Home / Romansa / Benang-benang Cinta / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of Benang-benang Cinta: Chapter 1 - Chapter 10

15 Chapters

01. Bos Baik

Pukul sebelas malam pengunjung kafe masih ramai memadati ruangan. Muda-mudi yang kerap kali berkumpul bersama menghabiskan waktu, bahkan orang kantoran pun lebih memilih merilekskan tubuh dengan secangkir kopi di sini. Kegaduhan di jalan raya sebentar lagi akan berangsur pudar, digantikan oleh kesunyian yang mengundang rasa kian mencekam. Erisca mengelap tumpahan minyak di atas meja kosong nomor sembilan. Mata gadis itu tak henti memandang sekeliling, menatap cowok remaja yang membuat dia kembali mengingat masa lalu kelam. "Kapan dia balik?" batin Erisca. Tapi selepas itu dia menggeleng lemah. Percuma saja diharapkan, seseorang itu sudah menyakitinya dan tidak mungkin kembali. Selesai membersihkan meja-meja kosong lainnya, Erisca beralih merapikan kursi karena sebentar lagi kafe akan tutup –menunggu pengunjung pulang. Jika tidak, mungkin orang-orang akan terus berdatangan sementara para pekerja di sini tentu perlu istirahat, termasuk Eris
Read more

02. Renungan Malam

Hujan turun di tengah gelapnya malam. Angin dingin dengan manja menyentuh kulit tangan Erisca, membuat dia jadi merinding. Beberapa karyawan –baik cowok atau pun cewek– ikut terdiam di luar kafe menunggu angkutan umum datang. Rumah mereka searah, kecuali Erisca. Jadi, oleh sebab itu lah Guntur ingin mengantarkannya. "Pakai ini! Saya tahu kamu alergi dingin." Guntur memasangkan jaket tebal pada Erisca, seolah mengkhawatirkan keadaan cewek itu jika hawa sedang tidak baik. Meski malu, Erisca tetap menerima jaket itu demi melindungi diri. Tapi ditatap sedemikian intens oleh karyawan lain –khususnya cewek– membuat dia jadi menciut. Perlakuan Guntur tadi ternyata mengundang rasa iri terhadap orang lain. Sadar jika Erisca tidak nyaman, Guntur berdehem pelan lantas mengimbuhkan, "Kalau kalian enggak kuat sama dingin, kalian bisa masuk lagi ke dalam, itung-itung nunggu hujan reda. Ini kuncinya." Guntur melempar kunci pintu kepada
Read more

03. Pernyataan Suka

Erisca sedang duduk di kursi makan, menikmati hidangan sarapan pagi yang tak enak masuk ke dalam mulut. Perutnya belum minat menerima pemasok energi hingga berakhir hambar. "Maaf, ya, semalam papa enggak bisa jemput kamu. Kemarin itu papa juga ada lembur di kantor. Mana hujan pula, makanya telat pulang." Fendi menjelaskan, Erisca mengangguk paham. "Enggak apa-apa lah, Pa. Lagian aku juga bisa, kok, pulang sendiri," imbuh Erisca, sekalian memberi kode kepada orang tuanya bahwa dia sudah dewasa –tidak perlu dikekang lagi. "Iya, papa juga tahu kalau kamu bisa pulang sendiri. Tapi apa kamu sadar sama orang-orang jahat di sekitaran? Bukannya papa egois awasi kamu seketat ini, tapi papa cuma khawatir karena kamu anak gadis satu-satunya."Erisca hanya diam saja. Dia bosan mendengar perkataan sang papa yang terus diulang-ulang setiap hari. Harusnya mereka sadar jika anak muda punya keinginan untuk bebas. Pasti mereka juga pernah mengalami
Read more

