Home / Romansa / Pacar Pembantu / Chapter 61 - Chapter 70

All Chapters of Pacar Pembantu: Chapter 61 - Chapter 70

89 Chapters

Papa Arga

Raquilla Part 61 Terhitung dari hari peresmian galeri 'Raquilla' kemarin, kandungan Nabilla baru berusia dua minggu. Itu terlalu muda untuk perut istrinya menonjol seperti ibu-ibu hamil muda biasanya. Maka, Raqa hanya bisa mengusap perut rata Nabilla menggunakan tangannya yang besar, sesekali menampelkan telingannya di sana. Ia ingin berulang kali mendengar suara detak jantung buah hati mereka. Rasanya candu sekali ketika Raqa mendengarnya. Terlebih, ada rasa damai menjalari tubuhnya. Deg. Lagi, detak itu membuat Raqa hampir menitikkan air mata, ia tak menyangka akan secepat ini diberikan kepercayaan oleh Tuhan menjadi seorang ayah. Raqa pun menegapkan punggungnya setelah ia rasa Nabilla mulai pegal dengan posisi duduknya, ia menselonjorkan  kaki perempuan itu. Mereka duduk di kasur jadi Raqa dapat dengan mudah membantu Nabilla. Dan memijat kedua kaki istrinya itu. "Pasti udah mulai sering
Read more

Tokoh Baru

Pekerjaan kantor begitu banyak hari ini. Meskipun dia memiliki banyak karyawan yang bisa diandalkan, Raqa tidak mungkin meminta mereka semua menyelesaikan pekerjaannya. Pukul satu siang ketika Raqa melirik jam di pergelangan tangannya, menandakan jam makan siang telah tiba. Ia pun mengeluari ruangan kerja dan menaiki menuju lantai satu. Ia akan ke lantai dasar untuk menyambut seseorang. Siapa lagi kalau bukan Nabilla? Istrinya itu selalu datang membawakan makan siang, dan Raqa hapal di jam-jam seperti ini Nabilla biasanya sudah tiba di resepsionist dan menyapa para karyawan. Lalu menemuinya di ruang kerja.  Namun, hari ini Raqa ingin dia sendiri yang menghampiri Nabilla. Toh, Nabilla sedang mengandung. Pasti begitu melelahkan bagi perempuan bertubuh mungil itu berjalan kaki hanya untuk menghampirinya di lantai tiga. Ya, meskipun menaiki lift.  Dan di pertengahan jalan habis mengeluari lift lantai dasar, Raqa tak sengaja menabrak bahu seseorang. 
Read more

Sabrina

Sabrina memasuki rumahnya dengan hati berbunga-bunga. Bagaimana tidak? Itu karena dia baru saja diantar pulang oleh pria tampan bernama Raqa. Sungguh, baru kali ini Sabrina melihat laki-laki setampan aktor luar negeri. Secara nyata. Tanpa rekayasa. Bahkan, ia sempat berpikir bahwa ia sedang bermimpi. Bukan hanya melihat, ia bahkan berhasil mengambil foto Raqa beberapa kali saat pria itu lengah. Sabrina berani melakukannya karena sepertinya dia memang sudah terjebak dalam opini 'Cinta pada pandangan pertama'.  "Kok senyam-senyum sendiri anak ibu? Ngapain hayo," ucap seorang wanita berdaster berjalan mendekati Sabrina yang duduk di sofa. Dia bernama Kirana, ibu kandung Sabrina. Sabrina terkejut kemudian cepat-cepat menyembunyikan gawainya itu sebelum ketahuan sang mama.  "Enghh nggak ada kok, cuman senang aja karena hari ini kerja aku cukup baik,” jawabnya berbohong. Padahal tadi s
Read more

Mulai Mengganggu

“Sabrina, darimana kau mendapatkan nomerku?” tanya Raqa dengan nada kesal di seberang sana.Sabrina menggigit bibir bawahnya gemas lalu menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Perlu keberanian lebih untuknya memulai semua ini. Ia sudah menebak bahwa merespon Raqa mungkin jauh dari kata sopan. Dan yah, lihat saja hasilnya. Nada kesal yang ia dapatkan.“Emhh, maaf sebelumnya, pak. Saya menelpon bapak di waktu yang kurang tepat,” ujar Sabrina menyambung percakapan. Sebuah awal yang tidak buruk juga, pikirnya. Sabrina lalu menjatuhkan pantatnya ke Kasur. Sungguh, ia sangat gugup mendengar suara Raqa.“Ya sudah cepat katakan apa keperluanmu?”“Ti-tidak ada, Pak. Saya hanya mencoba apakah ini benar nomor bapak atau bukan?” Bodoh, Sabrina tidak berniat mengeluarkan jawaban laknat itu. Ia pun lekas menutup mulut dan menepuk jidatnya kesal. Sial, apa yang gue katakan?“Kurang kerjaa
Read more

Semestinya

Raqa menyilangkan tangannya di bawah dada dan menatap geram ke arah Sabrina. Kedua alisnya hampir menyatu menunjukan seberapa kesalnya pria itu.  Sabrina, lagi-lagi memancing amarahnya di pagi hari begini. Apa belum puas perempuan itu mengganggunya kemarin? "Ma-maaf, Pak. Saya buru-buru, jadi saya nggak liat bapak ada di depan," jawab Sabrina gugup. Bangun dari jatuhnya lalu menepuk-nepuk pantatnya yang terasa ngilu.  Raqa tidak menolong karena ia pikir itu hanya jatuh biasa. Toh, semua orang di kantor ini juga sudah tau bagaimana sikap Raqa yang sangat dingin dan membatasi diri ketika berinteraksi dengan pekerja perempuan. Itu ia lakukan untuk menjaga perasaan Nabilla.  "Maaf terus, nanti diulangi lagi," titah Raqa masih bersedekap.  Sabrina menggaruk lehernya dengan canggung. "Duh, gimana ya, Pak. Saya benar-benar nggak sengaja. Emang pakaian bapak ada yang kusut atau tangan bapak ada yg sakit? Sini saya obatin."
Read more

