âSoal pernikahan kita âŠââNggak perlu dipikirin. Yang penting kamu cepat sembuh supaya bisa melanjutkan aktivitas lagi, ya.ââMaaf karena aku menghancurkan semuanya.ââEh, sudah, sudah. Lebih baik kamu banyakin istirahat. Jangan pikirin apapun yang bisa mengganggu kesehatan mentalmu untuk sekarang. Aku pulang dulu, ya.âSaat kuberanjak, ia langsung menggamit lenganku. Memasang raut merana. Aku terpaku sejenak sebelum terduduk kembali.âKenapa?â tanyaku. Ia pun memelas.âKamu nggak sedih?â tanyanya.Seketika dadaku terasa penuhâsesak dirundung kesedihan. Ternyata yang kuperlihatkan dari tadi adalah kepura-puraan. Itu memang sudah menjadi kebiasaanku. Tidak pernah mempertunjukan kekacauan pikiran sedikitpun pada orang lain. Tapi aku menggigit bibir. Ingin sekali saja bersikap manusiawi. âSedih,â timpalku dengan enteng. Kemudian menaikan alis. âTapi mau bagaimana lagi.âIa pun dengan lesu memandangi jemari kami yang terasa kebas sementara aku berusaha menaikan suasana hati dengan ring
Oke. Sampai sini mungkin kau sudah mulai bosan mendengarkanku membual tentang hidup. Lembaran demi lembaran terasa habis percuma. Tenang. Kau tidak merasakannya sendiri, karena aku juga. Haha!But, bisa kupastikan cerita ini akan habis sebentar lagi dengan akhir yang bahagia. Semua orang suka kebahagiaan bukan? Tapi kenapa kau meletakkannya di akhir? Kenapa kau tidak meletakkan kebahagiaan disepanjang hidupmu? Oke. Kuubah subjeknya. Kenapa selama ini aku menyiksa diriku atas ketakutan yang berada di luar kendali gerak motorikku? Kenapa masa depan selalu menjadi momok yang menakutkan untuk mencapai kesuksesan? Apa definisi sukses sebenarnya? Apa diantara kalian, sudah ada yang mencapai kesuksesan? bagaimana rasanya menjadi sukses? Apa kalian bahagia?Dulu, sehabis pulang sekolah waktu SD, aku suka sekali berbaring di sofa ruang tamu sambil membaca buku hasil pinjaman dari perpustakaan sekolah. Jika isi dari buku itu mampu membuatku terpukau, maka aku akan berimajinasi tentang bagaimana
Keesokan harinya di rumah sakit pukul 11:30, aku mengetuk pintu lalu masuk ke dalam kamar Esa yang masih redup. Aroma terapi yang mengoar dari disfuser tercium kuat sebelum sinar matahari perlahan menerobos masuk ketika aku bergeser pelan menyingkap gorden tinggi dari ujung ke ujung, membuat seseorang yang masih menyelimuti diri di atas ranjangnya tersebut sejemang membuka mata. Aku berdiri menunggu, membiarkannya secara mandiri mengumpulkan kesadaran.âMau jalan-jalan keluar?â tanyaku sambil berjalan mengambil sesuatu di dekat tas. Ia pun berkedip pelan. Mengamatiku meletakkan sepot kecil pohon mini di atas mejanya. Pohon itu langsung mendapatkan sinar matahari dengan cukup baik.âApa itu?â tanyanya. Aku pun mendengus menunjuk sesekali ke arah atensi. âBonsai kimeng,â kataku. Lalu duduk di sebelahnya. Ia pun membelalakan mata, mencoba bangun untuk menyandarkan punggung.âBisa sekecil itu?â tanyanya lagi. Aku mengangguk. âBisa.â Lalu kepalanya bergerak menunjukkan kepahaman. Berhasil
Terengah-engah. Seorang perawat membangunkanku dengan kuat dan menarikku untuk menjauh dari genggaman pasien. Tanganku terasa dingin ketika melihat matanya yang mencolok dalam kegelapan. Ia mengerang dan memberontak tak mau dipegang. Oh, Tuhan. Apa yang barusan terjadi? Bayanganku tadi sempat terbesit seperti saat Richie dengan posisi mengangkang setahun silam hingga tubuh ini tidak lagi bisa merasakan kaki yang terkulai lemas.âNggak apa-apa, mbak?â tanya Seorang Suster. Aku terkesiap, mengangguk. Berjalan mengikuti perawat Perempuan yang memapahku untuk keluar dari kamar, sementara erangan Esa perlahan meremang saat pintunya di tutup. Aku mengecek keningku yang lecet. Lalu kedua tangan memeluk pundak sendiri dengan perasaan yang sangat amat terluka. Aku menangis.***Tahukah kamu, kita dapat berkontribusi menciptakan pikiran dan perilaku seseorang melalui tindakan yang kita tunjukan kepada orang lain. Jika tindakan kita membuat orang lain terluka, maka besar kemungkinan orang terseb
