All Chapters of Istri Lima Belas Ribu: Chapter 491 - Chapter 500

608 Chapters

Part 19

Part 19Malam, aku hanya bisa memelukmu dengan tangis yang menganak tanpa henti.Rindu, aku hanya bisa menelan pahit rasa itu seorang diri.Lara, adalah gambaran yang sulit untuk ku ungkapkan sedalam apakah itu.Dan sepi, adalah teman abadi dalam hidupku.Sebait puisi ditulis Cika dan menempel pada pintu lemarinya.Sudah dua minggu, ayahnya belum juga datang menjemput untuk pulang. sebuah tas yang dipersiapkan Cika teronggok di sudut ruangan yang kosong. Satu per satu baju yang semula sudah tertata rapi, diambilnya untuk digunakan kembali. Tak jarang temannya bertanya kapan ia akan pulang.Hati, jangan pernah berharap! Hidup hanya untuk sebuah kesunyian.Cika menulis lagi dalam buku diary nya.“Aku lelah, aku ingin pulang. Pulang yang sebenarnya. Jika harus pulang ke pangkuan Ilahi pun, aku mau,” kata Cika sambil memeluk lutut.Ia sudah membuang jauh harapan itu dan berusaha membuka mata, bahwa dia hanya hidup seorang diri di bumi ini.Saat bangun, tatapan mata Cika berhenti pada soso
Read more

Part 20

Part 20Cika mematung. Ingin berlari memeluk wanita yang menampakkan wajah sendu terhadapnya itu, tentu saja ia tidak bisa. Ia bahkan tidak mengenal sama sekali sifat seorang Ines.Ines mendekat. “Apa kabar?” tanyanya dingin.“Ba-baik,” jawab Cika duduk.“Dimana kita bisa duduk?” tanya Ines lagi.“Sa-sana.” Cika menunjuk sebuah tempat.“Ayo, kita kesana,” ajak Ines.Cika mengikuti langkah kaki Ines menuju sebuah sudut dimana di sana terdapat meja lesehan. Ines langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas lantai. Meluruskan kaki dan menggerakkan kepalanya berulang kali. Terlihat sekali kalau ia sangat lelah mengendarai mobil dengan jarak tiga jam.“Mau minum apa?” tanya Cika menawarkan.“Tidak usah. Aku bawa minum di mobil.”Untuk kali pertamanya dalam hidup, Cika merasa begitu dekat bahkan bisa berbincang dengan wanita bergelar ibu itu. Mereka saling diam, canggung dalam kebisuan.“Ada perlu apa Mama kemari?” tanya Cika. “Maaf memanggilmu Mama, karena aku hanya mengenal panggilan itu saja s
Read more

Part 21

Part 21Ines melajukan mobil dengan kecepatan yang sangat tinggi. Namun di tengah perjalanan, ia menghentikannya. Menangis di balik kemudi sesenggukan dengan perasaan yang beragam. Ia lalu menelpon anak laki-lakinya.“Halo, Vin. Carikan Mama rumah baru. Mama ingin pindah,” katanya.“Mama mau pindah kemana?”“Kemana saja yang penting tidak satu rumah dengan ayahmu. Mama sudah tidak kuat,” kata Ines lalu menangis.“Baik. Tapi gak bisa sekarang ya, Ma.”“Iya, gak papa. Tapi dalam bulan ini ya?”Ines menutup teleponnya lalu menangis. “Sampai kapan aku menyembunyikan semua ini? Jika Cika sudah besar, dia bisa saja tahu semua,” katanya lalu membanting kepala di atas kemudi. Menangis lama sampai matanya sembab, barulah ia beranjak dari tempat itu. Pulang menuju rumah yang dirasa sudah tidak ada kehangatan lagi di sana.Mobil sedan milik Ines memasuki pekarangan rumahnya yang luas. Dua pilar besar ada di depan teras ruang tamu. Rumah mewah tetapi terasa sunyi karena penghuni di dalamnya tid
Read more

