Beranda / Semua / Dream first class / 39. Bahaya kejadian Traumatis

Share

39. Bahaya kejadian Traumatis

Penulis: Sun🌅
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-09 20:25:32

H+3 setelah kejadian. 07:03 am

Aku membuka mata dan langit-langit kamar rawat inap rumah sakit masih menjadi pemandangan pertamaku untuk menyapa pagi. Perutku masih naik turun karena napas yang berhembus. Masih hidup rupanya.

“Selamat pagi, kak!”

Sedikit terkejut. Maurer ternyata sudah berada di sini pagi-pagi.

“Sudah merasa baikan?” tanyanya setelah meletakkan separsel keranjang buah di pinggir meja vas tepat di samping tempat tidurku.

Aku duduk bersandar ke punggung kasur sambil melihatnya berkedip menunggu. Merasakan nyeri di punggung tangan sebelah kiri yang ternyata telah ditusuk jarum infus.

“Aku sakit apa?”

Ia pun berdengus heran. Mengusap-usap jidatnya sambil mengambil satu kursi untuk diduduki. Mengecek suhu tubuhku melalui telapak tangannya yang ditempelkan di keningku, lalu dibandingkan dengan miliknya. Ia pun memiringkan kepala. Merasa aneh.

“Kakak pengidap amnesia, ya?”

Tepat ketika itu aku merasa kembali pada pertemuan pertamaku dengan Esa, saat duduk di depan kipas angi
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Dream first class   40. Tuhan dan Kaktus

    Pemirsa, pelaku berinisial E batal dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan karena diduga mengidap PTSD (post traumatic stress disorder). Disebabkan oleh pelecehan seksual yang dilakukan oleh korban atau teman dekatnya; berinisial R, pelaku E menyatakan sendiri motif dari pembunuhan yang ia lakukan pada sahabatnya tersebut karena didera rasa cemas akan takut dinilai gay oleh masyarakat umum. TegAku menekan tombol off pada remot TV. Berpaling sejenak dari depan monitor tersebut lalu berbaring di kasur. Cahaya sore menyelinap di sela-sela gorden yang tertutup. Terbias bersama debu-debu halus yang melayang mengudara, lalu suara detik pada jarum jam pun berdenyut. Mengosongkan pikiran.“Masih kuat? tanya suara pada hatiku tiba-tiba. Aku memejamkan mata untuk menahannya. “Ayo, bunuh diri saja!”Rasanya seperti orang lain. Bisikannya selalu tentang hal-hal yang negatif, semacam setan. Belakangan ini aku menyadarinya, tapi aku tak berusaha melawan. Sebab dibutuhkan banyak energi untuk mel

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-09
  • Dream first class   41. Kondisi kita

    “Hai,” sapaku pada seseorang yang tengah duduk bersandar di ranjangnya tepat setelah membuka pintu salah satu kamar rumah sakit Trauma Center. Ia melihatku dengan sedikit tegang, namun tak membalas sapaan. Ini terasa asing. Aku mencoba tenang dengan menutup pintu kamarnya kembali. Berbalik menghadapnya yang kini malah menunduk; meraba-raba rasa linglung atas situasi di luar dugaan. “Apa kabar?” tanyaku masih di tempatku lebih dekat beberapa inci. Menahan napas di dada karena gugup setengah mati.Ia membeku. Tak lama kemudian berusaha sekuat tenaga mengangkat pandangannya dengan lebih berani. Tanpa kendali, aku menarik senyuman canggung karena ingin mencairkan suasananya, namun ia masih dalam kondisi yang sama. Tubuhnya kurus dan pipinya tirus. Ketika itu aku mengerti lintah apa yang telah menyedot sari-sari kebahagiaannya. Mungkin ia juga sepertinya mengerti kondisi apa yang tengah kualami dengan tatapan nanarnya yang berkedip lambat, tak mampu terucap. Hanya berpaling. Aku menger

