“Gimana, Yang?”
“Itu kabarnya dirujuk ke Surabaya. Dibantu sama Komunitas Peduli Perempuan, Beb. Mereka kasihan lihat mamanya sampai rela nawarin ginjal gitu buat biaya operasi.”
Kugigit bibir bawah, terasa ada sesuatu di dalam dada yang sulit dikatakan. “Titipanku udah Ayang kasih, kan?”
“Sudah, dong, tadi habis dari bengkel mutar pulang lewat sana.”
Dia ini, bukannya langsung mandi malah mendekat, berdiri di depanku. Membungkukkan badan, sementara tangannya yang kotor di belakang badan.
Cup!
Sempatin cium keningku.
“Hatimu baik banget, Beb. Jadi makin cinta, nih.”
Aku langsung pasang wajah imut. “Siapa dulu, dong, Denok. Makanya jangan cari bini lain.” Disambarnya bibirku yang menge
Suara mobil terdengar di depan. Kukira Jerry pulang, eh, pas lihat itu rupanya taksi bandara. Mama?! Wah kejutan! Mama datang gak bilang-bilang. Katanya waktu itu mau nunggu dekat hari perkiraan lahiran, masih seminggu lagi. Perlahan melangkah ke pintu samping. Jalan keluar-masuk favorit kami di sini. Pintu depan itu khusus buat tamu. “Mama …!” “Sayang.” Kami pelukan, setelah Mama ucapkan salam dan kujawab. “Mama ke sini kok gak ngabarin?” “Sengaja. Mendadak juga mama pulangnya, kangen.” Diusap Mama perutku. Supir menurunkan banyak barang ke teras. “Jerry mana?” “Lagi k
PoV Denok Rasa manis puding berubah jadi tawar di mulut. Kupaksa kunyah dan telan, lalu minum. Sendok kuletakkan kembali. Sudah hilang selera. “Memang kondisi Papi gimana?” tanyaku, entah nadanya kesal ataukah datar. “Dari pemeriksaan Mas Mahesa kena serangan jantung.” Mama menarik napas panjang sebelum lanjut. “Kemungkinan akan operasi katup jantung yang bocor. Mama mau lihat keadaannya. Maafkan mama akan ingkar janji.” Aku terdiam, memandanginya dengan rasa kecewa berat. Lebih memilih orang lain dibanding aku. “Jerry bisa merawatmu, Nok. Mama juga minta tantemu tinggal sementara di sini.” Air mata ini luruh deras. “Mereka itu beda, Ma,” ujarku menggemerutuk ge
PoV Soraya Aku kembali menginjak kota Jogja. Di sini ada seseorang yang membutuhkan hadirku, meski ia tidak mengatakannya. Peran hidup sekejap berubah. Di Kalimantan tadi, dua jam lalu, aku berperan sebagai ibu dan nenek yang tampak kuat dan tenang demi menyemangati Denok. Keluhan dan kerewelannya yang sempat takut buang air kecil, terasa geli dan menguji kesabaran, cukup membuat kepala cenat-cenut menahan kesal. Padahal di sisi lain diri tengah diuji bertubi-tubi, keadaan pabrik bata sedang kesulitan bahan kuterima bersamaan dengan sakitnya suami. Solusi sementara mereka kerjakan pesanan yang ada dulu, secukupnya bahan, tanpa menerima pesanan baru. Kemungkinan akan mengurangi karyawan juga. Penghasilan pekerja dihitung dari hasil produksi, kalau kurang begini otomatis penghasilan mereka sedikit. Kasiha
“Mas, ada Pak Darman.” Aku menyentuh pelan pundak Mas Mahesa, minta izin dulu kalau ada tamu yang ingin menemui. Kalau ia bersedia maka baru diperbolehkan masuk ke sini. “Boleh, Dik. Suruh ke sini aja.” Aku mengangguk, sambil berlalu ke ruang tamu. Persilakan lelaki bertubuh tinggi, yang menjabat COO (direktur operasional) usaha retail Mas Mahesa. Ia yang banyak bergerak di bawah pantauan suami. Meski kadang tampak larut dengan hobinya membuat film Mas Mahesa tetap kuat memimpin bisnisnya. Ini di ruangan samping, dekat dapur, sementara suami sehat kita pindah kamar di bawah. Aktivitas Mas Mahesa sementara di ruang tengah sampai halaman samping, untuk dapat udara dan pemandangan sejuk. Kaki suami tengah menginjak alat pijat elektrik yang menggetar pelan. Ia suka, katanya membuat badan terasa ringan, dan pikiran tenang, mungkin efeknya seperti pijat r
