Erisca sedang duduk di kursi makan, menikmati hidangan sarapan pagi yang tak enak masuk ke dalam mulut. Perutnya belum minat menerima pemasok energi hingga berakhir hambar.
"Maaf, ya, semalam papa enggak bisa jemput kamu. Kemarin itu papa juga ada lembur di kantor. Mana hujan pula, makanya telat pulang." Fendi menjelaskan, Erisca mengangguk paham.
"Enggak apa-apa lah, Pa. Lagian aku juga bisa, kok, pulang sendiri," imbuh Erisca, sekalian memberi kode kepada orang tuanya bahwa dia sudah dewasa –tidak perlu dikekang lagi.
"Iya, papa juga tahu kalau kamu bisa pulang sendiri. Tapi apa kamu sadar sama orang-orang jahat di sekitaran? Bukannya papa egois awasi kamu seketat ini, tapi papa cuma khawatir karena kamu anak gadis satu-satunya."
Erisca hanya diam saja. Dia bosan mendengar perkataan sang papa yang terus diulang-ulang setiap hari. Harusnya mereka sadar jika anak muda punya keinginan untuk bebas. Pasti mereka juga pernah mengalami hal seperti ini.
"O, iya, omong-omong kemarin malam kamu pulang sama siapa? Kok mama gak tahu, sih, kapan kamu masuk rumah?" Sarah menimpali. Wanita yang sedang memakan kerupuk itu menatap Erisca penuh selidik.
Tentu saja Erisca dibuat gugup dan bingung harus bagaimana selain mengaduk-aduk makanan dalam piring. Mencari alibi yang logis pun tidak akan mempan. Mereka adalah orang tua yang sulit mempercayai anaknya sendiri.
"Em ... a-aku kemarin pulang sendiri, kok. Naik ... naik ... taksi." Tangan Erisca bergetar kecil. Baik Sarah mau pun Fendi sama-sama menatapnya tajam. Dia mana bisa menyeimbangkan diri jika mereka berkelakuan seperti itu?
"Muka sama suara kamu kelihatan banget bohongnya." Sarah meletakan sendok dengan gerakan lambat, menambah ketegasan yang terpancar begitu kentara.
"Semalam kamu pulang sama siapa?!" desis Sarah, hendak beranjak dari kursi, tetapi Erisca segera mencegahnya.
"I-iya, a-aku pulang diantar sama pak Guntur, atasan aku di kafe." Erisca pun menjawab karena enggan terus-terusan didesak. Dia sudah tidak peduli lagi meski orang tuanya marah-marah.
"Guntur? Laki-laki?" Kali ini Fendi yang buka suara. Matanya berkilat marah saat Erisca mengangguk. "Kamu enggak diapa-apain 'kan sama dia?"
Fendi dan Sarah mendekati Erisca secara bersamaan. Mereka memutar-mutar tubuh gadis itu karena cemas jika anak satu-satunya terluka atau pun ternodai. Sampai Erisca berlari menjauh, mereka baru bisa diam.
"Aku enggak apa-apa, kok, Pa, Ma! Lagian atasan aku di kafe cuma anterin doang, bukan mau macem-macem." Suara Erisca agak mengeras, sengaja agar menyadarkan kedua orang tuanya dari kecemasan yang over.
"Oke, kalau ada yang sakiti atau godain kamu, bilang sama papa atau mama, ya? Jangan apa-apa dipendam sendiri." Fendi berjalan satu langkah, merangkul pundak sang anak lantas membawanya kembali duduk di kursi makan.
"Mama dan papa itu cuma khawatir sama kamu, Ris. Mama enggak mau kamu kenapa-kenapa apalagi sampai diapa-apain sama laki-laki yang bukan muhrim." Sarah mengusap puncak kepala Erisca, menenangkan.
Selalu seperti ini. Jika sudah marah, mereka akan langsung luluh saat Erisca terpojok. Orang tua macam mereka tidak pantas memperlakukan sang anak dengan semena-mena. Erisca juga manusia, tidak butuh diatur ini-itu karena dia sudah bisa jaga diri.
