Home / Romansa / Pasutri Jadi-jadian / Chapter 171 - Chapter 180

All Chapters of Pasutri Jadi-jadian: Chapter 171 - Chapter 180

185 Chapters

171. Sumpah Dari Masa Lampau

Vincent mengambil cuti kerja selama mendampingi Nuning di rumah sakit. Wanita itu bergulat dalam kecemasan selama menunggui bapaknya menjalani operasi besarnya karena kondisi jantungnya yang harus dipasangi ring. Namun secara ajaib genggaman Vincent yang membungkus tangannya sanggup mengalirkan ketenangan yang dia butuhkan. “Cemas tak akan membantumu, Ning. Ayo ... berdoalah dengan hatimu. Pintalah yang terbaik, namun tetap pasrahkan apapun yang terjadi pada Tuhan,” bisik Vincent dengan suaranya yang tak hanya merdu, tapi juga berbalut kesejukan. Hingga Nuning tak punya pilihan selain mengangguk dan menurutinya. Sedangkan Bambang tak henti-hentinya menggoyang-goyangkan kakinya sebagai wujud kegelisahannya yang terpendam. Namun kakinya sontak terdiam kala tatapannya bersiborok dengan mata elang Helda yang tajam menatapnya, kemudian tatapan gelap itu beralih ke kakinya. Membuat kaki Bambang mematung bagai kena hipnotis wanita aneh itu. ‘Kenapa sih wanita itu?’
Read more

172. Harapan Vs Kenyataan

Jaka terkejut kala bibinya di kampung mengabari tentang kondisi Pak Priyo yang sedang menjalani operasi jantung. “Tengoklah Pak Priyo ke Jakarta, Jak. Mewakili keluarga kita. Beliau kan sudah seperti keluarga kita sendiri,” kata bibinya. Padahal tanpa diminta pun Jaka bakal pergi menjenguk sosok orang tua yang sudah dianggapnya seperti ayah sendiri itu.Lalu Jaka menelepon Bambang, “Mas Bambang kenapa nggak ngasih tahu aku? Tahu begini kan aku bisa lekas datang, biar bisa membantu Mas merawat Bapak.”“Terima kasih atas perhatianmu, Jak. Tapi aku sudah cukup dapat banyak bantuan kok dari Nuning dan suaminya. Jangan khawatir, operasinya berjalan lancar, sekarang Bapak masih di ruang ICU, mungkin butuh waktu 1-2 minggu baru bisa dipindahkan ke kamar perawatan biasa, tergantung kondisi Bapak nanti gimana. Tapi sejauh ini kondisi beliau baik dan stabil. Doakan saja, Jak. Nanti saja kalau mau ke sini pas Bapak sudah dipindah ke kamar perawatan b
Read more

173. Buah-Buah Kehidupan

“Permisi?” Jaka menyapa sambil melongok masuk ke dalam sebuah kamar rawat inap VIP.“Eh, Jaka? Masuk, Jak!” Bambang menyambut seraya mengulurkan tangan, menerima uluran parcel buah dari tangan Jaka. “Repot-repot amat sih, Jak. Tapi, makasih loh ya?”Jaka tertegun demi mendapati sosok Daniel Sutomo juga tengah berada di dalam ruang ini, tempat Pak Priyo tengah dirawat usai dipindahkan dari ruang ICU. Jaka buru-buru menyapa dengan sepenuh hormatnya. Dan Tuan Daniel pun membalasnya dengan begitu rendah hati.Jaka menyapa Pak Priyo, mereka mengobrol untuk sejenak, kemudian Jaka duduk di sisi Tuan Daniel Sutomo, sosok konglomerat yang dia hormati dan menjadi salah satu tokoh panutannya selama ini. Jaka tak menyangka bisa bertemu beliau lagi setelah sekian tahun lamanya.“Saya dulu pernah bertemu dengan Bapak di acara kampus, saat itu Bapak menjadi pembicara di sana,” kata Jaka bernostalgia sejenak saat Tuan Danie
Read more