“Masih mikir mau ke Jakarta?” Mas Mahesa bertanya saat kami akan beranjak tidur.“Kalau Mas gak izinin, gak papa.” Membantu ia barung, kutarik selimut sampai dada. Mengelus pipinya lembut. “Tidurlah, Mas. Maaf membuat Mas ikut cemas.”Dikecupnya telapak tanganku. Terlihat berusaha menenangkanku.Diri hanya menjalani, kuharap Ajun benar-benar sudah menjauhi Naya. Syifa sulit membujuk kakaknya yang belum mau bicara. Aku coba pahami, mungkin butuh waktu ia menyembuhkan dirinya sendiri.Sebelum pejamkan mata kulambungkan doa untuk semua putriku.Sebaik-baiknya penjaga hanya Dia, Rabb-ku. Apalah diri yang merasa ingin melindungi, padahal mungkin saja tidak.*Pukul 03.12, aku terbangun. Mata yang tadi meliri
Mereka semua sudah masuk. Aku bertahan sebentar, meminta tetangga panggilkan ketua RT untuk menyaksikan apa yang terjadi. Aku mau ada saksi melihat kalau Naya memang tidak bersalah. Aku dan lelaki berperut besar yang tergopoh datang kemudian masuk. Di dalam, tampak Ajun menarik kasar istrinya yang menolak duduk, minta perempuan itu menghargai keberadaan atasannya untuk selesaikan permasalahan ini. Perempuan itu memang bermulut besar, kalimat sumpah serapah masih meluncur dari mulutnya, meski ditenangkan dua bapak petugas itu. Pasangan itu terlihat sama-sama keras. Pembicaraan kemudian dimulai, setelah Rahmi_istri Ajun setuju diam. Ajun pertama membuka suara, ia meminta maaf padaku, pada Naya. Menuturkan kalau Naya sama sekali tidak tahu ia sudah menikah dan dalam proses cerai.
“Dengan pakai ngancam?” “Ngancam gimana? Mama nggak ngancam.” Naya sepertinya mulai terpancing. “Mama kasih pilihan mau masih kuliah apa berhenti. Mama harus tahu Nay ini lagi tertekan, Ma.” “Tertekan gimana? Makanya kalau punya masalah katakan sama mama, mungkin mama bisa bantu, Nay. Mama hanya mau tau keinginan kalian. Keinginanmu. Kamu sampai bolos kan gara-gara masalah kemarin. Berapa hari sudah nggak ngikutin mata kuliah?” Aku bertanya dengan nada datar. “Sudah kubilang itu terpaksa, Ma. Terpaksa!” Menggeram anak itu sambil menutupi mukanya dengan bantal. Aku bergerak mendekati Nay, mau mengusap lengannya. Ia menjauhkan tangan. “Baiklah, maaf kalau mama sudah memaksa.” Kutatap sejenak Syifa yang memilih diam perhatikan kami. I
“Kenapa … kenapa Ayah bersikeras ke sana? Ada aku, anak Ayah masih di sini ….” Ia menyentuh dadanya tanpa mengalih pandang dari mukaku.Kubuang tatapan jauh ke dinding.“Ayah mau tenang.”“Tenang …?”“Iya.”Al memutar badan untuk benar-benar menghadapku. Menyentuh tangan yang suka gemetar dan salah pegang ini.Aku mengatup mulut, gemerutukkan gigi, masih membuang pandang ke sisi lain.“Yah … apa Al gagal membuat Ayah merasa nyaman? Apa yang harus Al lakukan biar Ayah tenang?” Suaranya melemah di pendengaranku.“Tidak, Al. Ayah cuma mau sendiri!”Ia kembali terdiam, dari sudut m
POV Soraya Setelah tertegun sejenak, suami meletakkan ponselku di atas kasur, tepat di sisinya. Aku menatap semua pergerakannya dalam diam. Sepertinya memang ada yang tak kutahu. “Dek … maaf sebelumnya kalau mas belum cerita ini.” “Ceritakan saja, Mas. Saya siap dengar,” balasku tenang. Sesakit apa yang akan ia katakan, mungkin aku kuat karena pernah mengalaminya dulu. “Sebenarnya ini sudah lama. Mas mengenalnya sudah dua tahun belakangan. Hanya dia baru bilang suka beberapa bulan lalu.” Aku coba mengatur napas, untuk melonggarkan dada yang terasa nyeri dan sesak. Akankah ini terulang seperti Mas Danang dulu lakukan …? Tidak. Jangan ya, Rabb …! “Dia usia 40 tahun, belum menikah. Dan … bilang jatuh cinta pada mas.” Mas Mahesa mengambil tanganku, menggenggamnya erat. “Maafkan mas …” kalimatnya yang menggantung membuatku terpukul. Bayangan pengakuan Mas Danang dan April saat itu mengitari pikiran, menghantuiku. “Mas pernah
