Kesehatan adalah sesuatu paling berharga setelah usia yang panjang. Dengan tubuh bugar kita dapat melakukan apa-apa tanpa merepotkan orang lain. Bukan seperti sekarang, terbaring lemas di atas kasur ditemani detik-detik jarum jam. Erisca pegal, ingin bergerak lebih, tetapi sulit sekali.
Mestinya hari ini dia masuk kerja. Namun, karena kondisi tubuh yang amat rusak, Guntur tidak mengijinkan Erisca melakukan hal-hal berat. Pria itu menyuruh Erisca untuk tetap diam dan istirahat secukupnya.
"Eh, aduh! Badan aku sakit banget."
Pergerakkan terbatasi. Erisca pegal jika harus terus begini. Dia hanya ingin pindah posisi, tetapi bergerak sedikit pun terasa menjadi beban.
Kemarin malam Erisca meminta pulang dari rumah sakit karena orang tuanya terus meneror. Guntur bukan pria bodoh, ia tidak ingin Erisca tambah parah karena kurang perhatian medis. Namun, tatapan memelas cewek itu meruntuhkan pertahanan hatinya. Mau tidak mau Guntur pun menuruti saja keinginan Erisca.
Gadis itu tidak membolehkan Guntur masuk rumah, bahkan untuk memapah tubuhnya sekali pun. Dia takut, sungguh. Ucapan Fendi dan Sarah tidak bisa disaring jika berhadapan dengan orang asing. Alhasil, Erisca berjalan sendiri dengan gontai.
Untung saja Sarah serta Fendi mau percaya dengan segala uraian cerita dari Erisca. Mereka awalnya ingin melabrak Susi atau bahkan Guntur, tetapi Erisca tidak setuju. Akhirnya mereka luluh, apalagi saat melihat wajah Erisca yang dipenuhi luka lebam.
Ting!
Erisca mengambil ponsel di atas nakas. Ada pesan masuk dari Guntur setelah satu malam tak henti menelponnya.
Guntur: Sayang, gimana kondisi kamu sekarang? Aku bener-bener enggak bisa fokus karena mikirin kamu terus.
Awalnya ceria, tetapi membaca kalimat terakhir dari pria itu membuatnya merasa bersalah. Dia tidak boleh membebani pikiran orang lain! Guntur belum sepenuhnya menjadi milik Erisca, jadi dia harus bisa menjaga kenyamanan dalam hubungan yang mereka jalani.
Erisca: Aku udah mendingan. Kamu jangan terlalu over mikirin aku, nanti pusing, lho. He he he.
Berbohong demi melindungi perasaan Guntur. Jika dia terus terang akan keadaan saat ini, bisa-bisa Guntur lebih panik dan tidak sanggup bekerja dengan baik. Erisca akan menutupi kelemahannya di depan Guntur agar dia tidak selalu menyusahkan pria itu.
Guntur: Serius? Coba kirim foto kamu sekarang, aku mau lihat!
Huh ... ini lah salah satu hal yang terkadang tidak disukai cewek-cewek. Meski sering tatap muka, tetapi Erisca masih enggan memperlihatkan diri di depan kamera tanpa filter. Rata-rata cewek malu karena belum mandi. Ya, sesimpel itu, lho.
Erisca: Serius, kok. Lagian ngapain mesti kirim-kirim foto segala? Kamu enggak percaya, ya?
Guntur: Bukan gitu, tapi apa salahnya aku pengin lihat foto pacar sendiri? Wajar, 'kan?
Erisca: Iya, aku tahu. Tapi sekarang aku belum mandi, jadi masih jelek.
Guntur: Sejak kapan aku pandang fisik? Udah lah, cepetan kirim fotonya sekarang!
Read!
Erisca memejamkan mata. Walau tidak kelihatan langsung, tetapi dia merasa telah menggores hati Guntur. Dia bukan sengaja melakukan itu, hanya saja rasa percaya diri tidak bisa dijemput dengan mudah.
Dia termasuk cewek tukang minder. Matanya selalu memandang buruk kepada diri sendiri. Menganggap orang lain lebih baik jauh di awang-awang, padahal itu belum tentu benar. Memang sulit meyakinkan cewek macam Erisca.
Ponsel gadis itu kembali berbunyi. Dia membuka pesan masuk dari Guntur.