Kemarahan Fariz

    "Fariz hanya ingin menikahi Sonya ibu, bukan kembarannya itu!"                Aku hanya bisa terdiam kaku di balik pintu kamar dengan mata berkaca-kaca setelah mendengar bentakan itu keluar dari mulut mas Fariz, laki-laki yang baru beberapa jam menjadi suamiku itu.                Memang mas Fariz berhak mengatakannya karena kami menikah atas dasar kebohongan, aku memaklumi itu sebab ini adalah konsekuensi yang harus aku terima, namun aku bisa apa? Ini semua aku lakukan demi kembaranku, Sonya. Yang ternyata menyembunyikan rahasia begitu besar dari calon tunangannya, Fariz Alandio Mahendra.               Kulihat amarah yang begitu besar dari mas Fariz, p
Read more

Kado

Keesokan harinya mas Fariz belum juga pulang, padahal ketika aku menatap jam dinding kamar, waktu menunjukkan pukul sembilan pagi. Aku tidak tahu dimana mas Fariz berada, aku sangat khawatir. Bahkan sejak malam tadi aku menelponnya berulang kali tidak ada jawaban sama sekali. Ya memang seharusnya aku sadar bahwa mas Fariz tidak mungkin mau mendengar suaraku. Tapi setidaknya mas Fariz harus memikirkan kondisi ibunya yang juga ibu mertuaku, Ibu Mira yang sejak malam tadi gelisah akan kondisi mas Fariz. Walau beliau juga menentang keputusan mas Fariz dan memilih berada di pihakku, ibu Mira tetap mencemaskan mas Fariz karena bagaimana pun, mas Fariz adalah anak beliau satu-satunya.  Di rumah mas Fariz yang besar ini pun hanya ada aku, Ibu Mira dan juga Bi Endang sebagai asisten rumah tangga. Bi Endang sangat baik, dia mengerti kerapuhanku dan menyuruhku untuk istirahat saja daripada melakukan pekerjaan r
Read more

Berkunjung ke Rumah Bibi

"Cepat bersiap-siap,  kita akan berkunjung ke rumah bibiku," ungkap mas Fariz tiba-tiba memasuki kamarku tanpa mengetuk pintu. Aku yang saat ini sedang melipat pakaian lalu menaruhnya ke dalam lemari pun menoleh, "Sekarang, mas?" Aku berjalan menghampirinya di ambang pintu. "Tahun depan, ya sekaranglah! Bodoh sekali kamu." Aku sontak menunduk malu, ya mas Fariz benar aku bodoh, seharusnya aku tidak tanya begitu. "Iya, mas maaf." Mas Fariz berdecak kesal, "Sudah tinggalkan pekerjaan itu, awas saja kamu membuatku sampai terlambat," ancamnya. Aku mengangguk patuh. "Dan yah, nggak perlu berdandan sok cantik, lagipula aku nggak tertarik memamerkan dirimu pada keluargaku nanti," lanjut mas Fariz membuat hatiku mencelos.  Aku juga tidak berharap seperti itu
Read more

Sikap Dingin Mas Fariz

Sehabis berkunjung ke rumah bibi kami pun kembali pulang. Setelah Mas Fariz memasukkan mobilnya ke garasi, barulah aku turun dan selanjutnya kulihat mas Fariz menggendong ibu dan menurunkan wanita paruhbaya itu ke kursi roda.  Sejenak aku terenyuh dengan perlakuan mas Fariz kepada ibu, bagaimana tidak? Dia adalah laki-laki yang sangat berbakti meskipun ibulah yang memaksanya menerima pernikahan ini. Tak ada sedikit pun kulihat kebencian di mata mas Fariz terhadap ibu, justru kebencian yang paling besar mas Fariz tunjukan kepadaku. Aku pun bersyukur, setidaknya bukan mertuaku yang mendapat balasan atas kesalahanku.  Usai mendudukan ibu mas Fariz langsung menjalakan kursi rodanya memasuki rumah, sementara aku ditinggal di garasi. Aku pun mempercepat langkah di belakang mereka menahan rasa kasihan pada diriku sendiri karena lagi-lagi kehadiranku dianggap tidak a
Read more

Istri Terpaksa

Aku melenguh di sela-sela tidurku, rasanya sangat gelisah dan sulit untuk menutup mata, mungkin ini adalah efek dingin ruangan karena mas Fariz juga menyalakan ac. Entah dengan suhu berapa derajat, yang pasti aku sangat merasa kedinginan apalagi kaki dan tanganku yang rasanya sudah mulai kaku.  Aku pun memindahkan posisi tidurku dari sebelah kanan hingga sebelah kiri berulang kali, ini kulakukan agar kulit tanganku menyentuh karpet, setidaknya dengan begitu dingin yang kurasakan berkurang. Ingin saja aku mematikan pendingin ruangan, tapi aku tidak berani melakukannya atau mas Fariz akan kesal lalu memarahiku. Sayangnya aku tidak menyadari kalau pergerakan ku yang berulang kali ini menimbulkan suara hingga mas Fariz terganggu, kudapati dia menoleh ke belakang menatap kesal ke arahku bersamaan dengan wajah mengantuknya. Mas Fariz menyalakan lampu. "Tidur aja nggak p
Read more
PREV
1
...
456789
DMCA.com Protection Status