“Tante, apa kabar?”Aku yang mendapat sapaan itu langsung menoleh, seseorang perempuan berhijab panjang, dengan masker putih hingga yang terlihat hanya matanya.“Alhamdulillah, baik. Apa kabar juga,” balasku, tersenyum sambil mengingat-ngingat dia siapa.Seperti paham, ia menurunkan maskernya. Perempuan berwajah tirus dengan hidung lancip dan sedikit parut luka kecil di dekat hidung. Meski begitu dia tampak cantik.“Alhamdulillah baik juga, Tan. Saya … April,” ucapnya sambil meraih dan menyalim tanganku.“April?” Segera kubuka tangan memeluk tubuhnya. Sudah lumayan lama kami tak bertemu. “Senang bertemu kamu lagi.”Aku memang pernah dengar dia sakit, dan setelah sehat aku kemudian tak tahu lagi bagaimana hidupnya, hingga bisa bertemu di sini sekarang.April tampak jauh lebih baik.“Saya juga senang ketemu Tante.” Suaranya yang masih khas, tetapi kini
POV Danang“Saya minta maaf ... sangat mohon dimaafkan Al ... keluarga Mama, Papi, dan keluarga Ayah. Saya sudah terlalu jauh melangkah ... ini kesalahan besar yang sudah saya lakukan. Saya ... sudah menyakiti semua orang, terutama Almira.”Angger bicara begitu di malam harinya, saat kami sudah pulang dan berkumpul di rumah, kecuali Naya yang tetap tinggal di rumah besan.Semua kompak tinggal di rumah yang dulu Soraya beli saat anak-anak kuliah, dan sudah direnovasi berlantai tiga ini. Kami tidak ada yang menyewa hotel. Tempat ini lebih dari cukup untuk menikmati kebersamaan luar biasa, yang amat langka terjadi. Meski kami sudah bukan suami istri, Soraya tampak tak canggung menganggapku sebagai bagian dari keluarga.“Kami mendukungmu, Nak Angger. Keputusan apa pun memang hanya kalian berdua yang menjalani. Jika berdua sama-sama ingin bertahan, berjuanglah. Kami akan mendukung selama itu ke arah yang baik. Kami salut kamu be
Malam ini aku, Mas Mahesa juga Rama ngumpul di ruang tengah, kita baru selesai videocall dengan putri Mas Mahesa yang tinggal di Belanda. Rama dengan Bahasa Inggrisnya tadi amat fasih bicara dengan ponakan dan saudara lain di sana. Kontak kami memang sebatas video call, setelah tiga kali pertemuan secara langsung dengan gadis berwajah khas India itusangat ramah dan baik padaku, yang dipanggil Mami olehnya. “Kapan kita liburan ke Belanda?” Mas Mahesa bertanya. “Kalau liburan panjang bisa, Mas, sebelum Rama masuk SD, gimana?” “Bisa. Gimana, Dek Rama mau kita ketemu sama Mark dan Loui?” “Mau, Pi. Mau banget. Biar naik sepeda bareng.” Aku pun setujui kami akan liburan tiga bulan lagi. Selama fisik masih kuat ke manapun diajak suami oke aja. Beberapa tempat wisata di Indonesia sudah Mas Mahesa ajak. Ia termasuk laki-laki yang suka travelling, dan aku pun merasa ketularan. Masa tua kami isi sosial juga menjalin silaturahmi dengan ana
PoV Soraya“Pakabar Mama?” Pelukan dan cium pipi kiri kanan saat aku bertemu Almira di restoran.“Alhamdulillah, mama sehat. Kamu gimana, Sayang?”“Alhamdulillah, Ma.” Almira membuka tangan mengisyaratkan aku melihat kalau ia baik-baik saja.Aku tersenyum lega. “Kita ke ruang sana, yuk.” Tangan Al kemudian kugamit, kami mengikuti seorang waiters yang mengantarkan ke ruang pesananku.“Mama sempet nunggu, kah tadi?”“Enggak, kok, Al, papimu barusan aja pergi.”“Jadi beneran kita berdua aja nih?” Wajahnya sedikit heran melihat kami menyusuri lorong yang diapit susunan batu alam.“Skali-kali mama ngedate sama kamu, ya ‘kan?” godaku.“Aih, Mama. Tapi kok bikin deg-deg’an ya. Kita kemana? Kok, berasa kayak mau dikasih surprise. Masa aku lupa ini ulang tahunku?” katanya
