Home / All / Dream first class / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of Dream first class: Chapter 31 - Chapter 40

72 Chapters

30. Maka izinkan lah aku, mencintaimu

Deburan ombak pantai samar-samar terdengar berdesir dari dalam kamar. Di luar, dapat terlihat cerminan bulan menerangi laut hitam. Angin menderu-deru menembus sela jaring-jaring kelambu yang dipasang melindungi ranjang sementara aku bergerak dalam satu dekapan hangat. Esa menaikan selimut.“Gimana caranya kamu bisa sampai di sini, Sa?”Ia yang sepertinya melamun, terlonjak. Mengendurkan pelukan demi melihatku sejenak.“Apa alasannya karena cinta?” tanyaku pelan. Matanya yang tajam berkedip. Lamat-lamat mengangguk dengan memanyunkan mulut.“Kok kamu bisa cinta sama aku? Kenapa?” tanyaku lagi. Ia nampaknya tak ingin membahas apapun namun terpaksa harus menjawab.“Memangnya siapa lagi yang bisa aku cintai selain kamu? Pak Januar?” Membuatku jadi ingin tertawa. Aku tahu betul yang dimaksud bukan begitu. Hanya saja ia tidak ingin membawa suasananya menjadi keruh. Aku menghela napas panjang sesekali lalu menatapnya berbinar-binar.“Makasih, ya. Lain kali akan kubalas. Sepuluh kali lipat.”D
last updateLast Updated : 2023-01-08
Read more

31. Tentang cinta

Sudah cukup lama aku mempelajari asmara dan relationship dari berbagai sumber di internet. Dari bentuk video sampai artikel, semua kujabani. Tapi apa jadinya teori tanpa praktek? itu sama saja dengan belajar sebatas hafalan. Katanya, ciri-ciri pria yang ingin serius itu adalah yang lebih banyak ‘melakukan’ dibanding ‘perkataannya.’ Sementara yang sering kurasakan, Esa dominan dengan kata-kata indah yang membuatku yakin kalau ia jodohku. Untuk memvalidasi hal tersebut, hampir setiap hari aku mengujinya dengan trik-trik kecil agar keraguan dalam dada ini sedikitnya meluntur. Seperti meminta bantuan apapun padanya. “Sayang?” Ia sedang sibuk mengerjakan pekerjaannya dengan laptop dan tablet di atas meja makan sementara anak-anak tengah bermain di ruang tengah. Ini jam makan siang. “Sayang
!” Ia akhirnya menoleh. Terkejut. “Hm? Kenapa sayang?” tanyanya. Aku mengkerutkan alis. “Ini, nih. Kenapa kompor di sebelah kanan nyalanya lebih kecil dari yang sebelah kiri, ya? Aku dari tadi nguku
last updateLast Updated : 2023-01-09
Read more

32. Cara berdebat dengan benar

“Cinta? Cinta dari mana? Apa kamu nggak berpikir mungkin ini bisa jadi eksploitasi terhadap anak-anak?” Ia mengkerutkan alis. Menegakkan punggung sambil memandangiku terheran-heran. “Kok, eksploitasi, sih? Kamu nggak lihat anak-anak enjoy aja dalam melakukan aktivitas mereka? Memang anak-anak pernah ngeluh sama kamu kalau mereka dipaksa? Nggak, kan?” Oke. Dari pertanyaan tegas tersebut aku jadi tersadar kalau Esa merasa tersinggung dan mungkin cara bicaraku tadi salah. “Aku bingung sama kamu. Sebenarnya ada apa, sih? Kenapa kamu banyak mencurigai aku sampai sebegitunya? Jelas aku sayang banget sama anak-anak. Tato dan Toto pengen aku adopsi biar mereka nggak kena kekerasan lagi dari Ayah kandungnya. Kasihan. Tapi kamu malah berpikir mereka di sini dieksploitasi?” Aku tahu aku salah. Tapi sedari kecil, aku tak pernah bisa mengatakan maaf kepada orang yang kulukai. Namun sebagai gantinya, aku bersedia terdiam untuk menerima celotehannya dan merasa terluka. Di sisi lain, aku masih sa
last updateLast Updated : 2023-01-09
Read more

