Semua Bab Terjebak Cinta Segitiga: Bab 21 - Bab 30

81 Bab

Kabar dari Revan

[Hai, Ca, apa kabar? Kangen!]Ya, Gibran hanya menyuarakan apa yang dia lihat beberapa minggu ini di depan matanya. Kenyataannya Revan galau.Beberapa kali dia pergoki ada perempuan mencari Revan via telepon kantor. Diterima sambungan itu di ruangan rapat waktu itu, tetapi sikap sahabatnya itu biasa saja. Padahal, Gibran bisa pastikan, suara di seberang sana sangat ramah dan juga menggoda. Revan, hanya menerima begitu saja ponsel yang baru saja dipakan Gibran. Tanpa bertanya apa isinya, dan juga dia tidak melihat kotak keluar. Langsung memasukkan alat komunikasi itu ke dalam kantong jasnya. ***[Hai, Ca, apa kabar? Kangen!]Venca, siang itu sedang fitting pakaian pengantin untuk minggu depan. Ya, pernikahan akan dilaksanakan minggu depan. Dan ini dipercepat, Caca dan Tara hanya menerima saja. Enggan komentar atau menyambut dengan senyuman. "Karena itu sangat melelahkan," begitu pikir Caca. Dia ha
Baca selengkapnya

Kabar Baru

Venca hanya menunggu, menatap atasannya itu. Apa mungkin, Ibu Regina akan menyuruhnya pindah ke ruangan horor? Jantung gadis itu hampir saja mencelus, jawaban dari manajer SDM itu lama sekali. “Nanti, kamu akan pindah tugas, ya.” “M—maksudnya, Bu?” “Kamu akan jadi sekretaris dirut,” jawab Bu Regina pendek. Dia lantas saja masuk ke dalam ruangannya yang—tidak terlalu lebar. Venca melemaskan bahu. Sedikit lega di hati, walau tanggung jawab pekerjaannya semakin berat.  Tidak masalah bukan? Dia meyakinkan dalam hati. “Jadi elo bakalan jadi sekretaris dirut?” tanya Silvi, teman satu ruangan Venca. Kepalanya nongol di meja kubikal. “Yup, mungkin mulai bulan depan.” “Ho, katanya dia cowok dingin, galak. Lo tahu kan, Mba Bunga yang anaknya Bapak Reno itu, masa dicuekin sama dia.” “Dia masih sendiri?” Caca mengalihkan pandangan ke wajah Silvi.  “Ya iyalah, menurut lo? Kan gue bilang cowok.” “Ap
Baca selengkapnya

Rani yang Pergi

Rani, menangis sambil menggigil ketakutan. Dia bingung harus ke mana? Air mata masih deras mengalir, kosong sungguh hatinya, memeluk tas slempang yang dia bawa. Rintik hujan mengisi Jakarta pagi menjelang siang itu.Sementara, Venca masih sibuk memutar setir. Sama bingungnya dengan kakak—tiri yang barusan Ibu lantang katakan.Sesekali, adiknya menoleh ke Mbaknya yang masih sesengukan. Tak kalah memang hatinya pun sakit mendengar Ibu mengusir Mbaknya tadi. Apa lantaran hamil? Mengapa semua kehormatan keluarga itu penting sekali untuk Ibu dan Bapaknya."Kita—makan dulu aja, Mbak, gimana? Caca lapar."Rani mengangguk pasrah. Tidak bohong memang dirinya pun kelaparan, memang beberapa minggu ini selalu kelaparan begini. Dia baru tahu tadi pagi kalau dirinya berbadan dua, mungkin karena ini yang membuatnya selalu kelaparan. Caca memutar setir, berhenti di pelataran parkir restoran makanan khas Korea."Lo kan enggak suka makan di s
Baca selengkapnya

