Semua Bab Pengkhianatan Suamiku: Bab 31 - Bab 40

45 Bab

Datang Tiba-tiba

Setelah kejadian memalukan yang menimpa keluarga Ardi di acara pernikahannya dengan Icha, aku tidak pernah mendengar kabar mereka lagi dan aku juga tidak tahu, ke mana mereka pergi. Bersyukur sekali rasanya tidak pernah melihat mereka kembali. Rasanya hidupku cukup tenang dan mengenai kehamilan, kini sudah menginjak usia tujuh bulan.  Setiap detik yang aku lewati bersama calon anakku cukup membahagiakan. Aku sangat tidak sabar menanti kelahirannya dan mengajaknya bermain bersama. Walau tanpa sosok ayah, aku harap kami berdua dapat hidup bahagia.  Ya, selepas berpisah dengan Ardi, aku merasa cukup bahagia. Banyak hal yang bisa aku pelajari dari kejadian tersebut dan mendorongku untuk menjadi lebih baik lagi.  Aku bahkan sudah memiliki sebuah perusahaan yang baru saja berdiri. Berkat ayah dan Sandi, aku dapat bangkit dan mencapai banyak hal. "Bu Rena, mau makan siang
Baca selengkapnya

Kehidupan Baru

Beberapa bulan kemudian, akhirnya saat yang aku tunggu tiba.  Rasa sakit di pangkal paha tempat jalan keluarnya bayiku, perlahan mulai menghilang tergantikan oleh rasa haru yang begitu tidak terbendung, sesaat setelah mendengar tangisan keduanya pecah.  Dengan bantuan dokter, akhirnya aku bisa melahirkan dua bayi kembar berjenis kelamin laki-laki dan perempuan dengan normal.  Saat itu perasaanku benar-benar campur aduk, antara sedih dan senang. Karena pada akhirnya, penyemangatku untuk tetap menjalani hidup dengan layak telah hadir ke dunia. Terlepas dari kehidupan yang akan aku jalani kedepannya, aku telah berjanji pada diri sendiri untuk tetap menjaga kedua anakku dengan baik dan memberikan semua yang layak untuk mereka. Memang sulit sepertinya harus menjalani semuanya tanpa sosok suami dan ayah, tetapi aku yakin bisa menjalani semuanya bersama mereka anak-anakku
Baca selengkapnya

Telepon Misterius

"Oek ... oek ...." Suara tangisan bayi membangunkanku dari tidur lelap. Aku yang belum sepenuhnya sadar, lekas duduk di sisi ranjang, tangan sebelah kananku menutup mulut yang berbuka cukup lebar. Kuraih Andrea yang sepertinya sangat haus, terbukti dari tangis yang tak kunjung reda. Popoknya pun belum basah, karena memang aku baru menggantinya.  Barulah tangisnya reda saat mulut mungilnya merasakan asi. Matanya pun ikut terpejam, seiring denganku yang terus menyanyikan lagu pengantar tidur. Kulirik Andrew sekilas, untung saja dia masih tertidur dengan cukup lelap, jika tidak mungkin aku akan sangat kerepotan menangkan keduanya. Tetapi, walaupun begitu hati ini tidak pernah berhenti mengucapkan syukur.  "Sayang, tidur lagi, ya, Nak." Kutaruh kembali Andrea ke dalam box bayi. Netraku tidak henti-hentinya memperhatikan wajah keduanya yang tertidur dalam damai. 
Baca selengkapnya

Mereka Ingin Harta, Bukan Menemui Anakku

"Untuk apa kamu meneleponku?" tanyaku dengan nada sedingin es.  Terdengar sebuah kekehan dari seberang sana. Apa mungkin nada bicaraku terdengar lucu? Aku pikir tidak! "Aku dengar anakku sudah lahir, kenapa kamu tidak memberitahuku?" Aku mendelik, awalnya aku memang ingin memberitahunya, tetapi setelah dipikir kembali, aku rasa tidak. Aku takut, hal buruk terjadi. Lagipula, Ardi adalah sosok yang cukup nekat. "Untuk apa?" "Dia anakku, Rena! Aku berhak tahu, kenapa kamu begitu egois dan bersikap seolah-olah melarangku untuk menemui buah hatiku, kenapa?!" Ardi membentakku dari balik telepon. Tetapi, aku tidak peduli. "Ya, mereka anakmu, darah dagingmu, Ardi." Kugigit bibir bawah kuat, berusaha menahan kata-kata yang siap meluncur kapan saja. "Tapi, apa pantas mereka memanggilku ayah setelah apa yang kamu lakukan padamu?!" raungku tanpa peduli dengan orang-
Baca selengkapnya

Apa yang Terjadi Pada Anakku

Tidak kupedulikan ucapannya dan lebih memilih mematikan ponsel. Hembusan napas berat lagi-lagi keluar dari mulut. Cara apalagi yang harus aku lakukan agar bisa menjauh dari mereka. Rasanya hal yang aku kerjakan selama ini sia-sia saja. Masih saja mereka kurang bersyukur, padahal sudah untung tidak aku jebloskan ke penjara. Setidaknya aku masih punya hati nurani, karena memang keluarganya masih memiliki seorang anak kecil. Coba saja kalo tidak, sudah habis. "Bi Wati, Bi Ijah," teriakku dengan cukup lantang. Terlihat keduanya tergopoh-gopoh dari arah yang berbeda. "Bereskan semua barang yang kalian butuhkan, kita akan pindah untuk sementara waktu." "Iya, Bu." Keduanya menjawab serentak, dibarengi anggukan.  Kulihat Sandi datang dari kamar sambil menenteng satu buah koper, sementara itu Rehan mengekor di belakangnya.  "Tolong jaga Andrew dan Andrea. Mb
Baca selengkapnya

