Gilang menghentikan kendaraan di depan rumah. Mereka turun dari dalam mobil. Gilang membukakan pintu buat istrinya, kemudian mengambil toga yang tersimpan di dalam tas jinjing. Toko kelihatan sangat ramai.
"Marto dan istrinya keteteran melayani pembeli," kata Ambu. "Aku langsung ke toko."
"Istirahat saja dulu, Ambu," cegah Gilang. "Pembeli bisa antri."
"Kita harus memberi pelayanan yang terbaik," sahut Ambu. "Mereka tidak boleh menunggu."
Ambu pergi ke toko untuk membantu Pak Marto dan istri. Mereka masuk ke dalam rumah. Mimin langsung pergi ke dapur untuk menyiapkan hidangan buat makan sore. Nita masuk ke dalam kamar beristirahat. Hari-hari ini dia banyak waktu luang menunggu hasil testing masuk perguruan tinggi negeri.
Rara menidurkan bayi di ranjang, kemudian membuka sepatu dan pakaian suaminya. Kebiasaan yang tak pernah ditinggalkan bagaimanapun sibuknya.
Gilang mengenakan pakaian rumah dan berebahan di kasur beristirahat, Rara men
Gilang mengamati pisau dapur yang dipegangnya secara seksama. "Pisau ini sama persis dengan pisau yang menancap di punggung Abah dalam mimpiku." "Pisau dapur di rumah itu banyak dan jenisnya sama persis." "Gagang pisau ini sedikit cacat, kayak bekas menumbuk sesuatu." Surya angkat bahu sedikit. "Lalu apa yang hendak kamu lakukan dengan pisau itu?" Gilang menggeleng pelan. "Entahlah. Aku cuma yakin pisau ini yang digunakan untuk membunuh mertuaku." "Keyakinanmu tidak berguna. Kamu butuh bukti di alam nyata, bukan di alam mimpi." "Maka itu aku minta kamu untuk menjalankan misi terakhir. Kamu harus bisa masuk ke rumah itu untuk memeriksa dan melihat situasi di dalam rumah." "Ini harusnya tugas kamu. Kedatanganmu tidak akan dicurigai tukang kebun. Kamu bebas masuk ke kamar mana saja." "Tukang kebun dan istrinya tidak curiga. Kartika pasti curiga, apalagi jika dia pelakunya. Aku jadi terlilit masalah, Rara pasti tidak meneri
Mengunjungi orang sakit adalah kebiasaan langka di kampung ini. Paling antar saudara saja. Kalau antar tetangga, jarang sekali. Jadi sangat surprise jika Surya membawa buah tangan yang cukup banyak. Dia turun di depan gerbang rumah Kartika. "Aku langsung pulang ya, Sur," kata Gilang. "Hati-hati pisaunya. Kau nanti kena sweeping. Hari ini di kota kecamatan ada demo." "Aku tidak lewat kota, sedikit lebih jauh tapi aman." "Bagusnya begitu." Surya membuka pintu gerbang yang tidak terkunci dan memasuki pelataran rumah sambil menjinjing beberapa kantong plastik berisi buah tangan. Dia pencet bel rumah. Kemudian muncul Mirna dari dalam rumah. "Kang Dudung update status lagi sakit, apa benar, Teh?" "Oh iya, dia kena demam," sahut Mirna. "Dari pagi tidak bangun-bangun dari tempat tidur. Masuk, Sur." Surya masuk dan Mirna menutup pintu. Kemudian dia menyerahkan buah tangan ke wanita itu. "Tidak dibawa ke Puskesmas?" tanya
Gilang menyodorkan sertifikat nilai ke hadapan Marliana. Wanita cantik itu tersenyum bangga melihat nilai yang tercantum. Gilang adalah lelaki terdahsyat dalam segala aspek kehidupan, begitu informasi yang didapat dari orang kepercayaannya. Hal yang sangat menggugah sifat kewanitaannya. "Jauh sekali dengan anakku, Bimo," puji Marliana. "Mestinya kamu jadi CEO." "Posisi saat ini sudah cukup baik bagi saya," kata Gilang. "Saya ingin diterima sebagai pegawai secara penuh, tentu saja kalau Ibu berkenan." "Aku ada posisi yang sangat menarik untukmu. Kamu bisa mendampingi Bimo sebagai CEO Junior. Kamu dapat mewujudkan semua mimpi dengan fasilitas eksklusif yang kuberikan." Gilang menolak secara halus. "Saya belum ada pengalaman untuk itu, masih harus banyak belajar." Marliana tersenyum manis. "Kamu bisa belajar banyak nanti. Aku tidak akan melepas kalian begitu saja." "Menurut saya ada yang lebih pantas." Handa, staf senior lebih lay
Hari pertama jadi pengangguran terasa aneh bagi Gilang. Dia bangun pagi-pagi tidak tahu untuk apa. Membuka toko sudah ada Pak Marto. Membersihkan rumah sudah digarap oleh Mimin dan Nita sejak subuh. Nita mengisi hari-hari tegang menunggu hasil ujian seleksi masuk perguruan tinggi negeri dengan berbagai kesibukan.Akhirnya Gilang tinggal di kamar menunggui bayi, kadang mengganggu istri jika menyusui. Rara sendiri merasa aneh pagi-pagi melihat suaminya berkeliaran di depan matanya."Aku jadi mati gaya," kata Gilang sambil duduk di atas tempat tidur. "Aku tidak tahu apa yang harus dikerjakan."Rara tersenyum menggoda. "Bercinta.""Malam sudah lima dan sekarang hari masih pagi.""Memangnya kenapa hari masih pagi? Aku masuk kerja minggu depan. Kamu sudah menyiapkan berkas untuk melamar pekerjaan, tapi lowongan kerja yang sesuai dengan bidangmu belum ada. Lalu ka
