Awalnya dokter keberatan Rara minta pulang hari ini. Kesehatannya belum pulih benar. Tapi wanita itu betul-betul keras kepala.
"Tinggallah satu atau dua hari lagi," bujuk dokter. "Demi kebaikan ibu."
"Dokter mau bayarnya?" potong Rara jengkel. "Sampai rumah sakit digusur pun saya mau tinggal kalau gratis!"
Tentu saja dokter kelabakan. Keselamatan pasien adalah tanggung jawabnya. Ada dalam kode etik. Tapi kalau harus menanggung biaya pasien? Undang-undang nomor berapa itu?
"Sadis kamu, Ra," kata Gilang ketika mereka sudah meninggalkan gedung rumah sakit menuju halaman parkir. Tangannya mendorong kursi roda yang ditumpangi istrinya. "Maksud dokter baik."
"Ah, itu cuma alasan! Makin lama aku diam di sini makin makmur mereka!"
Mereka sampai di tempat parkir mobil Gilang. Dia membantu istrinya masuk ke dalam mobil, kemudian menaruh kursi roda di lokasi pengembalian.
Mobil SUV mewah itu sudah melaju di jalan raya saat mobil Kar
Makan pagi sungguh tidak nikmat. Nyonya besar hampir tidak pernah marah sehebat ini. Dia biasanya dapat mengendalikan emosi dengan baik. Meja makan adalah satu-satunya tempat yang paling dihindari untuk terjadinya pertengkaran. "Ini adalah perintah," kata Umi tegas. "Siapapun di ruangan ini tugasnya hanya mendengarkan. Silakan keluar kalau tidak setuju dengan ucapanku nanti. Aku tidak ingin ada keributan di meja makan." Semua orang yang hadir diam. Para pegawai menyantap makanan dengan kepala tertunduk. Wisnu dan ayahnya kelihatan santai menikmati hidangan. Nyonya besar memberi perintah ke manajer rumah tangga. "Silvana, aku ingin kamu hari ini pergi ke Bandung. Temui tuan muda dan suruh pulang untuk dinikahkan dengan Karlina. Aku tidak mau kehilangan muka di hadapan calon besan. Jika dia menolak, sita semua fasilitas yang kuberikan." Silvana terkejut. Meminta tuan muda untuk meninggalkan anak dan istrinya adalah perbuatan yang bertentangan dengan nur
Gilang mengeluarkan semua pakaian dari lemari berpintu banyak dan memasukkan ke dalam beberapa travel bag. Pakaiannya sangat banyak bahkan ada yang belum dipakai. Tiap minggu dia pergi ke butik untuk membeli pakaian dengan model terbaru. Mobil pasti penuh dengan barang-barang miliknya. Handphone di atas meja kecil bunyi, dari Wisnu. Gilang terima. "Ada apa?" tanyanya. "Tolong kirim video Karlina," sahut Wisnu, suaranya terdengar tenang. "Umi minta aku untuk menggantikan posisi kakak. Aku ingin menunjukkan kalau gadis itu tidak pantas untuk jadi nyonya muda." Gilang terkejut. Ibunya ternyata berani mengambil keputusan yang jauh dari bayangannya. Mengambil Karlina jadi istri Wisnu adalah sebuah kesalahan besar. Gadis itu tidak layak untuk adiknya. "Jika Umi tetap ingin melanjutkan perjodohan itu, terserah," kata Wisnu. "Aku kira banyak waktu untuk Umi berubah pikiran. Sementara ini aku ingin meredakan ketegangan di rumah ini." "Pendirian
Rara yang menunggu kepulangan suaminya di beranda heran melihat Gilang turun dari taksi. Pikiran jelek melintas di benaknya. "Mobil disita Umi?" selidik Rara penasaran saat Gilang tiba di hadapannya sambil menenteng dua buah dus berisi buku dan berkas. "Sambutannya kasar banget," sahut Gilang santai. "Memangnya ibuku leasing apa?" Gilang masuk ke dalam rumah. Ditaruhnya dus di sudut ruang tamu. Kemudian berjalan melewati ruang tengah dan masuk ke dalam kamar. Rara melepaskan tas kuliah dari gendongan suaminya, kemudian mencopot kancing kemeja. Kebiasaan yang belum pernah ditinggalkan selama menjadi istri Gilang. Menyambut di beranda, menanggalkan pakaian dan sepatu, lalu menggantinya dengan pakaian santai. "Mereka pada ke mana?" tanya Gilang sambil duduk di tempat tidur, selesai mengenakan baju santai. "Sore begini biasanya ramai di depan televisi." "Jalan-jalan ke mall. Mimin kan habis gajian. Dia ingin mentraktir Ambu dan Nita
