"Lagipula apa?" Rayhan mendesak Siti meneruskan perkataannya.
Siti menatap lurus Rayhan. Pria ini kenapa sih? Mengapa dirinya tidak boleh peduli pada orang lain? Apa salahnya jika ia membantu Pak Yuda, yang notabene asisten pribadinya juga. Bukankah semakin cepat berkas itu disusun sesuai dengan departemennya, semakin mudah bagi atasannya itu untuk memeriksa laporan per-departemen?
"Lagipula, bukannya jika semua berkas sudah tertata rapi pekerjaan Bapak semakin ringkas?" jawab Siti, yang kini memberanikan diri untuk menatap manik tajam pria yang duduk di kursi kebesarannya itu.8
Aiih, kenapa jika sedang begini, wajahnya tampan sekali. Siti terlena. Wajah serius Rayhan yang mendengarkan jawaban Siti terlihat begitu sempurna.
"Aku tahu aku sangat tampan. Jadi, berhentilah menatapku seolah-olah aku ini semangkuk sup iga yang sangat ingin kau makan."
Siti terkejut. "Darimana Bapak tahu kalau makanan f
Siti melangkah masuk ke lift yang akan membawanya ke lantai tempat ruangan pimpinan Ardan Group berada. Ditekannya angka 7 dan tombol close ketika tiba-tiba sesosok pria melesat masuk, bergabung di lift yang sama dengannya, namun luput dari penglihatan Siti. "Apa kau tidak mendengar apa pun saat berjalan menuju gedung ini?" Suara yang sangat dikenalnya terdengar dari arah belakang. Siti terkejut. Sejak kapan ada orang lain selain dirinya di lift ini. "Loh?! Kapan datang? Mengapa tidak naik lift khusus saja? Apa ada urusan di lift yang lain?" Pa Yuda mana?" Siti mencecar Rayhan yang masih tersengal-sengal, dan masih berusaha mengatur pernafasannya kembali. "Aku sudah berteriak-teriak sejak di jalan depan kantor tadi, tapi sepertinya hatimu sedang sangat bahagia hingga tidak mendengar suara-suara di sekelilingmu," jawab Rayhan, sedikit menyindir Siti. Mengapa aku t
Rayhan memijat kedua pelipisnya. Ia tidak mengerti mengapa hari ini dirinya begitu emosional. Perasaan diabaikan oleh Siti tadi pagi, yang sama sekali tidak mendengar dirinya yang sudah berteriak-teriak sejak turun dari mobil mewahnya, membuatnya menceramahi calon istrinya itu, dengan ceramah yang begitu panjang dan akan terus bersambung, jika saja Yuda tidak menyapa dirinya tepat di depan ruang asisten pribadinya itu. Rayhan meraih gagang telpon dan menekan angka 6, meminta OB untuk membelikan segelas Cappucino. Biasanya ia akan menyuruh Siti untuk membelikan Cappucino di kafe sebelah. Namun, khusus hari ini, Rayhan sedang enggan untuk meminta bantuan Siti. Apakah karena kemarin ia sempat melihat seseorang yang persis dengan Siti, sedang berjalan beriringan dengan Arken, memasuki sebuah mall. Maksud hati ingin menanyakan tentang kebenaran penglihatannya, tapi karena Siti yang tampak mengabaikan panggilan dirinya, membuat mood Rayhan mendadak berba
Apakah kau marah padaku? ulang Siti dalam hati. Bukankah seharusnya dirinya yang mengajukan pertanyaan itu? Siti menatap bingung pria yang kini melepaskan dasi dari tempatnya dan membuka kancing di kerahnya. "Bukankah aku yang seharusnya bertanya padamu, apakah kau marah padaku?" Siti balik bertanya pada Rayhan yang kini sedang menyeruput teh hangat di hadapannya. "Aku tidak sedang marah padamu," jawabnya singkat tanpa menolehkan kepalanya menghadap Siti. "Lalu?" Siti menuntut jawaban. Ia terus terang bingung dengan polah Rayhan seharian ini. "Aku hanya sedang kesal padamu." Kesal? Padaku? Siti menunjuk dirinya sendiri, dan melihat Rayhan mengangguk santai. "Menolak tawaranku, mengantarkanmu mencari barang yang kau cari, tetapi justru berjalan-jalan di mall dengan seorang pria yang tidak lebih tampan dariku..." Siti merasa tenggorokannya tiba-tiba kering. Dia melihatku kemarin? Di mana? Mengapa
