Keesokan harinya di rumah sakit pukul 11:30, aku mengetuk pintu lalu masuk ke dalam kamar Esa yang masih redup. Aroma terapi yang mengoar dari disfuser tercium kuat sebelum sinar matahari perlahan menerobos masuk ketika aku bergeser pelan menyingkap gorden tinggi dari ujung ke ujung, membuat seseorang yang masih menyelimuti diri di atas ranjangnya tersebut sejemang membuka mata. Aku berdiri menunggu, membiarkannya secara mandiri mengumpulkan kesadaran.“Mau jalan-jalan keluar?” tanyaku sambil berjalan mengambil sesuatu di dekat tas. Ia pun berkedip pelan. Mengamatiku meletakkan sepot kecil pohon mini di atas mejanya. Pohon itu langsung mendapatkan sinar matahari dengan cukup baik.“Apa itu?” tanyanya. Aku pun mendengus menunjuk sesekali ke arah atensi. “Bonsai kimeng,” kataku. Lalu duduk di sebelahnya. Ia pun membelalakan mata, mencoba bangun untuk menyandarkan punggung.“Bisa sekecil itu?” tanyanya lagi. Aku mengangguk. “Bisa.” Lalu kepalanya bergerak menunjukkan kepahaman. Berhasil
Terengah-engah. Seorang perawat membangunkanku dengan kuat dan menarikku untuk menjauh dari genggaman pasien. Tanganku terasa dingin ketika melihat matanya yang mencolok dalam kegelapan. Ia mengerang dan memberontak tak mau dipegang. Oh, Tuhan. Apa yang barusan terjadi? Bayanganku tadi sempat terbesit seperti saat Richie dengan posisi mengangkang setahun silam hingga tubuh ini tidak lagi bisa merasakan kaki yang terkulai lemas.“Nggak apa-apa, mbak?” tanya Seorang Suster. Aku terkesiap, mengangguk. Berjalan mengikuti perawat Perempuan yang memapahku untuk keluar dari kamar, sementara erangan Esa perlahan meremang saat pintunya di tutup. Aku mengecek keningku yang lecet. Lalu kedua tangan memeluk pundak sendiri dengan perasaan yang sangat amat terluka. Aku menangis.***Tahukah kamu, kita dapat berkontribusi menciptakan pikiran dan perilaku seseorang melalui tindakan yang kita tunjukan kepada orang lain. Jika tindakan kita membuat orang lain terluka, maka besar kemungkinan orang terseb
“Aku akan membantu kamu mentrigger ingatanmu.” “Iya. Caranya gimana?” “Pertama-tama kamu harus dipastikan sembuh dulu. Tapi hampir nggak mungkin dengan kondisi kamu yang semakin buruk ini.” “Memangnya aku kenapa?” “Dokter mengidentifikasi kalau kamu memiliki gejala skizofrenia.” “Hah?” Ia terkejut tidak percaya. “Apa lagi itu?” tanyanya bingung. Aku pun mencoba menjelaskannya dengan sederhana. “Skizofrenia itu adalah gangguan yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berpikir, merasakan, dan berprilaku. Kalau kronis, pengidapnya bisa mengalami halusinasi, delusi, kekacauan dalam berpikir, dan perubahan sikap. Nah, gejala yang mulai kamu alami ini namanya Psikosis, dimana kamu kesulitan membedakan antara kenyataan dengan pikiran.” “Terus,” potongnya dengan lurus saat masih ada perkataan yang menggantung di lidahku. Bola matanya menghadap tembok seperti tengah membayangkan sesuatu. “Apa bisa sembuh?” Aku yang sempat menarik napas lalu membuangnya sambil menurunkan pundak pun me