Kehilangan fasilitas mewah yang selama ini dinikmati tidak membuat Gilang patah arang. Dia sudah memperkirakan hal itu pasti terjadi. Maka itu dia melakukan persiapan dengan menabung. Dia cukup uang untuk membeli mobil baru. Hanya dia harus menahan ambisi untuk memiliki mobil mewah. Dia perlu menyisihkan uang untuk biaya Nita masuk perguruan tinggi. Saat ini mobil bukan kebutuhan mendesak. Gilang sementara bisa menggunakan mobil yang ada karena istrinya tidak masuk kerja cukup lama, cuti melahirkan. Setelah itu baru dia berpikir untuk ambil kreditan atau beli mobil bekas. Rara sendiri menyarankan agar menunggu kedatangan mobil dinas. Ibu Marliana bersedia merekrut Gilang jadi staf CEO secara penuh setelah lulus kuliah. Jadi dia tidak perlu susah payah cari kerja keliling ibukota. Tinggal bersabar menunggu beberapa bulan untuk menikmati fasilitas yang diberikan. Garasi mereka tidak cukup untuk menampung tiga mobil jika Gilang bersikukuh ingin memiliki mobil pr
Rara membelai wajah suaminya yang berbaring di karpet dengan penuh kasih sayang. "Aku beli alat bantu ya? Perempuan bilangannya sembilan tapi bisa tahan. Lelaki bilangannya cuma satu tapi sulit bertahan." "Perempuan sekalinya jebol merusak semua tatanan yang ada." "Seperti kakakku maksudnya?" "Bagaimana aku bisa melupakan kalau kamu sebut-sebut nama itu?" "Asal jangan kamu sebut-sebut." "Aku tidak pernah sebut-sebut, tapi kemarin kakakmu menawari untuk datang ke rumahnya kalau butuh." Rara terbelalak. "Lalu apa tanggapanmu?" "Aku munafik kalau tidak berminat tidur dengan wanita bom seks. Aku melakukan atau tidak, itu perkara lain." "Jadi kamu ingin melakukan?" "Tentu saja ingin. Sekedar ingin." "Kalau ada orangnya, pasti kejadian." "Aku lebih suka menunggumu." "Aku masih lama. Maka itu aku kasih solusi." "Aku tidak pernah memakai alat bantu, karena perempuan selalu membantu."
Hari pertama toko buka pendapatan cukup lumayan. Gilang memperhatikan setiap konsumen yang datang dan kebanyakan dari cluster sebelah. Pembeli dari cluster dimana dia tinggal hanya beberapa orang. Barangkali kebutuhan dapur masih cukup.Promosi Nita di media sosial sangat efektif. Pak Marto sampai tidak sempat untuk pergi menarik becak. Hanya mengantar anak tetangga berangkat sekolah karena sudah langganan, bayar tiap bulan."Saya lebih baik tidak menarik becak kalau setiap hari pembeli kayak begini," kata Pak Marto. "Baru pembukaan saja sudah ramai. Bukan harga promosi kan, Nak Gilang?""Bukan, Pak Marto. Toko kecil tidak cocok untuk menggunakan sistem seperti itu.""Nak Gilang ini bercanda," kata Bu Marto. "Toko ini besar sampai ke belakang, masa dibilang kecil?""Standar yang dipakai adalah standar keluarga suamiku," sahut Rara yang datang sambil mendoro