Guntur: Kalau enggak bisa lihat lewat foto, kenapa enggak langsung aja?
Erisca: Maksud kamu?
Guntur: Aku ada di bawah balkon kamar. Kamu keluar sekarang.
Eh? Kok?
"Ya, ampun ... dia bener-bener nekat banget jadi orang."
Menyingkirkan selimut, pelan-pelan Erisca bangun dari tidur. Turun perlahan menapak lantai, meraba benda di sekitar agar tidak goyah saat melangkah.
Tirai jendela pintu kaca masih tertutup. Erisca membukanya, menilik Guntur ke luar sana, tetapi tidak ada.
"Di mana dia?" gumam Erisca, kali ini membuka pintu lalu berjalan lebih maju. Angin sejuk langsung saja menyerang diri ketika dia keluar kamar, membuat tulang-tulang terasa ngilu bagai di Antartika.
Erisca melongok ke bawah, tidak ada siapa-siapa di sana. Apa mungkin pria itu mempermainkannya? Tapi ... ia sendiri 'kan yang menyuruh Erisca untuk tidak bergerak lebih?
Erisca: Kamu di mana? Jangan main-main, deh:+
"Aku di sini." Sebuah bisikan halus memasuki telinga Erisca. Gadis itu terkejut, buru-buru dia berbalik badan dan langsung disuguhi dada bidang seseorang.
"Kamu? G-gimana caranya bisa sampai ke atas?" tanya Erisca, dengan intonasi agak cepat.
"Aku terbang," terang Guntur, tersenyum tipis, tetapi berpengaruh terhadap hati Erisca.
"Jangan ngaco. Mana mungkin bisa kayak gitu?" Erisca menyanggah. Dia menatap mata pria itu walau jantung sudah sibuk dengan ketidaknormalan.
"Apa pun bisa aku lakuin, asalkan semua buat kamu, Sayang." Guntur mengusap pipi Erisca lembut, cewek itu tanpa sadar memejamkan mata karena nyaman.
"Iya," sahut Erisca, singkat dengan mata masih terpejam.
"Gimana? Nikmat, gak?"
"Hah? Nikmat apa?"
"Belaiannya."
Spontan membuka mata, wajah Erisca bersemu merah setelah mencerna perkataan Guntur. Apa-apaan dia ini? Bisa-bisanya tidak menyadari situasi menggelitik seperti sekarang!
"E-enggak! T-tadi cuma kebawa suasana aja." Erisca menyanggah, la-gi. Padahal ... tahu sendiri lah bagaimana perasaan cewek ketika diperlakukan manis sepeti itu.
"Kebawa suasana karena nyaman, 'kan?" Guntur mencolek dagu Erisca, lagi-lagi merasa senang melihat kegugupan cewek berwajah merah di hadapannya.
"Ck! Kata siapa?"
"Kata aku."
Guntur lebih mendekatkan diri, tetapi Erisca malah menjauh. Cewek itu terus menghindar meski tubuh masih rentan terhadap pergerakkan. Apakah semua cewek di dunia serupa? Selalu menyembunyikan jedag-jedug dalam hati ketika diperlakukan manis oleh cowok?
"Jangan manyun kayak gitu, nanti tambah cantik, terus aku susah buat tidur karena sibuk mikirin kamu." Guntur mengulas senyum kecil, ada sensasi menyenangkan saat mendapati wajah imut Erisca. Karena tidak ingin dimusuhi oleh sang kekasih, Guntur pun buka suara untuk menjelaskan kehadirannya, "Oke-oke, jadi aku bisa sampai ke atas sini karena naik tangga yang ada di bawah. Awalnya enggak ada niat kayak gitu, tapi aku penasaran sama keadaan kamu, dan bener, saat ini kamu belum sepenuhnya sehat."
"Aku kira kamu beneran terbang." Senyum Erisca terbit sebagai klarifikasi atas tingkah lakunya barusan. Cewek itu lagi-lagi bersemu karena semakin malu.
"Enggak, kok. Eh, iya, kamu udah makan belum?" tanya Guntur, Erisca menggeleng. "Tuh, 'kan, katanya mau cepet sembuh, tapi makan aja telat terus," komentar Guntur, sibuk grasak-grusuk dengan keresek putih berisi box makanan.