Keesokan harinya, aku sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Pihak rumah sakit kota memberitahukan bahwa hari ini Olin sudah bisa pulang. Dan aku dengan Esa masih belum selesai memikirkan bagaimana cara memberitahukan Olin secara hati-hati bahwa kakaknya sudah meninggal. Terlebih meningggalnya karena dibunuh teman kakaknya sendiri. Tadi malam Esa mengacak-ngacak rambutnya sambil memohon. Ia sama sekali belum siap dengan kenyataan bahwa Olin bisa saja membencinya seumur hidup. “Bagaimana kalau kita sembunyikan dulu untuk saat ini?” “Sampai kapan? Sampai Olin dewasa?” kataku seolah tanpa emosi. Menaikan kedua kaki di atas sofa untuk bersila. “Cepat atau lambat, mau tidak mau, seberapa lama pun disembunyikan, ia akan tetap membenci kamu karena telah membunuh kakaknya.” “Tapi anak itu masih sangat kecil buat merasakan sakit, Nom. Aku sayang banget sama dia dan dia juga sayang banget sama aku. Aku nggak siap untuk dibenci sekarang.” “Kita bisa ngomong pelan-pelan, Sa. Kita jelaskan ken
“Tapi aku ngerti, kok, kalau semua pasti ada waktunya. Olin belum cukup pulih, sementara kamu juga sedang sakit. Kalau Olin diberitahu sekarang, mungkin dia akan membenci kamu dan malah menyakiti dirinya sendiri. Ia tidak akan bertumbuh dengan maksimal. Anak-anak belum punya kemampuan berpikir yang mumpuni tentang dunia orang dewasa, kan. Dan lebih-lebih jika kamu memberitahukan semuanya sekarang, mungkin skizofreniamu akan semakin menjadi-jadi. Mungkin semua akan lebih hancur dari sekarang. Itu mangkanya kamu bersikukuh agar semua tetap stabil, kan?” Esa tak bergeming. Bibirnya pucat sedangkan kedua bola matanya berkaca-kaca. Aku mengelus lengannya pelan. “Semua orang di dunia ini ternyata sakit, Sa. Kamu nggak boleh berpikir kamu sedang sendiri, nanti kamu cepat capek. Keberadaan aku di sini bukan hanya sekadar menemani kamu, Tapi juga menemani rasa sakitmu. Karena aku punya itu.” Esa pun akhirnya mengusap air mata yang menetes di pipinya. Mengangguk membenarkan perkataanku lalu m
“Bu guru nggak tahu Rico. Mungkin bisa jadi karena malas makan,” terangku dengan hati-hati. Melihat Esa yang masih membeku sudah cukup membuatku ketar-ketir setengah mati. “Kasihan kakak Olin, ya. Nggak punya siapa-siapa,” lanjut mereka lagi yang sukses membuat kencingku keluar. Esa terdiam jadi sekali. Postur wajahnya kaku dan ia tidak bisa melihatku dengan santai. “Gimana kalau sekarang kita sarapan saja, yuk!” “Sarapan?” Dengan mudah anak-anak teralihkan fokusnya. Aku langsung membantu Rico turun setelah menurunkan Ajeng dari gendonganku. Menggenggam tangan mereka berdua untuk berjalan ke arah dapur. Merasa heroik setelahnya karena seolah berhasil menyelamatkan nyawa anak kecil. Beberapa saat kemudian, kutengok Esa dari belakang menunduk cukup lama sambil melihat kedua tangannya. Aku tak tahu persis apa yang sedang berputar di dalam kepala sang pemikir itu namun yang pasti terakhir kali teringat di kepalaku sendiri adalah pisau kecil tajam yang bersembunyi dibalik selimut rumah
“Harus banget sekarang, ya? Anak-anak bisa sakit, lho, Noumi.”Aku melihat anak-anak dengan tatapan putus asa, namun Ajeng selalu peka terhadap apa yang aku rasakan.“Kita yang mau sekarang, Pak guru,” sergahnya membelaku. Esa seketika jadi memiringkan kepalanya. Agak heran dengan pernyataan Ajeng yang tidak biasa.“Kenapa? Kamu nggak lihat di luar hujan begitu, sayang? Kalau kesamber petir gimana?”Aku agak terkejut mendengar kalimatnya di akhir jadi aku sedikit menaikan nada suara. “Esa! Apa-apaan, sih?”“Apanya?!” tanyanya dengan sedikit melotot. Seperti sudah mulai naik darah. Aku langsung terhenyak. Nana yang merasa gelisah langsung minta digendong olehnya. Anak itu seperti mengisyaratkan untuk jangan berkelahi karena ia jadi ketakutan. Tapi Esa mengelus punggungnya sambil menodongkan kekecawaannya padaku. “Lagian kamu ngapain, sih, pakai ide aneh-aneh mau keluar sekarang. Nggak bilang-bilang lagi dari sebelumnya. Kan ada aku di sini!”Bibirku terasa kelu. “Aku juga nggak ada kep