Di kamar yang indah, Gilang dan Kartika berciuman dengan tubuh telanjang bulat. Mereka berciuman sambil sesekali berguling saling bergantian menindih di atas tempat tidur. Kartika kelihatan bernafsu sekali bercumbu dengan Gilang. Tangannya bergerak ke bawah memegang timun wuku yang sangat tegang dan mengelus-elus dengan lembut. "Si adek minta masuk." Tangan Kartika membenamkan hulu mentimun ke celah gundukan ingin segera bercocok tanam. "Mulailah." Gilang tidak mulai juga. Dia memagut bibir sensual itu sambil meremas pepaya mengkal. "Aku kepingin sekali," desak Kartika dengan nafas tidak teratur didera hasrat yang menderu. "Tolong puaskan aku." "Aku tidak biasa memakai mangkok pecah bekas lelaki tua." Kartika berguling menindih Gilang. "Kalau begitu aku yang memakai." Tangan Kartika mengarahkan hulu mentimun. Pinggulnya bergerak turun secara perlahan melahap sampai kandas. Dia mendesah nikmat merasakan penetrasi yang demikian d
Mimpi itu terbayang-bayang di pelupuk mata Gilang. Tentu saja hal ini sangat mengganggu pikirannya. Situasi paceklik membuat mimpi itu sulit pergi dari benaknya. Atau ada hal lain? "Jangan-jangan Kartika menggunakan ilmu hitam," kata Rara curiga. "Kamu diguna-guna." Gilang coba menghubungkan mimpi itu dengan rentetan peristiwa sebelumnya. Beberapa orang pintar yang dihubungi Surya dulu memberi penerawangan yang sama bahwa pelaku sulit dilacak karena memiliki pagar gaib. Sesuatu yang tidak masuk logika Gilang. Logika itu sedikit terbuka manakala Gilang mengalami peristiwa yang sangat aneh. Mimpi itu tentu bukan sekedar bunga tidur. "Kata Surya ilmu guna-guna tidak begitu," ujar Gilang. "Pikiranku baik-baik saja dan aku baru menyelesaikan skripsi. Mimpi itu menurutku sebuah petunjuk." Rara memandang tak mengerti. "Petunjuk apa?" "Abah dibunuh oleh seseorang dengan pisau dapur." "Aku minta buang pikiran itu. Seandainya dugaanmu be
Bulan-bulan pertama orang tua Gilang sulit melupakan kesalahan anaknya. Mereka benci pada anaknya yang durhaka itu. Tak peduli seandainya pergi ke dasar neraka sekalipun.Lebih-lebih Umi. Setiap kali mendengar gunjingan tetangga setiap kali pula kemarahannya berkobar. Kehormatan keluarga yang dibangun susah payah hancur berkeping-keping karena kedunguan anaknya.Karena tidak tahu ke mana harus menumpahkan kemarahan, Wisnulah yang jadi sasaran. Hampir tiap hari kena damprat. Apa-apa yang dilakukan seolah tidak ada yang benar. Semua salah. Kupingnya sampai bising.Pergaulan Wisnu pun dibatasi. Tidak boleh keluar malam. Apalagi nongkrong di mall pulang sekolah. Selesai sekolah selesai pula kebebasan yang dimilikinya. Kembali ke sangkar emas.Satu-satunya yang diperbolehkan adalah bepergian dengan Karlina. Selain itu, hanya boleh bergaul dengan Andini. Gadis itu masih memiliki secercah harapan untuk bersanding dengan pujaan hatinya. Umi memberi lampu hijau ke
Idyla berhasil diselamatkan. Dia terhindar dari cengkeraman maut yang hampir merenggutnya. Semua penderitaan berakhir di meja operasi. Tapi ketika tim dokter hendak melakukan operasi kedua, Bradley menolaknya. Padahal operasi itu adalah operasi yang paling penting untuk masa depan Idyla. Tentu saja Rara marah. "Kenapa?" tatapnya sengit. "Kamu tak mampu bayar?" "Satu-satunya yang tidak mampu kubayar adalah kamu," senyum Bradley tanpa mengalihkan pandangannya dari Idyla yang berbaring di kamar perawatan. "Aku ingin membawa anakmu ke Tokyo." "Kau yakin dokter Tokyo lebih baik?" "Aku tak mengatakan dokter Tokyo lebih baik. Mereka sudah biasa melakukan hal itu." "Biasa? Kau mau bawa anakku dalam keadaan seperti ini karena biasa? Kau dengar kata dokter Hengky tadi, kan? Dia bisa mengganti kuping anakku!" "Yang kuinginkan bukan sekedar bisa. Aku ingin memberikan yang terbaik buat anakmu karena dia pantas mendapatkannya." Rara