174. Membahagiakan Orang Lain Bukan Kewajibanmu

Diam-diam Bambang bersyukur dengan keberadaan Jaka yang dengan ringan tangan mau bergantian menjaga Pak Priyo selama dirawat di rumah sakit. Sehingga Bambang punya waktu untuk memulihkan tubuhnya dari kelelahan. Selain mengurusi Pak Priyo, Bambang juga rutin menelepon Bu Parmi di kampung untuk mengecek kondisinya. Emaknya tak bisa ikut serta ke Jakarta mendampingi pengobatan si bapak karena kondisi fisik yang tak memungkinkan. Kalau diajak pergi dengan jalur darat, Bu Parmi mabuk laut dan suka migrain kalau naik mobil lama-lama. Apalagi lewat jalur udara dan harus naik pesawat, bisa-bisa malah stroke karena takut. Emaknya memang sepayah itu.Untunglah ada bibinya Jaka, yang kerap menginap menemani Bu Parmi di rumah selama Bambang dan Pak Priyo di Jakarta. Kedua perempuan tua itu sangat cocok berteman dan berghibah, alias ngomongin orang. Meskipun orang yang diomongin dia-dia lagi. Kalau lagi nggak membahas Nuning ..., pasti Jaka yang dibahas. Bukan Bambang yang sepertinya ngg
Read more

175. Perpisahan yang Manis

Pak Priyo pulang ke kampungnya saat dokter sudah memperbolehkan beliau pulang dengan jadwal kontrol yang harus dijalani di kemudian hari. Jaka turut serta mengantar pulang meski Bambang mencegah karena tak ingin merepotkan lelaki itu lebih banyak lagi.Namun Jaka enggan ditolak. “Nggak apa-apa, Mas. Lagipula aku mau sekalian pulang nengokin Paman dan Bibi juga kok. Sudah lama aku nggak bertemu mereka dan juga Emak,” katanya berusaha membuat Bambang nyaman menerima bantuannya.Jaka terkejut melihat Nuning sudah lebih dulu ada di sana, menyambut kedatangan mereka bersama Bu Parmi yang langsung menangis tersedu-sedu memeluk Pak Priyo.Bambang pun membiarkan si emak menggandeng Pak Priyo dari mobil menuju ke dalam rumah, sambil berjaga-jaga di dekat mereka.“Bapak ini loh, sekalinya sakit kok ya kayak gini tho. Untunglah sampean selamet, Pak. Nggak kebayang aku hidup tanpamu, Pak ... Pak!” oceh Bu Parmi sebagai ungkapan rasa syukurnya.
Read more

176. Pilihan Hidup

Dua Tahun Kemudian “Walah, makan opo tho kuwi Nuning? Kok weenak buanget kelihatannya. Bikin aku jadi laper lagi loh! Padahal baru aja aku makan siang.”“Tahan, Jeng. Tahan ..., itu ujian! Nuning makan sebakul bakalan tetep langsing, nggak kayak kita cuma menelan ludah aja bisa langsung jadi lemak!”“Iyo yo ... nurunin berat badan kok susah banget gini, kayaknya lebih gampang melunturkan dosa-dosa kita deh daripada melunturkan lemak di badan.”“Lemak di badan ini kayaknya emang dosa kita sebagai emak-emak deh, Jeng! Yang suka khilaf nggak tahu diri kalau keasyikan ngunyah.”“Heran. Mulut dipake buat ngunyah melulu salah, ... dipake buat ghibah juga salah! Serba salah deh hidup kita tuh!”“Dih, kita?? Situ aja keleuuus!”Begitulah ramainya komentar emak-emak yang sedang asyik berkumpul di teras rumah Bu RT, saat ngerujak bareng sambil
Read more