Petir menyamba-nyambar. Hujan deras berderai bersama air mata yang tak kunjung berhenti mengalir di pipi. Aku memeluk anak-anak dalam keadaan basah kuyup oleh keringat dan air mata sendiri—meringkuk duduk di atas lantai marmer yang dingin. “Pak guru …. Pak guru ….” Mereka terus menangisi Esa yang telah angkat kaki dari rumahnya sendiri sekitar lima belas menit yang lalu. Meninggalkan kami semua dalam kondisi mental yang tidak baik. Tak lama, beberapa saat kemudian, kami mendengar bunyi alat-alat melayang dan terbentur di dinding dari balik pintu gelap Olin. Aku segera menggeser tubuh anak-anak ke samping untuk lekas berdiri. Mendekat dengan ketakutan yang terasa pekat namun lantang menggebrak pintu itu secara lebar-lebar. “Astaga! Olin!” Kulihat dengan mata kepala sendiri anak itu duduk mepet berhadapan dengan dinding bersama kursi roda tengah membentur-benturkan kepalanya sendiri yang masih di bungkus perban. “Olin! Olin!” Jantungku tak habis-habisnya terkejut. Segera kusin
Esa mengepak pakaian seadanya. Ia memasukan baju dan celana panjangnya secara serampangan ke dalam koper. Aku yang bersandar pada kusein pintu, yang sudah siap pergi dengan berpakaian rapi dan cantik, langsung tergerak untuk mendekat, membantunya mengeluarkan baju-baju itu kembali untuk dilipat. Ia menunggu dengan sabar di sampingku sementara aku berusaha tersenyum sambil mengusap pipinya. *** Hari H menuju kematian. Bandara Nusawiru, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. Pukul 08.30, Esa memasangkan goggles padaku setelah dirinya selesai memakai jumpsuit. Perlengkapan untuk olahraga berbahaya ini sudah disiapkan oleh tim manajemen NSW Paracenter, namun entah mengapa ia lebih memilih untuk membeli semuanya sendiri. Dan itu tidak murah. “Kenapa nggak sewa aja, sih? Kan kita pakainya sekali.” Esa mengancingkan helmnya dengan erat. Lalu menghela napas sambil menaruh tangan di pinggang. “Aku sih, sekali. Tapi apa iya kamu hanya sekali?” “Maksudmu aku a
Pagi hari pukul 08.30 wita. Seperti biasa, aku melingkari angka dikalender. Tak terasa 6 bulan berlari begitu cepat secepat citah. Kuharap setelah melewati hari-hari penuh pemikiran yang dalam ini, Esa bisa mengubah keputusannya.Sejak hari terakhir kami di Gili Trawangan, pemuda berinisial E itu banyak melamun. Ia tidak lagi mengkonsumsi kafein secara berlebih. Tidak lagi menyisihkan sayur di piring makannya. Ia bahkan tidak pernah mengatakan kata-kata perpisahan selama kami menghabiskan seluruh sisa rencana kami hingga tanpa tahu, 6 bulan telah berlalu begitu saja. Apakah keputusannya sudah benar-benar berubah? Aku tak berani bertanya karena takut ia jadi terkecoh. Namun sebagai gantinya, aku berusaha ada disetiap kali ia butuhkan.Aku mendengarkannya bercerita, ikut memancing, berbicara padanya, bermain game di warnet, mencium pipinya ketika ia minta, membaca buku yang tidak begitu kusuka, mendengarkan musik Rock n roll kesukaan dia, menonton Netflix, bergandengan tangan di malam h