Gilang terkejut mendengar kabar itu. Kartika bercerai. Dan perceraian itu menimbulkan bencana bagi dirinya. Sejak awal Gilang sudah menduga Datuk Meninggi dan Sastro bukan orang baik-baik, seorang bandot tua yang berjiwa kambing muda. Sisa umurnya digunakan untuk menikmati perempuan. Mereka punya peluang buat melalap daun muda dengan ancaman nistanya itu. "Kenapa Kartika tidak menempuh jalur hukum?" tatap Gilang kelu. "Kartika tidak memiliki bukti surat apapun." "Surat gampang dibikin, sekarang banyak mafia tanah." "Satu-satunya orang yang dapat membuktikan surat itu asli atau palsu adalah Abah, dan dia tidak ketahuan di mana rimbanya." Atau boleh jadi Kartika sudah membunuh Abah, pikir Gilang kelu. Dia tahu surat itu palsu, tapi tidak berani mengadukan ke polisi karena akan membuatnya terjerat kasus hukum. Kartika sudah dihantui perasaan bersalahnya. Dia bisa saja menuntut mereka untuk membuktikan keabsahan surat itu dengan me
Wajah Rara masih kelihatan buram meski berada di tengah keramaian pusat perbelanjaan. Kalau kebutuhan anaknya tidak habis, dia sebetulnya malas keluar rumah, kecuali pergi kerja saja. Mimin tidak bisa belanja. Dia sibuk membantu di toko. Bu Marto lagi kurang enak badan. Hiruk pikuk orang-orang di sekeliling seakan tak mampu menghalau kabut yang sejak beberapa waktu lalu hinggap di matanya. Dia hanya tersenyum pedih setiap kali mendengar celotehan Idyla yang berjalan dalam bimbingannya. Tidak lama lagi dia bukan cuma kehilangan celotehan Idyla, seluruh kehidupan puterinya akan berlalu dari sisinya! Rara sampai tak sadar saat berjalan menuju ke kasir ada seseorang yang berdiri terpukau melihatnya. Dia baru tersentak ketika sebuah seruan melecut telinganya: "Rara!" Seruan itu bukan hanya mengejutkan Rara, juga menghembuskan getaran yang entah sejak kapan sirna di hatinya. Lama tidak mendengar suara itu dan dia masih ingat baik-baik siapa pemilikn
Kartika menjalankan mobil lambat-lambat memasuki halaman rumah. Matanya yang bercahaya meredup dan menguncup. Senyum kepuasan yang menggantung sepanjang perjalanan langsung jatuh terpecah. Cerita mesra yang bersemayam indah di kepala terbang berhamburan. Datuk Meninggi dengan dua pengawal setianya berdiri menunggu kedatangannya. Kartika turun dari mobil dengan bertanya-tanya, wajahnya diselimuti rasa penasaran menggunung, kemudian menuangkan rasa ingin tahunya dalam sebentuk kalimat, "Ada apa ini?" "Dari mana kamu?" tanya Datuk Meninggi dengan sinar mata tajam dan dingin. "Latihan senam," sahut Kartika santai. "Di desa tetangga." "Habis senam?" "Shopping." "Habis shopping?" "Aku tidak perlu menjelaskan acara hari ini secara detail. Aku cape." Datuk Meninggi memandang jijik. "Dasar perempuan murahan!" Lelaki itu mengangkat tangan hendak menampar wajah Kartika, seorang pengawal segera memegang tangannya dan mencob