04. Kamu?

Guntur: Aku udah ada di depan rumah. Kamu cepetan keluar! Rambut acak-acakan, aroma napas tidak sedap, wajah pun kusam karena belum terkena air. Erisca cepat-cepat berlari memburu balkon kamar, menilik Guntur yang tampak santai berdiam di depan gerbang. Erisca: Bapak jangan diem di situ, nanti orang tua saya marah. Terkirim! Guntur tersenyum kecil membaca pesan balasan dari Erisca. Ia sebenarnya tidak terlalu takut, sih, pada orang tua gadis itu. Hanya saja ia menghargai sekaligus melindungi Erisca agar tidak diamuk. Guntur: Oke, aku sembunyi. Tapi kamu cepetan ke bawah, ya! Aku udah gak sabar, nih. He he.Erisca membuang napas lega ketika Guntur berjalan ke balik pohon. Gadis itu pun segera membersihkan tubuh lantas memilih pakaian seadanya. Setelah dirasa cukup, Erisca buru-buru keluar rumah. Selagi memakai sepatu, Sarah menghampiri sang anak karena penasaran tingkat dewa. "Kamu mau ke mana? Ini '
Read more

05. Makan Malam Romantis

Lagi-lagi Guntur sudah ada di depan gerbang. Sepertinya tidak butuh satu atau dua teguran untuk menyadarkan pria itu, mungkin setiap detik Erisca harus memberitahu jika orang tuanya tukang ngatur. Erisca hanya tidak ingin Guntur terkena imbas gara-gara dirinya. "Ih, bapak, udah berapa kali aku bilang jangan diem di depan rumah! Kalau ada papa atau mama buka gerbang terus lihat cowok di sini, bisa-bisa aku enggak dibolehin lagi buat kerja." Wajah Erisca merah padam, dia kesal lantaran Guntur tidak mau nurut. "Aku enggak masalah ketemu orang tua kamu sekarang. Justru itu suatu hal yang bagus. Aku bisa minta restu sama mereka buat deketin kamu. Beres, 'kan?" Guntur berkata enteng, padahal ia sadar jika saat ini gadisnya sedang marah. "Beres bapak bilang? Segampang itu kah minta restu? Bapak enggak tahu aja kalau orang tua aku keras kepala." Erisca melipat kedua tangan di depan dada. Menatap lurus ke arah yang bersangkutan. "Iya-iya, a
Read more

06. Perhatian Penuh

"Kamu udah sarapan, 'kan?" Guntur bertanya sembari fokus menyetir mobil. Cewek di sampingnya menoleh lantas tersenyum manis, "Udah, dong. Aku mana mungkin pergi kerja tanpa sarapan? Bisa kena omel orang tua kalau sampai enggak makan pagi." "Bagus-bagus. Orang tua kamu memang patut diacungi jempol. Mereka paling bisa bikin kamu nurut." Dengan lihai Guntur memutar setir, berbelok arah menuju kafe. "Diacungi jempol? Mana ada! Aku juga nurut karena terpaksa." Erisca memalingkan wajah. Dia pikir Guntur belum paham bagaimana perasaannya ketika berhadapan dengan Fendi dan Sarah. "Mau gimana pun, mereka tetap orang tua yang harus kamu hormati. Jangan pernah buat hati mereka sakit gara-gara kelakuan sendiri." Guntur menasihati sang kekasih agar tidak terlalu kesal pada orang tuanya."Aku selalu hormati mereka, tapi mereka aja yang enggak pernah mau ngerti perasaan anaknya. Udah tau aku terkekang. Segala pergerakan serasa dibatasi ban
Read more

07. Nekat Terobos Pagar

Kesehatan adalah sesuatu paling berharga setelah usia yang panjang. Dengan tubuh bugar kita dapat melakukan apa-apa tanpa merepotkan orang lain. Bukan seperti sekarang, terbaring lemas di atas kasur ditemani detik-detik jarum jam. Erisca pegal, ingin bergerak lebih, tetapi sulit sekali. Mestinya hari ini dia masuk kerja. Namun, karena kondisi tubuh yang amat rusak, Guntur tidak mengijinkan Erisca melakukan hal-hal berat. Pria itu menyuruh Erisca untuk tetap diam dan istirahat secukupnya."Eh, aduh! Badan aku sakit banget." Pergerakkan terbatasi. Erisca pegal jika harus terus begini. Dia hanya ingin pindah posisi, tetapi bergerak sedikit pun terasa menjadi beban. Kemarin malam Erisca meminta pulang dari rumah sakit karena orang tuanya terus meneror. Guntur bukan pria bodoh, ia tidak ingin Erisca tambah parah karena kurang perhatian medis. Namun, tatapan memelas cewek itu meruntuhkan pertahanan hatinya. Mau tidak mau Guntur pun menuruti sa
Read more

