"Pergi!" teriakku dengan intonasi tinggi sambil menunjuk ke arah jalan.
Bukannya pergi, wanita berbaju merah maroon dengan sanggul yang menghiasi kepalanya dan beberapa pernak-pernik yang tidak terhitung jumlahnya segera mendekat dan menatapku dengan tajam.
Terlihat jelas raut tidak suka tergambar di wajahnya yang lumayan terlihat muda diumurnya yang sekarang. Karena terawat dengan baik. Padahal, jika Ardi tidak bekerja di perusahaanku. Aku yakin, wajahnya tidak akan semulus itu.
Dia adalah Marni, perempuan yang seharusnya aku panggil ibu mertua itu mendelik sambil menyeringgai. Wajahnya benar-benar sangat angkuh, aku tidak suka akan hal itu.
"Baik, kita semua akan pergi. Tetapi, dengan satu hal."
"Apa?" tanyaku sewot, karena memang tidak ingin melihat segerombolan orang ini berada di depan rumahku. Cukup menganggu pemandangan.
"Jangan cerai
Tidak terasa, proses perceraianku dengan Ardi sudah selesai. Mulai sekarang, aku tidak peduli lagi dengan apa yang akan dia lakukan. Kini kami sudah resmi berpisah dan tidak memiliki hubungan apapun lagi.Semoga saja, sesudah ini mereka tidak akan mengangguku lagi seperti beberapa saat yang lalu."Selamat, akhirnya Mbak resmi bercerai juga," ucap Sandi sambil menoleh ke arahku.Sudut bibirku sedikit terangkat dengan tatapan lurus ke depan. "Terima kasih, aku merasa sangat bahagia sekarang."Baru saja hendak masuk ke mobil, tiba-tiba seseorang menarik rambutku dengan cukup kasar. Sandi yang kaget, langsung keluar dan berlari ke arahku."Lepaskan! Apa yang Ibu lakukan.""Diam, kamu!" sentak Marni sambil kembali menarik rambut lebih kasar. "Puas kamu, hah! Sudah menceraikan Ardi dan menikmati semuanya sendiri."Dengan sedikit ter
Setelah mengobrol dengan Sandi dan ayah, akhirnya kuputuskan untuk kembali ke rumahku yang dulu. Untung saja Wati dan Ijah masih bekerja di sana, sehingga aku tidak terlalu kesepian.Kutatap seisi rumah yang terasa sangat berbeda. Dahulu banyak sekali bingkai yang berisi foto pernikahanku dan Ardi, juga beberapa barang-barang kesayangan kami.Sengaja aku menyuruh Wati dan Ijah membereskannya sebelum aku sampai di sini. Tentu saja alasannya karena aku terlalu muak dan malas melihat wajahnya yang keliatan so manis."Ijah, kamu simpan semuanya di gudang, 'kan?"Ijah yang sedang membersikan lemari menggunakan kemoceng segera menghampiriku."Iya, Nyonya sesuai perintah dan yang lainnya juga sudah saya bakar.""Bagus, lanjutkan saja. Jangan sampai ada yang tersisa."Membayangkan Ardi membawa Icha ke rumah benar-benar sangat menjijikan. Pa
"Mbak kenapa tidak memberitahuku dulu?" tanya Sandi, kemudian menyimpan segelas kopi hitam di hadapanku.Kutatap Sandi sekilas, wajahnya terlihat lesu, lingkaran hitam menghiasi mata bagian bawahnya. Entah apa yang laki-laki itu lakukan, hingga penampilannya menjadi seperti itu.Tangan kananku segera meraih kopi yang masih mengepul dan menyesapnya. Saat menyentuh lidah, ada sedikit rasa pahit, tapi aku sangat menyukainya hingga hanya tersisa setengahnya.Kopi ini sama halnya seperti kehidupan yang tidak selalu berjalan dengan manis, pasti ada kalanya cobaan yang menjadikannya begitu pahit untuk ditelan mentah-mentah."Mbak, menikmatinya?"Mataku yang awalnya sempat tertutup langsung terbuka dan pada saat itu pula pandangan kami saling bertemu. Sandi sedikit menyipit, seperti sedang mengamati sesuatu."Ada apa?" tanyaku, lalu menyimpang gelas tanpa
Kubaringkan tubuh yang sedikit lemah di sebuah sofa ruang tamu. Tidak biasanya aku merasa lemah dan kurang bersemangat seperti ini. Bahkan, kadang tidak ada nafsu makan sama sekali.Kenapa disaat-saat seperti ini aku malah teringat Ardi dan membuat perutku semakin mual. Dengan sempoyongan, kuseret kaki menuju kamar mandi dan menumpah seisi perut yang kembali bergejolak."Wati, tolong antar saya ke kamar!"Entah dari arah mana, Wati datang dan membopongku menuju kamar tamu yang letaknya dekat dapur.Setelah Wati pergi, aku segera bersandar pada kepala ranjang dan terpejam. Rasanya kepalaku hampir pecah, ditambah lagi mual-mual dan lemas yang tidak kunjung hilang.Kuraih gawai yang berada dalam saku celana dan menekan sebuah nomor paling atas yang ada di daftar panggilan."Sandi, Mbak, berubah pikiran. Cepat, jual rumah itu dan biarkan m