"Hari ini aku pulang malam lagi. Kalau papa sama mama enggak mau aku kenapa-kenapa, kalian bisa jemput aku atau kirim taksi online ke kafe." Erisca meneguk susu hangat hingga tandas lalu mencium punggung tangan kedua orang tuanya, "Aku berangkat dulu, ya? Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Hati-hati, sayang. Kalau ada apa-apa kamu bisa telpon mama atau papa, oke?"
Erisca mengangguk saja. Dia keluar rumah dan langsung disambut hangat oleh matahari pagi. Di jalan raya tampak macet karena kesibukkan pelajar dan pekerja yang siap memburu waktu.
Erisca memilih menaiki angkot meski orang tuanya tidak mengijinkan. Kata mereka, di dalam angkot itu tidak baik untuk kesehatan tubuh. Banyak polusi dan virus dari kerumunan orang-orang. Tapi daripada menghabiskan uang untuk membayar taksi, lebih baik menghemat biaya, 'kan?
Untung Erisca selalu membawa masker ke mana-mana agar terhindar dari virus-virus berbahaya.
***
"Kamu lagi ngapain di sini?" Guntur mendaratkan bokongnya di samping Erisca.
"Lagi cari angin aja." Karena terlalu berdekatan, Erisca sengaja menggeser tubuh agar sedikit berjarak.
"Kenapa enggak masuk ke dalam? Di luar dingin, lho." Guntur memberi usul –sebenarnya ia hanya basa-basi supaya Erisca tidak diam saja.
"Justru di dalam gerah, Pak. Jadi saya sengaja duduk-duduk di sini, sekalian lihatin jalan raya di sana." Erisca menjawab tanpa menoleh. Dia asik memandangi kendaraan yang berlalu-lalang menyuarakan malam.
"Ngapain lihatin jalan raya? Enggak ada manfaatnya. Mending tatap aja muka saya, nanti kamu dapat asupan energi supaya kerjanya makin semangat," canda Guntur. Erisca melirik ke samping, menatap wajah pria itu tanpa berkedip sedikit pun.
Guntur yang tidak tahu jika Erisca akan menuruti keinginannya, seketika merasa tersengat listrik saat ditatap seperti itu. Cewek mungil yang satu ini memang bisa membuat Guntur teralihkan dari dunia.
Sepertinya Guntur harus menjalankan rencana yang selama satu Minggu ini ia susun dengan apik. Ia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang sekarang ada di depan matanya. Kalau terlambat sedikit saja, semua ekspektasi akan lenyap seketika.
Oke. Tarik napas dalam-dalam lalu buang dengan tenang. Guntur berdehem dua kali guna menetralisir kegugupan yang menyerang diri. Tangannya mulai terulur menyelipkan anak rambut Erisca ke belakang telinga.
"Memendam itu terlalu menyakiti diri. Melihat dari kejauhan itu sangat tidak sehat untuk jantung ini." Guntur balas menatap Erisca tak kalah intens. Sedangkan di sisi lain, ada gadis yang bingung diperlakukan aneh seperti itu.
"Pak Guntur kenapa, sih?" batinnya, keheranan.
"Ada satu rasa yang bikin darah saya mengalir kencang ke sekujur tubuh. Rasa yang tumbuh sejak saya kenal kamu." Guntur beralih mengambil tangan Erisca, menggenggamnya erat-erat menyalurkan kehangatan di tengah sejuknya malam. "Kamu tahu rasa apa yang saya maksud?" Kali ini Guntur bertanya demikian.
Erisca spontan menggeleng tanpa suara. Dia hanya fokus menatap tangannya yang Guntur usap menggunakan ibu jari.
"Rasa yang bisa mengalihkan saya dari kesedihan. Kamu ibarat obat di saat saya terluka, Ris. Saya sembuh karena kamu." Diam sejenak. Ini lah saatnya Guntur harus beraksi. "Em, oke, ini emang terlalu berbelit-belit. Saya cuma mau bicara kalau s-saya s-suka sama kamu!"
Berhasil! Guntur segera membuang muka sembari menyeimbangkan deru napas yang memburu. Huh, ternyata menembak hati seseorang rasanya lebih mengerikan dari percikan minyak kompor. Padahal ini bukan yang pertama kalinya.
