"Untuk apa kamu meneleponku?" tanyaku dengan nada sedingin es. Terdengar sebuah kekehan dari seberang sana. Apa mungkin nada bicaraku terdengar lucu? Aku pikir tidak! "Aku dengar anakku sudah lahir, kenapa kamu tidak memberitahuku?" Aku mendelik, awalnya aku memang ingin memberitahunya, tetapi setelah dipikir kembali, aku rasa tidak. Aku takut, hal buruk terjadi. Lagipula, Ardi adalah sosok yang cukup nekat. "Untuk apa?" "Dia anakku, Rena! Aku berhak tahu, kenapa kamu begitu egois dan bersikap seolah-olah melarangku untuk menemui buah hatiku, kenapa?!" Ardi membentakku dari balik telepon. Tetapi, aku tidak peduli. "Ya, mereka anakmu, darah dagingmu, Ardi." Kugigit bibir bawah kuat, berusaha menahan kata-kata yang siap meluncur kapan saja. "Tapi, apa pantas mereka memanggilku ayah setelah apa yang kamu lakukan padamu?!" raungku tanpa peduli dengan orang-
Baca selengkapnya