Siti membisu. Semburat merah jambu mulai memenuhi seluruh wajahnya. Sejujurnya, ia mulai merasa jengah bila terlalu dekat dengan Rayhan. Rasa panas yang tidak ia mengerti tiba-tiba datang menyergapnya, membuat Siti terkadang bingung mengutarakan maksudnya. Melihat bibir pria itu bergerak membuat penglihatannya seakan terbius ingin mendekat ke arahnya. Wangi aroma parfum Rayhan saat pria itu mendekapnya, membuat dirinya seakan terbang di antara wewangian kayu cendana bercampur segarnya air dan aroma jeruk lemon, mendatangkan perasaan hangat dan tenang. "Kau, tidak bisa menjawabnya?" Rayhan kembali menatap Siti dengan tatapan lembut. Ahh. Seberapa pun keras usahanya ingin memberi pelajaran, dan menumpahkan kekesalannya pada gadis di depannya, tetap saja hatinya menolak. Luapan amarah yang sebelumnya terasa menggebu-gebu ingin meledak, seakan hilang di telan angin, begitu melihat gadis itu diam, tak berkutik.
Sepanjang acara makan malam, kedua pasangan orang tua terlibat percakapan seru berbanding terbalik dengan anak-anak mereka. Baik Rayhan, Siti, Arken dan Arya, tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing. Siti yang duduk tepat di samping Rayhan, mendapat tatapan penuh selidik dari Arken. Sedangkan Arya, pria itu hanya diam membisu. Ia tidak heran, mengapa Siti duduk bersebelahan dengan Rayhan, dan juga dirinya sudah lebih dulu patah hati dibandingkan kakaknya, Arken. Arken terus berusaha mendekati Siti namun, Rayhan selalu saja ada di dekat Siti, bersikap seolah-olah seorang bodyguard, yang berusaha menjaga harta yang sangat berharga. Arya terkekeh melihat Arken yang terus berusaha mencari celah agar bisa berbicara dengan Siti. "Mengapa suara tawamu terdengar aneh?" Arken menatap Arya serius. "Tidak ada apa-apa. Hanya saja, usahamu tidak akan berhasil." Arken menatap tajam sang adik. "Maksudmu?"
"Tidak pernah ada kesempatan untukku?" Kembali Rayhan mempertanyakan pernyataan Siti barusan, namun Siti tidak juga kunjung menjawab. Rayhan menghela nafasnya kasar. Ia baru mengetahui jika apa yang ia rasakan tidak pernah sama dengan yang Siti rasakan. Pernyataan Siti membuatnya sadar, bahwa tidak ada lagi yang perlu ia perjuangkan. Perasaannya pada Siti tidak berbalas, tidak seperti Arken. Kebisuan menyelimuti keduanya. Siti melirik ke arah Rayhan, ekspresi dingin kini lebih mendominasi wajahnya. "Aku..." Siti mencoba menjelaskan pernyataan yang ia ungkapkan sebelumnya. Ia khawatir, Rayhan salah paham. "Diamlah." "Tapi, aku..." "Kau memang bandel. Tidak pernah mau mendengarkanku." "Bukan begitu maksudku." "Aku sudah tahu kemana arah pembicaraanmu. Aku akan memberi ruang yang luas untukmu dan Arken di proyek yang baru, dan aku akan memberikanmu kepada Arken, agar kalia