Melihat wajah dokter Patologi Anatomi itu, Gilang sudah tahu bagaimana hasil biopsi Idyla. Air muka dokter itu bercerita dengan sendirinya. Ya Tuhan! Akhirnya petaka itu datang juga! "Puteri Anda kena kanker jenis langka," ujar dokter sambil menaruh berkas hasil penelitian di atas meja. "Berbahaya kalau tidak dioperasi secepatnya." "Kanker?!" cetus Rara histeris. Matanya mengawasi Idyla yang berada di pangkuan suaminya dengan nanar. Tidak! Tidak! Oh, Tuhan! Mengapa Kau limpahkan azab ini pada anakku? Aku yang berbuat dosa! Aku yang membuat dia ada! Mengapa bukan nyawaku yang Kau ambil? "Paru-parunya masih bersih," kata dokter. "Belum ada gambaran coin lesion. Masih besar harapan untuk dapat tertolong." Seluruh tubuh Gilang terasa dingin. Wajahnya pucat tak berdarah. Dia sudah bisa membaca ke mana arah pembicaraan dokter. Bukan sekedar operasi biasa, tapi opersi...ya Tuhan! Dia tak sanggup membayangkannya! "Dokter," desis Gilang bergetar. "Kala
Mula-mula Rara mengira benjolan kecil di daun telinga puterinya cuma benjolan biasa, akibat digigit serangga atau terkena sesuatu. Maklum Idyla sudah pandai berjalan. Sedang lucu-lucunya. Sedang nakal-nakalnya pula. "Aduh, kenapa, Sayang?" hibur Rara ketika Idyla menangis keras-keras seperti kesakitan. "Kupingnya kok dipegangi terus? Coba Mama lihat. Ah, tidak apa-apa. Masa anak Mama segitu saja nangis?" Bermacam cara Rara mencoba membujuknya. Usahanya berhasil. Idyla sudah bisa tertawa-tawa lagi dan kembali bermain. "Bantu aku periksa rumah, Min," kata Ambu. "Cucuku kayaknya digigit binatang kecil." Seharian mereka mencari sarang serangga dengan hasil nihil. Rumah ini sangat bersih, tidak ada barang berdebu. Lalat pun malu untuk bertamu. Malam harinya Idyla menangis lagi dengan masalah serupa. Dua hari kemudian pun begitu. Muncul rasa sakitnya tidak tentu. "Minggu ini anak kita sering sekali menangis," kata Gilang yang terbangun mende
Penghasilan Gilang sehari-hari sebenarnya cukup lumayan. Banyak orang yang tertarik dengan jasanya. Malah ada ibu-ibu berlangganan antar jemput puteranya ke sekolah, bayar bulanan. Anak orang kaya aneh-aneh. Dia merasa lebih keren naik Moge daripada diantar sedan mewah dengan sopir tua. Tidak seru katanya. Kalau bercerita, pasti tentang Jakarta tempo dulu, asal-usul tugu peringatan. Bosan. Asal-usul papinya saja, mereka tidak ingin tahu. Apalagi tampang Gilang tidak seperti berandalan, ramah, sopan, simpatik, dan satu lagi, sangat tampan. Tak heran pelanggan kebanyakan perempuan berumur dua puluh lima ke bawah. Kalau belanja, tidak kelihatan seperti pembantu dan tukang ojek. Gadis-gadis seksi itu merasa bagaikan pasangan romantis di film Bollywood. Lagi pula, motor bisa menyelinap dengan lincah di keramaian lalu lintas, lebih cepat sampai tujuan. Tapi hidup di kota besar sungguh mahal. Baru dapat penghasilan sedikit lebih besar, harga-harga membumbung naik, seolah in
Mata Rara tak dapat terpejam. Sudah jam sembilan malam Gilang belum pulang, padahal tak pernah pulang telat. Dia takut terjadi apa-apa dengan suaminya. Tidak mungkin masih mencari pekerjaan. Kantor tentu telah tutup. Sekalipun buka, bukan untuk urusan tenaga kerja. Handphone suaminya dihubungi tidak aktif. Mungkin lowbat. Untuk menyapu keresahan, Rara merubah posisi tidurnya. Matanya tertumpu ke sosok mungil yang berbaring di sampingnya. Idyla tampak terlelap. Pulas sekali. Tak sadar Rara tersenyum. Hatinya selalu terhibur melihat wajah yang polos itu. Idyla sudah mengerti bahasa isyarat. Sudah bisa diajak bercanda. Cuma Rara belum sempat mencarikan baby sitter untuknya. Belum ada waktu yang tepat buat mendiskusikan dengan suaminya. Dia cukup repot untuk bolak-balik ke tempat penitipan bayi, mendingan diurus dan dirawat oleh tenaga tersendiri. Gilang masih disibukkan dengan masalah pekerjaan. Dia masih terus mencari dan mencari. Entah kapan ditemukan. Mendapa