âAku akan membantu kamu mentrigger ingatanmu.â âIya. Caranya gimana?â âPertama-tama kamu harus dipastikan sembuh dulu. Tapi hampir nggak mungkin dengan kondisi kamu yang semakin buruk ini.â âMemangnya aku kenapa?â âDokter mengidentifikasi kalau kamu memiliki gejala skizofrenia.â âHah?â Ia terkejut tidak percaya. âApa lagi itu?â tanyanya bingung. Aku pun mencoba menjelaskannya dengan sederhana. âSkizofrenia itu adalah gangguan yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berpikir, merasakan, dan berprilaku. Kalau kronis, pengidapnya bisa mengalami halusinasi, delusi, kekacauan dalam berpikir, dan perubahan sikap. Nah, gejala yang mulai kamu alami ini namanya Psikosis, dimana kamu kesulitan membedakan antara kenyataan dengan pikiran.â âTerus,â potongnya dengan lurus saat masih ada perkataan yang menggantung di lidahku. Bola matanya menghadap tembok seperti tengah membayangkan sesuatu. âApa bisa sembuh?â Aku yang sempat menarik napas lalu membuangnya sambil menurunkan pundak pun me
Keesokan harinya, aku sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Pihak rumah sakit kota memberitahukan bahwa hari ini Olin sudah bisa pulang. Dan aku dengan Esa masih belum selesai memikirkan bagaimana cara memberitahukan Olin secara hati-hati bahwa kakaknya sudah meninggal. Terlebih meningggalnya karena dibunuh teman kakaknya sendiri. Tadi malam Esa mengacak-ngacak rambutnya sambil memohon. Ia sama sekali belum siap dengan kenyataan bahwa Olin bisa saja membencinya seumur hidup. âBagaimana kalau kita sembunyikan dulu untuk saat ini?â âSampai kapan? Sampai Olin dewasa?â kataku seolah tanpa emosi. Menaikan kedua kaki di atas sofa untuk bersila. âCepat atau lambat, mau tidak mau, seberapa lama pun disembunyikan, ia akan tetap membenci kamu karena telah membunuh kakaknya.â âTapi anak itu masih sangat kecil buat merasakan sakit, Nom. Aku sayang banget sama dia dan dia juga sayang banget sama aku. Aku nggak siap untuk dibenci sekarang.â âKita bisa ngomong pelan-pelan, Sa. Kita jelaskan ken
âTapi aku ngerti, kok, kalau semua pasti ada waktunya. Olin belum cukup pulih, sementara kamu juga sedang sakit. Kalau Olin diberitahu sekarang, mungkin dia akan membenci kamu dan malah menyakiti dirinya sendiri. Ia tidak akan bertumbuh dengan maksimal. Anak-anak belum punya kemampuan berpikir yang mumpuni tentang dunia orang dewasa, kan. Dan lebih-lebih jika kamu memberitahukan semuanya sekarang, mungkin skizofreniamu akan semakin menjadi-jadi. Mungkin semua akan lebih hancur dari sekarang. Itu mangkanya kamu bersikukuh agar semua tetap stabil, kan?â Esa tak bergeming. Bibirnya pucat sedangkan kedua bola matanya berkaca-kaca. Aku mengelus lengannya pelan. âSemua orang di dunia ini ternyata sakit, Sa. Kamu nggak boleh berpikir kamu sedang sendiri, nanti kamu cepat capek. Keberadaan aku di sini bukan hanya sekadar menemani kamu, Tapi juga menemani rasa sakitmu. Karena aku punya itu.â Esa pun akhirnya mengusap air mata yang menetes di pipinya. Mengangguk membenarkan perkataanku lalu m
âBu guru nggak tahu Rico. Mungkin bisa jadi karena malas makan,â terangku dengan hati-hati. Melihat Esa yang masih membeku sudah cukup membuatku ketar-ketir setengah mati. âKasihan kakak Olin, ya. Nggak punya siapa-siapa,â lanjut mereka lagi yang sukses membuat kencingku keluar. Esa terdiam jadi sekali. Postur wajahnya kaku dan ia tidak bisa melihatku dengan santai. âGimana kalau sekarang kita sarapan saja, yuk!â âSarapan?â Dengan mudah anak-anak teralihkan fokusnya. Aku langsung membantu Rico turun setelah menurunkan Ajeng dari gendonganku. Menggenggam tangan mereka berdua untuk berjalan ke arah dapur. Merasa heroik setelahnya karena seolah berhasil menyelamatkan nyawa anak kecil. Beberapa saat kemudian, kutengok Esa dari belakang menunduk cukup lama sambil melihat kedua tangannya. Aku tak tahu persis apa yang sedang berputar di dalam kepala sang pemikir itu namun yang pasti terakhir kali teringat di kepalaku sendiri adalah pisau kecil tajam yang bersembunyi dibalik selimut rumah