POV DanangAh, harusnya ketenangan sudah kugenggam ... tapi kenapa terasa masih jauh. Setelah semua yang kuminta pada anak-anak terpenuhi, juga hubungan Adam yang membaik dengan April pun dikabulkan. Aku tetap merasa ada yang berlubang dalam dasar hati.Ada apa denganku ...?Pagi-pagi, seperti biasa keluar kamar aku langsung ke dapur, berpapasan dan berbagi senyum dengan Almira. Wajah pucatnya cepat mengurai senyum lebar setelah menyadari tatapanku, kurasa senyum itu sangat dipaksakan.“Ayah mau sarapan apa, nanti tinggal bilang simbok, ya, Al buru-buru piket pagi. Kalau bahan kurang atau butuh apa bisa wa aja, pulangnya Al belikan.”Di atas rasa sedih atas rumahtangganya ia masih memikirkan keperluanku. Dia pikir aku tak tahu apa-apa. Betapa aku merasa tak berguna sebagai ayah. Kalimatnya terasa menegurku yang selama ini terlalu banyak permintaan dan kecerewetan, termasuk tentang makanan.“Ah, ayah a
“Wuaah, ini ajaib, Mama Al.” “Cakepnya, anak bule, kulit putih ambil mamanya, hidung mancung dari papanya.” “Kada nyangka, Aya, ikam kawa bisi anak lagi.” (Nggak nyangka, Aya, kamu bisa punya anak lagi) Itu sebagian kecil beragam komentar kawan-kawan saat aku lahiran, bahkan sampai sekarang. Sejak hamil sampai melahirkan mereka rutin lakukan panggilan video, ikut gemas lihat perkembangan anakku. Sekarang Rama sedang aktif-aktifnya melangkah, seperti mau cepat bisa lari. Otot kakinya sudah kuat, tak pernah terlihat jatuh lagi. Aku bersyukur atas kesehatannya ini. Dua perawat siaga, satu bertugas untuk Rama, satu untukku. Suami benar-benar memanjakan kami dengan kemampuannya. Ia melarangku terlalu lelah mengejar Rama yang sangat aktif bermain. “Biarkan yang muda aja
PoV SorayaHari di mana anak-anak memberi hadiah untukku, lukisan pemandangan yang menggetarkan hati. Sangat mengharukan, karena di situ ada kenangan dua orang yang tersimpan dalam.Pertama, tempat itu tempat Mas Danang dulu mengutarakan isi hati. Getaran cinta pertama pada lawan jenis. Kenapa bisa di sana, ya karena aku mengenalnya saat study tour kelas 2 SMA ke Jogja. Ia lebih tua 6 tahun dariku, bertemu di Borobudur langsung bilang suka dalam pandangan pertama. Jodoh menggariskan kami bertemu lagi di Palangkaraya dua tahun kemudian, lalu menikah di usiaku yang masih terbilang muda.Kedua, itu tempat kenangan bersama Mas Mahesa juga. Getaran pertama muncul makin kuat padanya, ia pernah dalam diam menungguku menikmati pemandangan bak karpet hijau terpampang di depan mata. Meski sudah tua saat itu, tapi getarku padanya sempat membuat diri
PoV Denok“Iya, iya. Kewajiban seorang mama ya memang begitu. Memastikan kalau anak-anaknya tumbuh baik.”“Termasuk harus berbohong?” Kututup mulut yang refleks bertanya.“Bohong buat kebaikan kenapa enggak?”“Ih, namanya Mama jahat sama diri sendiri.” Aku memeluk kakinya, mata hampir kembali basah.“Al, Nay, Fa, Denok … kalian dengarkan, ya. Mama ini sayang diri sendiri, sayang kalian-““Sayang Ayah?” Mama terhenti melihatku.Mengatup mulut sedikit mengangguk.“Ya, mama akui sayang ayahmu juga … 21 tahun bersama sebelum peristiwa itu bukanlah waktu sebentar. Kebaikan ayah kalian, di awal kami membangun rumah tangga