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-09
  • Dream first class   42. forgiveness

    “Maafin aku, Esa,” kataku. Merasakan lemahnya tangis yang meletup-letup pada permukaan punggungnya ketika kuusap dengan lembut. Aku tidak bisa menolongnya sebagai seorang teman. Lebih tepatnya lagi, aku tidak mengerti harus melakukan apa kala itu, ketika melihatnya berciuman, bercumbu, berteriak, memukul, menangis, bahkan hingga berlumuran darah. Semua hanya tersaji secara Cuma-Cuma di depan mata hingga membuat kedua kakiku bergetar lemas di tempat sebelum berakhir limbung tak sadarkan diri.“Tapi aku yakin itu sepenuhnya bukan salah kamu. Pasti ada sebagian kesalahan orang lain juga yang membuat kamu tega melakukan hal ini, kan?”Ia masih menangis. Kali ini mencengkram bajuku agar bisa menyembunyikan wajahnya lebih dalam lagi pada ceruk leherku. Sangat ketakutan.Aku menariknya perlahan. Mencoba menengok wajahnya yang menunduk lalu mengusap air matanya seperti halnya Rico saat menangis waktu itu. Aku seperti berhadapan dengan dirinya versi anak-anak yang ternyata sangat dipenuhi bany

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-09
  • Dream first class   43. Aku

    “Soal pernikahan kita …”“Nggak perlu dipikirin. Yang penting kamu cepat sembuh supaya bisa melanjutkan aktivitas lagi, ya.”“Maaf karena aku menghancurkan semuanya.”“Eh, sudah, sudah. Lebih baik kamu banyakin istirahat. Jangan pikirin apapun yang bisa mengganggu kesehatan mentalmu untuk sekarang. Aku pulang dulu, ya.”Saat kuberanjak, ia langsung menggamit lenganku. Memasang raut merana. Aku terpaku sejenak sebelum terduduk kembali.“Kenapa?” tanyaku. Ia pun memelas.“Kamu nggak sedih?” tanyanya.Seketika dadaku terasa penuh—sesak dirundung kesedihan. Ternyata yang kuperlihatkan dari tadi adalah kepura-puraan. Itu memang sudah menjadi kebiasaanku. Tidak pernah mempertunjukan kekacauan pikiran sedikitpun pada orang lain. Tapi aku menggigit bibir. Ingin sekali saja bersikap manusiawi. “Sedih,” timpalku dengan enteng. Kemudian menaikan alis. “Tapi mau bagaimana lagi.”Ia pun dengan lesu memandangi jemari kami yang terasa kebas sementara aku berusaha menaikan suasana hati dengan ring

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-09
  • Dream first class   44. Maurer anak baik

    Oke. Sampai sini mungkin kau sudah mulai bosan mendengarkanku membual tentang hidup. Lembaran demi lembaran terasa habis percuma. Tenang. Kau tidak merasakannya sendiri, karena aku juga. Haha!But, bisa kupastikan cerita ini akan habis sebentar lagi dengan akhir yang bahagia. Semua orang suka kebahagiaan bukan? Tapi kenapa kau meletakkannya di akhir? Kenapa kau tidak meletakkan kebahagiaan disepanjang hidupmu? Oke. Kuubah subjeknya. Kenapa selama ini aku menyiksa diriku atas ketakutan yang berada di luar kendali gerak motorikku? Kenapa masa depan selalu menjadi momok yang menakutkan untuk mencapai kesuksesan? Apa definisi sukses sebenarnya? Apa diantara kalian, sudah ada yang mencapai kesuksesan? bagaimana rasanya menjadi sukses? Apa kalian bahagia?Dulu, sehabis pulang sekolah waktu SD, aku suka sekali berbaring di sofa ruang tamu sambil membaca buku hasil pinjaman dari perpustakaan sekolah. Jika isi dari buku itu mampu membuatku terpukau, maka aku akan berimajinasi tentang bagaimana