"Bukan telat, tapi emang mama belum masak aja." Erisca menjelaskan, dia tidak mau dicap sebagai cewek manja yang mesti diingatkan dulu bila hendak makan.
"Aku bawa makanan dari kafe spesial buat kamu. Ini masih anget, jadi harus cepet-cepet dimakan." Pria itu mengeluarkan tiga box merah, membukanya satu per satu lalu menyiapkan nasi untuk Erisca. "Mau aku suapi? Biar lebih nikmat."
"Aku bisa makan sendiri." Erisca merebut salah satu box dari tangan Guntur. Gadis itu mengunyah makanan dengan pelan karena sudut bibirnya terasa perih.
"Abisin semua makanannya supaya kamu cepat sembuh. Kalau udah selesai, jangan lupa minum obat, oke?" perintah Guntur, tegas bagai seorang bapak kepada anak.
"Oke." Erisca mengacungkan jempol. Dia asik makan tanpa menghiraukan sekitar. Namun, begitu mendengar suara kenop pintu bergerak, dia jadi ketar-ketir karena takut ketahuan sedang berdua-duaan di balkon. "Eh, itu kayaknya mama masuk, deh. Aduh ... gimana, dong?"
Guntur ikutan pucat. Apalagi ketika mendengar teriakan kencang dari Sarah, pria itu bingung mau bagaimana? Melompat? Sama saja menjemput ajal!
"Erisca, kamu di balkon?" tebak Sarah, perlahan melangkah mendekat.
Keringat dingin bercucuran di kening. Jangan lupakan sang jantung yang sibuk berdetak kencang di dalam sana. Bukan takut dipukul atau dikasari, Guntur tidak ingin Erisca semakin dikekang oleh orang tuanya, dan otomatis mereka jadi sulit untuk bertemu. Kalau benar semua itu terjadi, Guntur tidak bisa membayangkan nasib nyawanya. Mungkin ia sudah mati karena tak sanggup kehilangan kekasih. Untung di balkon Erisca ada tembok yang cukup untuk menghalangi tubuh kekarnya. Jikalau tidak ada tempat persembunyian, mungkin saat ini Sarah sudah marah-marah. "Kamu lagi ngapain di sini? Badan masih lemes juga." Sarah mengomeli. Ia menatap sekeliling karena tidak enak perasaan. "Lah, ini makanan dari mana?" Mata Sarah membulat, menatap Erisca penuh pertanyaan. "Em ... aku kira mama enggak masak. Karena udah lapar banget, aku pesan makanan lewat aplikasi online aja, deh. Nah ... aku, tuh, cuma bosen diem di kamar terus, jadi lebih enak lagi makan d
"Aku udah sehat! Nih, lihat, badan aku juga enggak sakit lagi meski banyak gerak." Erisca melompat dari kasur, menggoyang-goyangkan tubuh ke sana-kemari guna meyakinkan Sarah.Hari ini Sarah hendak pergi berziarah ke makam mendiang sang ibu. Fendi yang mengantarkan menggunakan mobil karena letak pemakaman itu lumayan jauh dari kawasan komplek. Jika Erisca ikut, Sarah khawatir gadis itu akan lebih sakit lagi."Enggak, Erisca! Mama takut kamu makin parah. Lebih baik kamu istirahat aja di rumah supaya pulih total. Nanti kita ziarah bareng-bareng kalau kamu udah bener-bener sembuh." Sarah memutar kenop pintu, ingin pergi dari sana, tetapi Erisca malah menahannya."Aku mohon, Ma .... Lagian udah lama juga aku enggak datang ke makam nenek. Masa mama larang anaknya buat ziarah, sih? Itu sama aja dosa, lho, Ma." Erisca menakut-nakuti. Sarah menghela napas pelan, mengangguk samar meski sebenarnya enggan menyetujui."Yeay! Makasih, Ma. Aku s
