Part 23"Kenapa kamu masih berdiri di sana?" ucap Han ketus pada Aini yang masih berdiri menggandeng tangan Aira. "Kamu seorang santri 'kan? Kenapa kamu tidak tahu adab sama sekali? Punya malu sedikit," katanya lagi. Kali ini lebih tinggi suaranya dari yang tadi. Han memiliki tubuh yang atletis. Tinggi, putih dengan rahang yang sangat kokoh. Bermata tajam dan memiliki bibir yang tipis. Ia sangat tampan, tetapi Aini sangat membenci wajah tampan itu. "Ai, Mbak Aini tunggu di kantor pengurus ya? Kalau ada apa-apa, kamu teriak panggil Mbak Aini," kata Aini pada Aira. "Cika, kamu tolong jagain Aira, ya? Mbak Aini tunggi di sana." Kali ini ia bicara lagi pada Cika. Kedua anak itu mengangguk secara bersamaan.Aini tidak tahu jelas, kapan kedua anak itu duduk berhadapan dengan Han. Kali ini, ia benar-benar berdiri di samping jendela karena tidak mau jika Aira dibawa pergi oleh Han dengan alasan jalan-jalan. Entah mengapa, ia memiliki firasat yang tidak baik terhadap ayah Cika itu. Ada ras
Part 24Aira berjalan berdampingan dengan Cika. Meski mereka tidak saling bicara, tetapi tidak terlihat saling membenci seperti sebelumnya. Cika yang membenci, sementara Aira lebih kepada merasa takut saja.Aini menatap sengit pada Han yang ada di dalam mobil. Ia masih berdiri memandang lelaki yang ada di balik kemudi. Matahari yang terik menjelang sore tidak dihiraukannya. Keselamatan Aira lebih penting dari rasa panas itu sendiri. Ia berpikir keras bagaimana cara menjauhkan Aira dari sana.Han yang melihat Aira berjalan keluar dari aula, segera membuka pintu mobilnya. Takut kalau Aini akan meracuni otak anak itu lebih dulu lalu mengajaknya kembali ke dalam pesantren.Aini menoleh dan melihat Aira dan Cika yang berjalan mendekat."Mbak Ai mau ikut?" tanya Aira sumringah."Aira mau kemana?" tanya Aini."Aku mau diajak jalan-jalan sama ayahnya Mbak Cika. Mbak Ai ikut yuk," ajak Aira.Sementara itu, Cika terlihat enggan mengajak Aini ikut serta."Aira, Ayah inginnya kita berdua saja," k
"Sebutkan ciri-ciri ayah Aira kalau memang Anda mengenalnya!" Aini tidak kehabisan akal.Han menatap sengit pada Aini. Gadis yang memiliki wajah mirip orang Melayu itu tidak mau kalah. Ia pun kini menatap Han dengan sorot penuh kebencian."Baik, Aira, kamu boleh membawa cewek yang katanya ketua kamar kamu ini. Tetapi, Om tidak akan membelikan apapun pada dia." Kalah, Han akhirnya mengalah."Aku tidak berminat ikut. Tadi Aira sudah bilang tidak mau ikut, 'kan? Jadi, kami akan kembali ke pondok. Dan kamu, Cika, kamu silakan pergi sama ayah kamu. Aku tidak akan melarang." Aini menggandeng tangan Aira."Aira, kamu mau tas bagus 'kan?" Cika berusaha menahan Aira. Karena hanya Aira lah yang sekarang digunakan sebagai alat untuknya dapat meminta apapun pada Han."Mbai Aini, ayo, ikut saja. Aku mau beli tas," kata Aira."Kita beli di pasar, ya?""Tapi aku mau ke mall. Aku juga mau Ayah diajak kerja sama ayahnya Mbak Cika."Aini kesal dan marah pada Han. Lelaki itu harus ia selidiki motifnya m
Melangkah lagi sambil terus menggenggam tangan Aira. Merasakan hatinya sangat damai. Benih-benih cinta mulai tumbuh di hatinya sejak pertama kali bertemu Aira. Ia bertekad akan menjaga dan melindungi gadis kecil itu sejak pertama kali melihatnya."Mbak Cika kemana ya, Om?" tanya Aira."Mbak Cika biasanya langsung ke timezone. Gak papa, dia bawa ATM kok. Kamu jalan-jalan dulu ya sama Om? Mau minta apa?" tanya Han. "Ah, kamu minta tas ya? Baik, kita ke toko tas," ajaknya.Aira gerah berusaha melepaskan tangan dari Han, tetapi tidak bisa. Karena lelaki itu memegang dengan sangat erat. "Nanti kamu lepas dan diculik orang bagaimana?" ucapnya.Han sangat bahagia karena kini bisa pergi bersama Aira tanpa diganggu oleh Aini. Ia berjalan menuju toko tas. Dan terlihat senang saat beberapa pasang mata menatapnya. Saat naik eskalator, tangan Han berpindah merangkul pundak Aira.'Andaikan kamu berusia enam belas tahun, aku akan menjadikan kamu sebagai permaisuri ku, Aira. Kamu adalah wanita terca
