Yara berdecak kesal, berusaha mengatur emosinya yang sudah naik sejak Adam menemuinya di lorong menuju toilet. Serius, sampai detik itu Yara masih belum paham, apa urusan Adam dengan kehidupannya. Yara berhak melakukan apa pun tanpa perlu direcoki olehnya yang hanya merupakan masa lalu. "Langsung pulang, Mbak Yara?" tanya orang suruhan papanya yang duduk di balik setir. Sementara seorang yang lain hanya melirik Yara melalui rear view mirror. "Iya lah, Pak. Mau ke mana lagi. Tolong bilangin supir yang standby di apartemen untuk pulang juga, Pak." Yara menghela napas lelah, tidak biasanya ia memerintah orang seperti itu. Tapi ia sudah terlalu malas, bahkan untuk mengetikkan pesan kepada supirnya. Sampai ponselnya bergetar berkali-kali pun masih diabaikannya. 'Paling papa atau Adam, biarin lah.' Baru setelah beberapa saat kemudian, getaran ponselnya tidak juga berhenti dan akhirnya Yara mengalah untuk mengecek siapa sang penelepon. "Astaga! Kak B
Baca selengkapnya