Hari ini Erisca mulai bekerja karena keadaan tubuhnya telah membaik. Fendi sempat mengantarkan sang anak sampai masuk kafe, tetapi ia langsung pergi ke kantor karena ada pertemuan dengan klien. Erisca sedang berdiri di depan meja kasir –mengelap seluruh bagiannya agar kinclong dan enak dilihat pengunjung.Suasana di sini sangat nyaman apalagi di pagi-pagi buta. Embun-embun kecil masih menempel pada jendela, dipadukan dengan semburan sinar matahari, membuat mata termanjakan. Erisca rindu membersihkan tumpukkan piring-piring kotor, meski itu adalah perkejaan melelahkan bagi setiap orang.Di rumah, dia hanya akan diam saja tanpa melakukan apa-apa. Sarah selalu tidak setuju membiarkan Erisca bergerak ke sana-kemari. Apalagi jika harus membersihkan seluruh ruangan, cuci piring atau lain sebagainya. Karena rumah mereka juga jarang terjamah orang luar terutama anak kecil, jadi kotoran tidak terlalu menumpuk seperti kebanyakan.Mungkin salah satu
Erisca menghempas tangan Guntur agak kasar. Dia tidak suka jika Guntur berlebihan seperti tadi. Pandangan orang lain terhadap Erisca dan Guntur itu beda. Mereka hanya akan menggunjingkan Erisca dengan cara yang tidak pantas, sedangkan Guntur malah sebaliknya.Orang berpendidikan tinggi memang selalu dihargai. Kekayaan dan juga ketampanan membuat atensi besar terhadapnya.Tidak seperti Erisca, karyawan kafe lulusan SMA. Memang bukan salah siapa-siapa, sih. Lagipula dia sendiri yang enggan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Padahal orang tuanya telah mempersiapkan banyak hal untuk sang anak, termasuk masalah sekolah. Namun, bagai kuda yang sudah tidak ingin melaju, sangat sulit diatur sekali pun dicambuk rotan.Kalau dipaksa terus yang ada bisa ngamuk."Jangan-jangan kamu emang suka digoda sama laki-laki lain?" Guntur mendesis. Tatapan matanya menyorot penuh ke arah Erisca.Jujur saja, Erisca gemetaran dipandang
"Kamu mau ke mana?" Guntur spontan membuka mata ketika merasakan gerakkan pada kasur. Ia menatap Erisca sedikit buram, sesekali mengusap.Gadis itu sedang melotot ke arah Guntur, merasa tidak percaya jika semalaman mereka tidur satu ranjang. Jika saja malam tadi Erisca tidak mengantuk, mungkin saat ini dia masih ada di kamarnya sendiri. Lalu ... apa Guntur sudah melakukan ...Mata Erisca semakin membulat. Dia meraba-raba seluruh tubuh, mulai dari atas hingga ke bawah. Ternyata pakaiannya masih sempurna menutupi diri. Tapi bisa saja Guntur kembali memasangkan kain itu setelah berbuat hal aneh-aneh?Erisca segera menyingkirkan selimut yang masih menutupi bagian kaki. Dia berjalan mondar-mandir, atau sesekali melompat-lompat di tempat. Barangkali ada rasa sakit pada bagian tertentu. Namun, sepertinya tidak. Dia malah lancar-lancar saja bergerak ke sana-kemari."Kamu lagi ngapain, Ris? Kok aneh gitu?" Guntur bangun, mengucek mata dengan ramb
Hari ini Erisca datang terlambat karena Guntur sengaja berlama-lama mengurungnya di apartemen. Alhasil, banyak pasang mata yang menyorot sinis ke arahnya. Erisca berusaha abai, tidak ingin mempermasalahkan hal yang kurang bermanfaat.Pikiran Erisca saat ini hanya tertuju pada tas yang tertinggal semalaman. Dia berjalan cepat ke arah ruangan khusus yang sempat dipakai untuk tidur oleh Guntur. Syukurlah tasnya masih ada di sana."Barang-barang aku gimana, ya?" Karena ragu, Erisca mengeluarkan seluruh isi dari dalam tas, mengusap dada lega karena tidak ada yang hilang."Hey, Ris, kamu lagi ngapain?" Key datang dari luar, menepuk pundak Erisca hingga cewek itu menoleh."Enggak lagi ngapa-ngapain, kok, cuma cek tas yang ketinggalan aja," balas Erisca, tersenyum manis."Tas kamu ketinggalan? Tapi isinya aman, 'kan?" Key bertanya panik, seolah mengkhawatirkan barang-barang berharga milik Erisca."Alhamdulillah am