"Bapak serius?" Erisca bertanya, pelan. Tidak percaya saja jika Guntur akan menyatakan perasaannya di saat Erisca sedang lengah.
"Kamu pikir saya bercanda? Coba pegang ini!" Guntur sengaja menyimpan tangan mungil Erisca di depan dada kirinya.
Oh, benar! Detak jantung pria itu sangat rusuh sekali seolah-olah sedang berkonser riang. Erisca jadi melongo dengan mulut agak membulat. Dia tidak menyangka bahwa Guntur juga mempunyai perasaan yang sama seperti dirinya.
Erisca mengangguk tengkuk yang tak gatal. Dia hanya terkekeh kecil saja karena bingung hendak melakukan apa.
"Jadi?" tanya Guntur, memberi kode-kode agar Erisca peka.
"Jadi apa, Pak?" Erisca balik bertanya seperti orang bloon.
Guntur meringis pelan. Ia kembali meraih kedua tangan Erisca lantas berkata, "Jadi, kamu terima saya atau enggak?"
Erisca diam sambil menunduk. Sesaat setelah itu dia mendongak sembari mengembangkan senyum dengan mata berbinar. "Iya, saya terima," putusnya tanpa ragu-ragu.
Guntur: Aku udah ada di depan rumah. Kamu cepetan keluar!Rambut acak-acakan, aroma napas tidak sedap, wajah pun kusam karena belum terkena air. Erisca cepat-cepat berlari memburu balkon kamar, menilik Guntur yang tampak santai berdiam di depan gerbang.Erisca: Bapak jangan diem di situ, nanti orang tua saya marah.Terkirim!Guntur tersenyum kecil membaca pesan balasan dari Erisca. Ia sebenarnya tidak terlalu takut, sih, pada orang tua gadis itu. Hanya saja ia menghargai sekaligus melindungi Erisca agar tidak diamuk.Guntur: Oke, aku sembunyi. Tapi kamu cepetan ke bawah, ya! Aku udah gak sabar, nih. He he.Erisca membuang napas lega ketika Guntur berjalan ke balik pohon. Gadis itu pun segera membersihkan tubuh lantas memilih pakaian seadanya. Setelah dirasa cukup, Erisca buru-buru keluar rumah.Selagi memakai sepatu, Sarah menghampiri sang anak karena penasaran tingkat dewa. "Kamu mau ke mana? Ini '
Lagi-lagi Guntur sudah ada di depan gerbang. Sepertinya tidak butuh satu atau dua teguran untuk menyadarkan pria itu, mungkin setiap detik Erisca harus memberitahu jika orang tuanya tukang ngatur. Erisca hanya tidak ingin Guntur terkena imbas gara-gara dirinya."Ih, bapak, udah berapa kali aku bilang jangan diem di depan rumah! Kalau ada papa atau mama buka gerbang terus lihat cowok di sini, bisa-bisa aku enggak dibolehin lagi buat kerja." Wajah Erisca merah padam, dia kesal lantaran Guntur tidak mau nurut."Aku enggak masalah ketemu orang tua kamu sekarang. Justru itu suatu hal yang bagus. Aku bisa minta restu sama mereka buat deketin kamu. Beres, 'kan?" Guntur berkata enteng, padahal ia sadar jika saat ini gadisnya sedang marah."Beres bapak bilang? Segampang itu kah minta restu? Bapak enggak tahu aja kalau orang tua aku keras kepala." Erisca melipat kedua tangan di depan dada. Menatap lurus ke arah yang bersangkutan."Iya-iya, a
"Kamu udah sarapan, 'kan?" Guntur bertanya sembari fokus menyetir mobil.Cewek di sampingnya menoleh lantas tersenyum manis, "Udah, dong. Aku mana mungkin pergi kerja tanpa sarapan? Bisa kena omel orang tua kalau sampai enggak makan pagi.""Bagus-bagus. Orang tua kamu memang patut diacungi jempol. Mereka paling bisa bikin kamu nurut." Dengan lihai Guntur memutar setir, berbelok arah menuju kafe."Diacungi jempol? Mana ada! Aku juga nurut karena terpaksa." Erisca memalingkan wajah. Dia pikir Guntur belum paham bagaimana perasaannya ketika berhadapan dengan Fendi dan Sarah."Mau gimana pun, mereka tetap orang tua yang harus kamu hormati. Jangan pernah buat hati mereka sakit gara-gara kelakuan sendiri." Guntur menasihati sang kekasih agar tidak terlalu kesal pada orang tuanya."Aku selalu hormati mereka, tapi mereka aja yang enggak pernah mau ngerti perasaan anaknya. Udah tau aku terkekang. Segala pergerakan serasa dibatasi ban
