Home / Pernikahan / Pengkhianatan Suamiku / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of Pengkhianatan Suamiku: Chapter 21 - Chapter 30

45 Chapters

Keluarga Tidak Tahu Malu

"Pergi!" teriakku dengan intonasi tinggi sambil menunjuk ke arah jalan. Bukannya pergi, wanita berbaju merah maroon dengan sanggul yang menghiasi kepalanya dan beberapa pernak-pernik yang tidak terhitung jumlahnya segera mendekat dan menatapku dengan tajam.  Terlihat jelas raut tidak suka tergambar di wajahnya yang lumayan terlihat muda diumurnya yang sekarang. Karena terawat dengan baik. Padahal, jika Ardi tidak bekerja di perusahaanku. Aku yakin, wajahnya tidak akan semulus itu. Dia adalah Marni, perempuan yang seharusnya aku panggil ibu mertua itu mendelik sambil menyeringgai. Wajahnya benar-benar sangat angkuh, aku tidak suka akan hal itu.  "Baik, kita semua akan pergi. Tetapi, dengan satu hal." "Apa?" tanyaku sewot, karena memang tidak ingin melihat segerombolan orang ini berada di depan rumahku. Cukup menganggu pemandangan.  "Jangan cerai
Read more

Perceraian

Tidak terasa, proses perceraianku dengan Ardi sudah selesai. Mulai sekarang, aku tidak peduli lagi dengan apa yang akan dia lakukan. Kini kami sudah resmi berpisah dan tidak memiliki hubungan apapun lagi.  Semoga saja, sesudah ini mereka tidak akan mengangguku lagi seperti beberapa saat yang lalu.  "Selamat, akhirnya Mbak resmi bercerai juga," ucap Sandi sambil menoleh ke arahku. Sudut bibirku sedikit terangkat dengan tatapan lurus ke depan. "Terima kasih, aku merasa sangat bahagia sekarang." Baru saja hendak masuk ke mobil, tiba-tiba seseorang menarik rambutku dengan cukup kasar. Sandi yang kaget, langsung keluar dan berlari ke arahku. "Lepaskan! Apa yang Ibu lakukan." "Diam, kamu!" sentak Marni sambil kembali menarik rambut lebih kasar. "Puas kamu, hah! Sudah menceraikan Ardi dan menikmati semuanya sendiri." Dengan sedikit ter
Read more

Bertemu Icha dan Laki-laki Lain

Setelah mengobrol dengan Sandi dan ayah, akhirnya kuputuskan untuk kembali ke rumahku yang dulu. Untung saja Wati dan Ijah masih bekerja di sana, sehingga aku tidak terlalu kesepian. Kutatap seisi rumah yang terasa sangat berbeda. Dahulu banyak sekali bingkai yang berisi foto pernikahanku dan Ardi, juga beberapa barang-barang kesayangan kami. Sengaja aku menyuruh Wati dan Ijah membereskannya sebelum aku sampai di sini. Tentu saja alasannya karena aku terlalu muak dan malas melihat wajahnya yang keliatan so manis. "Ijah, kamu simpan semuanya di gudang, 'kan?" Ijah yang sedang membersikan lemari menggunakan kemoceng segera menghampiriku.  "Iya, Nyonya sesuai perintah dan yang lainnya juga sudah saya bakar." "Bagus, lanjutkan saja. Jangan sampai ada yang tersisa." Membayangkan Ardi membawa Icha ke rumah benar-benar sangat menjijikan. Pa
Read more

Pembuat Keributan

"Mbak kenapa tidak memberitahuku dulu?" tanya Sandi, kemudian menyimpan segelas kopi hitam di hadapanku.  Kutatap Sandi sekilas, wajahnya terlihat lesu, lingkaran hitam menghiasi mata bagian bawahnya. Entah apa yang laki-laki itu lakukan, hingga penampilannya menjadi seperti itu. Tangan kananku segera meraih kopi yang masih mengepul dan menyesapnya. Saat menyentuh lidah, ada sedikit rasa pahit, tapi aku sangat menyukainya hingga hanya tersisa setengahnya. Kopi ini sama halnya seperti kehidupan yang tidak selalu berjalan dengan manis, pasti ada kalanya cobaan yang menjadikannya begitu pahit untuk ditelan mentah-mentah. "Mbak, menikmatinya?"  Mataku yang awalnya sempat tertutup langsung terbuka dan pada saat itu pula pandangan kami saling bertemu. Sandi sedikit menyipit, seperti sedang mengamati sesuatu. "Ada apa?" tanyaku, lalu menyimpang gelas tanpa
Read more

Jangan-jangan Aku ...?

Kubaringkan tubuh yang sedikit lemah di sebuah sofa ruang tamu. Tidak biasanya aku merasa lemah dan kurang bersemangat seperti ini. Bahkan, kadang tidak ada nafsu makan sama sekali.  Kenapa disaat-saat seperti ini aku malah teringat Ardi dan membuat perutku semakin mual. Dengan sempoyongan, kuseret kaki menuju kamar mandi dan menumpah seisi perut yang kembali bergejolak.  "Wati, tolong antar saya ke kamar!" Entah dari arah mana, Wati datang dan membopongku menuju kamar tamu yang letaknya dekat dapur.  Setelah Wati pergi, aku segera bersandar pada kepala ranjang dan terpejam. Rasanya kepalaku hampir pecah, ditambah lagi mual-mual dan lemas yang tidak kunjung hilang. Kuraih gawai yang berada dalam saku celana dan menekan sebuah nomor paling atas yang ada di daftar panggilan.  "Sandi, Mbak, berubah pikiran. Cepat, jual rumah itu dan biarkan m
Read more

