Rara membelai wajah suaminya yang berbaring di karpet dengan penuh kasih sayang. "Aku beli alat bantu ya? Perempuan bilangannya sembilan tapi bisa tahan. Lelaki bilangannya cuma satu tapi sulit bertahan."
"Perempuan sekalinya jebol merusak semua tatanan yang ada."
"Seperti kakakku maksudnya?"
"Bagaimana aku bisa melupakan kalau kamu sebut-sebut nama itu?"
"Asal jangan kamu sebut-sebut."
"Aku tidak pernah sebut-sebut, tapi kemarin kakakmu menawari untuk datang ke rumahnya kalau butuh."
Rara terbelalak. "Lalu apa tanggapanmu?"
"Aku munafik kalau tidak berminat tidur dengan wanita bom seks. Aku melakukan atau tidak, itu perkara lain."
"Jadi kamu ingin melakukan?"
"Tentu saja ingin. Sekedar ingin."
"Kalau ada orangnya, pasti kejadian."
"Aku lebih suka menunggumu."
"Aku masih lama. Maka itu aku kasih solusi."
"Aku tidak pernah memakai alat bantu, karena perempuan selalu membantu."
Hari pertama toko buka pendapatan cukup lumayan. Gilang memperhatikan setiap konsumen yang datang dan kebanyakan dari cluster sebelah. Pembeli dari cluster dimana dia tinggal hanya beberapa orang. Barangkali kebutuhan dapur masih cukup.Promosi Nita di media sosial sangat efektif. Pak Marto sampai tidak sempat untuk pergi menarik becak. Hanya mengantar anak tetangga berangkat sekolah karena sudah langganan, bayar tiap bulan."Saya lebih baik tidak menarik becak kalau setiap hari pembeli kayak begini," kata Pak Marto. "Baru pembukaan saja sudah ramai. Bukan harga promosi kan, Nak Gilang?""Bukan, Pak Marto. Toko kecil tidak cocok untuk menggunakan sistem seperti itu.""Nak Gilang ini bercanda," kata Bu Marto. "Toko ini besar sampai ke belakang, masa dibilang kecil?""Standar yang dipakai adalah standar keluarga suamiku," sahut Rara yang datang sambil mendoro
Di kamar yang indah, Gilang dan Kartika berciuman dengan tubuh telanjang bulat. Mereka berciuman sambil sesekali berguling saling bergantian menindih di atas tempat tidur. Kartika kelihatan bernafsu sekali bercumbu dengan Gilang. Tangannya bergerak ke bawah memegang timun wuku yang sangat tegang dan mengelus-elus dengan lembut. "Si adek minta masuk." Tangan Kartika membenamkan hulu mentimun ke celah gundukan ingin segera bercocok tanam. "Mulailah." Gilang tidak mulai juga. Dia memagut bibir sensual itu sambil meremas pepaya mengkal. "Aku kepingin sekali," desak Kartika dengan nafas tidak teratur didera hasrat yang menderu. "Tolong puaskan aku." "Aku tidak biasa memakai mangkok pecah bekas lelaki tua." Kartika berguling menindih Gilang. "Kalau begitu aku yang memakai." Tangan Kartika mengarahkan hulu mentimun. Pinggulnya bergerak turun secara perlahan melahap sampai kandas. Dia mendesah nikmat merasakan penetrasi yang demikian d
Mimpi itu terbayang-bayang di pelupuk mata Gilang. Tentu saja hal ini sangat mengganggu pikirannya. Situasi paceklik membuat mimpi itu sulit pergi dari benaknya. Atau ada hal lain? "Jangan-jangan Kartika menggunakan ilmu hitam," kata Rara curiga. "Kamu diguna-guna." Gilang coba menghubungkan mimpi itu dengan rentetan peristiwa sebelumnya. Beberapa orang pintar yang dihubungi Surya dulu memberi penerawangan yang sama bahwa pelaku sulit dilacak karena memiliki pagar gaib. Sesuatu yang tidak masuk logika Gilang. Logika itu sedikit terbuka manakala Gilang mengalami peristiwa yang sangat aneh. Mimpi itu tentu bukan sekedar bunga tidur. "Kata Surya ilmu guna-guna tidak begitu," ujar Gilang. "Pikiranku baik-baik saja dan aku baru menyelesaikan skripsi. Mimpi itu menurutku sebuah petunjuk." Rara memandang tak mengerti. "Petunjuk apa?" "Abah dibunuh oleh seseorang dengan pisau dapur." "Aku minta buang pikiran itu. Seandainya dugaanmu be