Kesehatan adalah sesuatu paling berharga setelah usia yang panjang. Dengan tubuh bugar kita dapat melakukan apa-apa tanpa merepotkan orang lain. Bukan seperti sekarang, terbaring lemas di atas kasur ditemani detik-detik jarum jam. Erisca pegal, ingin bergerak lebih, tetapi sulit sekali.Mestinya hari ini dia masuk kerja. Namun, karena kondisi tubuh yang amat rusak, Guntur tidak mengijinkan Erisca melakukan hal-hal berat. Pria itu menyuruh Erisca untuk tetap diam dan istirahat secukupnya."Eh, aduh! Badan aku sakit banget."Pergerakkan terbatasi. Erisca pegal jika harus terus begini. Dia hanya ingin pindah posisi, tetapi bergerak sedikit pun terasa menjadi beban.Kemarin malam Erisca meminta pulang dari rumah sakit karena orang tuanya terus meneror. Guntur bukan pria bodoh, ia tidak ingin Erisca tambah parah karena kurang perhatian medis. Namun, tatapan memelas cewek itu meruntuhkan pertahanan hatinya. Mau tidak mau Guntur pun menuruti sa
Keringat dingin bercucuran di kening. Jangan lupakan sang jantung yang sibuk berdetak kencang di dalam sana. Bukan takut dipukul atau dikasari, Guntur tidak ingin Erisca semakin dikekang oleh orang tuanya, dan otomatis mereka jadi sulit untuk bertemu. Kalau benar semua itu terjadi, Guntur tidak bisa membayangkan nasib nyawanya. Mungkin ia sudah mati karena tak sanggup kehilangan kekasih. Untung di balkon Erisca ada tembok yang cukup untuk menghalangi tubuh kekarnya. Jikalau tidak ada tempat persembunyian, mungkin saat ini Sarah sudah marah-marah. "Kamu lagi ngapain di sini? Badan masih lemes juga." Sarah mengomeli. Ia menatap sekeliling karena tidak enak perasaan. "Lah, ini makanan dari mana?" Mata Sarah membulat, menatap Erisca penuh pertanyaan. "Em ... aku kira mama enggak masak. Karena udah lapar banget, aku pesan makanan lewat aplikasi online aja, deh. Nah ... aku, tuh, cuma bosen diem di kamar terus, jadi lebih enak lagi makan d
"Aku udah sehat! Nih, lihat, badan aku juga enggak sakit lagi meski banyak gerak." Erisca melompat dari kasur, menggoyang-goyangkan tubuh ke sana-kemari guna meyakinkan Sarah.Hari ini Sarah hendak pergi berziarah ke makam mendiang sang ibu. Fendi yang mengantarkan menggunakan mobil karena letak pemakaman itu lumayan jauh dari kawasan komplek. Jika Erisca ikut, Sarah khawatir gadis itu akan lebih sakit lagi."Enggak, Erisca! Mama takut kamu makin parah. Lebih baik kamu istirahat aja di rumah supaya pulih total. Nanti kita ziarah bareng-bareng kalau kamu udah bener-bener sembuh." Sarah memutar kenop pintu, ingin pergi dari sana, tetapi Erisca malah menahannya."Aku mohon, Ma .... Lagian udah lama juga aku enggak datang ke makam nenek. Masa mama larang anaknya buat ziarah, sih? Itu sama aja dosa, lho, Ma." Erisca menakut-nakuti. Sarah menghela napas pelan, mengangguk samar meski sebenarnya enggan menyetujui."Yeay! Makasih, Ma. Aku s