Part 22

Part 22Sejak sebuah ide itu muncul, Cika sering mencari kesempatan untuk bisa dekat dengan Aira. Anak yang sudah bisa hidup di pondok dengan betah dan nyaman itu, kini menjadi incaran Cika untuk dapat menggaruk harta ayahnya.Hari itu Cika sangat berbeda sekali sikapnya. Tidak lagi murung dan menanyakan banyak hal termasuk ibunya. Han justru uriga dengan perubahan sikap tiba-tiba Cika.“Mama kamu datang kesini kemarin?” tanya Han.“Ines maksudnya? Dia bukan ibu aku ah, Yah,” kelakar Cika.Han tgersentak mendengar candaan yang dilontarkan oleh Cika. “Kamu bicara apa, Cika?” tanyanya kaget.“Kenapa Ayah kaget? Atau memang benar kalau Ines bukan ibuku? Kok Ayah kayak ketakutan gitu sih? Padahal aku bercanda lho.”Han menarik napas lega. Setiap ekspresi yang keluar dari wajah lelaki itu selalu menjadi pengamatan Cika. Mata gadis itu mencoba mencari tahu arti dari setiap tatapan yang Han beri saat berbicara.“Aku bercanda Ayah. Atau jangan-jangan kau juga bukan ayahku?”“Cika, bercanda ka
Read more

PART 23

Part 23"Kenapa kamu masih berdiri di sana?" ucap Han ketus pada Aini yang masih berdiri menggandeng tangan Aira. "Kamu seorang santri 'kan? Kenapa kamu tidak tahu adab sama sekali? Punya malu sedikit," katanya lagi. Kali ini lebih tinggi suaranya dari yang tadi. Han memiliki tubuh yang atletis. Tinggi, putih dengan rahang yang sangat kokoh. Bermata tajam dan memiliki bibir yang tipis. Ia sangat tampan, tetapi Aini sangat membenci wajah tampan itu. "Ai, Mbak Aini tunggu di kantor pengurus ya? Kalau ada apa-apa, kamu teriak panggil Mbak Aini," kata Aini pada Aira. "Cika, kamu tolong jagain Aira, ya? Mbak Aini tunggi di sana." Kali ini ia bicara lagi pada Cika. Kedua anak itu mengangguk secara bersamaan.Aini tidak tahu jelas, kapan kedua anak itu duduk berhadapan dengan Han. Kali ini, ia benar-benar berdiri di samping jendela karena tidak mau jika Aira dibawa pergi oleh Han dengan alasan jalan-jalan. Entah mengapa, ia memiliki firasat yang tidak baik terhadap ayah Cika itu. Ada ras
Read more

Part 24

Part 24Aira berjalan berdampingan dengan Cika. Meski mereka tidak saling bicara, tetapi tidak terlihat saling membenci seperti sebelumnya. Cika yang membenci, sementara Aira lebih kepada merasa takut saja.Aini menatap sengit pada Han yang ada di dalam mobil. Ia masih berdiri memandang lelaki yang ada di balik kemudi. Matahari yang terik menjelang sore tidak dihiraukannya. Keselamatan Aira lebih penting dari rasa panas itu sendiri. Ia berpikir keras bagaimana cara menjauhkan Aira dari sana.Han yang melihat Aira berjalan keluar dari aula, segera membuka pintu mobilnya. Takut kalau Aini akan meracuni otak anak itu lebih dulu lalu mengajaknya kembali ke dalam pesantren.Aini menoleh dan melihat Aira dan Cika yang berjalan mendekat."Mbak Ai mau ikut?" tanya Aira sumringah."Aira mau kemana?" tanya Aini."Aku mau diajak jalan-jalan sama ayahnya Mbak Cika. Mbak Ai ikut yuk," ajak Aira.Sementara itu, Cika terlihat enggan mengajak Aini ikut serta."Aira, Ayah inginnya kita berdua saja," k
Read more

Part 25

"Sebutkan ciri-ciri ayah Aira kalau memang Anda mengenalnya!" Aini tidak kehabisan akal.Han menatap sengit pada Aini. Gadis yang memiliki wajah mirip orang Melayu itu tidak mau kalah. Ia pun kini menatap Han dengan sorot penuh kebencian."Baik, Aira, kamu boleh membawa cewek yang katanya ketua kamar kamu ini. Tetapi, Om tidak akan membelikan apapun pada dia." Kalah, Han akhirnya mengalah."Aku tidak berminat ikut. Tadi Aira sudah bilang tidak mau ikut, 'kan? Jadi, kami akan kembali ke pondok. Dan kamu, Cika, kamu silakan pergi sama ayah kamu. Aku tidak akan melarang." Aini menggandeng tangan Aira."Aira, kamu mau tas bagus 'kan?" Cika berusaha menahan Aira. Karena hanya Aira lah yang sekarang digunakan sebagai alat untuknya dapat meminta apapun pada Han."Mbai Aini, ayo, ikut saja. Aku mau beli tas," kata Aira."Kita beli di pasar, ya?""Tapi aku mau ke mall. Aku juga mau Ayah diajak kerja sama ayahnya Mbak Cika."Aini kesal dan marah pada Han. Lelaki itu harus ia selidiki motifnya m
Read more