Siti jatuh terduduk. Tubuhnya lemas, seakan tidak memiliki tulang untuk tetap berdiri. "Aku... Aku mencintaimu... Aku mencintaimu Ray,.... Aku sungguh mencintaimu Rayhan Adicahya Ardan... Sungguh mencintaimu..." Siti jatuh terduduk sembari menangis tersedu, memandang putus asa punggung Rayhan yang perlahan menjauh darinya. Rayhan terus melangkah menuju mobilnya. Ingin rasanya ia berbalik, mengatakan jika semua yang ia katakan tadi, bohong semata. Bahwa ia tidak rela menyerahkan Siti pada pria lain. Siti hanya miliknya, hanya untuknya. Namun, perkataan Siti membuat dirinya takut. Takut ia akan dibenci oleh gadis itu. Mobil hitam itu meluncur meninggalkan gang yang menjadi saksi perjuangan Rayhan mendekati seorang Siti Zulalikah. Mungkin, hari ini adalah hari terakhirnya datang kemari. Tidak akan ada lagi hari esok atau lusa, untuk kembali datang kemari. -0- "Yud...!" Suara Rayhan memanggil asis
-0 Rayhan membisu. Ia dengan sangat terpaksa, membuka kembali memorinya beberapa waktu lalu. Pria angkuh itu terpaksa membuka sedikit topengnya, menunjukkan sisi lemahnya pada gadis yang tengah berdiri tepat di hadapannya. "Bukankah kau sudah menolakku?" Siti terkejut. Ia tidak merasa telah menolak Rayhan. "Beberapa waktu lalu bukankah kau mengatakan jika dirimu membenciku?" Rayhan berusaha bersikap santai, meski hatinya tengah berusaha meredakan gelombang kekecewaan. "Bagiku, kata-kata itu sudah cukup mewakili perasaanmu. Apa yang akan terjadi jika seorang pria tetap bertahan memaksakan perasaannya, mengabaikan perasaan si wanita?" Siti masih berusaha keras mengingat, kapan dirinya pernah mengucapkan kalimat itu. "Dan aku bukanlah pria yang seperti itu, hanya saja, aku masih belum bisa menjauh darimu. Mengingat hanya kau satu-satunya yang bisa mendatangkan kenyamanan saat rasa tidak jelas it
Siti semakin panik, mendapat tatapan tak percaya dari Arken. "Maksudnya? Saya tidak tahu apa-apa," jawabnya semakin bingung. Sebenarnya pria menyebalkan itu punya rencana apa? Arken menghela nafasnya. "Oh. Ya, sudahlah. Aku rasa, aku tidak punya hak untuk memberitahumu. Mungkin ia akan menelponmu dan membicarakan hal ini padamu. Sekarang, kita konsentrasi cari rumah makan dulu. Aku belum sarapan sama sekali." Arken merasa tidak enak. Ia merasa tidak pantas membicarakan hal itu lebih jauh. "Apa Rayhan tidak ada di sini? Maksud saya, ehm, apakah dia sedang ada perjalanan bisnis ke suatu tempat atau kota?" Siti penasaran sekali. "Mungkin, sebentar lagi pria itu akan menelponmu dan kamu akan memiliki waktu pribadi untuk membicarakan urusan kalian." Arken mengatakan itu semua dengan susah payah. Setelah mengisi perut, sepuluh menit kemudian, mobil itu sudah terparkir di
Yuda berjalan tergesa sambil menenteng pesanan Siti. Ia mengetuk tiga kali pintu ruang atasannya lalu segera melangkah masuk tanpa menunggu jawaban dari dalam. Saat seperti ini, Rayhan tidak peduli dengan aturan yang ia buat ketika seseorang hendak masuk ke dalam ruangannya. Baginya, kesehatan Siti adalah segala-galanya. "Ini, Bos. Semua pesanan ada di dalam." Yuda meletakkan paperbag hitam itu ke meja kerja Rayhan yang saat itu sedang duduk termenung, sedangkan Siti sudah kembali ke dalam ruang privat Rayhan. "Menurutmu siapa yang layak aku jadikan asisten Arken dan Arya? Dirimu atau Sizuka?" Pertanyaan Rayhan ia ajukan tanpa melihat ke arah Yuda. Yuda terkejut. Asisten Arken dan Arya? Maksudnya? Yuda bertanya-tanya dalam hati. "Saya tidak berani menjawab, Bos. Semua terserah Bos. Baik saya mau pun Sizuka hanya bawahan, yang akan menuruti apa pun perintah atasannya."
