"Kamu udah sarapan, 'kan?" Guntur bertanya sembari fokus menyetir mobil.
Cewek di sampingnya menoleh lantas tersenyum manis, "Udah, dong. Aku mana mungkin pergi kerja tanpa sarapan? Bisa kena omel orang tua kalau sampai enggak makan pagi."
"Bagus-bagus. Orang tua kamu memang patut diacungi jempol. Mereka paling bisa bikin kamu nurut." Dengan lihai Guntur memutar setir, berbelok arah menuju kafe.
"Diacungi jempol? Mana ada! Aku juga nurut karena terpaksa." Erisca memalingkan wajah. Dia pikir Guntur belum paham bagaimana perasaannya ketika berhadapan dengan Fendi dan Sarah.
"Mau gimana pun, mereka tetap orang tua yang harus kamu hormati. Jangan pernah buat hati mereka sakit gara-gara kelakuan sendiri." Guntur menasihati sang kekasih agar tidak terlalu kesal pada orang tuanya.
"Aku selalu hormati mereka, tapi mereka aja yang enggak pernah mau ngerti perasaan anaknya. Udah tau aku terkekang. Segala pergerakan serasa dibatasi banget. Tapi sayang, mereka emang keras kepala." Lagi-lagi mood Erisca turun drastis ketika mengingat orang tua. Dia paling tidak nyaman jika sudah membicarakan mereka berdua.
"Tenang aja, masih ada aku yang selalu mengerti perasaan kamu." Guntur mengusap pipi Erisca dari samping. Ia tersenyum lembut guna menyalurkan energi pada gadisnya.
"Makasih. Aku harap hubungan kita baik-baik terus sampai akhir hayat," tutur Erisca, memegang tangan besar Guntur sembari memejamkan mata.
"Aamiin."
***
Duh ... kepala Erisca pusing sekali. Sedari jam satu siang sampai malam hari, dia tiada henti melayani pelanggan di kafe. Sepertinya para karyawan sengaja mengerjai Erisca agar cewek itu kecapekan dan sakit.
Saat ini pun dia harus mengantarkan makanan ke meja nomor sebelas. Tapi kepalanya terasa berat dan pusing. Dia bukan tidak mau jalan sana-sini sembari membawa nampan. Hanya saja ini sudah di luar kesanggupannya. Lihatlah, beberapa karyawan cewek malah santai-santai saja membicarakan produk skincare, sedangkan Erisca mesti bekerja dua kali lebih banyak.
Ada juga karyawan cowok yang tampak mengasihani Erisca, tetapi mereka tidak mau ambil resiko jika para pekerja cewek marah-marah nanti.
"Lo kalau disuruh kerja itu yang becus, dong! Jangan lembek kayak gini!" Salah satu karyawan cewek dengan nametag Susi itu berbisik sambil melotot. Ia mencengkeram lengan Erisca hingga terasa ngilu karena mengenai tulang.
"T-tapi kepala aku pusing, Mbak. Boleh gak aku istirahat sebentar aja? Nanti dilanjut lagi, kok, kerjanya." Erisca memelas. Dia tidak pernah seperti ini, tetapi sekarang kondisi tubuhnya benar-benar tidak stabil.
"Enak bener minta istirahat. Heh, lo itu karyawan baru di sini, jadi jangan harap gue bakal simpati!" Bahu Erisca di dorong cukup keras hingga nyaris terjatuh. Susi sudah mengepal tangannya, siap melayangkan pukulan jika saja bukan di tempat ramai seperti ini.
Erisca diam. Dia memang anak baru di sini, tetapi apakah pantas bagi pekerja lama memperlakukan Erisca seperti itu? Robot pun sewaktu-waktu bisa rusak jikalau terus-menerus dipaksa bekerja, apalagi manusia biasa seperti Erisca. Di mana logika mereka sebenarnya?!
"Tapi pak Guntur selalu kasih waktu istirahat buat karyawannya. Jadi mbak enggak berhak ngatur apa-apa karena kita sama-sama pekerja." Erisca membela diri dengan sisa tenaga yang masih terkumpul. Kalau sedang sehat, dia akan memilih menurut saja diperlakukan semena-mena daripada harus berdebat dengan orang lain.
