Semua Bab The Story Between Us: Bab 51 - Bab 60

70 Bab

Apa Kau Peduli Padanya?

  "Mengapa tidak bisa?" tanya Rayhan penuh rasa ingin tahu. Jika alasannya karena akan bertemu Arken, maka Rayhan tidak akan tinggal diam. Pantang baginya menyerah. Ia harus menyandera Siti. Jangan sampai gadis itu pergi bersama Arken, saingannya. "Karena saya ada urusan yang harus saya selesaikan sepulang dari kantor," jawab Siti tanpa beban. "Memangnya urusan apa? Emak minta dibelikan sesuatu? Atau kau ingin membeli sesuatu di supermarket? Biar aku dan Yuda yang mengantarkanmu berbelanja," tawar Rayhan tanpa pikir panjang. Ia lupa jika dirinya masih belum begitu fit.  "Pak, Bapakkan masih sakit, belum sembuh. Jika Bapak mengantar saya berbelanja, terus yang ada Bapak pingsan di tengah jalan, bagaimana? Saya tidak kuat jika harus mengangkat Bapak," jawab Siti. "Aku tidak mengatakan jika aku akan menemanimu tetapi aku dan Yuda akan menemanimu. Jadi, kamu tidak perlu khawatir jika aku pingsan di tengah jalan, masih ada Yuda yang akan
Baca selengkapnya

Pertemuan Arken dan Siti

 "Lagipula apa?" Rayhan mendesak Siti meneruskan perkataannya. Siti menatap lurus Rayhan. Pria ini kenapa sih? Mengapa dirinya tidak boleh peduli pada orang lain? Apa salahnya jika ia membantu Pak Yuda, yang notabene asisten pribadinya juga. Bukankah semakin cepat berkas itu disusun sesuai dengan departemennya, semakin mudah bagi atasannya itu untuk memeriksa laporan per-departemen? "Lagipula, bukannya jika semua berkas sudah tertata rapi pekerjaan Bapak semakin ringkas?" jawab Siti, yang kini memberanikan diri untuk menatap manik tajam pria yang duduk di kursi kebesarannya itu.8Aiih, kenapa jika sedang begini, wajahnya tampan sekali. Siti terlena. Wajah serius Rayhan yang mendengarkan jawaban Siti terlihat begitu sempurna.   "Aku tahu aku sangat tampan. Jadi, berhentilah menatapku seolah-olah aku ini semangkuk sup iga yang sangat ingin kau makan."   Siti terkejut. "Darimana Bapak tahu kalau makanan f
Baca selengkapnya

Amarah Rayhan

 Siti melangkah masuk ke lift yang akan membawanya ke lantai tempat ruangan pimpinan  Ardan Group berada. Ditekannya angka 7 dan tombol close ketika tiba-tiba sesosok pria melesat masuk, bergabung di lift yang sama dengannya, namun luput dari penglihatan Siti.   "Apa kau tidak mendengar apa pun saat berjalan menuju gedung ini?" Suara yang sangat dikenalnya terdengar dari arah belakang. Siti terkejut. Sejak kapan ada orang lain selain dirinya di lift ini.   "Loh?! Kapan datang? Mengapa tidak naik lift khusus saja? Apa ada urusan di lift yang lain?" Pa Yuda mana?" Siti mencecar Rayhan yang masih tersengal-sengal, dan masih berusaha mengatur pernafasannya kembali.    "Aku sudah berteriak-teriak sejak di jalan depan kantor tadi, tapi sepertinya hatimu sedang sangat bahagia hingga tidak mendengar suara-suara di sekelilingmu," jawab Rayhan, sedikit menyindir Siti.     Mengapa aku t
Baca selengkapnya

Kau Marah Padaku?

