Home / Romansa / SULTAN DESA / 93. Bisnis Transportasi

Share

93. Bisnis Transportasi

Author: Namira
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Pagi itu Gilang berada di sebuah kawasan pertokoan. Dia sendiri tidak tahu apa yang dicari di antara keramaian orang berbelanja itu. Dia hanya mengikuti putaran lambat ban Mogenya. Tak punya tujuan.

Motor gede ini terpaksa dia beli karena desakan istrinya. Rara tiap hari menasehati untuk membeli kendaraan agar tidak repot dan ongkosan naik turun angkutan umum cari pekerjaan. Dia sempat berpikir untuk membeli mobil sekalian jadi driver online. Tapi istrinya lebih setuju dia jadi sopir pick up toko membantu Pak Marto.  

Gilang melihat lelaki separuh baya itu belum perlu bantuan. Jadi dia lebih baik cari kerja di luar. Kerja apa saja. Sampai hari ini dia belum berhasil mendapat pekerjaan. Persediaan uang untuk cari kerja sudah mulai menipis. Dia menganggarkan dengan besaran tertentu untuk biaya cari kerja. Dua minggu lagi masih menganggur, dia benar-benar jadi pecundang di depan istri. Merawat bayi.

Dia diburu waktu. Dikejar kehidupan. Tapi tak ada peluang

Namira

Episode ini sudah terbit sebelumnya, hanya bergeser posisi.

| Like
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • SULTAN DESA   94. Telat Pulang

    Mata Rara tak dapat terpejam. Sudah jam sembilan malam Gilang belum pulang, padahal tak pernah pulang telat. Dia takut terjadi apa-apa dengan suaminya. Tidak mungkin masih mencari pekerjaan. Kantor tentu telah tutup. Sekalipun buka, bukan untuk urusan tenaga kerja. Handphone suaminya dihubungi tidak aktif. Mungkin lowbat. Untuk menyapu keresahan, Rara merubah posisi tidurnya. Matanya tertumpu ke sosok mungil yang berbaring di sampingnya. Idyla tampak terlelap. Pulas sekali. Tak sadar Rara tersenyum. Hatinya selalu terhibur melihat wajah yang polos itu. Idyla sudah mengerti bahasa isyarat. Sudah bisa diajak bercanda. Cuma Rara belum sempat mencarikan baby sitter untuknya. Belum ada waktu yang tepat buat mendiskusikan dengan suaminya. Dia cukup repot untuk bolak-balik ke tempat penitipan bayi, mendingan diurus dan dirawat oleh tenaga tersendiri. Gilang masih disibukkan dengan masalah pekerjaan. Dia masih terus mencari dan mencari. Entah kapan ditemukan. Mendapa

  • SULTAN DESA   95. Keteguhan Cinta

    Penghasilan Gilang sehari-hari sebenarnya cukup lumayan. Banyak orang yang tertarik dengan jasanya. Malah ada ibu-ibu berlangganan antar jemput puteranya ke sekolah, bayar bulanan. Anak orang kaya aneh-aneh. Dia merasa lebih keren naik Moge daripada diantar sedan mewah dengan sopir tua. Tidak seru katanya. Kalau bercerita, pasti tentang Jakarta tempo dulu, asal-usul tugu peringatan. Bosan. Asal-usul papinya saja, mereka tidak ingin tahu. Apalagi tampang Gilang tidak seperti berandalan, ramah, sopan, simpatik, dan satu lagi, sangat tampan. Tak heran pelanggan kebanyakan perempuan berumur dua puluh lima ke bawah. Kalau belanja, tidak kelihatan seperti pembantu dan tukang ojek. Gadis-gadis seksi itu merasa bagaikan pasangan romantis di film Bollywood. Lagi pula, motor bisa menyelinap dengan lincah di keramaian lalu lintas, lebih cepat sampai tujuan. Tapi hidup di kota besar sungguh mahal. Baru dapat penghasilan sedikit lebih besar, harga-harga membumbung naik, seolah in