Hari ini Erisca mulai bekerja karena keadaan tubuhnya telah membaik. Fendi sempat mengantarkan sang anak sampai masuk kafe, tetapi ia langsung pergi ke kantor karena ada pertemuan dengan klien. Erisca sedang berdiri di depan meja kasir –mengelap seluruh bagiannya agar kinclong dan enak dilihat pengunjung.Suasana di sini sangat nyaman apalagi di pagi-pagi buta. Embun-embun kecil masih menempel pada jendela, dipadukan dengan semburan sinar matahari, membuat mata termanjakan. Erisca rindu membersihkan tumpukkan piring-piring kotor, meski itu adalah perkejaan melelahkan bagi setiap orang.Di rumah, dia hanya akan diam saja tanpa melakukan apa-apa. Sarah selalu tidak setuju membiarkan Erisca bergerak ke sana-kemari. Apalagi jika harus membersihkan seluruh ruangan, cuci piring atau lain sebagainya. Karena rumah mereka juga jarang terjamah orang luar terutama anak kecil, jadi kotoran tidak terlalu menumpuk seperti kebanyakan.Mungkin salah satu
Erisca menghempas tangan Guntur agak kasar. Dia tidak suka jika Guntur berlebihan seperti tadi. Pandangan orang lain terhadap Erisca dan Guntur itu beda. Mereka hanya akan menggunjingkan Erisca dengan cara yang tidak pantas, sedangkan Guntur malah sebaliknya.Orang berpendidikan tinggi memang selalu dihargai. Kekayaan dan juga ketampanan membuat atensi besar terhadapnya.Tidak seperti Erisca, karyawan kafe lulusan SMA. Memang bukan salah siapa-siapa, sih. Lagipula dia sendiri yang enggan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Padahal orang tuanya telah mempersiapkan banyak hal untuk sang anak, termasuk masalah sekolah. Namun, bagai kuda yang sudah tidak ingin melaju, sangat sulit diatur sekali pun dicambuk rotan.Kalau dipaksa terus yang ada bisa ngamuk."Jangan-jangan kamu emang suka digoda sama laki-laki lain?" Guntur mendesis. Tatapan matanya menyorot penuh ke arah Erisca.Jujur saja, Erisca gemetaran dipandang
Langit menggelap, waktu semakin larut saja. Erisca membuang napas hingga embun-embun dari dalam mulutnya menempel pada jendela kaca. Ini sudah malam, dan Erisca berhasil menghindari Gema, tetapi dia malah mendapat masalah baru.Setengah hari ini Erisca tidak mengindahkan kehadiran Guntur. Terakhir kali mengobrol ketika istirahat dan duduk-duduk di kursi kafe, setelahnya Erisca mengabaikan. Tentu saja Guntur bingung, jika bertanya pun Erisca hanya menjawab, "Enggak apa-apa.""Tapi kamu tiba-tiba aneh, Ris. Apa aku ada salah? Atau kamu tersinggung lagi sama karyawan di sini?" Guntur diam di belakang Erisca, menatap wajah sang kekasih melalui pantulan kaca.Lagi-lagi Erisca menggeleng lemah. Dia belum siap bertanya tentang masa lalu Guntur. Selain karena tidak ada hak, dia juga takut salah dan berakhir menuduh. Erisca masih yakin jika Susi hanya ingin membuat hubungan mereka kandas. Jadi, Erisca mesti hati-hati."Kelakuan kamu ini bik
"Ada apa, ya, Kak?" Seorang karyawan cewek mendekat, tersenyum-senyum tidak jelas begitu menatap wajah Gema."Enggak apa-apa. Cuma kaget aja sama mainan bentuk kecoa di lemari itu, kirain beneran. Lain kali kalau mau simpan pajangan, yang agak enak dilihat bisa, 'kan?" Gema memberi saran, tetapi terkesan memerintah."Oh, i-iya." Karyawan itu mengangguk.Gema pun pergi ke belakang. Entah mau ke mana? Mungkin ke toilet? Erisca tidak terlalu mengindahkan, yang penting dia tidak ketahuan oleh Gema. Bisa-bisa Erisca tidak dapat berkutik ketika cowok itu mengetahui keberadaannya.Sebelum Gema kembali, Erisca buru-buru menjauh dari sana. Dia berjalan tak tentu arah, melihat bangku yang sempat ditempati Guntur, tetapi pria itu sudah tidak ada. Mumpung masih jam istirahat, Erisca keluar kafe saja, mencari tempat ternyaman yang dapat menyembunyikan seluruh tubuhnya.Erisca memilih terdiam di dalam warung bakso sebelah kafe