Aku menggeleng pelan, kemudian bangkit dari ranjang dan menarik Sandi dengan kasar. Pikiranku hanya satu, dokter.Saat aku memasuki mobil, Sandi hanya terdiam. Sepertinya dia paham dengan maksud ucapanku. Tangannya segera meraih kunci mobil dan menyalakan mesin, sebelum akhirnya menjalankan kendaraan dengan kecepatan rendah.Lagi-lagi rasa pusing itu datang, semoga saja aku bisa bertahan sampai rumah sakit.Hanya dengan bersandar pada kursi, kupejamkan mata secara perlahan. Sengaja aku membuka pintu mobil, menikmati udara yang cukup menyegarkan."Cepatlah, San.""Iya, Mbak."Benar saja, Sandi langsung menambah kecepatan, tetapi tidak terlalu tinggi. Aku mendengus, kalo seperti ini kapan kami akan sampai. Minggu depan atau mungkin bisa saja tahun depan.Kurogoh celana bagian depan dan belakang, bermaksud mencari ponsel. R
Sepulangnya dari klinik, aku tidak banyak bicara dan langsung masuk ke kamar. Lagi-lagi kuelus perut yang berisi makhluk kecil yang tidak berdosa.Sebejad apapun kelakuan ayahnya, aku harus tetap menjaga dan menyayangi janin yang ada dalam perutku.Katanya wanita hamil itu tidak boleh stres, takutnya akan berpengaruh ke janin yang ada dalam perut. Makanya aku harus selalu bahagia, apapun caranya."Mbak, baik-baik saja?" Sandi menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Baru ketika aku mengangguk, dia langsung masuk ke kamar dengan membawa sepiring nasi dan teh hangat."Kebetulan sekali, Mbak, sangat lapar."Aku langsung menyambar nampan dan membawanya menuju sofa, kemudian meletakkannya di sebuah meja kecil.Sandi yang melihatku makan begitu lahap, membuka mulut dan mata secara bersamaan. Untung saja tidak ada lalat yang masuk ke mulutnya, kala
"Memangnya, kenapa?"Ardi terdiam, tatapannya mengarah lurus ke kantong plastik berisi rujak mangga. Mungkin, karena cukup transparan, jadi dia bisa melihatnya dengan jelas."Tidak, hanya saja ... tumben sekali kamu menyukai rujak, mana mangga muda lagi."Aku mendengus, lalu memutar bola mata dengan malas. Sementara kedua wanita yang ada di samping Ardi hanya menatap sinis ke arahku, bahkan dengan sengaja Icha menyilangkan tangan di dada.Icha mendekat, dia menatapku dari ujung rambut hingga kaki, sebelum akhirnya membuang wajah sembarang arah.Jelas sekali jika wanita ini meremehkanku, hanya karena memakai daster dan sandal jepit saja. Padahal, lebih murah dia yang mengobral diri sembarangan pada laki-laki yang bukan suaminya."Kalian ke sini hanya karena ingin mengantarkan ini, 'kan?" Sengaja kuangkat undangan dan mengayunkannya di udara. "Jadi, cepat pergilah dari depan rumahku."Icha memelotot, dia lang
Hari itu pun akhirnya tiba, aku dan Sandi pada akhirnya datang ke pernikahan mereka. Awalnya Sandi sempat menolak, tetapi setelah dia berbicara dengan ayah, Sandi pun menyetujuinya.Alasan kenapa aku bersikeras ingin datang adalah ingin menunjukan jika aku tidak pernah menyesal dan terpuruk atas kehilangan Ardi. Aku malah justru bahagia.Tepat setelah melakukan ijab kabul, keduanya langsung naik ke pelaminan dan melakukan sesi foto, baru ketika sudah selesai para tamu undangan naik dan memberikan selamat.Aku dan Sandi pun ikut berada dalam barisan dan saat itu aku tidak luput mendapatkan tatapan nanar dari orang-orang yang mengetahui apa yang sudah terjadi."Ah, Rena!" pekiknya kegirangan. "Akhirnya datang juga, ya. Gimana pernikahanku dengan Ardi begitu mewah, 'kan."Dih, mewah apaan. Dia bilang pelaminan seperti ini mewah? Paling budgetnya juga gak lebih dari lima
