Home / CEO / I'm the Director / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of I'm the Director: Chapter 31 - Chapter 40

103 Chapters

Tanpa Hadirnya

“Laras ....”Lirih suara ini saking terhenyaknya tak mampu menyuara tinggi. Ada beribu pertanyaan yang muncul di kepalaku ketika yang membuka pintu ruangan ini ialah Laras—istriku sendiri. Bagaimana bisa? Dari mana sang istri mengetahui keberadaanku?“K-kamu ngapain di sini, Sayang?” tanyaku sambil sesekali menatap sosoknya di hadapan.Tak merespons, Laras malah melangkah pergi dengan langkah tergesa. Aku bingung, tetapi yang penting aku harus mengejar istriku.“Laras! Sayang! Ada apa sebenarnya? Apa yang terjadi sebenarnya?” tanyaku sembari mengejar langkah kaki perempuan tersebut.Aku berusaha meraih tangannya untuk menghentikan langkah Laras yang mengayun cepat. Kutambah kecepatan kakiku, lalu meraih tangannya dengan lugas. Laras berusaha menolak, membanting tanganku hingga terlepas. Meski begitu, aku terus mencoba hingga bisa membuat langkahnya berhenti.Tepat di depan lobi. Ternyata, aku berada
Read more

Terjebak Canggung

“Jadi, tujuan kamu ngajak aku ke sini sebenarnya juga untuk ngejar Pak Bambang?!” Laras bernada cukup tinggi dan menatapku dengan lamat.Aku tak mampu menatap sang istri, lantas menundukkan wajah. Berbicara jujur saja rasanya aku tidak mampu, pasti itu bisa membuat hatinya sakit.“Laras—““Jawab, Gas! Jawab aku!” Ia berteriak lagi, tatapannya sendu, memancar kekecewaan yang begitu mendalam.“Aku bisa jelasin—““Kamu pernah janji apa sama aku?! Kamu pernah janji apa, Gas? Jawab!”Baru kali ini aku melihat sisi keras di dalam diri istriku. Namun, semuanya memang salahku. Akulah yang salah, bukan salahnya. Aku mengkhianati kepercayaannya, mengkhianati janji yang telah kuucap padanya.“Maaf,” ucapku lirih.Nelangsa sudah hati ini. Telah kelam suasana ini. Murkalah orang yang selama ini sangat percaya padaku.“Aku mau kita pulang ke Indo
Read more

Kebahagiaan Mendekati Kesengsaraan

Saat membuka mata, bangun dari tidur di sofa, aku telah terselimuti oleh sehelai kain tebal bermotif bunga. Hal pertama kali yang terlintas di pikiranku ialah, bahwa ini pasti perbuatan Laras. Aku tahu sebenarnya ia sangat ingin menyudahi kecanggungan di antara kami. Namun, mungkin saja ia tidak tahu caranya. Meski kecewa, ia tetap melayani diriku sebagai seorang suami, menyiapkan sarapan, serta berusaha memberikan kasih sayang yang tulus.Buktinya, ketika aku melangkah ke dapur, di meja makan sudah tersedia beberapa makanan untuk sarapan. Akan tetapi, Laras tak hadir di sini. Ia masih saja mengurung diri dan berpuasa bicara denganku. Aku mungkin harus lebih berani untuk menyudahi pertengkaran di antara kami.Aku menuju kamar mandi untuk membasuh tubuhku. Namun, di luar pintu kamar mandi, aku menemukan Laras yang tengah mengeringkan rambutnya dengan handuk. Sementara itu, tubuhnya juga hanya terbalut handuk putih.Aku cukup tersentak melihat hadir sang istri. Ku
Read more