  Rayhan memijat kedua pelipisnya. Ia tidak mengerti mengapa hari ini dirinya begitu emosional. Perasaan diabaikan oleh Siti tadi pagi, yang sama sekali tidak mendengar dirinya yang sudah berteriak-teriak sejak turun dari mobil mewahnya, membuatnya menceramahi calon istrinya itu, dengan ceramah yang begitu panjang dan akan terus bersambung, jika saja Yuda tidak menyapa dirinya tepat di depan ruang asisten pribadinya itu.  Rayhan meraih gagang telpon dan menekan angka 6, meminta OB untuk membelikan segelas Cappucino. Biasanya ia akan menyuruh Siti untuk membelikan Cappucino di kafe sebelah.  Namun, khusus hari ini, Rayhan sedang enggan untuk meminta bantuan Siti. Apakah karena kemarin ia sempat melihat seseorang yang persis dengan Siti, sedang berjalan beriringan dengan Arken, memasuki sebuah mall. Maksud hati ingin menanyakan tentang kebenaran penglihatannya, tapi karena Siti yang tampak mengabaikan panggilan dirinya, membuat mood Rayhan mendadak berba
Baca selengkapnya

Kau Milikku

  Apakah kau marah padaku? ulang Siti dalam hati. Bukankah seharusnya dirinya yang mengajukan pertanyaan itu? Siti menatap bingung pria yang kini melepaskan dasi dari tempatnya dan membuka kancing di kerahnya.  "Bukankah aku yang seharusnya bertanya padamu, apakah kau marah padaku?" Siti balik bertanya pada Rayhan yang kini sedang menyeruput teh hangat di hadapannya. "Aku tidak sedang marah padamu," jawabnya singkat tanpa menolehkan kepalanya menghadap Siti. "Lalu?" Siti menuntut jawaban. Ia terus terang bingung dengan polah Rayhan seharian ini. "Aku hanya sedang kesal padamu."  Kesal? Padaku? Siti menunjuk dirinya sendiri, dan melihat Rayhan mengangguk santai. "Menolak tawaranku, mengantarkanmu mencari barang yang kau cari, tetapi justru berjalan-jalan di mall dengan seorang pria yang tidak lebih tampan dariku..."  Siti merasa tenggorokannya tiba-tiba kering. Dia melihatku kemarin? Di mana? Mengapa
Baca selengkapnya

Selain Atasan dan Bawahan

  Siti membisu. Semburat merah jambu mulai memenuhi seluruh wajahnya. Sejujurnya, ia mulai merasa jengah bila terlalu dekat dengan Rayhan. Rasa panas yang tidak ia mengerti tiba-tiba datang menyergapnya, membuat Siti terkadang bingung mengutarakan maksudnya.  Melihat bibir pria itu bergerak membuat penglihatannya seakan terbius ingin mendekat ke arahnya. Wangi aroma parfum Rayhan saat pria itu mendekapnya, membuat dirinya seakan terbang di antara wewangian kayu cendana bercampur segarnya air dan aroma jeruk lemon, mendatangkan perasaan hangat dan tenang.  "Kau, tidak bisa menjawabnya?" Rayhan kembali menatap Siti dengan tatapan lembut. Ahh. Seberapa pun keras usahanya  ingin memberi pelajaran, dan menumpahkan kekesalannya pada gadis di depannya, tetap saja hatinya menolak. Luapan amarah yang sebelumnya terasa menggebu-gebu ingin meledak, seakan hilang di telan angin, begitu melihat gadis itu diam, tak berkutik.     
Baca selengkapnya

Haruskah?

  Sepanjang acara makan malam, kedua pasangan orang tua terlibat percakapan seru berbanding terbalik dengan anak-anak mereka. Baik Rayhan, Siti, Arken dan Arya, tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing. Siti yang duduk tepat di samping Rayhan, mendapat tatapan penuh selidik dari Arken. Sedangkan Arya, pria itu hanya diam membisu.  Ia tidak heran, mengapa Siti duduk bersebelahan dengan Rayhan, dan juga dirinya sudah lebih dulu patah hati dibandingkan kakaknya, Arken.  Arken terus berusaha mendekati Siti namun, Rayhan selalu saja ada di dekat Siti, bersikap seolah-olah seorang bodyguard, yang berusaha menjaga harta yang sangat berharga. Arya terkekeh melihat Arken yang terus berusaha mencari celah agar bisa berbicara dengan Siti.  "Mengapa suara tawamu terdengar aneh?" Arken menatap Arya serius.   "Tidak ada apa-apa. Hanya saja, usahamu tidak akan berhasil."  Arken menatap tajam sang adik. "Maksudmu?" 
Baca selengkapnya