"Oh, sekarang udah berani ngelawan, ya? Mau gue tambah lagi kerjaannya supaya lo tepar di sini?" Susi semakin melotot. Gigi-gigi menggertak kuat pertanda amarah memuncak. "Ingat, jangan pernah sekali-kali lo ngadu sama pak Guntur. Kalau enggak, gue sikat sampe abis!"
Alasan apalagi yang harus Erisca berikan? Kali ini dia benar-benar kehabisan cara untuk membela diri sendiri. Mau kabur ke belakang pun percuma karena Susi pasti akan mengejar. Lagi pula Guntur juga sedang tidak ada di kafe selama hampir satu hari full. Jadi Erisca tidak memiliki perlindungan apa pun.
"Sekarang lo antar makanan ini ke pelanggan! Jangan sampai mereka kecewa dan protes sama pak Guntur. Pergi sana!"
Sekali lagi Erisca didorong kuat. Namun, sebisa mungkin dia mempertahankan keseimbangan tubuh agar tidak goyah. Mau tidak mau dia harus berjalan meski lutut mulai bergetar. Tapi dia sudah tidak kuat lagi hingga akhirnya terjatuh di tengah-tengah keramaian.
Makanan di atas nampan pun tumpah berserakan ke lantai. Semua orang mulai menyorot Erisca tanpa ada satu pun yang mau membantu. Susi semakin geram. Ia melangkah lalu menggiring Erisca menuju dapur.
"Udah gue bilang kerja yang becus! Lo jangan bikin reputasi kafe jadi buruk di mata orang-orang, dong!" Susi menjambak rambut Erisca hingga kulit kepala gadis itu perih.
"Aw, sakit, Mbak!" jerit Erisca, tetapi dia malah mendapatkan tendangan keras di tulang kering kakinya.
"Biar tau rasa! Lo emang pantes dapet perlakukan kasar dari semua orang!" Siksaan Susi kian menjadi, membuat Erisca terkulai lemas dan pasrah karena tak bisa melawan.
"Tolong!" Suara Erisca melemah. Percuma saja dia minta pertolongan, tidak akan ada yang mendengar mengingat dia berada di ruangan kedap suara.
"Ayo, teriak aja semau lo. Sampai pita suara lo putus pun, enggak akan ada orang yang bakal datang jadi superhero ke sini." Susi tertawa, Erisca tersiksa. Gadis itu heran, mengapa ada saja manusia yang dengki kepadanya? Padahal dia tidak pernah menyusahkan mereka barang satu kali pun.
"Tolong!" Meski Erisca tahu suaranya pelan dan tak terdengar, tapi dia masih berusaha.
"Keras kepala banget, sih, lo!" Beberapa kali pukulan maut Susi layangkan tepat di pipi Erisca. Gadis itu semakin tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Dia nyaris pingsan jika saja tidak ada pria gagah yang datang menahan tangan sadis milik Susi.
"Siapa kamu berani memukul Erisca? Apa kamu tidak tahu kalau Erisca adalah pacar saya?!" Guntur murka. Ia menghempas tangan Susi cukup keras hingga terdengar suara gerakkan tulang engsel.
Bagai dihantam benda berat, hati Guntur retak melihat Erisca diperlakukan seperti itu. Ia turut merasakan sakit yang Erisca rasakan. Kalau saja ia tidak pergi ke cabang kafe yang ada di Bekasi, mungkin saat ini Erisca akan aman bersamanya.
"Apa alasan kamu memukul Erisca seperti tadi? Jawab!" teriak Guntur, memekakkan gendang telinga.
"S-saya enggak bermaksud seperti itu, Pak." Susi menunduk, takut jika sudah berhadapan dengan atasannya yang satu ini.
"Tidak bermaksud? Mana mungkin seperti itu, huh? Jelas-jelas saya melihat kamu mengasari Erisca atas dasar amarah! Apa yang Erisca lakukan sampai membuat kamu kesetanan?!" Guntur terus mendesak, ingin tahu alasan jelas atas sikap Susi sekian detik tadi.
"K-kerjaan Erisca tidak profesional, Pak. Barusan dia jatuh di depan pelanggan yang sudah lama menunggu pesanan." Susi beralasan dengan kebohongan. Ia pandai sekali membalikkan fakta tentang kejadian sebenarnya.
