Semua Bab Kehancuran Usai Suami Berkhianat : Bab 51 - Bab 60

76 Bab

51. Kembali Ke Kampung Halaman (PoV April)

Dari bandara, akan menuju kampung travel melewati Kota Cantik membuatku kembali mengingat awal datang dulu. Diri membawa sejuta harap hidup akan lebih baik, tapi ternyata sekarang harus kutinggalkan lagi kota ini, pulang dengan keadaan hancur lebur. Andai bisa diulang, mungkin aku akan serius belajar, dan sekarang sudah kerja di Bank, seperti mimpi yang pernah kuidamkan. Jadi seorang Customer Service, berdandan cantik, dan ditatap orang-orang penuh kekaguman. Lalu menikah dengan orang penting, kaya, dan hidup bahagia, seperti kata Nenek kalau aku ini istimewa. Namun … semua tinggal khayalan, aku sudah tidak bisa kembali seperti semula. Predikat buruk terlanjur disandang. Dengan wajah memakai masker, aku diam sepanjang perjalanan. Tidak mau orang terganggu melihat hidungku yang kembali merekah merah sebab meradang, aku juga malas ditanya kenapa ini kenapa itu, semua orang akan tanya hal sama me
Baca selengkapnya

52. Maaf Atas Semua Angkuhku...(PoV April)

“Ini salahku sendiri, Mak.” Hidung rusak akibat ingin cantik, agar Joni mau menikahiku adalah bukti kebodohan sendiri. Kemudian dua tangan kuangkat. “Apa yang Mamak bilang ini karena pengaruh orang itu? Sampai Mamak segitu percaya dengan apa saja yang dia bilang?” Mata Mamak berkilat marah. “Ini dari mimpi mamak, April! Apa kamu mau semua turunan mamak habis kalau tidak dilakukan?” Mengambil ember, dan alat penyadap Mamak terlihat akan beranjak pulang. “Nanti di rumah, kamu harus pakai lagi minyaknya.” “Gak mau!” Aku kembali duduk di tangga pondok. “Mak, habis jin yang mirip nenek itu pergi aku gak apa-apa, malah merasa nyaman, Mak. Mamak itu dibodohi sama lelaki tua bejat itu! Mau-mau aja dengarkan set**!” Plak!! Alat penyadap karet dilemparkannya padaku, mengena
Baca selengkapnya

52. Nyesal Sempat Minta Cerai (PoV Denok)

  “Gimana, Yang?” “Itu kabarnya dirujuk ke Surabaya. Dibantu sama Komunitas Peduli Perempuan, Beb. Mereka kasihan lihat mamanya sampai rela nawarin ginjal gitu buat biaya operasi.” Kugigit bibir bawah, terasa ada sesuatu di dalam dada yang sulit dikatakan. “Titipanku udah Ayang kasih, kan?” “Sudah, dong, tadi habis dari bengkel mutar pulang lewat sana.” Dia ini, bukannya langsung mandi malah mendekat, berdiri di depanku. Membungkukkan badan, sementara tangannya yang kotor di belakang badan. Cup! Sempatin cium keningku. “Hatimu baik banget, Beb. Jadi makin cinta, nih.” Aku langsung pasang wajah imut. “Siapa dulu, dong, Denok. Makanya jangan cari bini lain.” Disambarnya bibirku yang menge
Baca selengkapnya

53. Cemburu Pada Papi (PoV Denok)

Suara mobil terdengar di depan. Kukira Jerry pulang, eh, pas lihat itu rupanya taksi bandara. Mama?! Wah kejutan! Mama datang gak bilang-bilang. Katanya waktu itu mau nunggu dekat hari perkiraan lahiran, masih seminggu lagi. Perlahan melangkah ke pintu samping. Jalan keluar-masuk favorit kami di sini. Pintu depan itu khusus buat tamu. “Mama …!” “Sayang.” Kami pelukan, setelah Mama ucapkan salam dan kujawab. “Mama ke sini kok gak ngabarin?” “Sengaja. Mendadak juga mama pulangnya, kangen.” Diusap Mama perutku. Supir menurunkan banyak barang ke teras. “Jerry mana?” “Lagi k
Baca selengkapnya

54. Melahirkan

 PoV Denok Rasa manis puding berubah jadi tawar di mulut. Kupaksa kunyah dan telan, lalu minum. Sendok kuletakkan kembali. Sudah hilang selera. “Memang kondisi Papi gimana?” tanyaku, entah nadanya kesal ataukah datar. “Dari pemeriksaan Mas Mahesa kena serangan jantung.” Mama menarik napas panjang sebelum lanjut.  “Kemungkinan akan operasi katup jantung yang bocor. Mama mau lihat keadaannya. Maafkan mama akan ingkar janji.” Aku terdiam, memandanginya dengan rasa kecewa berat. Lebih memilih orang lain dibanding aku. “Jerry bisa merawatmu, Nok. Mama juga minta tantemu tinggal sementara di sini.” Air mata ini luruh deras. “Mereka itu beda, Ma,” ujarku menggemerutuk ge
Baca selengkapnya

