yang berbaring di karpet dengan penuh kasih sayang. "Aku beli alat bantu ya? Perempuan bilangannya sembilan tapi bisa tahan. Lelaki bilangannya cuma satu tapi sulit bertahan." "Perempuan sekalinya jebol merusak semua tatanan yang ada." "Seperti kakakku maksudnya?" "Bagaimana aku bisa melupakan kalau kamu sebut-sebut nama itu?" "Asal jangan kamu sebut-sebut." "Aku tidak pernah sebut-sebut, tapi kemarin kakakmu menawari untuk datang ke rumahnya kalau butuh." Rara terbelalak. "Lalu apa tanggapanmu?" "Aku munafik kalau tidak berminat tidur dengan wanita bom seks. Aku melakukan atau tidak, itu perkara lain." "Jadi kamu ingin melakukan?" "Tentu saja ingin. Sekedar ingin." "Kalau ada orangnya, pasti kejadian." "Aku lebih suka menunggumu." "Aku masih lama. Maka itu aku kasih solusi." "Aku tidak pernah memakai alat bantu, karena perempuan selalu membantu."
Baca selengkapnya

77. Merajut Asa

Hari pertama toko buka pendapatan cukup lumayan. Gilang memperhatikan setiap konsumen yang datang dan kebanyakan dari cluster sebelah. Pembeli dari cluster dimana dia tinggal hanya beberapa orang. Barangkali kebutuhan dapur masih cukup.Promosi Nita di media sosial sangat efektif. Pak Marto sampai tidak sempat untuk pergi menarik becak. Hanya mengantar anak tetangga berangkat sekolah karena sudah langganan, bayar tiap bulan."Saya lebih baik tidak menarik becak kalau setiap hari pembeli kayak begini," kata Pak Marto. "Baru pembukaan saja sudah ramai. Bukan harga promosi kan, Nak Gilang?""Bukan, Pak Marto. Toko kecil tidak cocok untuk menggunakan sistem seperti itu.""Nak Gilang ini bercanda," kata Bu Marto. "Toko ini besar sampai ke belakang, masa dibilang kecil?""Standar yang dipakai adalah standar keluarga suamiku," sahut Rara yang datang sambil mendoro
Baca selengkapnya

78. Aneh Tapi Nyata

Di kamar yang indah, Gilang dan Kartika berciuman dengan tubuh telanjang bulat. Mereka berciuman sambil sesekali berguling saling bergantian menindih di atas tempat tidur. Kartika kelihatan bernafsu sekali bercumbu dengan Gilang. Tangannya bergerak ke bawah memegang timun wuku yang sangat tegang dan mengelus-elus dengan lembut. "Si adek minta masuk." Tangan Kartika membenamkan hulu mentimun ke celah gundukan ingin segera bercocok tanam. "Mulailah." Gilang tidak mulai juga. Dia memagut bibir sensual itu sambil meremas pepaya mengkal. "Aku kepingin sekali," desak Kartika dengan nafas tidak teratur didera hasrat yang menderu. "Tolong puaskan aku." "Aku tidak biasa memakai mangkok pecah bekas lelaki tua." Kartika berguling menindih Gilang. "Kalau begitu aku yang memakai." Tangan Kartika mengarahkan hulu mentimun. Pinggulnya bergerak turun secara perlahan melahap sampai kandas. Dia mendesah nikmat merasakan penetrasi yang demikian d
Baca selengkapnya

79. Terbayang-terbayang

Mimpi itu terbayang-bayang di pelupuk mata Gilang. Tentu saja hal ini sangat mengganggu pikirannya. Situasi paceklik membuat mimpi itu sulit pergi dari benaknya. Atau ada hal lain? "Jangan-jangan Kartika menggunakan ilmu hitam," kata Rara curiga. "Kamu diguna-guna." Gilang coba menghubungkan mimpi itu dengan rentetan peristiwa sebelumnya. Beberapa orang pintar yang dihubungi Surya dulu memberi penerawangan yang sama bahwa pelaku sulit dilacak karena memiliki pagar gaib. Sesuatu yang tidak masuk logika Gilang. Logika itu sedikit terbuka manakala Gilang mengalami peristiwa yang sangat aneh. Mimpi itu tentu bukan sekedar bunga tidur. "Kata Surya ilmu guna-guna tidak begitu," ujar Gilang. "Pikiranku baik-baik saja dan aku baru menyelesaikan skripsi. Mimpi itu menurutku sebuah petunjuk." Rara memandang tak mengerti. "Petunjuk apa?" "Abah dibunuh oleh seseorang dengan pisau dapur." "Aku minta buang pikiran itu. Seandainya dugaanmu be
Baca selengkapnya

80. Dua Perempuan

Gilang bangun pagi-pagi sekali. Selesai berdandan dia langsung menghubungi Tarlita. Dia tidak mau ada pertengkaran antara dua perempuan memperebutkan seorang lelaki. Menurutnya perempuan bodoh, dan itu bukan sifat Tarlita. Tarlita kedengaran tenang saat Gilang menceritakan bahwa Dennis sudah mempunyai istri dan hari ini akan datang ke rumahnya. Semula dia berharap gadis itu tidak memberi tahu alamatnya, ternyata malah kirim lokasi lewat chat. "Aku harus bagaimana kalau begini?" tanya Gilang bingung. "Aku kira kamu tidak memberi tahu alamat. Aku tunjukkan saja rumah kosong nanti." "Kamu tahu apa yang membuat aku kecewa?" "Apa itu?" "Kenapa kamu tidak pernah bilang kalau Dennis adalah om kamu dan sudah punya istri?" "Aku ada di posisi sulit." "Sesulit apa posisimu sampai kau mengkhianati aku?" "Aku tidak bisa menikah dengan istriku kalau bilang ke kamu karena dia wali istriku." "Kalian brengsek." "Aku tahu
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
67891011
DMCA.com Protection Status