"Mau seburuk apa pun pekerjaan Erisca, kamu tetap tidak berhak memperlakukan dia dengan kasar! Jangan mentang-mentang kamu karyawan lama dan bisa seenaknya sama karyawan baru. Kalau saya sudah turun tangan, kamu bisa langsung dipecat!" Urat-urat merah dalam mata Guntur tampak jelas. Pria itu ingin menelan bulat-bulat karyawan di depan wajahnya ini.
"M-maaf, Pak. Saya enggak mau dipecat. Cuma ini kerjaan yang saya punya, Pak. Saya mohon kasihanilah saya." Susi bersimpuh di bawah Guntur, mengepal tangan menjadi satu guna melengkapi sandiwara kali ini.
"Oke, saya tidak akan pecat kamu. Tapi jika terdengar atau terlihat lagi menyakiti Erisca, siap-siap saja hengkang dari kafe saya!" Guntur mendesis kejam. Ia segera membopong Erisca yang sudah terkulai lemas tak berdaya.
"Kita ke rumah sakit, sayang. Kamu yang kuat, ya?" Guntur tak kuasa melihat kondisi Erisca saat ini. Gadis itu bahkan kesulitan mengucapkan sepatah kata.
Buru-buru Guntur membuka pintu mobil lantas mendudukkan Erisca senyaman mungkin. Ia segera meluncur ke rumah sakit karena cemas dengan keadaan sang kekasih.
Kesehatan adalah sesuatu paling berharga setelah usia yang panjang. Dengan tubuh bugar kita dapat melakukan apa-apa tanpa merepotkan orang lain. Bukan seperti sekarang, terbaring lemas di atas kasur ditemani detik-detik jarum jam. Erisca pegal, ingin bergerak lebih, tetapi sulit sekali.Mestinya hari ini dia masuk kerja. Namun, karena kondisi tubuh yang amat rusak, Guntur tidak mengijinkan Erisca melakukan hal-hal berat. Pria itu menyuruh Erisca untuk tetap diam dan istirahat secukupnya."Eh, aduh! Badan aku sakit banget."Pergerakkan terbatasi. Erisca pegal jika harus terus begini. Dia hanya ingin pindah posisi, tetapi bergerak sedikit pun terasa menjadi beban.Kemarin malam Erisca meminta pulang dari rumah sakit karena orang tuanya terus meneror. Guntur bukan pria bodoh, ia tidak ingin Erisca tambah parah karena kurang perhatian medis. Namun, tatapan memelas cewek itu meruntuhkan pertahanan hatinya. Mau tidak mau Guntur pun menuruti sa
Keringat dingin bercucuran di kening. Jangan lupakan sang jantung yang sibuk berdetak kencang di dalam sana. Bukan takut dipukul atau dikasari, Guntur tidak ingin Erisca semakin dikekang oleh orang tuanya, dan otomatis mereka jadi sulit untuk bertemu. Kalau benar semua itu terjadi, Guntur tidak bisa membayangkan nasib nyawanya. Mungkin ia sudah mati karena tak sanggup kehilangan kekasih. Untung di balkon Erisca ada tembok yang cukup untuk menghalangi tubuh kekarnya. Jikalau tidak ada tempat persembunyian, mungkin saat ini Sarah sudah marah-marah. "Kamu lagi ngapain di sini? Badan masih lemes juga." Sarah mengomeli. Ia menatap sekeliling karena tidak enak perasaan. "Lah, ini makanan dari mana?" Mata Sarah membulat, menatap Erisca penuh pertanyaan. "Em ... aku kira mama enggak masak. Karena udah lapar banget, aku pesan makanan lewat aplikasi online aja, deh. Nah ... aku, tuh, cuma bosen diem di kamar terus, jadi lebih enak lagi makan d