"Sah?!""Sah ...."Suara para saksi serta orang-orang yang hadir di pernikahanku turut menggema. Bersamaan dengan itu, setetes demi tetes air mana turun membasahi pipi, tak kusangka setelah perjalanan panjang yang aku lalui, akhirnya Rehan menjadi pemberhentian terakhirku kali ini.Aku berharap, Rehan memang orang terakhir di hidupku, menjagaku sampai maut yang memisahkan. Sekali lagi aku berharap, jika apa yang terjadi terakhir kali padaku, takkan pernah terjadi lagi. Cukup kali itu saja, aku merasakan sebuah pengkhianatan yang amat sangat melukai hati, batin serta mentalku."Sayang, ada apa?"Sebuah bisikan lembut di ujung telinga, mampu menyadarkan aku dari lamunan panjang. Sontak, aku menoleh, menatap kedua sorot mata Rehan yang tampak begitu indah.Detik berikutnya kedua sudut bibirku tertarik ke atas, membuat lengkungan atas matamu ikut tertarik membentuk sebuah bulan sabit.Perlahan aku menggeleng pelan, kemudian menggenggam tangan Rehan dengan lembut."Tidak apa-apa, Sayang. A
"Hai, Mbak. Apa kabar?" Sontak, aku langsung menurunkan gelas yang sedang aku pegang, kemudian menoleh ke sumber suara.Tepat di hadapanku, seorang laki-laki tengah berdiri sambil menyunggingkan senyuman.Sejauh ini, tidak ada yang berubah darinya, hanya saja bulu-bulu halus yang biasa dia cukur rapih di area rahang, sepertinya kali ini dia biarkan tumbuh, membuatnya terlihat semakin dewasa."Baik, Rehan. Apa kabarmu? Sudah lama tidak bertemu," ucapku setelah sosok laki-laki tersebut duduk di hadapanku.Setelah memikirkan ulang perkataan Sandi, akhirnya kuputuskan untuk bertemu dengan Rehan di sebuah kafe yang jaraknya memang cukup jauh dari tempat tinggalku yang sekarang."Baik, juga."Tidak ada percakapan lain diantara kami, mungkin karena terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing."Mbak, kenapa kamu tiba-tiba menghilang begitu s
"Mbak, ini gadis yang mau aku perkenalkan padamu."Seketika aku langsung menoleh, tepat di hadapanku seorang gadis berbaju putih yang dipadukan dengan rok kotak-kotak berwarna hitam tengah berdiri.Kepala menunduk, tapi sekilas aku dapat melihat wajahnya begitu cantik dan imut jika dilihat secara langsung, jari tangannya saling bertautan satu sama lain.Baru saja aku akan berkata, tiba-tiba sebuah teriakan dari arah belakang mengagetkanku."Mamah ... Kak Andlew jahat." Seorang anak berusia tiga tahun setengah berlari ke pangkuanku, tangannya mengusap sudut mata yang berair."Kenapa, Sayang?" tanyaku sambil mengecup puncak kepalanya."Kak Andlew, jahat! Dia rebut boneka beluang Lea," ucapnya disela-sela isak tangis. Pengucapannya yang masih sedikit cadel, membuatku semakin gemas."Udah, jangan nangis. Malu tuh sama Tante yang ada di
Entah berapa lama, aku tidak menginjakkan kaki keluar rumah, kadang rasa bosan selalu mendera. Hanya saja, aku memang tidak bisa dengan leluasa pergi ke manapun.Sampai detik ini, ayah melarangku untuk keluar jauh dari rumah. Alasannya tetap sama, dia memang kadang mengijinkanku pergi, hanya saja ketika ada keperluan mendadak saja, itupun ayah lebih sering menyuruh orang. Ayah masih saja takut terjadi hal buruk padaku.Tidak terasa, baby Andrew dan Andrea sudah bisa merangkak. Perkembangan mereka begitu cepat, rasanya baru kemarin aku mendengar suara tangisan keduanya untuk yang pertama kalinya."Wah, pinter banget anak, Ibu," ucapku kegirangan kala melihat Andrew dan Andrea merangkak, berlomba-lomba mengambil bola kecil yang sengaja aku simpan sedikit jauh di depan keduanya."Wih, om bangga sama kalian," ucap Sandi tiba-tiba. Dia langsung meraih Andrew dan membawanya keluar kamar, tentu saja itu mem