Rayhan menatap tajam Siti. Ia segera menghampiri gadis itu dan memegang tangan kiri Siti yang belum sempat menarik lepas jarum infus dari tangan kanannya. "Mengapa dirimu ini susah sekali diberi tahu? Apakah semudah itu kau menyakiti dirimu setiap kali kemauan atau perkataanmu tidak diturutin? Jangan seperti anak kecil begini!" Rayhan menyentil kening Siti, ia mencoba menenangkan Siti agar tidak terlalu memikirkan ucapan emak. "Jika kau tidak ingin pulang bersamaku, kau bisa mengatakannya kan? Tidak perlu marah-marah seperti ini." Rayhan kembali menatap Siti dengan tatapan mata berkabut. Siti hanya bisa menunduk malu mendengar semua ucapan pria tampan di depannya. Sebelumnya, ia merasa jika Rayhan hanya ingin memanfaatkan keadaannya saja, akan tetapi setelah melihat perubahan wajah Rayhan yang menjadi gelap, ia jelas merasakan bahwa dia telah salah sangka.
Rayhan terlonjak kaget dari tempatnya. Dirinya tidak menyangka dokter muda itu berani membentaknya, CEO perusahaan tempat dokter itu bertugas. "Apa-apaan kau berteriak-teriak padaku? Apa kau lupa siapa aku?" Rayhan menatap dokter muda itu dengan nyalang. Ingin rasanya ia menelan pria muda itu hidup-hidup. Kesal sekali rasanya. "M-Ma-aaf, Tuan. M-maafkan saya. Tapi, jika Tuan terus berbicara dan terus mengancam saya, bagaimana saya bisa memulai pemeriksaan pada nona ini? Tuan lihat saja, wajah nona ini semakin pucat. Saya khawatir kita tidak punya banyak waktu untuk menyelamatkannya." Ucapan dokter muda itu membuat Rayhan panik. "Apa maksudmu berkata demikian? Sudah sana, cepat kau periksa!" Rayhan berdiri tepat di samping dokter itu, mengawasi setiap tindakan yang dilakukan pria berkacamata yang kini tengah sibuk memeriksa pupil mata Siti. Setelah mengecek semuanya, dokte
Arken menyerahkan kunci mobilnya kepada Yuda dan duduk di samping pria itu, sednagkan Siti duduk sendiri di kursi penumpang. Sirna sudah rencananya untuk bercengkerama dengan Siti. Maksud hati ingin berbagi cerita, sekedar mendengar suara Siti dari dekat, justru kini ia harus puas duduk di depan terpisah dengan Siti yang duduk di belakang. Kehadiran Yuda di tengah-tengah mereka membuat Arken merasa kikuk untuk memulai percakapan . Ia khawatir, pria yang saat ini sedang berkonsentrasi di belakang kemudi akan melaporkan semua yang ia bicarakan dengan Siti. “Apakah Pak Arya juga sudah tahu kita akan mengecek lokasi kantor untuk proyek baru?” Yuda melirik ke arah Arken yang sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. “Apa? Kau tanya apa barusan?” Arken menoleh ke arah Yuda yang kembali menatap jalanan di depannya. “Pak Arya. Apakah akan menyusul kita?” “Oh, tidak. Dia baru akan m