Terik matahari masih terasa walaupun Gilang berlindung di bawah pohon peneduh jalan. Dia mengeluarkan saputangan menyeka keringat yang meleleh di kening. Tenggorokannya terasa kering, padahal segelas jus jeruk baru saja mampir di perutnya. Kantor di wilayah barat metropolitan ini hampir semua telah didatangi, dari gedung pencakar langit sampai pencakar ayam. Jawaban yang diterima sama. Jawaban usang. Tidak ada lowongan atau cari yang berpengalaman. Bagaimana punya pengalaman kalau mereka selalu bilang tidak ada lowongan, mendahulukan orang yang pernah bekerja, seolah cuma ingin memindahkan karyawan dari satu perusahaan ke perusahaan lain, bukan merekrut pengangguran. Rara dengan mudahnya pindah ke swalayan dekat penitipan bayi, naik jabatan pula, tanpa proses berbelit-belit. Atau perempuan gampang diterima kerja asal berani pakai rok tinggi? "Buang pikiran kotormu," sergah Rara. "Swalayan itu yang punya wanita." "Kaum kalian yang katanya lemah
Pagi itu Gilang berada di sebuah kawasan pertokoan. Dia sendiri tidak tahu apa yang dicari di antara keramaian orang berbelanja itu. Dia hanya mengikuti putaran lambat ban Mogenya. Tak punya tujuan. Motor gede ini terpaksa dia beli karena desakan istrinya. Rara tiap hari menasehati untuk membeli kendaraan agar tidak repot dan ongkosan naik turun angkutan umum cari pekerjaan. Dia sempat berpikir untuk membeli mobil sekalian jadi driver online. Tapi istrinya lebih setuju dia jadi sopir pick up toko membantu Pak Marto. Gilang melihat lelaki separuh baya itu belum perlu bantuan. Jadi dia lebih baik cari kerja di luar. Kerja apa saja. Sampai hari ini dia belum berhasil mendapat pekerjaan. Persediaan uang untuk cari kerja sudah mulai menipis. Dia menganggarkan dengan besaran tertentu untuk biaya cari kerja. Dua minggu lagi masih menganggur, dia benar-benar jadi pecundang di depan istri. Merawat bayi. Dia diburu waktu. Dikejar kehidupan. Tapi tak ada peluang
Mata Rara tak dapat terpejam. Sudah jam sembilan malam Gilang belum pulang, padahal tak pernah pulang telat. Dia takut terjadi apa-apa dengan suaminya. Tidak mungkin masih mencari pekerjaan. Kantor tentu telah tutup. Sekalipun buka, bukan untuk urusan tenaga kerja. Handphone suaminya dihubungi tidak aktif. Mungkin lowbat. Untuk menyapu keresahan, Rara merubah posisi tidurnya. Matanya tertumpu ke sosok mungil yang berbaring di sampingnya. Idyla tampak terlelap. Pulas sekali. Tak sadar Rara tersenyum. Hatinya selalu terhibur melihat wajah yang polos itu. Idyla sudah mengerti bahasa isyarat. Sudah bisa diajak bercanda. Cuma Rara belum sempat mencarikan baby sitter untuknya. Belum ada waktu yang tepat buat mendiskusikan dengan suaminya. Dia cukup repot untuk bolak-balik ke tempat penitipan bayi, mendingan diurus dan dirawat oleh tenaga tersendiri. Gilang masih disibukkan dengan masalah pekerjaan. Dia masih terus mencari dan mencari. Entah kapan ditemukan. Mendapa
Penghasilan Gilang sehari-hari sebenarnya cukup lumayan. Banyak orang yang tertarik dengan jasanya. Malah ada ibu-ibu berlangganan antar jemput puteranya ke sekolah, bayar bulanan. Anak orang kaya aneh-aneh. Dia merasa lebih keren naik Moge daripada diantar sedan mewah dengan sopir tua. Tidak seru katanya. Kalau bercerita, pasti tentang Jakarta tempo dulu, asal-usul tugu peringatan. Bosan. Asal-usul papinya saja, mereka tidak ingin tahu. Apalagi tampang Gilang tidak seperti berandalan, ramah, sopan, simpatik, dan satu lagi, sangat tampan. Tak heran pelanggan kebanyakan perempuan berumur dua puluh lima ke bawah. Kalau belanja, tidak kelihatan seperti pembantu dan tukang ojek. Gadis-gadis seksi itu merasa bagaikan pasangan romantis di film Bollywood. Lagi pula, motor bisa menyelinap dengan lincah di keramaian lalu lintas, lebih cepat sampai tujuan. Tapi hidup di kota besar sungguh mahal. Baru dapat penghasilan sedikit lebih besar, harga-harga membumbung naik, seolah in