Gilang bangun pagi-pagi sekali. Selesai berdandan dia langsung menghubungi Tarlita. Dia tidak mau ada pertengkaran antara dua perempuan memperebutkan seorang lelaki. Menurutnya perempuan bodoh, dan itu bukan sifat Tarlita. Tarlita kedengaran tenang saat Gilang menceritakan bahwa Dennis sudah mempunyai istri dan hari ini akan datang ke rumahnya. Semula dia berharap gadis itu tidak memberi tahu alamatnya, ternyata malah kirim lokasi lewat chat. "Aku harus bagaimana kalau begini?" tanya Gilang bingung. "Aku kira kamu tidak memberi tahu alamat. Aku tunjukkan saja rumah kosong nanti." "Kamu tahu apa yang membuat aku kecewa?" "Apa itu?" "Kenapa kamu tidak pernah bilang kalau Dennis adalah om kamu dan sudah punya istri?" "Aku ada di posisi sulit." "Sesulit apa posisimu sampai kau mengkhianati aku?" "Aku tidak bisa menikah dengan istriku kalau bilang ke kamu karena dia wali istriku." "Kalian brengsek." "Aku tahu
Gilang mendapat persetujuan dari tiga dosen pembimbing untuk maju sidang. Dia sebetulnya ingin memberikan bingkisan sebagai ucapan terima kasih. Tapi orang jaman sekarang tidak membedakan mana gratifikasi mana tanda terima kasih dan dia tidak ingin mengundang polemik. Dia lebih senang cari aman untuk memberikan hadiah setelah wisuda. Gilang sebenarnya ingin menginap di apartemen Luki agar tidak bolak-balik ke Bandung. Dia ingin daftar ujian skripsi pada sesi pertama, lebih cepat lebih baik, pepatah lama itu masih berlaku untuknya. Hanya Rara pasti khawatir kalau dia tidak pulang dan tentu saja timbul rasa curiga. Di kota ini berderet mantan pacarnya. Jadi wajar jika muncul pikiran macam-macam tentang dirinya. Segala sesuatu bisa terjadi disaat dia haus kehangatan. Dia ingin menjaga perasaan istrinya. Rara bersedia melayani jika Gilang menginginkan. Dia tidak peduli dengan segala pantangan untuk menjaga suami agar tidak mencari kehangatan pada perempuan lain,
Gilang pulang cukup malam. Dia melihat istrinya duduk di beranda menanti sambil bermain handphone. Biasanya Rara sudah tidur jam segini. Dia harusnya beristirahat selagi ada kesempatan karena sering terbangun tengah malam karena tangis sang bayi. "Baiknya kamu pergi tidur," kata Gilang sambil berjalan masuk ke dalam rumah. "Tidak usah tunggu aku." "Tanpamu aku tidak bisa tidur." "Bagaimana kalau aku ditugaskan oleh ibu CEO ke daerah dan tidak pulang?" "Informasinya jelas kamu tidak pulang." "Kamu harus jaga kesehatan. Sejak punya bayi kamu kurang istirahat." "Risiko seorang ibu." Ruang tengah sunyi, tidak ada yang nonton televisi. Mereka sudah pergi tidur. Gilang hendak duduk di ruang tengah, Rara menarik tangannya untuk masuk ke kamar mereka. "Sudah empat puluh hari," kata Rara sambil tersenyum penuh arti. "Ambu sudah tidur di kamarnya." Gilang berjalan lagi dan masuk ke kamar mereka. Di atas kasur sudah disiap