Aku Akan Melepaskanmu

  "Tidak pernah ada kesempatan untukku?" Kembali Rayhan mempertanyakan pernyataan Siti barusan, namun Siti tidak juga kunjung menjawab.  Rayhan menghela nafasnya kasar. Ia baru mengetahui jika apa yang ia rasakan tidak pernah sama dengan yang Siti rasakan. Pernyataan Siti membuatnya sadar, bahwa tidak ada lagi yang perlu ia perjuangkan. Perasaannya pada Siti tidak berbalas, tidak seperti Arken. Kebisuan menyelimuti keduanya. Siti melirik ke arah Rayhan, ekspresi dingin kini lebih mendominasi wajahnya.  "Aku..." Siti mencoba menjelaskan pernyataan yang ia ungkapkan sebelumnya. Ia khawatir, Rayhan salah paham. "Diamlah."  "Tapi, aku..."   "Kau memang bandel. Tidak pernah mau mendengarkanku." "Bukan begitu maksudku."  "Aku sudah tahu kemana arah pembicaraanmu. Aku akan memberi ruang yang luas untukmu dan Arken di proyek yang baru, dan aku akan memberikanmu kepada Arken, agar kalia
Baca selengkapnya

Perasaan Pincang

  Siti jatuh terduduk. Tubuhnya lemas, seakan tidak memiliki tulang untuk tetap berdiri. "Aku... Aku mencintaimu... Aku mencintaimu Ray,.... Aku sungguh mencintaimu Rayhan Adicahya Ardan... Sungguh mencintaimu..." Siti jatuh terduduk sembari menangis tersedu, memandang putus asa punggung Rayhan yang perlahan menjauh darinya. Rayhan terus melangkah menuju mobilnya. Ingin rasanya ia berbalik, mengatakan jika semua yang ia katakan tadi, bohong semata. Bahwa ia tidak rela menyerahkan Siti pada pria lain. Siti hanya miliknya, hanya untuknya. Namun, perkataan Siti membuat dirinya takut. Takut ia akan dibenci oleh gadis itu.  Mobil hitam itu meluncur meninggalkan gang yang menjadi saksi perjuangan Rayhan mendekati seorang Siti Zulalikah. Mungkin, hari ini adalah hari terakhirnya datang kemari. Tidak akan ada lagi hari esok atau lusa, untuk kembali datang kemari.   -0-   "Yud...!" Suara Rayhan memanggil asis
Baca selengkapnya

Beradu Peruntungan

-0 Rayhan membisu. Ia dengan sangat terpaksa,  membuka kembali memorinya beberapa waktu  lalu. Pria angkuh itu terpaksa membuka sedikit topengnya, menunjukkan sisi lemahnya pada gadis yang tengah berdiri tepat di hadapannya.  "Bukankah kau sudah menolakku?"  Siti terkejut. Ia tidak merasa telah menolak Rayhan.  "Beberapa waktu lalu bukankah kau mengatakan jika dirimu membenciku?" Rayhan berusaha bersikap santai, meski hatinya tengah berusaha meredakan gelombang kekecewaan. "Bagiku, kata-kata itu sudah cukup mewakili perasaanmu. Apa yang akan terjadi jika seorang pria tetap bertahan memaksakan perasaannya, mengabaikan perasaan si wanita?" Siti masih berusaha keras mengingat, kapan dirinya pernah mengucapkan kalimat itu.  "Dan aku bukanlah pria yang seperti itu, hanya saja, aku masih belum bisa menjauh darimu. Mengingat hanya kau satu-satunya yang bisa mendatangkan kenyamanan saat rasa tidak jelas it
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status