  • SULTAN DESA   96. Jangan Kau Berikan

    Mula-mula Rara mengira benjolan kecil di daun telinga puterinya cuma benjolan biasa, akibat digigit serangga atau terkena sesuatu. Maklum Idyla sudah pandai berjalan. Sedang lucu-lucunya. Sedang nakal-nakalnya pula. "Aduh, kenapa, Sayang?" hibur Rara ketika Idyla menangis keras-keras seperti kesakitan. "Kupingnya kok dipegangi terus? Coba Mama lihat. Ah, tidak apa-apa. Masa anak Mama segitu saja nangis?" Bermacam cara Rara mencoba membujuknya. Usahanya berhasil. Idyla sudah bisa tertawa-tawa lagi dan kembali bermain. "Bantu aku periksa rumah, Min," kata Ambu. "Cucuku kayaknya digigit binatang kecil." Seharian mereka mencari sarang serangga dengan hasil nihil. Rumah ini sangat bersih, tidak ada barang berdebu. Lalat pun malu untuk bertamu. Malam harinya Idyla menangis lagi dengan masalah serupa. Dua hari kemudian pun begitu. Muncul rasa sakitnya tidak tentu. "Minggu ini anak kita sering sekali menangis," kata Gilang yang terbangun mende

  • SULTAN DESA   97. Batas Waktu

    Melihat wajah dokter Patologi Anatomi itu, Gilang sudah tahu bagaimana hasil biopsi Idyla. Air muka dokter itu bercerita dengan sendirinya. Ya Tuhan! Akhirnya petaka itu datang juga! "Puteri Anda kena kanker jenis langka," ujar dokter sambil menaruh berkas hasil penelitian di atas meja. "Berbahaya kalau tidak dioperasi secepatnya." "Kanker?!" cetus Rara histeris. Matanya mengawasi Idyla yang berada di pangkuan suaminya dengan nanar. Tidak! Tidak! Oh, Tuhan! Mengapa Kau limpahkan azab ini pada anakku? Aku yang berbuat dosa! Aku yang membuat dia ada! Mengapa bukan nyawaku yang Kau ambil? "Paru-parunya masih bersih," kata dokter. "Belum ada gambaran coin lesion. Masih besar harapan untuk dapat tertolong." Seluruh tubuh Gilang terasa dingin. Wajahnya pucat tak berdarah. Dia sudah bisa membaca ke mana arah pembicaraan dokter. Bukan sekedar operasi biasa, tapi opersi...ya Tuhan! Dia tak sanggup membayangkannya! "Dokter," desis Gilang bergetar. "Kala

  • SULTAN DESA   98. Menuai Badai

    Kartika menjalankan mobil lambat-lambat memasuki halaman rumah. Matanya yang bercahaya meredup dan menguncup. Senyum kepuasan yang menggantung sepanjang perjalanan langsung jatuh terpecah. Cerita mesra yang bersemayam indah di kepala terbang berhamburan. Datuk Meninggi dengan dua pengawal setianya berdiri menunggu kedatangannya. Kartika turun dari mobil dengan bertanya-tanya, wajahnya diselimuti rasa penasaran menggunung, kemudian menuangkan rasa ingin tahunya dalam sebentuk kalimat, "Ada apa ini?" "Dari mana kamu?" tanya Datuk Meninggi dengan sinar mata tajam dan dingin. "Latihan senam," sahut Kartika santai. "Di desa tetangga." "Habis senam?" "Shopping." "Habis shopping?" "Aku tidak perlu menjelaskan acara hari ini secara detail. Aku cape." Datuk Meninggi memandang jijik. "Dasar perempuan murahan!" Lelaki itu mengangkat tangan hendak menampar wajah Kartika, seorang pengawal segera memegang tangannya dan mencob

  • SULTAN DESA   99. Elegi Kehidupan

    Wajah Rara masih kelihatan buram meski berada di tengah keramaian pusat perbelanjaan. Kalau kebutuhan anaknya tidak habis, dia sebetulnya malas keluar rumah, kecuali pergi kerja saja. Mimin tidak bisa belanja. Dia sibuk membantu di toko. Bu Marto lagi kurang enak badan. Hiruk pikuk orang-orang di sekeliling seakan tak mampu menghalau kabut yang sejak beberapa waktu lalu hinggap di matanya. Dia hanya tersenyum pedih setiap kali mendengar celotehan Idyla yang berjalan dalam bimbingannya. Tidak lama lagi dia bukan cuma kehilangan celotehan Idyla, seluruh kehidupan puterinya akan berlalu dari sisinya! Rara sampai tak sadar saat berjalan menuju ke kasir ada seseorang yang berdiri terpukau melihatnya. Dia baru tersentak ketika sebuah seruan melecut telinganya: "Rara!" Seruan itu bukan hanya mengejutkan Rara, juga menghembuskan getaran yang entah sejak kapan sirna di hatinya. Lama tidak mendengar suara itu dan dia masih ingat baik-baik siapa pemilikn