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-09
  • Dream first class   45. Shadow

    Keesokan harinya di rumah sakit pukul 11:30, aku mengetuk pintu lalu masuk ke dalam kamar Esa yang masih redup. Aroma terapi yang mengoar dari disfuser tercium kuat sebelum sinar matahari perlahan menerobos masuk ketika aku bergeser pelan menyingkap gorden tinggi dari ujung ke ujung, membuat seseorang yang masih menyelimuti diri di atas ranjangnya tersebut sejemang membuka mata. Aku berdiri menunggu, membiarkannya secara mandiri mengumpulkan kesadaran.“Mau jalan-jalan keluar?” tanyaku sambil berjalan mengambil sesuatu di dekat tas. Ia pun berkedip pelan. Mengamatiku meletakkan sepot kecil pohon mini di atas mejanya. Pohon itu langsung mendapatkan sinar matahari dengan cukup baik.“Apa itu?” tanyanya. Aku pun mendengus menunjuk sesekali ke arah atensi. “Bonsai kimeng,” kataku. Lalu duduk di sebelahnya. Ia pun membelalakan mata, mencoba bangun untuk menyandarkan punggung.“Bisa sekecil itu?” tanyanya lagi. Aku mengangguk. “Bisa.” Lalu kepalanya bergerak menunjukkan kepahaman. Berhasil

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-09
  • Dream first class   46. Ayo pergi

    Terengah-engah. Seorang perawat membangunkanku dengan kuat dan menarikku untuk menjauh dari genggaman pasien. Tanganku terasa dingin ketika melihat matanya yang mencolok dalam kegelapan. Ia mengerang dan memberontak tak mau dipegang. Oh, Tuhan. Apa yang barusan terjadi? Bayanganku tadi sempat terbesit seperti saat Richie dengan posisi mengangkang setahun silam hingga tubuh ini tidak lagi bisa merasakan kaki yang terkulai lemas.“Nggak apa-apa, mbak?” tanya Seorang Suster. Aku terkesiap, mengangguk. Berjalan mengikuti perawat Perempuan yang memapahku untuk keluar dari kamar, sementara erangan Esa perlahan meremang saat pintunya di tutup. Aku mengecek keningku yang lecet. Lalu kedua tangan memeluk pundak sendiri dengan perasaan yang sangat amat terluka. Aku menangis.***Tahukah kamu, kita dapat berkontribusi menciptakan pikiran dan perilaku seseorang melalui tindakan yang kita tunjukan kepada orang lain. Jika tindakan kita membuat orang lain terluka, maka besar kemungkinan orang terseb

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-09
  • Dream first class   47. Make it better

    “Aku akan membantu kamu mentrigger ingatanmu.” “Iya. Caranya gimana?” “Pertama-tama kamu harus dipastikan sembuh dulu. Tapi hampir nggak mungkin dengan kondisi kamu yang semakin buruk ini.” “Memangnya aku kenapa?” “Dokter mengidentifikasi kalau kamu memiliki gejala skizofrenia.” “Hah?” Ia terkejut tidak percaya. “Apa lagi itu?” tanyanya bingung. Aku pun mencoba menjelaskannya dengan sederhana. “Skizofrenia itu adalah gangguan yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berpikir, merasakan, dan berprilaku. Kalau kronis, pengidapnya bisa mengalami halusinasi, delusi, kekacauan dalam berpikir, dan perubahan sikap. Nah, gejala yang mulai kamu alami ini namanya Psikosis, dimana kamu kesulitan membedakan antara kenyataan dengan pikiran.” “Terus,” potongnya dengan lurus saat masih ada perkataan yang menggantung di lidahku. Bola matanya menghadap tembok seperti tengah membayangkan sesuatu. “Apa bisa sembuh?” Aku yang sempat menarik napas lalu membuangnya sambil menurunkan pundak pun me