08. Nekat Terobos Pagar (b)

Keringat dingin bercucuran di kening. Jangan lupakan sang jantung yang sibuk berdetak kencang di dalam sana. Bukan takut dipukul atau dikasari, Guntur tidak ingin Erisca semakin dikekang oleh orang tuanya, dan otomatis mereka jadi sulit untuk bertemu.  Kalau benar semua itu terjadi, Guntur tidak bisa membayangkan nasib nyawanya. Mungkin ia sudah mati karena tak sanggup kehilangan kekasih. Untung di balkon Erisca ada tembok yang cukup untuk menghalangi tubuh kekarnya. Jikalau tidak ada tempat persembunyian, mungkin saat ini Sarah sudah marah-marah.  "Kamu lagi ngapain di sini? Badan masih lemes juga." Sarah mengomeli. Ia menatap sekeliling karena tidak enak perasaan. "Lah, ini makanan dari mana?" Mata Sarah membulat, menatap Erisca penuh pertanyaan.  "Em ... aku kira mama enggak masak. Karena udah lapar banget, aku pesan makanan lewat aplikasi online aja, deh. Nah ... aku, tuh, cuma bosen diem di kamar terus, jadi lebih enak lagi makan d
Read more

09. Laki-laki di Pemakaman

"Aku udah sehat! Nih, lihat, badan aku juga enggak sakit lagi meski banyak gerak." Erisca melompat dari kasur, menggoyang-goyangkan tubuh ke sana-kemari guna meyakinkan Sarah. Hari ini Sarah hendak pergi berziarah ke makam mendiang sang ibu. Fendi yang mengantarkan menggunakan mobil karena letak pemakaman itu lumayan jauh dari kawasan komplek. Jika Erisca ikut, Sarah khawatir gadis itu akan lebih sakit lagi. "Enggak, Erisca! Mama takut kamu makin parah. Lebih baik kamu istirahat aja di rumah supaya pulih total. Nanti kita ziarah bareng-bareng kalau kamu udah bener-bener sembuh." Sarah memutar kenop pintu, ingin pergi dari sana, tetapi Erisca malah menahannya. "Aku mohon, Ma .... Lagian udah lama juga aku enggak datang ke makam nenek. Masa mama larang anaknya buat ziarah, sih? Itu sama aja dosa, lho, Ma." Erisca menakut-nakuti. Sarah menghela napas pelan, mengangguk samar meski sebenarnya enggan menyetujui. "Yeay! Makasih, Ma. Aku s
Read more

10. Dia Milik Saya!

Hari ini Erisca mulai bekerja karena keadaan tubuhnya telah membaik. Fendi sempat mengantarkan sang anak sampai masuk kafe, tetapi ia langsung pergi ke kantor karena ada pertemuan dengan klien. Erisca sedang berdiri di depan meja kasir –mengelap seluruh bagiannya agar kinclong dan enak dilihat pengunjung. Suasana di sini sangat nyaman apalagi di pagi-pagi buta. Embun-embun kecil masih menempel pada jendela, dipadukan dengan semburan sinar matahari, membuat mata termanjakan. Erisca rindu membersihkan tumpukkan piring-piring kotor, meski itu adalah perkejaan melelahkan bagi setiap orang. Di rumah, dia hanya akan diam saja tanpa melakukan apa-apa. Sarah selalu tidak setuju membiarkan Erisca bergerak ke sana-kemari. Apalagi jika harus membersihkan seluruh ruangan, cuci piring atau lain sebagainya. Karena rumah mereka juga jarang terjamah orang luar terutama anak kecil, jadi kotoran tidak terlalu menumpuk seperti kebanyakan. Mungkin salah satu
Read more
PREV
12
DMCA.com Protection Status