Gubuk reyot itu terletak di lereng bukit. Melihatnya saja sudah bikin sakit mata karena kumuh tidak terawat. Herannya banyak tamu dari jauh berdatangan dan mereka bukan orang sembarangan.Kebanyakan tamu adalah perempuan yang butuh pengasihan, susuk, dan penglaris. Gubuk terpencil itu menjadi terkenal karena dihuni oleh seorang kakek renta yang memiliki ilmu sangat tinggi. Penduduk setempat menyebutnya Mbah Sontoloyo.Beberapa perempuan yang sukses berkat bantuan penghuni gubuk itu ingin membangunkan rumah megah di kota supaya mereka tidak perlu susah payah mendaki gunung jika ada keperluan. Mbah Sontoloyo menolak segala kemewahan dunia yang diberikan. Dia hanya ingin kenikmatan dunia sebagai imbal jasa. Jika tidak bersedia, silakan pergi ke tempat lain.Pembayaran yang nyeleneh itu tidak membuat tamu surut. Mereka justru ketagihan datang karena kesaktian ilmu penghuni gubuk dapat mengabulka
Dennis marah-marah lewat telepon. "Kamu laporan sama bude dan bulik? Tidak tahu diuntung! Kamu tidak bisa menikah dengan keponakanku kalau aku tidak bersedia jadi wali!" "Memangnya ada apa?" tanya Gilang tenang. "Pagi-pagi sudah ngegas. Salah sarapan apa?" "Gara-gara kamu aku kena maki bude dan bulik!" "Gara-gara aku apa gara-gara Tarlita? Sehingga om tersayang lupa diri ingin mengorbankan anak yang lagi butuh kasih sayang," sindir Gilang sinis. "Kurang ajar!" "Aku paling tidak suka dimaki oleh lelaki brengsek macam kamu. Dengar baik-baik, jangan hubungi nomorku kalau kamu menempatkan nafsu di atas segalanya, atau aku lapor atasanmu agar dipecat." "Kamu laki-laki terlicik yang aku kenal." "Aku pria terdahsyat yang kamu kenal. Kamu boleh tanya sama keponakanmu kalau tidak percaya." "Urusanmu!" "Jadi buat apa ngebel kalau bukan untuk tahu urusanku? Aku jauh lebih brengsek dari kamu, dan berhenti jadi orang brengse
Bulan-bulan pertama orang tua Gilang sulit melupakan kesalahan anaknya. Mereka benci pada anaknya yang durhaka itu. Tak peduli seandainya pergi ke dasar neraka sekalipun.Lebih-lebih Umi. Setiap kali mendengar gunjingan tetangga setiap kali pula kemarahannya berkobar. Kehormatan keluarga yang dibangun susah payah hancur berkeping-keping karena kedunguan anaknya.Karena tidak tahu ke mana harus menumpahkan kemarahan, Wisnulah yang jadi sasaran. Hampir tiap hari kena damprat. Apa-apa yang dilakukan seolah tidak ada yang benar. Semua salah. Kupingnya sampai bising.Pergaulan Wisnu pun dibatasi. Tidak boleh keluar malam. Apalagi nongkrong di mall pulang sekolah. Selesai sekolah selesai pula kebebasan yang dimilikinya. Kembali ke sangkar emas.Satu-satunya yang diperbolehkan adalah bepergian dengan Karlina. Selain itu, hanya boleh bergaul dengan Andini. Gadis itu masih memiliki secercah harapan untuk bersanding dengan pujaan hatinya. Umi memberi lampu hijau ke
Idyla berhasil diselamatkan. Dia terhindar dari cengkeraman maut yang hampir merenggutnya. Semua penderitaan berakhir di meja operasi. Tapi ketika tim dokter hendak melakukan operasi kedua, Bradley menolaknya. Padahal operasi itu adalah operasi yang paling penting untuk masa depan Idyla. Tentu saja Rara marah. "Kenapa?" tatapnya sengit. "Kamu tak mampu bayar?" "Satu-satunya yang tidak mampu kubayar adalah kamu," senyum Bradley tanpa mengalihkan pandangannya dari Idyla yang berbaring di kamar perawatan. "Aku ingin membawa anakmu ke Tokyo." "Kau yakin dokter Tokyo lebih baik?" "Aku tak mengatakan dokter Tokyo lebih baik. Mereka sudah biasa melakukan hal itu." "Biasa? Kau mau bawa anakku dalam keadaan seperti ini karena biasa? Kau dengar kata dokter Hengky tadi, kan? Dia bisa mengganti kuping anakku!" "Yang kuinginkan bukan sekedar bisa. Aku ingin memberikan yang terbaik buat anakmu karena dia pantas mendapatkannya." Rara