Part 25Aini terbangun dengan kepala yang pusing. Ia berkali-kali memegang kening. Melihat kesana kemari mencari sosok Aira. Namun, tidak ia dapatkan. Kaca mobil sebelahnya terbuka sepertiga bagian. Han sengaja melakukan itu karena ia ingin Aini tetap hidup. Meski hatinya sangat benci pada gadis itu, tetap saja dia tidak berniat membunuh karena tentu akan berakibat fatal. Han bisa di penjara. Aini turun dari mobil dan kaget karena ternyata dia sudah berada di pelataran mall. Hatinya diliputi rasa gelisah dan takut. Bayangan buruk tentang Aira yang akan mendapatkan perlakuan yang amoral dari Han menari-nari di pelupuk matanya. Pikiran dipenuhi angan yang sangat kotor.Ia melihat lampu kelap kelip yang ada di hadapannya dengan perasaan yang sangat panik dan takut. Merutuki diri sendiri mengapa tidak bisa menjaga Aira dengan baik. "Aira! Kamu dimana Aira?" teriaknya sambil menangis. Suara adzan Isya yang berkumandang bisa melebur kerasnya suara dia sehingga tidak ada yang mendengar. H
Part 27 "Mbak Aini, aku mau pulang," kata Aira lagi. "Iya, kita pulang. Kita pulang, ya?" Aini tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tetapi ia sangat paham apa yang dirasakan gadis kecil itu. Aira begitu tertekan. Aira ketakutan. "Nanti pulang ya, Aira. Nunggu Mbak Cika datang dulu," sahut Han. "Aku gak mau, aku mau sekarang. Mbak Aini, ayo, cari angkot, Mbak. Kita pulang." Aira terus merengek. "Aira, kita naik angkot mana? Mbak Aini gak tahu. Gak bawa uang juga, Ai. Sabar ya, Sayang, ya? Sabar ...." Aini tidak tahu mau berkata apa lagi. "Makanya kalau miskin jangan belagu!" ujar Han ketus. "Aku miskin, tapi yang penting aku normal." "Kamu mau mengatakan aku tidak normal?" bentak Han. Aini menahan berbicara karena takut tidak diajak pulang. Ia memilih diam dan akan mendengarkan apapun yang Han hinakan untuknya. "Aira, Kakak cari Cika dulu ya? Kamu tunggu di sini. Kakak pasti kembali." Perkataan Han membuat Aini meradang. "Kakak?" tanya Aini refleks. "Diam kamu,
Part 29Pukul sembilan malam, Han sudah sampai di depan rumah kos Sely. Lampunya remang-remang. Sely yang mendengar deru mobil langsung keluar. Han sudah menutup gerbang dan jika gerbang sudsh ditutup, maka tidak akan ada yang bisa melihat aktifitas apapun di dalamnya. Sely keluar dengan wajah kesal dan murung. Han menatap tidak percaya pada Sely yang berdiri di ambang pintu dalam keadaan tubuh hanya memakai baju dalam yang sangat transparan dan vulgar. "Sely kenapa kamu memakai baju seperti itu?" tanya Han kaget. Naluri lelakinya bangkit meski lelah. Namun, tetap saja ia tidak suka kalau Sely berpakaian tidak sopan keluar rumah. "Aku telpon kenapa tidak diangkat? Aku sudah video call tapi tidak dijawab. Kenapa?" tanyanya kesal. "Maaf aku di jalan. Ayo, masuk! Jangan pakai baju seperti itu nanti dilihat orang malu." Han memegang pinggang Sely. "Aku merindukan kamu, tapi kamu malah tidak bisa dihubungi. Kemana saja? Aku video call kamu biar bisa bermanja-manja dengan baju ini."