Aku Bukan Anak Mereka

Rani menegakkan badan, dia juga takut dan mengatisipasi pertanyaan Caca.Jantungnya berdebar tak karuan kali ini, dia benar-benar takut kepada siapa pun dan terhadap apa pun. “Mau tanya apa, Ca?” tanya Rani takut-takut, suaranya hampir menghilang. Dalam hati Caca pun tahu, dia akan bersikap selalu hati-hati kepada kakaknya ini. Sesame perempuan, adiknya ini mengerti luka hati kakaknya terlalu banyak.“Kita kan selalu jujur, dalam hal apa pun, 'kan?”Rani ragu menjawab. "Iya." Suaranya hampir tidak terdengar."Pacar lo siapa, Mbak?"Rani sudah menduga, Venca akan menanyakan hal itu. Namun, sekali lagi, dia menggeleng. "Mbak masih belum mau membicarakan itu, Ca."Caca menarik napas, dia mencoba paham akan situasi ini. “Enggak apa-apa, Mba.” Dalam hati, adiknya itu masih menerka-nerka, siapa? Kalau saja dia pernah melihat, ada satu atau dua prang yang pernah berjumpa dengan Caca. Lantas membuan
Baca selengkapnya

Pernikahan Tara dan Venca

"Nduk, kamu hari ini jadi istri orang, paling ndak, senyum," pinta Ibu, dia berdiri di belakang Venca yang sedang dirias pagi itu menjelang akad. Sungguh berat apa yang akan dijalani Venca. Dalam hati terus menangis semalaman, atau seminggu ini. Sesekali dalam tangisnya, jemari lentik menari di atas tuts ponsel. Mengirim pesan untuk Rei. Terakhir tadi sebelum dirias.[Rei, hari ini, Venca menikah. Walau Caca kecewa sepenuhnya kepadamu. Tetapi, Caca tetap berharap hari ini ada badai besar, atau kamu datang membatalkan acara akad ini, Rei. Bisakah kita masih saling bertegur sapa atau setidaknya menjadi teman yang baik walau Caca menjadi istri orang.] Kata-kata 'senyum' berulang-ulang terdengar ditelinga. Gadis itu memaksakan seulas senyuman, ketika tim perias selesai dengan wajahnya. "Lho, ya, begitu, tho, anak Ibu, makin cantik," ujar Ibu. Caca tentu saja tidak peduli. Mungkin ini salah satu takdirnya yang sangat sial. 
Baca selengkapnya

Kemelut Dihati Caca

Sementara, dua minggu ini, Venca  tinggal di indekos tanpa sepengetahuan Ibu dan Bapak, juga keluarga yang lain. Setiap malam, Venca hanya memikirkam bagaimana membicarakan keadaan pernikahannya. Depresi, tentu saja, dia ingin terlepas dari semua ini. Para orang tua hanya tahu, pasangan itu sedang bulan madu di suatu tempat. Tidak ingin diganggu. Begitu tulis Tara mengabarkan orang tua, dia meneruskan pesan ini ke istri sah-nya, supaya bisa kompakan nanti kalau ditanya. [Bagus, cepat kasih cucu, Tara dan Venca. Ibu dan Bapak kepingin nimang cucu.] tulis ibu Venca dia membalas pesan Tara ke nomor Venca. Miris, dalam hati Venca menangis. Dia menjauhkan diri dari dunia. Selain bekerja, dia tidak pernah keluar dari kamar indekosnya. Segala pesan yang masuk dia abaikan, dari siapa pun itu, termasuk Rani kakaknya yang sangat mengkhawatirkan keadaan Venca. Tara dan Rani, menikah siri, entah di mana. Lalu, menempati rumah yang dibe
Baca selengkapnya

Tara yang Bimbang

Ucapan Venca tentu saja membuat Tara nelangsa. Semua itu karena dirinya juga, bukan? Tetapi apakah bisa memperbaiki dirinya? Sekarang mungkin?"Ca," lelaki itu ingin berkata, tetapi bingung. Maunya menenangkan Caca. Hanya sekadar "mengurusnya" saja. Di samping dia selalu bersama Rani. "Apa bisa kita bertemu?" Suara lelaki itu merendah, entah apa yang ada dalam hatinya, dia tak tahu. "Aku harus pergi, Tar, sorry," pamitnya. Venca langsung memutuskan sambungan telepon. Tanpa berpikir apa pun, hanya ingin menghindar. Walau dalam hatinya berteriak: dia itu 'kan suamimu! Namun, detik berikutnya, dia berasumsi dan menyangkal, suami di atas kertas! Hati dan raganya bukan buat Caca seorang. Atau sekarang? Raga mereka saja tidak pernah bertemu sejak pertama kali menikah, dan hati Venca terlalu sakit mengingat pernikahannya dengan Tara. Satu hal yang perempuan itu sesali dalam hidupnya. Harusnya dia bisa melari
Baca selengkapnya