"Kau akan kembali kemari setelah berada satu minggu di sana. Sepulang mu dari kantor di kota X, kau transfer lagi pekerjaan di kota X ke Siti. Minggu berikutnya, Siti yang akan bekerja di kota X dan kau kembali bekerja di sini, seperti semula." Siti yang mendengar percakapan dua pria itu, merasa pening sendiri. Sebenarnya, pekerjaan apa yang menjadi tanggung jawabnya? Mengapa perasaannya tidak enak? "Apa kau sudah paham yang kumaksud?" Rayhan memperhatikan Yuda lalu melihat ke arah Siti yang sedang menatap ke arahnya. "Kau boleh ke luar sekarang. Jangan lupa untuk menghubungi Arken. Katakan padanya besok kau akan datang ke sana." Yuda segera meninggalkan ruangan Rayhan. Kini, tinggallah Siti di ruang besar itu. Rayhan menghampiri Siti yang masih terus menatap dirinya. "Ada apa?" Rayhan menarik Siti duduk b
"Apa yang sebenarnya ada dalam otak kalian ketika kalian sampai di gedung ini?" Suara Rayhan langsung menggema ke seluruh penjuru ruang. Semua tertunduk dalam diam. Apes mereka hari ini. Pimpinan mereka sedang dalam suasana kalut. Secara tidak terduga, progres proposal yang dulu pernah mereka ajukan, tidak menunjukkan perkembangan yang baik. Mereka tidak pernah tahu atau pura-pura tidak tahu, jika bos mereka benar-benar mengawasi pekerjaan mereka. "Beberapa waktu yang lalu, tiga atau empat divisi mengajukan proposal secara bersamaan, tetapi dari keempat-empatnya, tidak ada satu pun yang mampu membuat saya dengan cepat menggoreskan tinta mahal saya di atasnya. Tahu mengapa?" Hening. Tidak ada yang bersuara. Bahkan bernafas pun mereka lakukan dengan sembunyi-sembunyi. "Karena proposal kalian zonk. NOL BESAR. Tidak berisi. Bahkan ada proposal yang ju
Rayhan dan Arken berteriak secara bersamaan. Rayhan tidak terima dengan keputusan sepihak papanya. "Tidak bisa, Pa! Sizuka itu sekretaris pribadi Ray, jadi tidak bisa Papa main tunjuk sesuka hati Papa. Atasan Sizuka itu Ray. Itu artinya harus ada persetujuan dari Ray untuk mengikutsertakan Sizuka dalam suatu proyek." Senyum yang semula mengembang di wajah Arya, langsung sirna, mendengar keberatan Rayhan. Arken pun diam membisu. Rayhan memang benar. Tanpa ijin darinya, Sizuka tidak bisa diikutsertakan dalam proyek mana pun. Ardan menghela nafasnya. "Kalau begitu, carilah seserorang yang bisa menjadi sekretaris untuk Arya atau mungkin kau sendiri saja yang memegang proyek itu." Rayhan mendengus kesal. Ujung-ujungnya dia lagi yang harus turun tangan sendiri. "Bagaimana dengan Arken? Arken juga tidak kalah he
"Hai, Arken!" sapa Rayhan dengan sikapnya yang biasa. Ia tidak akan memperlihatkan seberapa cemburu dirinya, ketika ia, dengan mata kepalanya sendiri, mendapati sorot mata Arken kepada Siti, yang tidak biasa. "Ray..." Arken memaksakan dirinya tersenyum. Ia mengalihkan tatapannya ke arah Rayhan, lalu kembali menatap Siti dan menyapa ringan gadis itu. "Sizuka... Apakabar?" Arken mengajak Siti berjabat tangan. Yang langsung disambut Siti sebentar dan melepaskannya segera. Rayhan sebenarnya ingin menghalau tangan Arken, namun melihat Siti yang dengan cepat menyambut tangan Arken, menjabat tangan itu sebentar, dan segera melepaskannya, membuat amarahnya tidak bertahan lama. Perasaan Siti, sejujurnya, jungkir balik tidak karuan. Bukan karena menerima tawaran jabat tangan Arken, seorang pengusaha muda yang cukup sukses dengan kariernya, dan keluarganya. Tapi, lebih karena ia tengah b