33. Richie

“Richie ke mana, ya, selama ini? Kok, aku nggak pernah lihat?” tanyaku penasaran. Tiba-tiba kepikiran beliau yang tidak pernah nampak saat aku pergi ke cafĂ©. Esa yang tengah mengemudi berdeham pelan.“Aku belum cerita, ya?”“Belum. Cerita apa?”“Richie bawa kabur uang. Mangkanya nggak pernah kelihatan.”“Hah?!” Aku terkejut. Jantungku terasa mau copot.“Bawa lari uang? berapa?”“Lima puluh juta.”Aku menutup mulut dengan kedua tangan. Memastikan sekali lagi. “Lima puluh juta?!”“Hm.” Matanya memejam sekejap dengan santainya. Berpikir sebentar mungkin uang segitu bukan apa-apa baginya, tapi bagaimana bisa ia biarkan begitu saja?“Aku sudah cerita ‘ini’ belum?”“Ini? Apa lagi? belum!”Ia memiringkan kepala sambil mengeratkan pegangannya pada stir mobil. Aku masih menunggu dengan getir.“Sebenarnya Richie itu hacker dulu. Kami ketemu di perusahaan Ayahnya Rico dan ia sebagai white hacker atau sering dibilang; yang melindungi keamanan sistem lah. Aku manajemen property. Tapi karena aku ka
last updateLast Updated : 2023-01-09
Read more

34. Konten Sensitif

“Jadi, Richie 
 gay?” tanyaku dengan tatapan membeku. Tak percaya dengan apa yang telah membuatku menarik kesimpulan demikian. Esa dengan tatapan penuh keberanian mengangguk membenarkan sementara tangannya mendadak diserang tremor kecil. Aku jadi tidak sanggup mengulik ceritanya lebih lanjut.“A-aku,” katanya ingin memberitahu sesuatu namun kusergah pelan.“Kita sebaiknya bayar ini dulu semua, baru lanjut ngobrol lagi di mobil, ya.”“Tapi aku bukan gay,” tukasnya, jelas. Aku tersentak. Mungkin beberapa orang yang berada tak jauh dari kami menghentikan gerakan karena tak sengaja mendengar hal itu. Aku yang sudah terbelalak kaget atas pernyataan dadakan tersebut, berharap setengah mati dalam hati orang-orang itu mau melabuhi pikirannya sendiri dengan spekulasi: mungkin salah dengar, atau, mungkin yang pemuda itu maksud adalah: tauge, atau jamur shitake, atau tomat gede, atau urge, village, jumat wage, hokage, dan hah! pokoknya selain kata itu, kumohon!“Aku laki-laki tulen! Aku bukan ga
last updateLast Updated : 2023-01-09
Read more

35. Konten Sensitif pt2

Selepas roda motornya si bujang mengerem, aku melompat turun. Cepat-cepat menghampiri gerbang besar rumah Esa.Ding dong!Bel untungnya masih berfungsi sebab tak berselang lama, Pak Januar membukakan gerbang tersebut dengan susah payah sendiri sambil menjulurkan kepala.“Oh! ada Esa, pak?” tanyaku cepat. Beliau menyipitkan mata.“Lho, bukannya sama mbaknya tadi?”Tuh, kan. Benar. Ia tidak ada di rumah. Aku menyibakkan rambut. Gusar.“Mungkin ke rumahnya kak Richie,” celetuk Maurer. Membuatku terkesiap.“Kamu tahu rumahnya Richie di mana?”***Punggung membungkuk, menyusuri jalan panjang. Di sisi lain, tubuhku menggigil diterpa angin malam. Kira-kira apa yang akan dilakukan Esa jika ia menemui Richie dalam kondisi seperti itu? Lagi pula buat apa Richie ada di rumahnya? Ia, kan, kabur membawa lari uang Esa?“Di sini rumahnya?” tanyaku, saat Maurer menurunkanku di salah satu rumah gelap yang di depannya ada pohon jambu dan anjing kelaparan. Rumahnya persis berada di pinggir jalan. Ada be
last updateLast Updated : 2023-01-09
Read more

36. Konten Sensitif pt3

“Sudah! nggak ada gunanya kita melarang-melarang mereka sekarang,” paparku saat berhasil melompat untuk menangkapnya. Anak ini sangat dipenuhi rasa kesal dan penasaran yang berkecambuk dalam dada. Kuperhatikan orang-orang di sini sangat mati kepedulian. Mereka tetap asyik dengan dunianya sendiri dan minum-minum hingga hilang kesadaran. Bahkan ada yang tiba-tiba menggelanyuti Maurer—mencoba ingin menciumnya.“Heh, pergi!” tukasku. Terkejut. Maurer hanya diam membiarkan aku membersihkan serangga yang menempel di pundaknya. Setelah itu ia menatap masih tak mengerti dengan perkataanku yang tadi.“Kenapa, kak?! kenapa kakak diam saja dikhianati orang yang sebentar lagi jadi suami kakak?! DIA GAY, LHO! KAKAK NGGAK BOLEH NIKAH SAMA DIA!”“Mangkanya aku bilang, ayo kita pulang saja! untuk apa melabrak orang yang sedang berhubungan? kamu juga masih anak kecil! seharusnya nggak berada di sini. Masalah menikah dengan siapa, biar aku yang selesaikan sendiri. Kita pulang saja sekarang. Ayo!”Aku m
last updateLast Updated : 2023-01-09
Read more