Kalang Kabut

Entah berapa lama, kesadaran perlahan kembali pada diriku. Namun, sayangnya aku tidak bisa membuka netra. Hanya suara-suara riuh yang terdengar di telinga.“Bagas! Aku mohon bertahan, Bagas! Aku mohon!”Tubuhku seperti berada di atas sesuatu, terasa berjalan dan dikelilingi banyak orang. Yang jelas, aku mendengar suara milik perempuan yang sangat kukenal. Benar, Laras. Aku pun yakin bahwa saat ini sedang dibawa ke rumah sakit. Biarlah aku tidak dapat melihat apa pun. Sesungguhnya aku tidak ingin melihat wajah hancur istri tercintaku.“Please, help him! Please, Doc. Please!”Meski tak dapat membuka mata, tetapi cairan bening berusaha mengucur dari sudut-sudut netra. Ini semua karena mendengar rintih permintaan tolong sang istri.Maafkan aku, Laras.Seandainya saja aku tidak bertemu dengan Bambang, mungkin aku akan bisa melupakan tentang dendam ini dan pulang ke Indonesia untuk hidup secara normal dengan Laras.
Read more

Menjadi Lelaki Cengeng

Seminggu sudah berlalu semenjak pertama kali aku membuka mata dari ketidaksadaran. Kini, aku tak lagi berada di Amerika, melainkan telah pulang ke Indonesia. Banyak yang telah berubah selama berada di Amerika, termasuk juga keadaanku yang kini hanya bisa terduduk di kursi roda, tak dapat melangkahkan kaki dan menggerakkan badanku. Aku lumpuh sebagaimana Laras menyampaikan penjelasan dokter di Amerika.Oleh karenanya, aku dibawa pulang oleh Laras atas bantuan Rasyid juga. Setiap hari, aku check up ke dokter untuk mengetahui perkembangan beberapa syaraf motorik serta berlatih berjalan. Namun, semua itu sangat sulit kurasakan.Aku sepenuhnya menjadi lelaki tak berguna bagi istriku sendiri yang bahkan kini tengah mengandung anak kami. Aku benar-benar tidak ada gunanya bagi dia, selalu merepotkannya karena mengurus diriku yang bahkan berjalan saja tidak becus.“Sayang, kamu harus makan dulu. Sini, aku suapin,” ucap Laras yang beberapa waktu lalu
Read more

Nostalgia

Ketika membuka mata, kulihat wajah Laras yang sangat dekat di wajahku. Mungkin sedari tadi ia berusaha membangunkanku. Oleh karenanya, ia kini menatapku begitu dekat.“Laras ....”“Sayang. Bangun, gih. Ini sudah siang,” ucapnya sambil mengulas senyum yang hangat.Setelah kuanggukkan kepala, Laras membantuku bangkit, lalu mengambilkan kursi roda dan kemudian membantuku lagi duduk di kursi roda.“Sarapannya udah siap,” katanya sembari membawaku ke ruang makan.Aku sungguh terharu bahwa Laras masih bertahan dengan keadaanku seperti sekarang ini. Bukan hanya itu, kurasa cinta dan perhatiannya tidak berkurang sedikit pun.“Suapin?” tanyanya sambil mengambilkan semangkok bubur.“Nggak perlu. Aku bisa sendiri,” balasku.Laras pun menaruh bubur di hadapanku, lalu ia duduk di sebelahku untuk ikut menyantap sarapan di pagi ini.“Aku ... mau ke kantor hari ini,&rdquo
Read more

Segala yang Telah Berubah

Atas kemauan keras Laras untuk mengurus perusahaan, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Penolakanku akan keinginannya tidak mempan sama sekali. Itu hanya membuat lubang yang besar di hatinya, juga menjadi pertengkaran yang bisa saja merusak harmoni dalam keluarga kami. Oleh karena itu, aku menyerahkan semuanya pada sang istri. Memang benar apa yang ia katakan, aku tidak bisa berbuat apa-apa karena sedang lumpuh.Aku tak menyangka Laras akan mengatakan hal kejam tersebut, tetapi sayang itulah kenyataannya sekarang.Seminggu sudah berlalu semenjak Laras mulai bekerja dan mengurus segala hal masalah perusahaan. Ia menjadi seorang perempuan sibuk yang bahkan telah mengurangi porsi waktu yang semestinya ia berikan untukku. Kadang, ia kerja lembur, membuat hatiku begitu kesepian tanpa hadirnya. Aku tidak lagi mendapatkan kasih sayang sesuai porsi, kini digantikan dengan hadirnya pembantu yang juga merupakan ide gila dari istriku sendiri.Mbok Sumi, seorang pembantu yang L
Read more