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-13

Bab terbaru

  • Dream first class   71. Sky Diving (Tamat)

    Esa mengepak pakaian seadanya. Ia memasukan baju dan celana panjangnya secara serampangan ke dalam koper. Aku yang bersandar pada kusein pintu, yang sudah siap pergi dengan berpakaian rapi dan cantik, langsung tergerak untuk mendekat, membantunya mengeluarkan baju-baju itu kembali untuk dilipat. Ia menunggu dengan sabar di sampingku sementara aku berusaha tersenyum sambil mengusap pipinya. *** Hari H menuju kematian. Bandara Nusawiru, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. Pukul 08.30, Esa memasangkan goggles padaku setelah dirinya selesai memakai jumpsuit. Perlengkapan untuk olahraga berbahaya ini sudah disiapkan oleh tim manajemen NSW Paracenter, namun entah mengapa ia lebih memilih untuk membeli semuanya sendiri. Dan itu tidak murah. “Kenapa nggak sewa aja, sih? Kan kita pakainya sekali.” Esa mengancingkan helmnya dengan erat. Lalu menghela napas sambil menaruh tangan di pinggang. “Aku sih, sekali. Tapi apa iya kamu hanya sekali?” “Maksudmu aku a

  • Dream first class   70. On the clock

    Pagi hari pukul 08.30 wita. Seperti biasa, aku melingkari angka dikalender. Tak terasa 6 bulan berlari begitu cepat secepat citah. Kuharap setelah melewati hari-hari penuh pemikiran yang dalam ini, Esa bisa mengubah keputusannya.Sejak hari terakhir kami di Gili Trawangan, pemuda berinisial E itu banyak melamun. Ia tidak lagi mengkonsumsi kafein secara berlebih. Tidak lagi menyisihkan sayur di piring makannya. Ia bahkan tidak pernah mengatakan kata-kata perpisahan selama kami menghabiskan seluruh sisa rencana kami hingga tanpa tahu, 6 bulan telah berlalu begitu saja. Apakah keputusannya sudah benar-benar berubah? Aku tak berani bertanya karena takut ia jadi terkecoh. Namun sebagai gantinya, aku berusaha ada disetiap kali ia butuhkan.Aku mendengarkannya bercerita, ikut memancing, berbicara padanya, bermain game di warnet, mencium pipinya ketika ia minta, membaca buku yang tidak begitu kusuka, mendengarkan musik Rock n roll kesukaan dia, menonton Netflix, bergandengan tangan di malam h

  • Dream first class   69. Minta doa

    Berjalan-jalan sambil bergandengan tangan sepertinya bagian favorite Esa juga. Sebagian waktu kami dihabiskan untuk berjalan kaki sambil bergandengan tangan. Saat duduk makan, kami bergandengan tangan. Menari dan menikmati suasana pesta malam, bergandengan tangan. Berdansa, bergandengan tangan. Mengobrol dan bercerita sambil bergandengan tangan. Bahkan saat mau tidur setelah memesan dua kamar di satu hotel, Esa menawariku satu kasur berdua supaya bisa berpegangan tangan.Aku tahu dia punya rencana untuk memenggal waktunya sebentar lagi, namun tak lantas membuat kami harus tidur bersama—menghalalkan segala cara.“Kalau kamu mau fight untuk hidupmu dalam waktu yang lama …. pasti aku akan tidur sambil pegangan tangan setiap waktu sama kamu. Menghabiskan hari tua bersama. Jangan khawatir.”Ia tentu mengerti maksudku dengan terdiam kaku di atas kedua kakinya. Menatap penuh kehampaan di depan pintu kamarnya sendiri. “Aku ngerti, kok. Mengambil keputusan sampai di detik ini pasti nggak mud