"Aku udah sehat! Nih, lihat, badan aku juga enggak sakit lagi meski banyak gerak." Erisca melompat dari kasur, menggoyang-goyangkan tubuh ke sana-kemari guna meyakinkan Sarah.Hari ini Sarah hendak pergi berziarah ke makam mendiang sang ibu. Fendi yang mengantarkan menggunakan mobil karena letak pemakaman itu lumayan jauh dari kawasan komplek. Jika Erisca ikut, Sarah khawatir gadis itu akan lebih sakit lagi."Enggak, Erisca! Mama takut kamu makin parah. Lebih baik kamu istirahat aja di rumah supaya pulih total. Nanti kita ziarah bareng-bareng kalau kamu udah bener-bener sembuh." Sarah memutar kenop pintu, ingin pergi dari sana, tetapi Erisca malah menahannya."Aku mohon, Ma .... Lagian udah lama juga aku enggak datang ke makam nenek. Masa mama larang anaknya buat ziarah, sih? Itu sama aja dosa, lho, Ma." Erisca menakut-nakuti. Sarah menghela napas pelan, mengangguk samar meski sebenarnya enggan menyetujui."Yeay! Makasih, Ma. Aku s
Hari ini Erisca mulai bekerja karena keadaan tubuhnya telah membaik. Fendi sempat mengantarkan sang anak sampai masuk kafe, tetapi ia langsung pergi ke kantor karena ada pertemuan dengan klien. Erisca sedang berdiri di depan meja kasir –mengelap seluruh bagiannya agar kinclong dan enak dilihat pengunjung.Suasana di sini sangat nyaman apalagi di pagi-pagi buta. Embun-embun kecil masih menempel pada jendela, dipadukan dengan semburan sinar matahari, membuat mata termanjakan. Erisca rindu membersihkan tumpukkan piring-piring kotor, meski itu adalah perkejaan melelahkan bagi setiap orang.Di rumah, dia hanya akan diam saja tanpa melakukan apa-apa. Sarah selalu tidak setuju membiarkan Erisca bergerak ke sana-kemari. Apalagi jika harus membersihkan seluruh ruangan, cuci piring atau lain sebagainya. Karena rumah mereka juga jarang terjamah orang luar terutama anak kecil, jadi kotoran tidak terlalu menumpuk seperti kebanyakan.Mungkin salah satu
Erisca menghempas tangan Guntur agak kasar. Dia tidak suka jika Guntur berlebihan seperti tadi. Pandangan orang lain terhadap Erisca dan Guntur itu beda. Mereka hanya akan menggunjingkan Erisca dengan cara yang tidak pantas, sedangkan Guntur malah sebaliknya.Orang berpendidikan tinggi memang selalu dihargai. Kekayaan dan juga ketampanan membuat atensi besar terhadapnya.Tidak seperti Erisca, karyawan kafe lulusan SMA. Memang bukan salah siapa-siapa, sih. Lagipula dia sendiri yang enggan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Padahal orang tuanya telah mempersiapkan banyak hal untuk sang anak, termasuk masalah sekolah. Namun, bagai kuda yang sudah tidak ingin melaju, sangat sulit diatur sekali pun dicambuk rotan.Kalau dipaksa terus yang ada bisa ngamuk."Jangan-jangan kamu emang suka digoda sama laki-laki lain?" Guntur mendesis. Tatapan matanya menyorot penuh ke arah Erisca.Jujur saja, Erisca gemetaran dipandang
"Kamu mau ke mana?" Guntur spontan membuka mata ketika merasakan gerakkan pada kasur. Ia menatap Erisca sedikit buram, sesekali mengusap.Gadis itu sedang melotot ke arah Guntur, merasa tidak percaya jika semalaman mereka tidur satu ranjang. Jika saja malam tadi Erisca tidak mengantuk, mungkin saat ini dia masih ada di kamarnya sendiri. Lalu ... apa Guntur sudah melakukan ...Mata Erisca semakin membulat. Dia meraba-raba seluruh tubuh, mulai dari atas hingga ke bawah. Ternyata pakaiannya masih sempurna menutupi diri. Tapi bisa saja Guntur kembali memasangkan kain itu setelah berbuat hal aneh-aneh?Erisca segera menyingkirkan selimut yang masih menutupi bagian kaki. Dia berjalan mondar-mandir, atau sesekali melompat-lompat di tempat. Barangkali ada rasa sakit pada bagian tertentu. Namun, sepertinya tidak. Dia malah lancar-lancar saja bergerak ke sana-kemari."Kamu lagi ngapain, Ris? Kok aneh gitu?" Guntur bangun, mengucek mata dengan ramb