Gilang terkejut mendengar kabar itu. Kartika bercerai. Dan perceraian itu menimbulkan bencana bagi dirinya. Sejak awal Gilang sudah menduga Datuk Meninggi dan Sastro bukan orang baik-baik, seorang bandot tua yang berjiwa kambing muda. Sisa umurnya digunakan untuk menikmati perempuan. Mereka punya peluang buat melalap daun muda dengan ancaman nistanya itu. "Kenapa Kartika tidak menempuh jalur hukum?" tatap Gilang kelu. "Kartika tidak memiliki bukti surat apapun." "Surat gampang dibikin, sekarang banyak mafia tanah." "Satu-satunya orang yang dapat membuktikan surat itu asli atau palsu adalah Abah, dan dia tidak ketahuan di mana rimbanya." Atau boleh jadi Kartika sudah membunuh Abah, pikir Gilang kelu. Dia tahu surat itu palsu, tapi tidak berani mengadukan ke polisi karena akan membuatnya terjerat kasus hukum. Kartika sudah dihantui perasaan bersalahnya. Dia bisa saja menuntut mereka untuk membuktikan keabsahan surat itu dengan me
Wajah Rara masih kelihatan buram meski berada di tengah keramaian pusat perbelanjaan. Kalau kebutuhan anaknya tidak habis, dia sebetulnya malas keluar rumah, kecuali pergi kerja saja. Mimin tidak bisa belanja. Dia sibuk membantu di toko. Bu Marto lagi kurang enak badan. Hiruk pikuk orang-orang di sekeliling seakan tak mampu menghalau kabut yang sejak beberapa waktu lalu hinggap di matanya. Dia hanya tersenyum pedih setiap kali mendengar celotehan Idyla yang berjalan dalam bimbingannya. Tidak lama lagi dia bukan cuma kehilangan celotehan Idyla, seluruh kehidupan puterinya akan berlalu dari sisinya! Rara sampai tak sadar saat berjalan menuju ke kasir ada seseorang yang berdiri terpukau melihatnya. Dia baru tersentak ketika sebuah seruan melecut telinganya: "Rara!" Seruan itu bukan hanya mengejutkan Rara, juga menghembuskan getaran yang entah sejak kapan sirna di hatinya. Lama tidak mendengar suara itu dan dia masih ingat baik-baik siapa pemilikn
Kartika menjalankan mobil lambat-lambat memasuki halaman rumah. Matanya yang bercahaya meredup dan menguncup. Senyum kepuasan yang menggantung sepanjang perjalanan langsung jatuh terpecah. Cerita mesra yang bersemayam indah di kepala terbang berhamburan. Datuk Meninggi dengan dua pengawal setianya berdiri menunggu kedatangannya. Kartika turun dari mobil dengan bertanya-tanya, wajahnya diselimuti rasa penasaran menggunung, kemudian menuangkan rasa ingin tahunya dalam sebentuk kalimat, "Ada apa ini?" "Dari mana kamu?" tanya Datuk Meninggi dengan sinar mata tajam dan dingin. "Latihan senam," sahut Kartika santai. "Di desa tetangga." "Habis senam?" "Shopping." "Habis shopping?" "Aku tidak perlu menjelaskan acara hari ini secara detail. Aku cape." Datuk Meninggi memandang jijik. "Dasar perempuan murahan!" Lelaki itu mengangkat tangan hendak menampar wajah Kartika, seorang pengawal segera memegang tangannya dan mencob
Melihat wajah dokter Patologi Anatomi itu, Gilang sudah tahu bagaimana hasil biopsi Idyla. Air muka dokter itu bercerita dengan sendirinya. Ya Tuhan! Akhirnya petaka itu datang juga! "Puteri Anda kena kanker jenis langka," ujar dokter sambil menaruh berkas hasil penelitian di atas meja. "Berbahaya kalau tidak dioperasi secepatnya." "Kanker?!" cetus Rara histeris. Matanya mengawasi Idyla yang berada di pangkuan suaminya dengan nanar. Tidak! Tidak! Oh, Tuhan! Mengapa Kau limpahkan azab ini pada anakku? Aku yang berbuat dosa! Aku yang membuat dia ada! Mengapa bukan nyawaku yang Kau ambil? "Paru-parunya masih bersih," kata dokter. "Belum ada gambaran coin lesion. Masih besar harapan untuk dapat tertolong." Seluruh tubuh Gilang terasa dingin. Wajahnya pucat tak berdarah. Dia sudah bisa membaca ke mana arah pembicaraan dokter. Bukan sekedar operasi biasa, tapi opersi...ya Tuhan! Dia tak sanggup membayangkannya! "Dokter," desis Gilang bergetar. "Kala