Kubuka resleting dompet yang sengaja aku simpan di pangkuan. Benar saja, benda persegi berwarna putih yang dari tadi aku cari ada di sana, berdampingan dengan beberapa benda lainnya.Sandi berdecak, dia menatap kesal ke arahku yang sedang tersenyum kecut."Makanya jangan panik dulu, tapi cari yang bener.""Iya, siap Pak boss," ucapku sambil memperagakan gerakan hormat.Ingin rasanya kutempeleng kepalanya, saat mendengar Sandi tertawa terbahak-bahak. Walaupun yang dia katakan memang benar juga. Tapi, aku tetap saja kesal.Kutatap Sandi sinis, tangan kanan meraih ponsel dengan cepat dan segera menghubungi nomor Bi Wati."Bi, bagaimana keadaan Andrew dan Andrea?""Baik-baik saja, Bu. Barusan habis minum susu dan sekarang sedang bermain bersama bibi."Aku mengangguk pelan ketika mendengar ucapan Bi
Perlahan, aku mulai melangkah, menghampiri seseorang yang masih menunduk dalam. Baju kaos berwarna putih kumal, celana panjang hitamnya pun sama, bahkan ada beberapa tambalan di sana.Aku tidak tahu karung berisi apa yang sengaja dia sembunyikan di belakang tubuh. Walaupun Sandi sudah berusaha menahan, tapi hal itu tidak mengurungkan niatku untuk mendekat ke arahnya."Apa yang kamu lakukan di sini?" Akhirnya, mulutku mampu melontarkan kalimat sesaat setelah beberapa detik membisu.Orang itu terdiam, rambutnya terlihat begitu acak-acakan, peluh mengucur membasahi kening hingga pakaian yang dia kenakan."Maaf, mungkin salah orang. Saya permisi."Mesti sudah lama tidak bertemu, tapi aku tidak akan pernah lupa dengan wajahnya dan suaranya. Walaupun, memang banyak yang sedikit berubah."Tidak!" Kucekal lengannya dengan cukup kasar. "Kutanya, apa
Sudah hampir seminggu aku tinggal di rumah ayah dan selama itu juga, kejadian yang sempat menimpa Bi Wati beberapa saat yang lalu tidak pernah terjadi lagi.Mungkin orang itu tahu, jika penjagaan di rumah ayah sangat ketat, karena hampir setiap penjuru rumah diisi oleh beberapa orang pria bertubuh tegap.Aku bergidik ngeri, saat membayangkan pria bertubuh tegap tersebut langsung menghajar orang yang berani macam-macam. Dapat kupastikan, orang itu langsung babak belur seketika."Sandi," teriakku saat melihat pria berkaos putih dan celana pendek melintas tepat di depanku. Sandi menoleh dan menaikan sebelah alisnya."Ada apa?"Aku beranjak dari duduk, menyambar dompet dan ponsel yang tergeletak di meja."Antar, Mbak, belanja! Mumpung si kembar lagi tidur dan stok susu juga masih ada," ucapku, setelah sebelumnya menoleh ke arah Andrew dan Andrea
Tidak mau ambil pusing, segera kurebahkan badan di ranjang empuk, menarik selimut hingga sebatas dada.Baru saja beberapa detik terpejam, mataku kembali terbuka menatap langit-langit kamar, sebelum akhirnya mulai menelusuri seisi ruangan.Aku sedikit beringsut, menyandarkan tubuh pada punggung ranjang, jari tangan ikut menarik selimut dan meremasnya secara perlahan.Masih terlintas dalam benakku, potret Rudi sedang makan siang bersama Icha. Walaupun tidak bisa melihat tatapan keduanya secara jelas, tetapi aku yakin jika mereka tidak mungkin bertemu, tanpa alasan yang tidak pasti.Apa jangan-jangan selama ini Rudi bersikap baik hanya karena menginginkan suatu hal? Emm mungkin saja, lagipula siapa yang tahu dengan isi hati seseorang.Tanpa sadar rahangku mengeras, tangan terkepal kuat, jika itu memangnya kebenarannya.Kurang ajar!
"Tidak mungkin, Rehan melakukan hal tersebut. Lagipula, untuk apa?" tanyaku dengan raut wajah keheranan.Sandi dan ayah terdiam sesaat, hingga beberapa detik kemudian Sandi mengangguk mantap. Tubuhnya sedikit membungkuk, tangan terkepal kuat serta menatap sembarang arah."Mbak, benar. Untuk apa dia melakukan hal tersebut, sementara itu kita tidak memiliki urusan lain dengannya atau jangan--" Sandi menggantungkan ucapan, dia menengok ke arahku sambil melotot. "Dia dendam, karena, Mbak sudah menolak cintanya."Seketika aku pun ikut terbelalak saat mendengar ucapannya. Tanpa rasa kasihan, segera kutoyor kepalanya dengan cukup keras sampai dia mengaduh kesakitan."Apa maksudmu, hah? Sembarangan sekali." Aku memang cukup kesal dengan ucapannya."Sudah! Apa-apaan kalian ini, sudah besar masih saja bertengkar!" Ayah bangkir sambil berkacak pinggang. Dia mencoba melerai kami. "Sand