Hari ini Erisca datang terlambat karena Guntur sengaja berlama-lama mengurungnya di apartemen. Alhasil, banyak pasang mata yang menyorot sinis ke arahnya. Erisca berusaha abai, tidak ingin mempermasalahkan hal yang kurang bermanfaat.Pikiran Erisca saat ini hanya tertuju pada tas yang tertinggal semalaman. Dia berjalan cepat ke arah ruangan khusus yang sempat dipakai untuk tidur oleh Guntur. Syukurlah tasnya masih ada di sana."Barang-barang aku gimana, ya?" Karena ragu, Erisca mengeluarkan seluruh isi dari dalam tas, mengusap dada lega karena tidak ada yang hilang."Hey, Ris, kamu lagi ngapain?" Key datang dari luar, menepuk pundak Erisca hingga cewek itu menoleh."Enggak lagi ngapa-ngapain, kok, cuma cek tas yang ketinggalan aja," balas Erisca, tersenyum manis."Tas kamu ketinggalan? Tapi isinya aman, 'kan?" Key bertanya panik, seolah mengkhawatirkan barang-barang berharga milik Erisca."Alhamdulillah am
"Ada apa, ya, Kak?" Seorang karyawan cewek mendekat, tersenyum-senyum tidak jelas begitu menatap wajah Gema."Enggak apa-apa. Cuma kaget aja sama mainan bentuk kecoa di lemari itu, kirain beneran. Lain kali kalau mau simpan pajangan, yang agak enak dilihat bisa, 'kan?" Gema memberi saran, tetapi terkesan memerintah."Oh, i-iya." Karyawan itu mengangguk.Gema pun pergi ke belakang. Entah mau ke mana? Mungkin ke toilet? Erisca tidak terlalu mengindahkan, yang penting dia tidak ketahuan oleh Gema. Bisa-bisa Erisca tidak dapat berkutik ketika cowok itu mengetahui keberadaannya.Sebelum Gema kembali, Erisca buru-buru menjauh dari sana. Dia berjalan tak tentu arah, melihat bangku yang sempat ditempati Guntur, tetapi pria itu sudah tidak ada. Mumpung masih jam istirahat, Erisca keluar kafe saja, mencari tempat ternyaman yang dapat menyembunyikan seluruh tubuhnya.Erisca memilih terdiam di dalam warung bakso sebelah kafe
Langit menggelap, waktu semakin larut saja. Erisca membuang napas hingga embun-embun dari dalam mulutnya menempel pada jendela kaca. Ini sudah malam, dan Erisca berhasil menghindari Gema, tetapi dia malah mendapat masalah baru.Setengah hari ini Erisca tidak mengindahkan kehadiran Guntur. Terakhir kali mengobrol ketika istirahat dan duduk-duduk di kursi kafe, setelahnya Erisca mengabaikan. Tentu saja Guntur bingung, jika bertanya pun Erisca hanya menjawab, "Enggak apa-apa.""Tapi kamu tiba-tiba aneh, Ris. Apa aku ada salah? Atau kamu tersinggung lagi sama karyawan di sini?" Guntur diam di belakang Erisca, menatap wajah sang kekasih melalui pantulan kaca.Lagi-lagi Erisca menggeleng lemah. Dia belum siap bertanya tentang masa lalu Guntur. Selain karena tidak ada hak, dia juga takut salah dan berakhir menuduh. Erisca masih yakin jika Susi hanya ingin membuat hubungan mereka kandas. Jadi, Erisca mesti hati-hati."Kelakuan kamu ini bik
"Ada apa, ya, Kak?" Seorang karyawan cewek mendekat, tersenyum-senyum tidak jelas begitu menatap wajah Gema."Enggak apa-apa. Cuma kaget aja sama mainan bentuk kecoa di lemari itu, kirain beneran. Lain kali kalau mau simpan pajangan, yang agak enak dilihat bisa, 'kan?" Gema memberi saran, tetapi terkesan memerintah."Oh, i-iya." Karyawan itu mengangguk.Gema pun pergi ke belakang. Entah mau ke mana? Mungkin ke toilet? Erisca tidak terlalu mengindahkan, yang penting dia tidak ketahuan oleh Gema. Bisa-bisa Erisca tidak dapat berkutik ketika cowok itu mengetahui keberadaannya.Sebelum Gema kembali, Erisca buru-buru menjauh dari sana. Dia berjalan tak tentu arah, melihat bangku yang sempat ditempati Guntur, tetapi pria itu sudah tidak ada. Mumpung masih jam istirahat, Erisca keluar kafe saja, mencari tempat ternyaman yang dapat menyembunyikan seluruh tubuhnya.Erisca memilih terdiam di dalam warung bakso sebelah kafe