  • SULTAN DESA   100. Dunia Memang Iblis

    Gilang terkejut mendengar kabar itu. Kartika bercerai. Dan perceraian itu menimbulkan bencana bagi dirinya. Sejak awal Gilang sudah menduga Datuk Meninggi dan Sastro bukan orang baik-baik, seorang bandot tua yang berjiwa kambing muda. Sisa umurnya digunakan untuk menikmati perempuan. Mereka punya peluang buat melalap daun muda dengan ancaman nistanya itu. "Kenapa Kartika tidak menempuh jalur hukum?" tatap Gilang kelu. "Kartika tidak memiliki bukti surat apapun." "Surat gampang dibikin, sekarang banyak mafia tanah." "Satu-satunya orang yang dapat membuktikan surat itu asli atau palsu adalah Abah, dan dia tidak ketahuan di mana rimbanya." Atau boleh jadi Kartika sudah membunuh Abah, pikir Gilang kelu. Dia tahu surat itu palsu, tapi tidak berani mengadukan ke polisi karena akan membuatnya terjerat kasus hukum. Kartika sudah dihantui perasaan bersalahnya. Dia bisa saja menuntut mereka untuk membuktikan keabsahan surat itu dengan me

  • SULTAN DESA   101. Kenyataan Baru

    Idyla berhasil diselamatkan. Dia terhindar dari cengkeraman maut yang hampir merenggutnya. Semua penderitaan berakhir di meja operasi. Tapi ketika tim dokter hendak melakukan operasi kedua, Bradley menolaknya. Padahal operasi itu adalah operasi yang paling penting untuk masa depan Idyla. Tentu saja Rara marah. "Kenapa?" tatapnya sengit. "Kamu tak mampu bayar?" "Satu-satunya yang tidak mampu kubayar adalah kamu," senyum Bradley tanpa mengalihkan pandangannya dari Idyla yang berbaring di kamar perawatan. "Aku ingin membawa anakmu ke Tokyo." "Kau yakin dokter Tokyo lebih baik?" "Aku tak mengatakan dokter Tokyo lebih baik. Mereka sudah biasa melakukan hal itu." "Biasa? Kau mau bawa anakku dalam keadaan seperti ini karena biasa? Kau dengar kata dokter Hengky tadi, kan? Dia bisa mengganti kuping anakku!" "Yang kuinginkan bukan sekedar bisa. Aku ingin memberikan yang terbaik buat anakmu karena dia pantas mendapatkannya." Rara

Latest chapter

  • SULTAN DESA   102. Perempuan Sundel

    Bulan-bulan pertama orang tua Gilang sulit melupakan kesalahan anaknya. Mereka benci pada anaknya yang durhaka itu. Tak peduli seandainya pergi ke dasar neraka sekalipun.Lebih-lebih Umi. Setiap kali mendengar gunjingan tetangga setiap kali pula kemarahannya berkobar. Kehormatan keluarga yang dibangun susah payah hancur berkeping-keping karena kedunguan anaknya.Karena tidak tahu ke mana harus menumpahkan kemarahan, Wisnulah yang jadi sasaran. Hampir tiap hari kena damprat. Apa-apa yang dilakukan seolah tidak ada yang benar. Semua salah. Kupingnya sampai bising.Pergaulan Wisnu pun dibatasi. Tidak boleh keluar malam. Apalagi nongkrong di mall pulang sekolah. Selesai sekolah selesai pula kebebasan yang dimilikinya. Kembali ke sangkar emas.Satu-satunya yang diperbolehkan adalah bepergian dengan Karlina. Selain itu, hanya boleh bergaul dengan Andini. Gadis itu masih memiliki secercah harapan untuk bersanding dengan pujaan hatinya. Umi memberi lampu hijau ke

  • SULTAN DESA   101. Kenyataan Baru

    Idyla berhasil diselamatkan. Dia terhindar dari cengkeraman maut yang hampir merenggutnya. Semua penderitaan berakhir di meja operasi. Tapi ketika tim dokter hendak melakukan operasi kedua, Bradley menolaknya. Padahal operasi itu adalah operasi yang paling penting untuk masa depan Idyla. Tentu saja Rara marah. "Kenapa?" tatapnya sengit. "Kamu tak mampu bayar?" "Satu-satunya yang tidak mampu kubayar adalah kamu," senyum Bradley tanpa mengalihkan pandangannya dari Idyla yang berbaring di kamar perawatan. "Aku ingin membawa anakmu ke Tokyo." "Kau yakin dokter Tokyo lebih baik?" "Aku tak mengatakan dokter Tokyo lebih baik. Mereka sudah biasa melakukan hal itu." "Biasa? Kau mau bawa anakku dalam keadaan seperti ini karena biasa? Kau dengar kata dokter Hengky tadi, kan? Dia bisa mengganti kuping anakku!" "Yang kuinginkan bukan sekedar bisa. Aku ingin memberikan yang terbaik buat anakmu karena dia pantas mendapatkannya." Rara