Kejadian Tak Terduga

Derai air mata membasahi pipi, ketika membayangkan kejadian yang tidak di inginkan. Cepat, aku menggeleng, berusaha mengusir pikiran yang hinggap di kepala. Kakiku bergetar hebat saat akan tiba di ambang pintu, hingga sebuah pemandangan memilukan terlihat. Secepat kilat, aku langsung berlari menghampiri troli bayi di mana Andrew dan Andrea berada.  Tepat di sebelah troli, Bi Wati sudah tergelatak dengan posisi telungkup. Sementara, Bi Ijah yang ada di sampingnya bergetar hebat, kedua tangan menutup mulut rapat-rapat. "Apa yang kalian lakukan?" Ayah berteriak, jari tangannya menunjuk dua orang pria berpakaian serba hitam yang malah ikut mematung. "Cepat bawa ke dalam dan panggilan dokter, Cepat!" Kedua orang mengangguk, lalu membopong Bi Wati. Sementara itu, tubuhku pun ikut bergetar hebat, derai air mata tidak henti-hentinya membasahi pipi. Aku masih kaget dengan apa yang terjadi, rasa takut kem
Baca selengkapnya

Kenapa Mereka Terlihat Akrab

"Tidak mungkin, Rehan melakukan hal tersebut. Lagipula, untuk apa?" tanyaku dengan raut wajah keheranan. Sandi dan ayah terdiam sesaat, hingga beberapa detik kemudian Sandi mengangguk mantap. Tubuhnya sedikit membungkuk, tangan terkepal kuat serta menatap sembarang arah.  "Mbak, benar. Untuk apa dia melakukan hal tersebut, sementara itu kita tidak memiliki urusan lain dengannya atau jangan--" Sandi menggantungkan ucapan, dia menengok ke arahku sambil melotot. "Dia dendam, karena, Mbak sudah menolak cintanya." Seketika aku pun ikut terbelalak saat mendengar ucapannya. Tanpa rasa kasihan, segera kutoyor kepalanya dengan cukup keras sampai dia mengaduh kesakitan. "Apa maksudmu, hah? Sembarangan sekali." Aku memang cukup kesal dengan ucapannya. "Sudah! Apa-apaan kalian ini, sudah besar masih saja bertengkar!" Ayah bangkir sambil berkacak pinggang. Dia mencoba melerai kami. "Sand
Baca selengkapnya

Video Call Tak Terduga

Tidak mau ambil pusing, segera kurebahkan badan di ranjang empuk, menarik selimut hingga sebatas dada.  Baru saja beberapa detik terpejam, mataku kembali terbuka menatap langit-langit kamar, sebelum akhirnya mulai menelusuri seisi ruangan.  Aku sedikit beringsut, menyandarkan tubuh pada punggung ranjang, jari tangan ikut menarik selimut dan meremasnya secara perlahan. Masih terlintas dalam benakku, potret Rudi sedang makan siang bersama Icha. Walaupun tidak bisa melihat tatapan keduanya secara jelas, tetapi aku yakin jika mereka tidak mungkin bertemu, tanpa alasan yang tidak pasti. Apa jangan-jangan selama ini Rudi bersikap baik hanya karena menginginkan suatu hal? Emm mungkin saja, lagipula siapa yang tahu dengan isi hati seseorang. Tanpa sadar rahangku mengeras, tangan terkepal kuat, jika itu memangnya kebenarannya. Kurang ajar! 
Baca selengkapnya

Pasar

Sudah hampir seminggu aku tinggal di rumah ayah dan selama itu juga, kejadian yang sempat menimpa Bi Wati beberapa saat yang lalu tidak pernah terjadi lagi.  Mungkin orang itu tahu, jika penjagaan di rumah ayah sangat ketat, karena hampir setiap penjuru rumah diisi oleh beberapa orang pria bertubuh tegap. Aku bergidik ngeri, saat membayangkan pria bertubuh tegap tersebut langsung menghajar orang yang berani macam-macam. Dapat kupastikan, orang itu langsung babak belur seketika.  "Sandi," teriakku saat melihat pria berkaos putih dan celana pendek melintas tepat di depanku. Sandi menoleh dan menaikan sebelah alisnya. "Ada apa?" Aku beranjak dari duduk, menyambar dompet dan ponsel yang tergeletak di meja.  "Antar, Mbak, belanja! Mumpung si kembar lagi tidur dan stok susu juga masih ada," ucapku, setelah sebelumnya menoleh ke arah Andrew dan Andrea
Baca selengkapnya

Penampilan yang Berbeda

Perlahan, aku mulai melangkah, menghampiri seseorang yang masih menunduk dalam. Baju kaos berwarna putih kumal, celana panjang hitamnya pun sama, bahkan ada beberapa tambalan di sana.  Aku tidak tahu karung berisi apa yang sengaja dia sembunyikan di belakang tubuh. Walaupun Sandi sudah berusaha menahan, tapi hal itu tidak mengurungkan niatku untuk mendekat ke arahnya. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Akhirnya, mulutku mampu melontarkan kalimat sesaat setelah beberapa detik membisu.  Orang itu terdiam, rambutnya terlihat begitu acak-acakan, peluh mengucur membasahi kening hingga pakaian yang dia kenakan.  "Maaf, mungkin salah orang. Saya permisi." Mesti sudah lama tidak bertemu, tapi aku tidak akan pernah lupa dengan wajahnya dan suaranya. Walaupun, memang banyak yang sedikit berubah. "Tidak!" Kucekal lengannya dengan cukup kasar. "Kutanya, apa
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status