Hari ini Erisca datang terlambat karena Guntur sengaja berlama-lama mengurungnya di apartemen. Alhasil, banyak pasang mata yang menyorot sinis ke arahnya. Erisca berusaha abai, tidak ingin mempermasalahkan hal yang kurang bermanfaat.Pikiran Erisca saat ini hanya tertuju pada tas yang tertinggal semalaman. Dia berjalan cepat ke arah ruangan khusus yang sempat dipakai untuk tidur oleh Guntur. Syukurlah tasnya masih ada di sana."Barang-barang aku gimana, ya?" Karena ragu, Erisca mengeluarkan seluruh isi dari dalam tas, mengusap dada lega karena tidak ada yang hilang."Hey, Ris, kamu lagi ngapain?" Key datang dari luar, menepuk pundak Erisca hingga cewek itu menoleh."Enggak lagi ngapa-ngapain, kok, cuma cek tas yang ketinggalan aja," balas Erisca, tersenyum manis."Tas kamu ketinggalan? Tapi isinya aman, 'kan?" Key bertanya panik, seolah mengkhawatirkan barang-barang berharga milik Erisca."Alhamdulillah am
"Kamu mau ke mana?" Guntur spontan membuka mata ketika merasakan gerakkan pada kasur. Ia menatap Erisca sedikit buram, sesekali mengusap.Gadis itu sedang melotot ke arah Guntur, merasa tidak percaya jika semalaman mereka tidur satu ranjang. Jika saja malam tadi Erisca tidak mengantuk, mungkin saat ini dia masih ada di kamarnya sendiri. Lalu ... apa Guntur sudah melakukan ...Mata Erisca semakin membulat. Dia meraba-raba seluruh tubuh, mulai dari atas hingga ke bawah. Ternyata pakaiannya masih sempurna menutupi diri. Tapi bisa saja Guntur kembali memasangkan kain itu setelah berbuat hal aneh-aneh?Erisca segera menyingkirkan selimut yang masih menutupi bagian kaki. Dia berjalan mondar-mandir, atau sesekali melompat-lompat di tempat. Barangkali ada rasa sakit pada bagian tertentu. Namun, sepertinya tidak. Dia malah lancar-lancar saja bergerak ke sana-kemari."Kamu lagi ngapain, Ris? Kok aneh gitu?" Guntur bangun, mengucek mata dengan ramb
Erisca menghempas tangan Guntur agak kasar. Dia tidak suka jika Guntur berlebihan seperti tadi. Pandangan orang lain terhadap Erisca dan Guntur itu beda. Mereka hanya akan menggunjingkan Erisca dengan cara yang tidak pantas, sedangkan Guntur malah sebaliknya.Orang berpendidikan tinggi memang selalu dihargai. Kekayaan dan juga ketampanan membuat atensi besar terhadapnya.Tidak seperti Erisca, karyawan kafe lulusan SMA. Memang bukan salah siapa-siapa, sih. Lagipula dia sendiri yang enggan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Padahal orang tuanya telah mempersiapkan banyak hal untuk sang anak, termasuk masalah sekolah. Namun, bagai kuda yang sudah tidak ingin melaju, sangat sulit diatur sekali pun dicambuk rotan.Kalau dipaksa terus yang ada bisa ngamuk."Jangan-jangan kamu emang suka digoda sama laki-laki lain?" Guntur mendesis. Tatapan matanya menyorot penuh ke arah Erisca.Jujur saja, Erisca gemetaran dipandang