Sosok yang Harus Kujaga

Aku menggeleng pelan, kemudian bangkit dari ranjang dan menarik Sandi dengan kasar. Pikiranku hanya satu, dokter. Saat aku memasuki mobil, Sandi hanya terdiam. Sepertinya dia paham dengan maksud ucapanku. Tangannya segera meraih kunci mobil dan menyalakan mesin, sebelum akhirnya menjalankan kendaraan dengan kecepatan rendah.  Lagi-lagi rasa pusing itu datang, semoga saja aku bisa bertahan sampai rumah sakit.  Hanya dengan bersandar pada kursi, kupejamkan mata secara perlahan. Sengaja aku membuka pintu mobil, menikmati udara yang cukup menyegarkan.  "Cepatlah, San." "Iya, Mbak." Benar saja, Sandi langsung menambah kecepatan, tetapi tidak terlalu tinggi. Aku mendengus, kalo seperti ini kapan kami akan sampai. Minggu depan atau mungkin bisa saja tahun depan. Kurogoh celana bagian depan dan belakang, bermaksud mencari ponsel. R
Read more

Undangan Pernikahan

Sepulangnya dari klinik, aku tidak banyak bicara dan langsung masuk ke kamar. Lagi-lagi kuelus perut yang berisi makhluk kecil yang tidak berdosa.  Sebejad apapun kelakuan ayahnya, aku harus tetap menjaga dan menyayangi janin yang ada dalam perutku.  Katanya wanita hamil itu tidak boleh stres, takutnya akan berpengaruh ke janin yang ada dalam perut. Makanya aku harus selalu bahagia, apapun caranya. "Mbak, baik-baik saja?" Sandi menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Baru ketika aku mengangguk, dia langsung masuk ke kamar dengan membawa sepiring nasi dan teh hangat. "Kebetulan sekali, Mbak, sangat lapar."  Aku langsung menyambar nampan dan membawanya menuju sofa, kemudian meletakkannya di sebuah meja kecil. Sandi yang melihatku makan begitu lahap, membuka mulut dan mata secara bersamaan. Untung saja tidak ada lalat yang masuk ke mulutnya, kala
Read more

Undangan Pernikahan (2)

"Memangnya, kenapa?"Ardi terdiam, tatapannya mengarah lurus ke kantong plastik berisi rujak mangga. Mungkin, karena cukup transparan, jadi dia bisa melihatnya dengan jelas."Tidak, hanya saja ... tumben sekali kamu menyukai rujak, mana mangga muda lagi."Aku mendengus, lalu memutar bola mata dengan malas. Sementara kedua wanita yang ada di samping Ardi hanya menatap sinis ke arahku, bahkan dengan sengaja Icha menyilangkan tangan di dada.Icha mendekat, dia menatapku dari ujung rambut hingga kaki, sebelum akhirnya membuang wajah sembarang arah.Jelas sekali jika wanita ini meremehkanku, hanya karena memakai daster dan sandal jepit saja. Padahal, lebih murah dia yang mengobral diri sembarangan pada laki-laki yang bukan suaminya."Kalian ke sini hanya karena ingin mengantarkan ini, 'kan?" Sengaja kuangkat undangan dan mengayunkannya di udara. "Jadi, cepat pergilah dari depan rumahku."Icha memelotot, dia lang
Read more

Pernikahan Ardi dan Icha

Hari itu pun akhirnya tiba, aku dan Sandi pada akhirnya datang ke pernikahan mereka. Awalnya Sandi sempat menolak, tetapi setelah dia berbicara dengan ayah, Sandi pun menyetujuinya.  Alasan kenapa aku bersikeras ingin datang adalah ingin menunjukan jika aku tidak pernah menyesal dan terpuruk atas kehilangan Ardi. Aku malah justru bahagia. Tepat setelah melakukan ijab kabul, keduanya langsung naik ke pelaminan dan melakukan sesi foto, baru ketika sudah selesai para tamu undangan naik dan memberikan selamat.  Aku dan Sandi pun ikut berada dalam barisan dan saat itu aku tidak luput mendapatkan tatapan nanar dari orang-orang yang mengetahui apa yang sudah terjadi. "Ah, Rena!" pekiknya kegirangan. "Akhirnya datang juga, ya. Gimana pernikahanku dengan Ardi begitu mewah, 'kan." Dih, mewah apaan. Dia bilang pelaminan seperti ini mewah? Paling budgetnya juga gak lebih dari lima
Read more

Kebencian

Aku baru tahu, jika Kina dan Rudi akhirnya tinggal di rumah yang sebelumnya pernah Icha tempati. Katanya hari ini mereka mulai beres-beres rumah dan aku menyuruh Sandi untuk membantu, sementara aku akan menjaga Kina. Sesampainya di rumah, kulihat Kina begitu lelah. Matanya mengerjap beberapa kali dengan tubuh yang mulai limbung. Hingga pada akhirnya dia naik ke atas sopa dan terjatuh begitu saja dengan posisi meringkuk. Netraku menatap Kina yang sudah tertidur dengan sangat nyenyak. Kuusap rambutnya dengan lembut, dia beringsut dan memeluk lenganku dengan cukup erat. Hatiku sedikit teriris saat membayangkan Icha membuang Kina dengan seenaknya. wanita itu dengan teganya membiarkan anak sekecil itu tidak merasakan kasih sayang seorang ibu dan lebih memilih menikah lagi bersama laki-laki lain. "Mbak!"  Segera kutempelkan jadi telunjuk di bibir saat mendengar Sandi berteriak dar
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status