Berjalan-jalan sambil bergandengan tangan sepertinya bagian favorite Esa juga. Sebagian waktu kami dihabiskan untuk berjalan kaki sambil bergandengan tangan. Saat duduk makan, kami bergandengan tangan. Menari dan menikmati suasana pesta malam, bergandengan tangan. Berdansa, bergandengan tangan. Mengobrol dan bercerita sambil bergandengan tangan. Bahkan saat mau tidur setelah memesan dua kamar di satu hotel, Esa menawariku satu kasur berdua supaya bisa berpegangan tangan.Aku tahu dia punya rencana untuk memenggal waktunya sebentar lagi, namun tak lantas membuat kami harus tidur bersama—menghalalkan segala cara.“Kalau kamu mau fight untuk hidupmu dalam waktu yang lama …. pasti aku akan tidur sambil pegangan tangan setiap waktu sama kamu. Menghabiskan hari tua bersama. Jangan khawatir.”Ia tentu mengerti maksudku dengan terdiam kaku di atas kedua kakinya. Menatap penuh kehampaan di depan pintu kamarnya sendiri. “Aku ngerti, kok. Mengambil keputusan sampai di detik ini pasti nggak mud
Kami terdiam di mobil. Mengisi energi setelah mengobrol panjang dengan keluarga Pak Imron seharian. Esa tadi sempat meminta bantuan kepada Pak Imron untuk menghubunginya jika ada yang membutuhkan perabotan rumah tangga. Dan keesokan harinya rumah Esa tak henti-hentinya didatangi mobil pick up untuk mengangkut barang. Rumahnya menjadi kosong. Kami bahkan duduk termenung di tengah-tengah ruangan beralaskan lantai marmer tersebut. Merasakan sepi yang merasuki ulu hati. “Kamu nggak menyesal, kan?” tanyaku. Takut kalau-kalau ini tak sesuai ekspetasinya. Namun hebatnya ia mencebik sambil menggeleng. Meletakan kertas wish list di sampingnya dengan tenang. “Aku nggak pernah menyesali segala keputusanku, Nom. Ini udah seperti yang aku bayangkan, kok.” *** Wush~ “Ayo kejar aku!” kataku mengejeknya ketika mengkayuh pedal sepeda lebih cepat di sore hari. Pada naik-naikan jalan, pemuda itu ternyata sudah ngos-ngosan. Tak disangka ia lebih payah dariku yang bertubuh gempal begini. Aku menghen
“Bapak ada siapa aja nih, di rumah?” tanya Esa sesudah mencium tangannya. Aku secara otomatis juga melakukan hal tersebut sambil senyam-senyum canggung.“Istri sama anak saya, si Soleh.” Pak Imron langsung membalik muka seratus delapan puluh derajat. Mengumpulkan semua energi di dalam mulut sebelum menyemburkannya keras-keras ke dalam rumah.“BUK! ADA TAMU INI, BUK! LEH! KELUAR LEH!” Teriaknya semangat. Kemudian berbalik lagi. “Ayo! Ayo! mari masuk dulu.”Soleh sang anak tiba-tiba keluar dengan tergupuh-gupuh. Sontak Esa langsung mengajaknya untuk mengambil TV di mobil.“Nah, ini! Ayo bro, bantu aku ambil TV kamu di mobil. Siapa lagi temannya?”“Sendiri.”“Oke, deh. Ayo kita let’s go!”Si Soleh meski dengan alis yang terangkat riang, tak bisa memungkiri kebingungannya setengah mati. Ia tanpa mengerti kondisi langsung saja mengiyakan permintaan Esa yang sok akrab merangkulnya—mengajak keluar secara paksa. Cara menyapa laki-laki ini memang agak bar-bar. Maklumi saja. Aku terdiam bingu
“Tapi …. tapi—”“Udahlah sayang. Nggak usah terlalu dipikirin. Nih, kukasih tahu cara kerjanya.”Esa membuka laptopnya di atas meja bar dekat kolam. Aku ikut duduk di sampingnya sambil membawa rasa penasaran yang cukup besar dalam genggaman. Ia membuka laman facebook di website dan mengklik market place.“Karena yang kita mau jangkau orang-orang disekitaran Lombok aja, jadi kita pakai ini,” katanya. Jari-jarinya begitu cepat mengoperasikan benda tersebut. “Upload di sini gambarnya,” jelasnya. “Pilih kategori barangnya, terus barang dalam kondisi bagus-bekas klik centang, terus tentukan harganya centang, dan isi deskripsinya, deh.”“Kamu kan mau memberi, bukan menjual.”“Iya mangkanya tinggal diisi deskripsinya sayang.” Aku mengangguk. Menatap dengan kagum saat ia mulai mengetikan deskripsinya.Tidak dijual. Barang bekas mau pindahan. Khusus bagi orang yang membutuhkan. Kalau deal bisa langsung angkut ke rumah. Alamat:blablabla. Tidak pakai perantara. Siapa cepat dia dapat.Dan begitu