177. Untuk yang Terakhir

Dua tahun yang lalu, Ningtyas mungkin bukan satu-satunya orang yang merasa terkejut saat mendengar kabar perceraian Nuning. Tetapi, dia adalah orang yang paling ditekan rasa bersalah kala mendengarnya. Saat itu, Jaka dan Nuning masih berada di Lampung, mengurus Pak Priyo yang baru menjalani operasi jantung.Ningtyas merasa bosan dan menelepon Jaka.“Mas, kapan sih pulangnya? Lama banget? Banyak PR desain yang belum kamu beresin nih. Lagipula, nggak ada kamu di sini nggak seru!”“Main aja ke rumah Dennis.”“Loh, Dennis di Buleleng?”“Iya, dia udah balik duluan sama Helda. Soalnya dia harus sekolah.”“Wah, kalau gitu aku main ke sana deh. Kangen juga aku sama lasagna di cafenya.”“Kalau kamu lagi senggang, tolong bantuin Helda antar –jemput Dennis sekolah.”“Mas, kerjaanku di studio kita tuh udah banyak. Ini m
Read more

178. Cinta Pertama Mengukir Cerita

Saat mendengar bunyi langkah kaki di belakangnya, Nuning menoleh dengan cepat. Jaka tampak tersenyum dengan buket bunga mawar merah di tangannya. Nuning mencebik saat menerimanya, tapi sambil mengendusi wanginya yang khas.“Cantik.”“Secantik kamu.”“Gombal.”“Digombalin aja aku masih aja ditolak, apalagi kalau nggak?” goda Jaka sambil mengambil alih pekerjaan Nuning mendekorasi ruang tamu yang akan digunakan untuk perayaan ulang tahun Dennis yang ke-11 secara kecil-kecilan, yang hanya dihadiri keluarga saja.“Dennis mana?” tanya Jaka sambil memompa beberapa balon.“Pergi sama Vincent.”“Ke mana?”“Beli kado.”“Beli kado?”“Dia menolak kado yang dibawa Vincent jauh-jauh dari Amerika, dan bilang mau memilih sendiri kadonya, lalu menyeret Vincent ke kota untuk membeli kado pilihannya sendiri.”
Read more

179. Kado Permintaan Dennis

Hari ini, Jaka sedang mewujudkan kado permintaan Dennis. Bocah itu rupanya sedang belajar mendesain layangannya sendiri, tapi dia belum bisa mengeksekusi idenya tersebut menjadi sebuah layangan seperti harapannya. Kemudian meminta Jaka menciptakan untuknya sebagai kado spesial. Tentu dengan senang hati Jaka mengabulkannya.Mereka berdua pun membuat layangan di teras belakang rumah Jaka, di dekat area kolam renang pribadinya. Sebab studionya sedang dipenuhi para pekerja yang sedang memproduksi layangan untuk dijual, maupun untuk memenuhi pesanan para pelanggan.Ayah dan anak itu merakit layangan sambil berbincang santai.“Memangnya, apa sih kado yang Dennis minta dari Ayah Vincent kemarin?” selidik Jaka penasaran.“Cincin.”“Cincin?” Jaka mengerutkan kening. Permintaan yang tak lumrah.“Bukan buat Dennis kok, tapi buat Bunda.”“Loh, kok buat Bunda?”Dennis tertawa kecil
Read more

180. Jatuh Cinta dan Konsekuensinya

Jaka mulai frustrasi. Tak enak makan dan tak nyenyak tidur. Tenggelam dalam kekecewaan yang menggerusnya dengan sesak yang menyakitkan.Ningtyas geram melihatnya!“Kamu tahu konsekuensinya sejak awal kan, Mas? Jatuh cinta itu harus siap-siap sakit. Namanya aja jatuh cinta. ‘Jatuh’ yang artinya bisa saja nyungsep, ngglepar, nyusruk ... dan semuanya itu pasti berujung sakit. Kamu nggak bisa cuma menginginkan cinta dengan mengabaikan kemungkinan sakitnya. Sampai kapan kamu mau terus begini?” Ningtyas mengomelinya. Melihat Jaka senelangsa ini, membuat hatinya ikut nelangsa juga.Jaka menimang-nimang kotak Tiffany Blue di tangannya, yang telah begitu lama ia simpan untuk Nuning dengan segaa kesabaran dan penantiannya. “Kau betul, aku harus tahu kapan saatnya menyerah dan melepaskan mimpiku ini, dan menggantinya dengan mimpi lain yang lebih mungkin,” desahnya sambil mengecup kotak itu, kemudian membukanya.Ningtyas terbelalak
Read more
PREV
1
...
141516171819
DMCA.com Protection Status