  • Dream first class   68. Gili Trawangan

    Kami terdiam di mobil. Mengisi energi setelah mengobrol panjang dengan keluarga Pak Imron seharian. Esa tadi sempat meminta bantuan kepada Pak Imron untuk menghubunginya jika ada yang membutuhkan perabotan rumah tangga. Dan keesokan harinya rumah Esa tak henti-hentinya didatangi mobil pick up untuk mengangkut barang. Rumahnya menjadi kosong. Kami bahkan duduk termenung di tengah-tengah ruangan beralaskan lantai marmer tersebut. Merasakan sepi yang merasuki ulu hati. “Kamu nggak menyesal, kan?” tanyaku. Takut kalau-kalau ini tak sesuai ekspetasinya. Namun hebatnya ia mencebik sambil menggeleng. Meletakan kertas wish list di sampingnya dengan tenang. “Aku nggak pernah menyesali segala keputusanku, Nom. Ini udah seperti yang aku bayangkan, kok.” *** Wush~ “Ayo kejar aku!” kataku mengejeknya ketika mengkayuh pedal sepeda lebih cepat di sore hari. Pada naik-naikan jalan, pemuda itu ternyata sudah ngos-ngosan. Tak disangka ia lebih payah dariku yang bertubuh gempal begini. Aku menghen

  • Dream first class   67. Jodoh

    “Bapak ada siapa aja nih, di rumah?” tanya Esa sesudah mencium tangannya. Aku secara otomatis juga melakukan hal tersebut sambil senyam-senyum canggung.“Istri sama anak saya, si Soleh.” Pak Imron langsung membalik muka seratus delapan puluh derajat. Mengumpulkan semua energi di dalam mulut sebelum menyemburkannya keras-keras ke dalam rumah.“BUK! ADA TAMU INI, BUK! LEH! KELUAR LEH!” Teriaknya semangat. Kemudian berbalik lagi. “Ayo! Ayo! mari masuk dulu.”Soleh sang anak tiba-tiba keluar dengan tergupuh-gupuh. Sontak Esa langsung mengajaknya untuk mengambil TV di mobil.“Nah, ini! Ayo bro, bantu aku ambil TV kamu di mobil. Siapa lagi temannya?”“Sendiri.”“Oke, deh. Ayo kita let’s go!”Si Soleh meski dengan alis yang terangkat riang, tak bisa memungkiri kebingungannya setengah mati. Ia tanpa mengerti kondisi langsung saja mengiyakan permintaan Esa yang sok akrab merangkulnya—mengajak keluar secara paksa. Cara menyapa laki-laki ini memang agak bar-bar. Maklumi saja. Aku terdiam bingu

  • Dream first class   66. Project amal pt 2

    “Tapi …. tapi—”“Udahlah sayang. Nggak usah terlalu dipikirin. Nih, kukasih tahu cara kerjanya.”Esa membuka laptopnya di atas meja bar dekat kolam. Aku ikut duduk di sampingnya sambil membawa rasa penasaran yang cukup besar dalam genggaman. Ia membuka laman facebook di website dan mengklik market place.“Karena yang kita mau jangkau orang-orang disekitaran Lombok aja, jadi kita pakai ini,” katanya. Jari-jarinya begitu cepat mengoperasikan benda tersebut. “Upload di sini gambarnya,” jelasnya. “Pilih kategori barangnya, terus barang dalam kondisi bagus-bekas klik centang, terus tentukan harganya centang, dan isi deskripsinya, deh.”“Kamu kan mau memberi, bukan menjual.”“Iya mangkanya tinggal diisi deskripsinya sayang.” Aku mengangguk. Menatap dengan kagum saat ia mulai mengetikan deskripsinya.Tidak dijual. Barang bekas mau pindahan. Khusus bagi orang yang membutuhkan. Kalau deal bisa langsung angkut ke rumah. Alamat:blablabla. Tidak pakai perantara. Siapa cepat dia dapat.Dan begitu