  • SULTAN DESA   100. Dunia Memang Iblis

    Gilang terkejut mendengar kabar itu. Kartika bercerai. Dan perceraian itu menimbulkan bencana bagi dirinya. Sejak awal Gilang sudah menduga Datuk Meninggi dan Sastro bukan orang baik-baik, seorang bandot tua yang berjiwa kambing muda. Sisa umurnya digunakan untuk menikmati perempuan. Mereka punya peluang buat melalap daun muda dengan ancaman nistanya itu. "Kenapa Kartika tidak menempuh jalur hukum?" tatap Gilang kelu. "Kartika tidak memiliki bukti surat apapun." "Surat gampang dibikin, sekarang banyak mafia tanah." "Satu-satunya orang yang dapat membuktikan surat itu asli atau palsu adalah Abah, dan dia tidak ketahuan di mana rimbanya." Atau boleh jadi Kartika sudah membunuh Abah, pikir Gilang kelu. Dia tahu surat itu palsu, tapi tidak berani mengadukan ke polisi karena akan membuatnya terjerat kasus hukum. Kartika sudah dihantui perasaan bersalahnya. Dia bisa saja menuntut mereka untuk membuktikan keabsahan surat itu dengan me

  • SULTAN DESA   99. Elegi Kehidupan

    Wajah Rara masih kelihatan buram meski berada di tengah keramaian pusat perbelanjaan. Kalau kebutuhan anaknya tidak habis, dia sebetulnya malas keluar rumah, kecuali pergi kerja saja. Mimin tidak bisa belanja. Dia sibuk membantu di toko. Bu Marto lagi kurang enak badan. Hiruk pikuk orang-orang di sekeliling seakan tak mampu menghalau kabut yang sejak beberapa waktu lalu hinggap di matanya. Dia hanya tersenyum pedih setiap kali mendengar celotehan Idyla yang berjalan dalam bimbingannya. Tidak lama lagi dia bukan cuma kehilangan celotehan Idyla, seluruh kehidupan puterinya akan berlalu dari sisinya! Rara sampai tak sadar saat berjalan menuju ke kasir ada seseorang yang berdiri terpukau melihatnya. Dia baru tersentak ketika sebuah seruan melecut telinganya: "Rara!" Seruan itu bukan hanya mengejutkan Rara, juga menghembuskan getaran yang entah sejak kapan sirna di hatinya. Lama tidak mendengar suara itu dan dia masih ingat baik-baik siapa pemilikn

  • SULTAN DESA   98. Menuai Badai

    Kartika menjalankan mobil lambat-lambat memasuki halaman rumah. Matanya yang bercahaya meredup dan menguncup. Senyum kepuasan yang menggantung sepanjang perjalanan langsung jatuh terpecah. Cerita mesra yang bersemayam indah di kepala terbang berhamburan. Datuk Meninggi dengan dua pengawal setianya berdiri menunggu kedatangannya. Kartika turun dari mobil dengan bertanya-tanya, wajahnya diselimuti rasa penasaran menggunung, kemudian menuangkan rasa ingin tahunya dalam sebentuk kalimat, "Ada apa ini?" "Dari mana kamu?" tanya Datuk Meninggi dengan sinar mata tajam dan dingin. "Latihan senam," sahut Kartika santai. "Di desa tetangga." "Habis senam?" "Shopping." "Habis shopping?" "Aku tidak perlu menjelaskan acara hari ini secara detail. Aku cape." Datuk Meninggi memandang jijik. "Dasar perempuan murahan!" Lelaki itu mengangkat tangan hendak menampar wajah Kartika, seorang pengawal segera memegang tangannya dan mencob