"Ada apa, ya, Kak?" Seorang karyawan cewek mendekat, tersenyum-senyum tidak jelas begitu menatap wajah Gema."Enggak apa-apa. Cuma kaget aja sama mainan bentuk kecoa di lemari itu, kirain beneran. Lain kali kalau mau simpan pajangan, yang agak enak dilihat bisa, 'kan?" Gema memberi saran, tetapi terkesan memerintah."Oh, i-iya." Karyawan itu mengangguk.Gema pun pergi ke belakang. Entah mau ke mana? Mungkin ke toilet? Erisca tidak terlalu mengindahkan, yang penting dia tidak ketahuan oleh Gema. Bisa-bisa Erisca tidak dapat berkutik ketika cowok itu mengetahui keberadaannya.Sebelum Gema kembali, Erisca buru-buru menjauh dari sana. Dia berjalan tak tentu arah, melihat bangku yang sempat ditempati Guntur, tetapi pria itu sudah tidak ada. Mumpung masih jam istirahat, Erisca keluar kafe saja, mencari tempat ternyaman yang dapat menyembunyikan seluruh tubuhnya.Erisca memilih terdiam di dalam warung bakso sebelah kafe
Langit menggelap, waktu semakin larut saja. Erisca membuang napas hingga embun-embun dari dalam mulutnya menempel pada jendela kaca. Ini sudah malam, dan Erisca berhasil menghindari Gema, tetapi dia malah mendapat masalah baru.Setengah hari ini Erisca tidak mengindahkan kehadiran Guntur. Terakhir kali mengobrol ketika istirahat dan duduk-duduk di kursi kafe, setelahnya Erisca mengabaikan. Tentu saja Guntur bingung, jika bertanya pun Erisca hanya menjawab, "Enggak apa-apa.""Tapi kamu tiba-tiba aneh, Ris. Apa aku ada salah? Atau kamu tersinggung lagi sama karyawan di sini?" Guntur diam di belakang Erisca, menatap wajah sang kekasih melalui pantulan kaca.Lagi-lagi Erisca menggeleng lemah. Dia belum siap bertanya tentang masa lalu Guntur. Selain karena tidak ada hak, dia juga takut salah dan berakhir menuduh. Erisca masih yakin jika Susi hanya ingin membuat hubungan mereka kandas. Jadi, Erisca mesti hati-hati."Kelakuan kamu ini bik
Langit menggelap, waktu semakin larut saja. Erisca membuang napas hingga embun-embun dari dalam mulutnya menempel pada jendela kaca. Ini sudah malam, dan Erisca berhasil menghindari Gema, tetapi dia malah mendapat masalah baru.Setengah hari ini Erisca tidak mengindahkan kehadiran Guntur. Terakhir kali mengobrol ketika istirahat dan duduk-duduk di kursi kafe, setelahnya Erisca mengabaikan. Tentu saja Guntur bingung, jika bertanya pun Erisca hanya menjawab, "Enggak apa-apa.""Tapi kamu tiba-tiba aneh, Ris. Apa aku ada salah? Atau kamu tersinggung lagi sama karyawan di sini?" Guntur diam di belakang Erisca, menatap wajah sang kekasih melalui pantulan kaca.Lagi-lagi Erisca menggeleng lemah. Dia belum siap bertanya tentang masa lalu Guntur. Selain karena tidak ada hak, dia juga takut salah dan berakhir menuduh. Erisca masih yakin jika Susi hanya ingin membuat hubungan mereka kandas. Jadi, Erisca mesti hati-hati."Kelakuan kamu ini bik
"Ada apa, ya, Kak?" Seorang karyawan cewek mendekat, tersenyum-senyum tidak jelas begitu menatap wajah Gema."Enggak apa-apa. Cuma kaget aja sama mainan bentuk kecoa di lemari itu, kirain beneran. Lain kali kalau mau simpan pajangan, yang agak enak dilihat bisa, 'kan?" Gema memberi saran, tetapi terkesan memerintah."Oh, i-iya." Karyawan itu mengangguk.Gema pun pergi ke belakang. Entah mau ke mana? Mungkin ke toilet? Erisca tidak terlalu mengindahkan, yang penting dia tidak ketahuan oleh Gema. Bisa-bisa Erisca tidak dapat berkutik ketika cowok itu mengetahui keberadaannya.Sebelum Gema kembali, Erisca buru-buru menjauh dari sana. Dia berjalan tak tentu arah, melihat bangku yang sempat ditempati Guntur, tetapi pria itu sudah tidak ada. Mumpung masih jam istirahat, Erisca keluar kafe saja, mencari tempat ternyaman yang dapat menyembunyikan seluruh tubuhnya.Erisca memilih terdiam di dalam warung bakso sebelah kafe