Part 30Sejak semalam, Aini masih belum bertegur sapa dengan Cika. Cika sendiri cuek dan asyik membuka barang yang dibelinya karena selama di pondok itu, ia sama sekali tidak pernah berbelanja.Ia tidak peduli mau dimusuhi atau dijauhi. Sebab, sudah terbiasa hidup seorang diri. Yang penting, dengan rasa sayang Han terhadap Aira, Cika bisa memanfaatkan momentum."Aira, ini aku belikan kamu kaus," kata Cika dengan memberikan plastik bertuliskan nama pusat perbelanjaan ternama.Aura menggeleng. Entah kenapa, ia begitu trauma dengan Han. Ia tidak tahu apapun, tetapi diperlakukan Han dengan sangat spesial, diminta memanggil kakak, me. buat hati Aira risih."Gak papa. Ini dari Ayah kok. Kamu senang 'kan, jalan-jalan sama ayahku?" tanya Cika.Aira diam, menatap Cika tidak berkedip sama sekali. Rasa trauma itu begitu besar sehingga mendengar sosok ayahnya Cika disebut, rasanya sangat tidak enak."Kok gak jawab? Kenapa? Nih, ambil punya kamu," kata Cika sambil mendorong dengan kaki, plastik ya
Part 11 POV Dania (Ending) Lelah hati tatkala harus menghadapi banyak hal. Akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tidak akan memaksakan takdir apapun sekarang. Selalu bertemu dengan orang-orang yang membuat hati ini sakit hati, membuatku semakin sadar kalau hanya keluarga Laura saja yang baik padaku. Melihat penghianatan Nindi dan juga sikap Cika yang masih dingin dan membenciku, membuat hati ini sudah memutuskan. Aku akan menghilang dari hidup orang-orang yang mengenalku. Untuk apa mempedulikan Cika yang sangat membenciku? Baginya, Ines adalah ibunya. Setelah Nindi keluar dari rumah, Laura menelpon malam-malam dan menangis. Ia mengatakan kalau pacarnya ternyata selingkuh dan dia seorang diri. Laura menanyakan perkembangan hubunganku dengan Cika, dan aku menjawab apa adanya. “Cika tidak akan pernah bisa menerimaku. Itu kenyataannya,” jawabku sudah pasrah dengan keadaan. “Dania, aku minta maaf, bisakah kamu kembali kesini? Hidup bersamaku dan aku menarik semua ucapanku kemarin,” p
Part 10Tiga hari tinggal bersama, dia tetap masih diam. Makananku tetap disiapkan, tetapi menunggu aku keluar untuk makan sendiri. Dia sama sekali tidak seperti dulu yang memanggilku, menyiapkan baju ganti dan segala keperluanku. Akhirnya, pagi ini kuberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.“Apa aku akan diusir seperti Nindi?” tanyaku pelan. Dia yang lagi-lagi berkutat dengan laptop--mengangkat wajah.“Pilihlah mana dari milikku yang akan kamu ambil, Cika! Sisanya, bila kamu tidak mau, maka akan kujual. Kamu bisa gunakan untuk keperluan hidupmu. Itu jika kamu mau,” jawabnya tanpa ekspresi ramah.Aku memainkan jari jemariku. Bingung hendak menjawab apa. Ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya. Aku masih berdiri mendengarkan dia berbicara dengan orang yang kukira ada di luar negeri.Meski sudah lama tidak pernah belajar bahasa asing lagi, tetapi aku tahu apa arti dari ucapan yang disampaikan seseorang dari seberang telepon sana. Speaker ponsel yang dihidupkan membuatku bi
Part 9“Mbak Dania, aku minta maaf, Mbak, aku akui memang salah dan aku akan meminta dia untuk keluar dari rumah Mbak Dania asalkan Mbak Dania masih mengizinkan aku untuk tetap di sini. Aku akan menjaga Cika, Mbak, aku janji,” kata Nindi sambil bersimpuh dan memegang kaki dia.“Aku sudah tidak butuh siapapun lagi, Nindi. Aku akan membiarkan orang-orang yang hanya memanfaatkanku dan juga orang-orang yang tidak menyukaiku untuk pergi dari hidupku. Aku tidak akan memaksakan takdir bahagia bersamaku, jadi, kamu tidak perlu bersimpuh meminta, karena aku sudah akan menghapusmu dari daftar orang-orang yang kukenal,” jawab dia santai.Seketika aku memandang wajah cantik itu. Ada sebuah perasaan terluka di sana. Jika dia benar-benar tidak mau lagi mengurusku, maka, siapa yang akan mengurusku lagi? Tiba-tiba saja ketakutan besar menguasai hati.Wajah itu, dia tidak mau melihat padaku. Padahal, aku berharap itu.Nindi masih bersimpuh sambil menangis.“Dimana mobilku, Nindi?” tanya dia datar.“Ee