Part 26

Melangkah lagi sambil terus menggenggam tangan Aira. Merasakan hatinya sangat damai. Benih-benih cinta mulai tumbuh di hatinya sejak pertama kali bertemu Aira. Ia bertekad akan menjaga dan melindungi gadis kecil itu sejak pertama kali melihatnya."Mbak Cika kemana ya, Om?" tanya Aira."Mbak Cika biasanya langsung ke timezone. Gak papa, dia bawa ATM kok. Kamu jalan-jalan dulu ya sama Om? Mau minta apa?" tanya Han. "Ah, kamu minta tas ya? Baik, kita ke toko tas," ajaknya.Aira gerah berusaha melepaskan tangan dari Han, tetapi tidak bisa. Karena lelaki itu memegang dengan sangat erat. "Nanti kamu lepas dan diculik orang bagaimana?" ucapnya.Han sangat bahagia karena kini bisa pergi bersama Aira tanpa diganggu oleh Aini. Ia berjalan menuju toko tas. Dan terlihat senang saat beberapa pasang mata menatapnya. Saat naik eskalator, tangan Han berpindah merangkul pundak Aira.'Andaikan kamu berusia enam belas tahun, aku akan menjadikan kamu sebagai permaisuri ku, Aira. Kamu adalah wanita terca
Read more

Part 25

Part 25Aini terbangun dengan kepala yang pusing. Ia berkali-kali memegang kening. Melihat kesana kemari mencari sosok Aira. Namun, tidak ia dapatkan. Kaca mobil sebelahnya terbuka sepertiga bagian. Han sengaja melakukan itu karena ia ingin Aini tetap hidup. Meski hatinya sangat benci pada gadis itu, tetap saja dia tidak berniat membunuh karena tentu akan berakibat fatal. Han bisa di penjara. Aini turun dari mobil dan kaget karena ternyata dia sudah berada di pelataran mall. Hatinya diliputi rasa gelisah dan takut. Bayangan buruk tentang Aira yang akan mendapatkan perlakuan yang amoral dari Han menari-nari di pelupuk matanya. Pikiran dipenuhi angan yang sangat kotor.Ia melihat lampu kelap kelip yang ada di hadapannya dengan perasaan yang sangat panik dan takut. Merutuki diri sendiri mengapa tidak bisa menjaga Aira dengan baik. "Aira! Kamu dimana Aira?" teriaknya sambil menangis. Suara adzan Isya yang berkumandang bisa melebur kerasnya suara dia sehingga tidak ada yang mendengar. H
Read more

Part 28

Part 27 "Mbak Aini, aku mau pulang," kata Aira lagi. "Iya, kita pulang. Kita pulang, ya?" Aini tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tetapi ia sangat paham apa yang dirasakan gadis kecil itu. Aira begitu tertekan. Aira ketakutan. "Nanti pulang ya, Aira. Nunggu Mbak Cika datang dulu," sahut Han. "Aku gak mau, aku mau sekarang. Mbak Aini, ayo, cari angkot, Mbak. Kita pulang." Aira terus merengek. "Aira, kita naik angkot mana? Mbak Aini gak tahu. Gak bawa uang juga, Ai. Sabar ya, Sayang, ya? Sabar ...." Aini tidak tahu mau berkata apa lagi. "Makanya kalau miskin jangan belagu!" ujar Han ketus. "Aku miskin, tapi yang penting aku normal." "Kamu mau mengatakan aku tidak normal?" bentak Han. Aini menahan berbicara karena takut tidak diajak pulang. Ia memilih diam dan akan mendengarkan apapun yang Han hinakan untuknya. "Aira, Kakak cari Cika dulu ya? Kamu tunggu di sini. Kakak pasti kembali." Perkataan Han membuat Aini meradang. "Kakak?" tanya Aini refleks. "Diam kamu,
Read more
PREV
1
...
4849505152
...
61
DMCA.com Protection Status