Revan dan Venca

Hari ini seperti hari baru buat Revan Manantara. Kepulangannya dari Amerika disambut baik oleh Ayah.—yang sekaligus mengingatkan akan tugas barunya di Jakarta. Sebagai anak yang berbakti, dia hanya menurut saja. Beberapa hari di Bandung, menyerahkan pekerjaan sepenuhnya ke Gibran, Revan lantas pindah ke Jakarta, tanpa ragu.Gibran terbukti bisa diandalkan, untuk memegang beberapa proyek kecil. Dan ada proyek besar, berhasil dia dapatkan. Dan lagi, menang tender proyek kecil di beberapa perusahaan Bandung. Lumayan, pikir Revan, setidaknya dia bisa pindah dengan tenang ke Jakarta. "Jadi, pindah ke Jakarta?" tanya Gibran, saat mereka makan siang bersama di kantin kantor. "Ya, lo pikir, gue buru-buru sidak buat apa?"Gibran tertawa kecil. "Gue bakalan kehilangan elo."Revan tertawa renyah. "Lo kan di sini buat gue tugasin gantiin gue." Revan geleng-geleng sambil menyendok makan
Baca selengkapnya

Kejutan Buat Caca

Rani tentu tidak tinggal diam. Semua beban itu menjadi rasa bersalah juga dihati bumil. Dia mengusap perut ratanya perlahan, menimbang, menatap gawai berwarnanya. Yang juga baru dia beli kemarin. Apakah Venca akan mau menerima teleponnya? Kontak nama adiknya masih ada, tersimpan manis. Memang semua kenangan dengan adiknya itu manis dihati Rani entah apakah Venca merasakan hal yang sama. Perlahan dia menekan nomornya, setelah subuh, Tara masih mendengkur pelan. Rani memberanikan diri menghubungi adik angkatnya itu. "Hallo, Ca? Tolong jangan ditutup dulu," pinta Rani tulus dan lembut.Tentu saja, Venca detak jantungnya tak beraturan saat menerima telepon itu. Hanya termangu, dia tidak mampu bergerak sama sekali mendengar suara kakaknya."Ada apa?" Akhirnya hanya kata itu yang ke luar dari mulutnya. "Kamu baik-baik saja 'kan, Ca? Mbak khawatir enggak dengar kabar dari kamu.""Baik
Baca selengkapnya

Kejutan yang Menyesakkan II

Venca keluar dari pagar tinggi itu. Tara, tercengang melihat wajahnya kuyu, seperti kurang tidur. Dia melirik jemari yang tersemat cincin kawin, semakin kurus.  Lelaki itu hanya tersenyum ramagh sebagai sapanya pagi ini. Dan istrinya itu? Masih berwajah datar.Tidak salah Rani menyuruhnya melihat keadaan Venca.Sebisa mungkin, Tara beramah tamah kepada istri—sahnya ini, yang sudah rapi, dengan hijab cerah yang menutupi kepala. Lalu kemeja tampak kebesaran dan juga celana panjang bahan, krem."Hallo, Ca," sapa Tara.Gadis itu sekilas melirik, lalu menunduk. "Hai," balasnya. Suaranya hampir tidak terdengar, tetapi, Tara cukup lega, paling tidak gadis itu menanggapi kedatangannya, mulai dari menjawab telepon tadi."Oh, iya, aku bawain sarapan, tunggu." Tara seperti melesat mengambil kantong kresek yang berisi nasi uduk spesial dua bungkus. Tara tersenyum menyodorkan plastik transparan itu.Dari harum nasi uduk, Venca tergoda juga.
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
9
DMCA.com Protection Status