Mula-mula Rara mengira benjolan kecil di daun telinga puterinya cuma benjolan biasa, akibat digigit serangga atau terkena sesuatu. Maklum Idyla sudah pandai berjalan. Sedang lucu-lucunya. Sedang nakal-nakalnya pula. "Aduh, kenapa, Sayang?" hibur Rara ketika Idyla menangis keras-keras seperti kesakitan. "Kupingnya kok dipegangi terus? Coba Mama lihat. Ah, tidak apa-apa. Masa anak Mama segitu saja nangis?" Bermacam cara Rara mencoba membujuknya. Usahanya berhasil. Idyla sudah bisa tertawa-tawa lagi dan kembali bermain. "Bantu aku periksa rumah, Min," kata Ambu. "Cucuku kayaknya digigit binatang kecil." Seharian mereka mencari sarang serangga dengan hasil nihil. Rumah ini sangat bersih, tidak ada barang berdebu. Lalat pun malu untuk bertamu. Malam harinya Idyla menangis lagi dengan masalah serupa. Dua hari kemudian pun begitu. Muncul rasa sakitnya tidak tentu. "Minggu ini anak kita sering sekali menangis," kata Gilang yang terbangun mende
Penghasilan Gilang sehari-hari sebenarnya cukup lumayan. Banyak orang yang tertarik dengan jasanya. Malah ada ibu-ibu berlangganan antar jemput puteranya ke sekolah, bayar bulanan. Anak orang kaya aneh-aneh. Dia merasa lebih keren naik Moge daripada diantar sedan mewah dengan sopir tua. Tidak seru katanya. Kalau bercerita, pasti tentang Jakarta tempo dulu, asal-usul tugu peringatan. Bosan. Asal-usul papinya saja, mereka tidak ingin tahu. Apalagi tampang Gilang tidak seperti berandalan, ramah, sopan, simpatik, dan satu lagi, sangat tampan. Tak heran pelanggan kebanyakan perempuan berumur dua puluh lima ke bawah. Kalau belanja, tidak kelihatan seperti pembantu dan tukang ojek. Gadis-gadis seksi itu merasa bagaikan pasangan romantis di film Bollywood. Lagi pula, motor bisa menyelinap dengan lincah di keramaian lalu lintas, lebih cepat sampai tujuan. Tapi hidup di kota besar sungguh mahal. Baru dapat penghasilan sedikit lebih besar, harga-harga membumbung naik, seolah in
Mata Rara tak dapat terpejam. Sudah jam sembilan malam Gilang belum pulang, padahal tak pernah pulang telat. Dia takut terjadi apa-apa dengan suaminya. Tidak mungkin masih mencari pekerjaan. Kantor tentu telah tutup. Sekalipun buka, bukan untuk urusan tenaga kerja. Handphone suaminya dihubungi tidak aktif. Mungkin lowbat. Untuk menyapu keresahan, Rara merubah posisi tidurnya. Matanya tertumpu ke sosok mungil yang berbaring di sampingnya. Idyla tampak terlelap. Pulas sekali. Tak sadar Rara tersenyum. Hatinya selalu terhibur melihat wajah yang polos itu. Idyla sudah mengerti bahasa isyarat. Sudah bisa diajak bercanda. Cuma Rara belum sempat mencarikan baby sitter untuknya. Belum ada waktu yang tepat buat mendiskusikan dengan suaminya. Dia cukup repot untuk bolak-balik ke tempat penitipan bayi, mendingan diurus dan dirawat oleh tenaga tersendiri. Gilang masih disibukkan dengan masalah pekerjaan. Dia masih terus mencari dan mencari. Entah kapan ditemukan. Mendapa