Share

43. Aku

“Soal pernikahan kita …”

“Nggak perlu dipikirin. Yang penting kamu cepat sembuh supaya bisa melanjutkan aktivitas lagi, ya.”

“Maaf karena aku menghancurkan semuanya.”

“Eh, sudah, sudah. Lebih baik kamu banyakin istirahat. Jangan pikirin apapun yang bisa mengganggu kesehatan mentalmu untuk sekarang. Aku pulang dulu, ya.”

Saat kuberanjak, ia langsung menggamit lenganku. Memasang raut merana. Aku terpaku sejenak sebelum terduduk kembali.

“Kenapa?” tanyaku. Ia pun memelas.

“Kamu nggak sedih?” tanyanya.

Seketika dadaku terasa penuh—sesak dirundung kesedihan. Ternyata yang kuperlihatkan dari tadi adalah kepura-puraan. Itu memang sudah menjadi kebiasaanku. Tidak pernah mempertunjukan kekacauan pikiran sedikitpun pada orang lain. Tapi aku menggigit bibir. Ingin sekali saja bersikap manusiawi.

“Sedih,” timpalku dengan enteng. Kemudian menaikan alis. “Tapi mau bagaimana lagi.”

Ia pun dengan lesu memandangi jemari kami yang terasa kebas sementara aku berusaha menaikan suasana hati dengan ring
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status