  • Dream first class   65. Project amal

    “Di sini ada yang suka baca?” Tidak ada yang menjawab. Mereka semua meski tertib di suruh duduk rapi dan punya semangat untuk selalu berteriak-teriak heboh setiap saat, namun dalam hal respon tanggap mereka lumayan lambat. “Ada yang mau jadi penulis?” tanyaku lagi. Kali ini ada satu anak berkepala plotos yang mengacungkan telunjuknya. Aku menjadi antusias. “Siapa namanya, sayang?” “Ali.” “Oh, Ali,” sahutku pelan. Namun Esa menyahut jenaka. “Kepanjangannya siapa Ali? Alibaba?” Sontak membuat anak-anak tertawa. Aku mencoleknya dengan siku sambil memastikan kondisi wajah Ali. “Ali. Hm, aku mau tanya dong. Kenapa kamu mau jadi penulis?” Tidak dijawab. Mungkin anak laki-laki dengan muka polos sepolos kepalanya tersebut belum mengetahui alasan mengapa ia ingin menjadi penulis. “Tapi Ali tahu, kan, penulis itu apa?” Ia mengangguk. “Kira-kira, penulis itu apa, sih?” pancingku lagi agar ia mau berusaha berpikir. “Yang nulis cerita?” tanyanya memastikan. Aku langsung menepuk tangan se

  • Dream first class   64. Do Dream

    Ia tidak lantas menjawab karena teralihkan pada alisku yang bergerak-gerak aneh. “Kamu baca whatssapp-ku, ya?” tanyanya curiga. Yang tak disangka-sangka tahu padahal sudah kupastikan tadi dia sama sekali tidak menoleh. Hal itu sungguh membuatku tak bisa berkilah. “Hm, anu, aku—” “Lain kali jangan kayak gitu, ya.” Membuat lidahku menggantung di langit-langit. Mengira ia bakal marah besar, ternyata hanya sebatas peringatan. “Oke!” seruku kemudian. Berusaha memperbaiki suasana. “Tapi, untuk beberapa hari ke depan …. kamu bakal membahas hal ini, kan?” Esa menghirup cairan di hidungnya keras-keras setelah berpikir keras, sekeras menyedot cairan itu. “Nggak dulu,” katanya. Menelisik visi yang seolah sedang tergambar jelas di depan hidungnya. “Aku hanya ingin hidup 6 bulan lagi. Di waktu 2 bulan terakhir …. mungkin aku bakal bahas itu.” *** Aku mengamati kalender tahun 2020 yang menempel di badan pintu kamar kosan. Di zaman serba cepat saat itu, bisa-bisanya seorang Noumi Roula meng

  • Dream first class   63. Sisa Waktu

    Esa mengeluarkan semua uneg-unegnya sebelum berakhir mengurung diri di kamar. Ia tidak bisa mengunci pintunya karena aku yang pegang. Lantas, setelah lama memberinya waktu menyendiri, aku pun akhirnya pelan-pelan mengarahkan kenop pintu ke bawah untuk melangkahkan kaki masuk ke dalam. Ia sedang duduk memunggungi pintu di ujung kasur. Menunduk terseguk-seguk. “Hei,” kataku menghampirinya. Mengulurkan tangan kanan dengan legowo. “Aku minta maaf, ya.” Seperti anak kecil yang tidak sengaja membuat temannya menangis. Ia mengusap mukanya sendiri sebelum dengan berat hati mengangkat dagu. Dari sudut pandangku, ia tidak pernah malu memperlihatkan air mata dan muka jeleknya saat menangis. “….” Aku masih mengulurkan tangan. Mengangkat alis untuk mengajaknya berbaikan. Namun ia tak berminat diajak salaman. Bokongnya malah bergeser untuk meraih obat di atas laci yang membuatku jadi menemukan luka dibalik kerah lengannya. “Itu kenapa?” tanyaku. Ia secara spontan menarik kerah itu lalu menepis

DMCA.com Protection Status