Hari ini Erisca datang terlambat karena Guntur sengaja berlama-lama mengurungnya di apartemen. Alhasil, banyak pasang mata yang menyorot sinis ke arahnya. Erisca berusaha abai, tidak ingin mempermasalahkan hal yang kurang bermanfaat.Pikiran Erisca saat ini hanya tertuju pada tas yang tertinggal semalaman. Dia berjalan cepat ke arah ruangan khusus yang sempat dipakai untuk tidur oleh Guntur. Syukurlah tasnya masih ada di sana."Barang-barang aku gimana, ya?" Karena ragu, Erisca mengeluarkan seluruh isi dari dalam tas, mengusap dada lega karena tidak ada yang hilang."Hey, Ris, kamu lagi ngapain?" Key datang dari luar, menepuk pundak Erisca hingga cewek itu menoleh."Enggak lagi ngapa-ngapain, kok, cuma cek tas yang ketinggalan aja," balas Erisca, tersenyum manis."Tas kamu ketinggalan? Tapi isinya aman, 'kan?" Key bertanya panik, seolah mengkhawatirkan barang-barang berharga milik Erisca."Alhamdulillah am
"Kamu mau ke mana?" Guntur spontan membuka mata ketika merasakan gerakkan pada kasur. Ia menatap Erisca sedikit buram, sesekali mengusap.Gadis itu sedang melotot ke arah Guntur, merasa tidak percaya jika semalaman mereka tidur satu ranjang. Jika saja malam tadi Erisca tidak mengantuk, mungkin saat ini dia masih ada di kamarnya sendiri. Lalu ... apa Guntur sudah melakukan ...Mata Erisca semakin membulat. Dia meraba-raba seluruh tubuh, mulai dari atas hingga ke bawah. Ternyata pakaiannya masih sempurna menutupi diri. Tapi bisa saja Guntur kembali memasangkan kain itu setelah berbuat hal aneh-aneh?Erisca segera menyingkirkan selimut yang masih menutupi bagian kaki. Dia berjalan mondar-mandir, atau sesekali melompat-lompat di tempat. Barangkali ada rasa sakit pada bagian tertentu. Namun, sepertinya tidak. Dia malah lancar-lancar saja bergerak ke sana-kemari."Kamu lagi ngapain, Ris? Kok aneh gitu?" Guntur bangun, mengucek mata dengan ramb
Erisca menghempas tangan Guntur agak kasar. Dia tidak suka jika Guntur berlebihan seperti tadi. Pandangan orang lain terhadap Erisca dan Guntur itu beda. Mereka hanya akan menggunjingkan Erisca dengan cara yang tidak pantas, sedangkan Guntur malah sebaliknya.Orang berpendidikan tinggi memang selalu dihargai. Kekayaan dan juga ketampanan membuat atensi besar terhadapnya.Tidak seperti Erisca, karyawan kafe lulusan SMA. Memang bukan salah siapa-siapa, sih. Lagipula dia sendiri yang enggan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Padahal orang tuanya telah mempersiapkan banyak hal untuk sang anak, termasuk masalah sekolah. Namun, bagai kuda yang sudah tidak ingin melaju, sangat sulit diatur sekali pun dicambuk rotan.Kalau dipaksa terus yang ada bisa ngamuk."Jangan-jangan kamu emang suka digoda sama laki-laki lain?" Guntur mendesis. Tatapan matanya menyorot penuh ke arah Erisca.Jujur saja, Erisca gemetaran dipandang