55. Firasat

PoV Soraya Aku kembali menginjak kota Jogja. Di sini ada seseorang yang membutuhkan hadirku, meski ia tidak mengatakannya. Peran hidup sekejap berubah. Di Kalimantan tadi, dua jam lalu, aku berperan sebagai ibu dan nenek yang tampak kuat dan tenang demi menyemangati Denok. Keluhan dan kerewelannya yang sempat takut buang air kecil, terasa geli dan menguji kesabaran, cukup membuat kepala cenat-cenut menahan kesal. Padahal di sisi lain diri tengah diuji bertubi-tubi, keadaan pabrik bata sedang kesulitan bahan kuterima bersamaan dengan sakitnya suami. Solusi sementara mereka kerjakan pesanan yang ada dulu, secukupnya bahan, tanpa menerima pesanan baru. Kemungkinan akan mengurangi karyawan juga. Penghasilan pekerja dihitung dari hasil produksi, kalau kurang begini otomatis penghasilan mereka sedikit. Kasiha
Baca selengkapnya

56. Resah

 “Mas, ada Pak Darman.” Aku menyentuh pelan pundak Mas Mahesa, minta izin dulu kalau ada tamu yang ingin menemui. Kalau ia bersedia maka baru diperbolehkan masuk ke sini.  “Boleh, Dik. Suruh ke sini aja.” Aku mengangguk, sambil berlalu ke ruang tamu. Persilakan lelaki bertubuh tinggi, yang menjabat COO (direktur operasional) usaha retail Mas Mahesa. Ia yang banyak bergerak di bawah pantauan suami. Meski kadang tampak larut dengan hobinya membuat film Mas Mahesa tetap kuat memimpin bisnisnya. Ini di ruangan samping, dekat dapur, sementara suami sehat kita pindah kamar di bawah. Aktivitas Mas Mahesa sementara di ruang tengah sampai halaman samping, untuk dapat udara dan pemandangan sejuk. Kaki suami tengah menginjak alat pijat elektrik yang menggetar pelan. Ia suka, katanya membuat badan terasa ringan, dan pikiran tenang, mungkin efeknya seperti pijat r
Baca selengkapnya

57. Hati Seorang Ibu

“Masih mikir mau ke Jakarta?” Mas Mahesa bertanya saat kami akan beranjak tidur.“Kalau Mas gak izinin, gak papa.” Membantu ia barung, kutarik selimut sampai dada. Mengelus pipinya lembut. “Tidurlah, Mas. Maaf membuat Mas ikut cemas.”Dikecupnya telapak tanganku. Terlihat berusaha menenangkanku.Diri hanya menjalani, kuharap Ajun benar-benar sudah menjauhi Naya. Syifa sulit membujuk kakaknya yang belum mau bicara. Aku coba pahami, mungkin butuh waktu ia menyembuhkan dirinya sendiri.Sebelum pejamkan mata kulambungkan doa untuk semua putriku.Sebaik-baiknya penjaga hanya Dia, Rabb-ku. Apalah diri yang merasa ingin melindungi, padahal mungkin saja tidak.*Pukul 03.12, aku terbangun. Mata yang tadi meliri
Baca selengkapnya

58. Sulit Memahami

Mereka semua sudah masuk. Aku bertahan sebentar, meminta tetangga panggilkan ketua RT untuk menyaksikan apa yang terjadi. Aku mau ada saksi melihat kalau Naya memang tidak bersalah. Aku dan lelaki berperut besar yang tergopoh datang kemudian masuk. Di dalam, tampak Ajun menarik kasar istrinya yang menolak duduk, minta perempuan itu menghargai keberadaan atasannya untuk selesaikan permasalahan ini. Perempuan itu memang bermulut besar, kalimat sumpah serapah masih meluncur dari mulutnya, meski ditenangkan dua bapak petugas itu. Pasangan itu terlihat sama-sama keras. Pembicaraan kemudian dimulai, setelah Rahmi_istri Ajun setuju diam. Ajun pertama membuka suara, ia meminta maaf padaku, pada Naya. Menuturkan kalau Naya sama sekali tidak tahu ia sudah menikah dan dalam proses cerai.
Baca selengkapnya

59. Masa Senja

“Dengan pakai ngancam?” “Ngancam gimana? Mama nggak ngancam.” Naya sepertinya mulai terpancing. “Mama kasih pilihan mau masih kuliah apa berhenti. Mama harus tahu Nay ini lagi tertekan, Ma.” “Tertekan gimana? Makanya kalau punya masalah katakan sama mama, mungkin mama bisa bantu, Nay. Mama hanya mau tau keinginan kalian. Keinginanmu. Kamu sampai bolos kan gara-gara masalah kemarin. Berapa hari sudah nggak ngikutin mata kuliah?” Aku bertanya dengan nada datar. “Sudah kubilang itu terpaksa, Ma. Terpaksa!” Menggeram anak itu sambil menutupi mukanya dengan bantal. Aku bergerak mendekati Nay, mau mengusap lengannya. Ia menjauhkan tangan. “Baiklah, maaf kalau mama sudah memaksa.” Kutatap sejenak Syifa yang memilih diam perhatikan kami. I
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
345678
DMCA.com Protection Status