  • SULTAN DESA   97. Batas Waktu

    Melihat wajah dokter Patologi Anatomi itu, Gilang sudah tahu bagaimana hasil biopsi Idyla. Air muka dokter itu bercerita dengan sendirinya. Ya Tuhan! Akhirnya petaka itu datang juga! "Puteri Anda kena kanker jenis langka," ujar dokter sambil menaruh berkas hasil penelitian di atas meja. "Berbahaya kalau tidak dioperasi secepatnya." "Kanker?!" cetus Rara histeris. Matanya mengawasi Idyla yang berada di pangkuan suaminya dengan nanar. Tidak! Tidak! Oh, Tuhan! Mengapa Kau limpahkan azab ini pada anakku? Aku yang berbuat dosa! Aku yang membuat dia ada! Mengapa bukan nyawaku yang Kau ambil? "Paru-parunya masih bersih," kata dokter. "Belum ada gambaran coin lesion. Masih besar harapan untuk dapat tertolong." Seluruh tubuh Gilang terasa dingin. Wajahnya pucat tak berdarah. Dia sudah bisa membaca ke mana arah pembicaraan dokter. Bukan sekedar operasi biasa, tapi opersi...ya Tuhan! Dia tak sanggup membayangkannya! "Dokter," desis Gilang bergetar. "Kala

  • SULTAN DESA   96. Jangan Kau Berikan

    Mula-mula Rara mengira benjolan kecil di daun telinga puterinya cuma benjolan biasa, akibat digigit serangga atau terkena sesuatu. Maklum Idyla sudah pandai berjalan. Sedang lucu-lucunya. Sedang nakal-nakalnya pula. "Aduh, kenapa, Sayang?" hibur Rara ketika Idyla menangis keras-keras seperti kesakitan. "Kupingnya kok dipegangi terus? Coba Mama lihat. Ah, tidak apa-apa. Masa anak Mama segitu saja nangis?" Bermacam cara Rara mencoba membujuknya. Usahanya berhasil. Idyla sudah bisa tertawa-tawa lagi dan kembali bermain. "Bantu aku periksa rumah, Min," kata Ambu. "Cucuku kayaknya digigit binatang kecil." Seharian mereka mencari sarang serangga dengan hasil nihil. Rumah ini sangat bersih, tidak ada barang berdebu. Lalat pun malu untuk bertamu. Malam harinya Idyla menangis lagi dengan masalah serupa. Dua hari kemudian pun begitu. Muncul rasa sakitnya tidak tentu. "Minggu ini anak kita sering sekali menangis," kata Gilang yang terbangun mende

  • SULTAN DESA   95. Keteguhan Cinta

    Penghasilan Gilang sehari-hari sebenarnya cukup lumayan. Banyak orang yang tertarik dengan jasanya. Malah ada ibu-ibu berlangganan antar jemput puteranya ke sekolah, bayar bulanan. Anak orang kaya aneh-aneh. Dia merasa lebih keren naik Moge daripada diantar sedan mewah dengan sopir tua. Tidak seru katanya. Kalau bercerita, pasti tentang Jakarta tempo dulu, asal-usul tugu peringatan. Bosan. Asal-usul papinya saja, mereka tidak ingin tahu. Apalagi tampang Gilang tidak seperti berandalan, ramah, sopan, simpatik, dan satu lagi, sangat tampan. Tak heran pelanggan kebanyakan perempuan berumur dua puluh lima ke bawah. Kalau belanja, tidak kelihatan seperti pembantu dan tukang ojek. Gadis-gadis seksi itu merasa bagaikan pasangan romantis di film Bollywood. Lagi pula, motor bisa menyelinap dengan lincah di keramaian lalu lintas, lebih cepat sampai tujuan. Tapi hidup di kota besar sungguh mahal. Baru dapat penghasilan sedikit lebih besar, harga-harga membumbung naik, seolah in

  • SULTAN DESA   94. Telat Pulang

    Mata Rara tak dapat terpejam. Sudah jam sembilan malam Gilang belum pulang, padahal tak pernah pulang telat. Dia takut terjadi apa-apa dengan suaminya. Tidak mungkin masih mencari pekerjaan. Kantor tentu telah tutup. Sekalipun buka, bukan untuk urusan tenaga kerja. Handphone suaminya dihubungi tidak aktif. Mungkin lowbat. Untuk menyapu keresahan, Rara merubah posisi tidurnya. Matanya tertumpu ke sosok mungil yang berbaring di sampingnya. Idyla tampak terlelap. Pulas sekali. Tak sadar Rara tersenyum. Hatinya selalu terhibur melihat wajah yang polos itu. Idyla sudah mengerti bahasa isyarat. Sudah bisa diajak bercanda. Cuma Rara belum sempat mencarikan baby sitter untuknya. Belum ada waktu yang tepat buat mendiskusikan dengan suaminya. Dia cukup repot untuk bolak-balik ke tempat penitipan bayi, mendingan diurus dan dirawat oleh tenaga tersendiri. Gilang masih disibukkan dengan masalah pekerjaan. Dia masih terus mencari dan mencari. Entah kapan ditemukan. Mendapa

DMCA.com Protection Status