Hari ini Erisca datang terlambat karena Guntur sengaja berlama-lama mengurungnya di apartemen. Alhasil, banyak pasang mata yang menyorot sinis ke arahnya. Erisca berusaha abai, tidak ingin mempermasalahkan hal yang kurang bermanfaat.Pikiran Erisca saat ini hanya tertuju pada tas yang tertinggal semalaman. Dia berjalan cepat ke arah ruangan khusus yang sempat dipakai untuk tidur oleh Guntur. Syukurlah tasnya masih ada di sana."Barang-barang aku gimana, ya?" Karena ragu, Erisca mengeluarkan seluruh isi dari dalam tas, mengusap dada lega karena tidak ada yang hilang."Hey, Ris, kamu lagi ngapain?" Key datang dari luar, menepuk pundak Erisca hingga cewek itu menoleh."Enggak lagi ngapa-ngapain, kok, cuma cek tas yang ketinggalan aja," balas Erisca, tersenyum manis."Tas kamu ketinggalan? Tapi isinya aman, 'kan?" Key bertanya panik, seolah mengkhawatirkan barang-barang berharga milik Erisca."Alhamdulillah am
"Kamu mau ke mana?" Guntur spontan membuka mata ketika merasakan gerakkan pada kasur. Ia menatap Erisca sedikit buram, sesekali mengusap.Gadis itu sedang melotot ke arah Guntur, merasa tidak percaya jika semalaman mereka tidur satu ranjang. Jika saja malam tadi Erisca tidak mengantuk, mungkin saat ini dia masih ada di kamarnya sendiri. Lalu ... apa Guntur sudah melakukan ...Mata Erisca semakin membulat. Dia meraba-raba seluruh tubuh, mulai dari atas hingga ke bawah. Ternyata pakaiannya masih sempurna menutupi diri. Tapi bisa saja Guntur kembali memasangkan kain itu setelah berbuat hal aneh-aneh?Erisca segera menyingkirkan selimut yang masih menutupi bagian kaki. Dia berjalan mondar-mandir, atau sesekali melompat-lompat di tempat. Barangkali ada rasa sakit pada bagian tertentu. Namun, sepertinya tidak. Dia malah lancar-lancar saja bergerak ke sana-kemari."Kamu lagi ngapain, Ris? Kok aneh gitu?" Guntur bangun, mengucek mata dengan ramb
Erisca menghempas tangan Guntur agak kasar. Dia tidak suka jika Guntur berlebihan seperti tadi. Pandangan orang lain terhadap Erisca dan Guntur itu beda. Mereka hanya akan menggunjingkan Erisca dengan cara yang tidak pantas, sedangkan Guntur malah sebaliknya.Orang berpendidikan tinggi memang selalu dihargai. Kekayaan dan juga ketampanan membuat atensi besar terhadapnya.Tidak seperti Erisca, karyawan kafe lulusan SMA. Memang bukan salah siapa-siapa, sih. Lagipula dia sendiri yang enggan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Padahal orang tuanya telah mempersiapkan banyak hal untuk sang anak, termasuk masalah sekolah. Namun, bagai kuda yang sudah tidak ingin melaju, sangat sulit diatur sekali pun dicambuk rotan.Kalau dipaksa terus yang ada bisa ngamuk."Jangan-jangan kamu emang suka digoda sama laki-laki lain?" Guntur mendesis. Tatapan matanya menyorot penuh ke arah Erisca.Jujur saja, Erisca gemetaran dipandang