Hari ini Erisca mulai bekerja karena keadaan tubuhnya telah membaik. Fendi sempat mengantarkan sang anak sampai masuk kafe, tetapi ia langsung pergi ke kantor karena ada pertemuan dengan klien. Erisca sedang berdiri di depan meja kasir –mengelap seluruh bagiannya agar kinclong dan enak dilihat pengunjung.Suasana di sini sangat nyaman apalagi di pagi-pagi buta. Embun-embun kecil masih menempel pada jendela, dipadukan dengan semburan sinar matahari, membuat mata termanjakan. Erisca rindu membersihkan tumpukkan piring-piring kotor, meski itu adalah perkejaan melelahkan bagi setiap orang.Di rumah, dia hanya akan diam saja tanpa melakukan apa-apa. Sarah selalu tidak setuju membiarkan Erisca bergerak ke sana-kemari. Apalagi jika harus membersihkan seluruh ruangan, cuci piring atau lain sebagainya. Karena rumah mereka juga jarang terjamah orang luar terutama anak kecil, jadi kotoran tidak terlalu menumpuk seperti kebanyakan.Mungkin salah satu
"Aku udah sehat! Nih, lihat, badan aku juga enggak sakit lagi meski banyak gerak." Erisca melompat dari kasur, menggoyang-goyangkan tubuh ke sana-kemari guna meyakinkan Sarah.Hari ini Sarah hendak pergi berziarah ke makam mendiang sang ibu. Fendi yang mengantarkan menggunakan mobil karena letak pemakaman itu lumayan jauh dari kawasan komplek. Jika Erisca ikut, Sarah khawatir gadis itu akan lebih sakit lagi."Enggak, Erisca! Mama takut kamu makin parah. Lebih baik kamu istirahat aja di rumah supaya pulih total. Nanti kita ziarah bareng-bareng kalau kamu udah bener-bener sembuh." Sarah memutar kenop pintu, ingin pergi dari sana, tetapi Erisca malah menahannya."Aku mohon, Ma .... Lagian udah lama juga aku enggak datang ke makam nenek. Masa mama larang anaknya buat ziarah, sih? Itu sama aja dosa, lho, Ma." Erisca menakut-nakuti. Sarah menghela napas pelan, mengangguk samar meski sebenarnya enggan menyetujui."Yeay! Makasih, Ma. Aku s
Keringat dingin bercucuran di kening. Jangan lupakan sang jantung yang sibuk berdetak kencang di dalam sana. Bukan takut dipukul atau dikasari, Guntur tidak ingin Erisca semakin dikekang oleh orang tuanya, dan otomatis mereka jadi sulit untuk bertemu. Kalau benar semua itu terjadi, Guntur tidak bisa membayangkan nasib nyawanya. Mungkin ia sudah mati karena tak sanggup kehilangan kekasih. Untung di balkon Erisca ada tembok yang cukup untuk menghalangi tubuh kekarnya. Jikalau tidak ada tempat persembunyian, mungkin saat ini Sarah sudah marah-marah. "Kamu lagi ngapain di sini? Badan masih lemes juga." Sarah mengomeli. Ia menatap sekeliling karena tidak enak perasaan. "Lah, ini makanan dari mana?" Mata Sarah membulat, menatap Erisca penuh pertanyaan. "Em ... aku kira mama enggak masak. Karena udah lapar banget, aku pesan makanan lewat aplikasi online aja, deh. Nah ... aku, tuh, cuma bosen diem di kamar terus, jadi lebih enak lagi makan d
Kesehatan adalah sesuatu paling berharga setelah usia yang panjang. Dengan tubuh bugar kita dapat melakukan apa-apa tanpa merepotkan orang lain. Bukan seperti sekarang, terbaring lemas di atas kasur ditemani detik-detik jarum jam. Erisca pegal, ingin bergerak lebih, tetapi sulit sekali.Mestinya hari ini dia masuk kerja. Namun, karena kondisi tubuh yang amat rusak, Guntur tidak mengijinkan Erisca melakukan hal-hal berat. Pria itu menyuruh Erisca untuk tetap diam dan istirahat secukupnya."Eh, aduh! Badan aku sakit banget."Pergerakkan terbatasi. Erisca pegal jika harus terus begini. Dia hanya ingin pindah posisi, tetapi bergerak sedikit pun terasa menjadi beban.Kemarin malam Erisca meminta pulang dari rumah sakit karena orang tuanya terus meneror. Guntur bukan pria bodoh, ia tidak ingin Erisca tambah parah karena kurang perhatian medis. Namun, tatapan memelas cewek itu meruntuhkan pertahanan hatinya. Mau tidak mau Guntur pun menuruti sa