37. Pertanyaan Seram

Rumah sakit. Hal yang pertama kali kulihat saat mata ini terbuka adalah langit-langit kamar rawat inap rumah sakit dan Maurer. Anak itu tersenyum padaku sebelum kemudian beranjak membuka jendela kamar agar sinar mentari bisa masuk. Sudah pagi rupanya.“Kakak sudah merasa baikan?” tanyanya. Aku melihat jarum infus yang menusuk punggung tanganku.“Aku sakit apa?” Ia pun menjawab. “Anemia.” Membuatku sadar akan tubuhku yang terasa lemas. Pelan-pelan kepalaku pusing dan detak jantungku berdenyut tidak karuan, sedangkan rol memori di kepalaku bergulir lambat menampilkan kejadian-kejadian tak mengenakan yang membuatku begini. Aku ingin bertanya tapi tidak berani. Yang bisa kulakukan hanya fokus untuk pulih agar cepat pulang.Pulang? Pulang, ya. Kenapa semua orang ingin pulang saat bahkan tempat untuk pulang pun tidak ada. Di kos tidak ada orang. Di rumah Esa, tidak ada anak-anak. Kepada siapa aku harus berpulang? Apakah harus menelpon orang-orang di Manado? Kenapa rasanya seperti tidak puny
last updateLast Updated : 2023-01-09
Read more

38. Ajeng yang peka

Aku tersenyum. Memilih untuk tidak menjawab. Teringat mimpiku tadi malam tentang kembali ke masa lalu. Sekitar tahun 2015. Aku bertemu mendiang Sulli dan Go Ara di perusahaan SM entertainment. Mereka tertawa-tawa bahagia bersama banyak artis lainnya. Entah dari mana dan bagaimana caranya aku bisa berada di sana dan tiba-tiba berkata begini; ‘saya sebenarnya dari masa depan. Ada kabar yang tidak mengenakan dari perusahaan SM kedepannya. Tapi semoga kalian semua baik-baik saja.’ Lalu kemudian balik ke Indonesia untuk mendapat kabar kematian dari artis Indonesia. Dinda Hauw.Sampai situ aku terbangun. Langsung mengambil ponsel untuk searching di google apa arti mimpiku di jam lima lima puluh pagi. Setelah menggulir beberapa artikel, aku menemukan jawabannya. Katanya aku harus mengubah perspektif hidupku. Aku harus mulai melihat dunia dari kacamata yang berbeda untuk bisa maju. Terjebak dan berlarut-larut dalam masalah adalah salah satu dari kesia-siaan hidup. Aku juga harus bisa memilih
last updateLast Updated : 2023-01-09
Read more

39. Bahaya kejadian Traumatis

H+3 setelah kejadian. 07:03 amAku membuka mata dan langit-langit kamar rawat inap rumah sakit masih menjadi pemandangan pertamaku untuk menyapa pagi. Perutku masih naik turun karena napas yang berhembus. Masih hidup rupanya.“Selamat pagi, kak!”Sedikit terkejut. Maurer ternyata sudah berada di sini pagi-pagi.“Sudah merasa baikan?” tanyanya setelah meletakkan separsel keranjang buah di pinggir meja vas tepat di samping tempat tidurku.Aku duduk bersandar ke punggung kasur sambil melihatnya berkedip menunggu. Merasakan nyeri di punggung tangan sebelah kiri yang ternyata telah ditusuk jarum infus.“Aku sakit apa?”Ia pun berdengus heran. Mengusap-usap jidatnya sambil mengambil satu kursi untuk diduduki. Mengecek suhu tubuhku melalui telapak tangannya yang ditempelkan di keningku, lalu dibandingkan dengan miliknya. Ia pun memiringkan kepala. Merasa aneh.“Kakak pengidap amnesia, ya?”Tepat ketika itu aku merasa kembali pada pertemuan pertamaku dengan Esa, saat duduk di depan kipas angi
last updateLast Updated : 2023-01-09
Read more
PREV
1234568
Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status