“Di sini ada yang suka baca?” Tidak ada yang menjawab. Mereka semua meski tertib di suruh duduk rapi dan punya semangat untuk selalu berteriak-teriak heboh setiap saat, namun dalam hal respon tanggap mereka lumayan lambat. “Ada yang mau jadi penulis?” tanyaku lagi. Kali ini ada satu anak berkepala plotos yang mengacungkan telunjuknya. Aku menjadi antusias. “Siapa namanya, sayang?” “Ali.” “Oh, Ali,” sahutku pelan. Namun Esa menyahut jenaka. “Kepanjangannya siapa Ali? Alibaba?” Sontak membuat anak-anak tertawa. Aku mencoleknya dengan siku sambil memastikan kondisi wajah Ali. “Ali. Hm, aku mau tanya dong. Kenapa kamu mau jadi penulis?” Tidak dijawab. Mungkin anak laki-laki dengan muka polos sepolos kepalanya tersebut belum mengetahui alasan mengapa ia ingin menjadi penulis. “Tapi Ali tahu, kan, penulis itu apa?” Ia mengangguk. “Kira-kira, penulis itu apa, sih?” pancingku lagi agar ia mau berusaha berpikir. “Yang nulis cerita?” tanyanya memastikan. Aku langsung menepuk tangan se
Ia tidak lantas menjawab karena teralihkan pada alisku yang bergerak-gerak aneh. “Kamu baca whatssapp-ku, ya?” tanyanya curiga. Yang tak disangka-sangka tahu padahal sudah kupastikan tadi dia sama sekali tidak menoleh. Hal itu sungguh membuatku tak bisa berkilah. “Hm, anu, aku—” “Lain kali jangan kayak gitu, ya.” Membuat lidahku menggantung di langit-langit. Mengira ia bakal marah besar, ternyata hanya sebatas peringatan. “Oke!” seruku kemudian. Berusaha memperbaiki suasana. “Tapi, untuk beberapa hari ke depan …. kamu bakal membahas hal ini, kan?” Esa menghirup cairan di hidungnya keras-keras setelah berpikir keras, sekeras menyedot cairan itu. “Nggak dulu,” katanya. Menelisik visi yang seolah sedang tergambar jelas di depan hidungnya. “Aku hanya ingin hidup 6 bulan lagi. Di waktu 2 bulan terakhir …. mungkin aku bakal bahas itu.” *** Aku mengamati kalender tahun 2020 yang menempel di badan pintu kamar kosan. Di zaman serba cepat saat itu, bisa-bisanya seorang Noumi Roula meng
Esa mengeluarkan semua uneg-unegnya sebelum berakhir mengurung diri di kamar. Ia tidak bisa mengunci pintunya karena aku yang pegang. Lantas, setelah lama memberinya waktu menyendiri, aku pun akhirnya pelan-pelan mengarahkan kenop pintu ke bawah untuk melangkahkan kaki masuk ke dalam. Ia sedang duduk memunggungi pintu di ujung kasur. Menunduk terseguk-seguk. “Hei,” kataku menghampirinya. Mengulurkan tangan kanan dengan legowo. “Aku minta maaf, ya.” Seperti anak kecil yang tidak sengaja membuat temannya menangis. Ia mengusap mukanya sendiri sebelum dengan berat hati mengangkat dagu. Dari sudut pandangku, ia tidak pernah malu memperlihatkan air mata dan muka jeleknya saat menangis. “….” Aku masih mengulurkan tangan. Mengangkat alis untuk mengajaknya berbaikan. Namun ia tak berminat diajak salaman. Bokongnya malah bergeser untuk meraih obat di atas laci yang membuatku jadi menemukan luka dibalik kerah lengannya. “Itu kenapa?” tanyaku. Ia secara spontan menarik kerah itu lalu menepis