Hari ini Erisca mulai bekerja karena keadaan tubuhnya telah membaik. Fendi sempat mengantarkan sang anak sampai masuk kafe, tetapi ia langsung pergi ke kantor karena ada pertemuan dengan klien. Erisca sedang berdiri di depan meja kasir –mengelap seluruh bagiannya agar kinclong dan enak dilihat pengunjung.Suasana di sini sangat nyaman apalagi di pagi-pagi buta. Embun-embun kecil masih menempel pada jendela, dipadukan dengan semburan sinar matahari, membuat mata termanjakan. Erisca rindu membersihkan tumpukkan piring-piring kotor, meski itu adalah perkejaan melelahkan bagi setiap orang.Di rumah, dia hanya akan diam saja tanpa melakukan apa-apa. Sarah selalu tidak setuju membiarkan Erisca bergerak ke sana-kemari. Apalagi jika harus membersihkan seluruh ruangan, cuci piring atau lain sebagainya. Karena rumah mereka juga jarang terjamah orang luar terutama anak kecil, jadi kotoran tidak terlalu menumpuk seperti kebanyakan.Mungkin salah satu
"Aku udah sehat! Nih, lihat, badan aku juga enggak sakit lagi meski banyak gerak." Erisca melompat dari kasur, menggoyang-goyangkan tubuh ke sana-kemari guna meyakinkan Sarah.Hari ini Sarah hendak pergi berziarah ke makam mendiang sang ibu. Fendi yang mengantarkan menggunakan mobil karena letak pemakaman itu lumayan jauh dari kawasan komplek. Jika Erisca ikut, Sarah khawatir gadis itu akan lebih sakit lagi."Enggak, Erisca! Mama takut kamu makin parah. Lebih baik kamu istirahat aja di rumah supaya pulih total. Nanti kita ziarah bareng-bareng kalau kamu udah bener-bener sembuh." Sarah memutar kenop pintu, ingin pergi dari sana, tetapi Erisca malah menahannya."Aku mohon, Ma .... Lagian udah lama juga aku enggak datang ke makam nenek. Masa mama larang anaknya buat ziarah, sih? Itu sama aja dosa, lho, Ma." Erisca menakut-nakuti. Sarah menghela napas pelan, mengangguk samar meski sebenarnya enggan menyetujui."Yeay! Makasih, Ma. Aku s
Keringat dingin bercucuran di kening. Jangan lupakan sang jantung yang sibuk berdetak kencang di dalam sana. Bukan takut dipukul atau dikasari, Guntur tidak ingin Erisca semakin dikekang oleh orang tuanya, dan otomatis mereka jadi sulit untuk bertemu. Kalau benar semua itu terjadi, Guntur tidak bisa membayangkan nasib nyawanya. Mungkin ia sudah mati karena tak sanggup kehilangan kekasih. Untung di balkon Erisca ada tembok yang cukup untuk menghalangi tubuh kekarnya. Jikalau tidak ada tempat persembunyian, mungkin saat ini Sarah sudah marah-marah. "Kamu lagi ngapain di sini? Badan masih lemes juga." Sarah mengomeli. Ia menatap sekeliling karena tidak enak perasaan. "Lah, ini makanan dari mana?" Mata Sarah membulat, menatap Erisca penuh pertanyaan. "Em ... aku kira mama enggak masak. Karena udah lapar banget, aku pesan makanan lewat aplikasi online aja, deh. Nah ... aku, tuh, cuma bosen diem di kamar terus, jadi lebih enak lagi makan d
Kesehatan adalah sesuatu paling berharga setelah usia yang panjang. Dengan tubuh bugar kita dapat melakukan apa-apa tanpa merepotkan orang lain. Bukan seperti sekarang, terbaring lemas di atas kasur ditemani detik-detik jarum jam. Erisca pegal, ingin bergerak lebih, tetapi sulit sekali.Mestinya hari ini dia masuk kerja. Namun, karena kondisi tubuh yang amat rusak, Guntur tidak mengijinkan Erisca melakukan hal-hal berat. Pria itu menyuruh Erisca untuk tetap diam dan istirahat secukupnya."Eh, aduh! Badan aku sakit banget."Pergerakkan terbatasi. Erisca pegal jika harus terus begini. Dia hanya ingin pindah posisi, tetapi bergerak sedikit pun terasa menjadi beban.Kemarin malam Erisca meminta pulang dari rumah sakit karena orang tuanya terus meneror. Guntur bukan pria bodoh, ia tidak ingin Erisca tambah parah karena kurang perhatian medis. Namun, tatapan memelas cewek itu meruntuhkan pertahanan hatinya. Mau tidak mau Guntur pun menuruti sa