Part 8POV CikaAku memilih masuk dan duduk di atas hamparan pasir meski terik matahari terasa sangat menyengat di kulit. Benar-benar bingung hendak minta tolong dan mengadu pada siapa, maka kuputuskan untuk menangis seorang diri.“Ya Allah, kirimkan bantuan untukku. Ya Allah, ampuni aku jika aku selama ini nakal dan banyak dosa. Ya Allah, aku janji, jika aku mendapatkan pertolongan untuk masalahku ini, aku akan kembali sholat seperti saat di pondok dulu. Jika ada orang yang menolongku, maka aku akan menjadikannya sahabat,” ucapku sambil menangis.Lama aku berada dalam posisi ini, hingga leher terasa pegal, lalu aku mengangkat kepala. Saat menoleh, ternyata ada seseorang yang duduk di sebelahku dan dia melakukan hal yang sama.Menatapku.Deg.Jantungku berpacu lebih cepat tatkala mendengar orang itu memanggil namaku. Dia sosok yang kurindu, tetapi juga kubenci.“Kenapa kamu berpanas-panasan sendirian di sini?” ucapnya sambil berteriak.Aku diam, enggan menjawab. Teringat olehku Nindi
Part 7POV DaniaAku menatap tubuh Nyonya dan Tuan yang terbujur kaku di rumah sakit dengan darah bersimbah di sekujur tubuh mereka–dengan hati yang sangat hancur.Baru sebentar kembali bekerja bersama mereka yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, tetapi harus merasakan sakitnya kehilangan. Nyonya dan Tuan tewas dalam kecelakaan tunggal. Mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah pohon dan nyawa mereka langsung hilang di tempat itu juga.Tak tahu lagi harus berusaha tegar seperti apa. Karena mereka berdua adalah keluarga yang kumiliki saat ini dan kenapa takdir selalu tidak berpihak padaku?Mayat Nyonya dan Tuan dimakamkan dua hari kemudian setelah berbagai prosesi keagamaan mereka berdua berlangsung. Kini, saat semua pelayat pergi, aku hanya berdua saja dengan anak semata wayang Nyonya yang berusia dua puluh tahun.“Aku akan melanjutkan kuliah di negara sebelah. Kamu jika masih mau di sini, maka harus mencari pekerjaan lain. Karena aku sudah tidak bisa membayarmu. Rumahku aka
Part 6POV CIKAAku menatap rumah besar itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Meski keberadaanku tidak diakui di sini, tetapi nyatanya, belasan tahun diriku hidup di sana.Walaupun tanpa kenangan indah, tetapi aku bisa melakukan apapun di rumah itu. Kini, aku harus melangkah pergi untuk yang terakhir kalinya. Hati benar-benar sadar, jika memang diri ini tiada lagi diharapkan oleh mereka. Kehadiranku di rumah itu hanya untuk mengukir kisah sedih.Hari ini aku pergi dengan naik taksi. Pulangnya, memilih berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan elit yang semuanya memiliki pagar yang tinggi. Sengaja memilih berjalan kaki, hanya sekadar ingin menikmati rasa yang sangat menyesakkan dalam dada ini. Rencananya, nanti akan pulang dengan naik bus. Di dekat gerbang perumahan ini ada sebuah halte.Langkah kaki ini berjalan lambat. Aku sadar kini aku sudah benar-benar sendiri, dan sebentar lagi, bisa saja harus tiba-tiba hidup dengan sosok yangtidak kukenal sama sekali. Aku Cika, harus ber
Part 5Sebuah ketukan di luar pintu kamar membuat Cika beranjak dari tempat tidurnya. Ia yang sudah setengah mengantuk terpaksa bangun untuk menemui orang yang sudah pasti itu Nindi. Dengan memicingkan mata, Cika menatap perempuan yang masih lajang itu yang sudah siap dengan koper besar.“Mbak Nindi mau pergi?” Seketika mata Cika yang semula setengah mengantuk terbuka sempurna.“Iya,” jawab Nindi singkat dan ragu.Napas Cika mulai narik turun. Antara takut dan kaget.“Mbak Nindi, aku sama siapa di sini?” tanya Cika mulai menampakkan ketakutannya.“Sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri , Cika. Tidak mungkin aku akan terus bersama dengan kamu. Ibu kamu saja sudah pergi. Dan keluarga kamu saja sudah tidak memperdulikan keberadaanmu lagi. Masa aku yang bukan siapa-siapa kamu harus bertahan di sini? Aku punya impian untuk menikah, aku punya keluarga yang harus aku rawat. Jadi, aku akan pergi sekarang dan mulai saat ini, kamu hidup di sini sendiri,” jelas Cika.“Mbak Nindi, tidak bisakah
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”