Tak Seharmonis yang Dibayangkan

“Sayang ...,” panggilku pada sang istri di tengah-tengah makan siang yang berlangsung. Hari ini, Laras katanya sedang tidak ada jadwal, karenanya ia bisa pulang cepat dan menemaniku makan siang.“Iya, Sayang? Ada apa—“Kriingg! Kriiingg!Dering ponsel pintar Laras yang tergeletak di meja makan lantas memotong pembicaraan yang sedang berlangsung. Laras melihat layar untuk memastikan siapa yang meneleponnya.“Sayang, bentar, ya. Ini dari klien penting. Bentar, ya, bentar.”Laras menjauh dari meja makan dan mengangkat panggilan yang katanya penting. Aku tidak heran dan bukan yang kali pertamanya. Aku sudah seperti bukan siapa-siapa bagi sang istri. Mungkin saat ini perusahaan dan uang lebih penting baginya. Akhirnya, semua aku rasakan. Apa-apa yang pernah aku lakukan dulu berbalik menikam seperti sebuah karma dari Tuhan. Aku dulu sangat sering berlaku seperti itu, ambisius dalam bekerja dan lebih meme
Read more

Merawat Harmoni

Sepekan sudah aku dan Laras tidak saling berbicara. Ketika akan berangkat ke kantor, ia bahkan tidak duduk bersamaku di meja makan untuk sarapan bersama. Aku tidak mengerti bagaimana cara mengakhiri pertengkaran yang tak berkesudahan di antara kami. Semestinya keluarga yang aku harapkan berjalan harmonis, tak ada pertengkaran, tetapi itu tak ada di dunia ini. Ya, tak ada sebuah rumah di dunia ini yang tidak bisa diterpa hujan.Jam 10.00 malam, Laras pulang sementara aku masih berada di ruang tengah menonton siaran televisi. Padahal, pikiranku tidak fokus pada acara yang diputar, tetapi fokus pada masalahku dengan Laras. Namun, suara Laras menyadarkanku kemudian. Aku mendengar ia mual-mual, melihatnya segera melangkah ke kamar mandi dengan setelan yang masih menempel di tubunya.Terpikir untuk menghampiri dan ingin tahu apa yang terjadi dengan sang istri. Tanpa perlu memikirkan pertengkaran di antara kami, segera kuputar roda kursi untuk sampai ke kamar mandi. Aku menun
Read more

Menciptakan Harmoni

“Sayang, dimakan dulu sarapannya,” ucap Laras sembari meletakkan roti bakar di atas meja dan segelas minuman di sampingnya.“Makasih, Sayang,” balasku sambil tersenyum hangat.Suasana di pagi ini tak seperti hari-hari sebelumnya kala aku dan Laras saling bertengkar. Beginilah seharusnya, tanpa ada sebuah kecurigaan di hati, atau amarah yang membludak di benak.“Kamu habisin, ya.” Laras tersenyum, lalu menggigit roti miliknya dan mulai mengunyah.Aku kini mengerti bahwa harmoni itu tidak dicari, tetapi diciptakan. Aku tentu harus berinisiatif menciptakan keharmonisan tersebut. Jika terus-menerus mengikuti apa yang dikatakan pikiran burukku, maka semua bisa saja hancur dalam waktu singkat.“Vila Palm sudah ada yang keep, loh, Sayang. Hari ini rencananya aku akan bertemu dengan klien bernama Pak Trisno.”“Kamu hebat, Laras. Vila itu sudah lama kosong, dan sekarang sudah ada yang mau
Read more
PREV
123456
...
11
DMCA.com Protection Status