Hari ini Erisca mulai bekerja karena keadaan tubuhnya telah membaik. Fendi sempat mengantarkan sang anak sampai masuk kafe, tetapi ia langsung pergi ke kantor karena ada pertemuan dengan klien. Erisca sedang berdiri di depan meja kasir –mengelap seluruh bagiannya agar kinclong dan enak dilihat pengunjung.Suasana di sini sangat nyaman apalagi di pagi-pagi buta. Embun-embun kecil masih menempel pada jendela, dipadukan dengan semburan sinar matahari, membuat mata termanjakan. Erisca rindu membersihkan tumpukkan piring-piring kotor, meski itu adalah perkejaan melelahkan bagi setiap orang.Di rumah, dia hanya akan diam saja tanpa melakukan apa-apa. Sarah selalu tidak setuju membiarkan Erisca bergerak ke sana-kemari. Apalagi jika harus membersihkan seluruh ruangan, cuci piring atau lain sebagainya. Karena rumah mereka juga jarang terjamah orang luar terutama anak kecil, jadi kotoran tidak terlalu menumpuk seperti kebanyakan.Mungkin salah satu
"Aku udah sehat! Nih, lihat, badan aku juga enggak sakit lagi meski banyak gerak." Erisca melompat dari kasur, menggoyang-goyangkan tubuh ke sana-kemari guna meyakinkan Sarah.Hari ini Sarah hendak pergi berziarah ke makam mendiang sang ibu. Fendi yang mengantarkan menggunakan mobil karena letak pemakaman itu lumayan jauh dari kawasan komplek. Jika Erisca ikut, Sarah khawatir gadis itu akan lebih sakit lagi."Enggak, Erisca! Mama takut kamu makin parah. Lebih baik kamu istirahat aja di rumah supaya pulih total. Nanti kita ziarah bareng-bareng kalau kamu udah bener-bener sembuh." Sarah memutar kenop pintu, ingin pergi dari sana, tetapi Erisca malah menahannya."Aku mohon, Ma .... Lagian udah lama juga aku enggak datang ke makam nenek. Masa mama larang anaknya buat ziarah, sih? Itu sama aja dosa, lho, Ma." Erisca menakut-nakuti. Sarah menghela napas pelan, mengangguk samar meski sebenarnya enggan menyetujui."Yeay! Makasih, Ma. Aku s
Keringat dingin bercucuran di kening. Jangan lupakan sang jantung yang sibuk berdetak kencang di dalam sana. Bukan takut dipukul atau dikasari, Guntur tidak ingin Erisca semakin dikekang oleh orang tuanya, dan otomatis mereka jadi sulit untuk bertemu. Kalau benar semua itu terjadi, Guntur tidak bisa membayangkan nasib nyawanya. Mungkin ia sudah mati karena tak sanggup kehilangan kekasih. Untung di balkon Erisca ada tembok yang cukup untuk menghalangi tubuh kekarnya. Jikalau tidak ada tempat persembunyian, mungkin saat ini Sarah sudah marah-marah. "Kamu lagi ngapain di sini? Badan masih lemes juga." Sarah mengomeli. Ia menatap sekeliling karena tidak enak perasaan. "Lah, ini makanan dari mana?" Mata Sarah membulat, menatap Erisca penuh pertanyaan. "Em ... aku kira mama enggak masak. Karena udah lapar banget, aku pesan makanan lewat aplikasi online aja, deh. Nah ... aku, tuh, cuma bosen diem di kamar terus, jadi lebih enak lagi makan d
Kesehatan adalah sesuatu paling berharga setelah usia yang panjang. Dengan tubuh bugar kita dapat melakukan apa-apa tanpa merepotkan orang lain. Bukan seperti sekarang, terbaring lemas di atas kasur ditemani detik-detik jarum jam. Erisca pegal, ingin bergerak lebih, tetapi sulit sekali.Mestinya hari ini dia masuk kerja. Namun, karena kondisi tubuh yang amat rusak, Guntur tidak mengijinkan Erisca melakukan hal-hal berat. Pria itu menyuruh Erisca untuk tetap diam dan istirahat secukupnya."Eh, aduh! Badan aku sakit banget."Pergerakkan terbatasi. Erisca pegal jika harus terus begini. Dia hanya ingin pindah posisi, tetapi bergerak sedikit pun terasa menjadi beban.Kemarin malam Erisca meminta pulang dari rumah sakit karena orang tuanya terus meneror. Guntur bukan pria bodoh, ia tidak ingin Erisca tambah parah karena kurang perhatian medis. Namun, tatapan memelas cewek itu meruntuhkan pertahanan hatinya. Mau tidak mau Guntur pun menuruti sa