Home / Romansa / Malam Pertama yang Tertunda / Chapter 61 - Chapter 70

All Chapters of Malam Pertama yang Tertunda: Chapter 61 - Chapter 70

80 Chapters

Bab. 61. Belitan Masa Lalu

   “Dasar dekil! Pergi sana. Bikin aroma rumah jadi sumpek aja karena bau badanmu yang busuk itu. Cuih!” titah seorang wanita tambun, saat Laras  baru saja menginjakkan kaki di halaman rumah tetangganya. Laras menunduk malu, karena untuk ke sekian kali, gadis usia tujuh tahun yang memakai baju butut selutut itu harus menerima hinaan dari warga di pedesaan, tempatnya tinggal. Dia pun melangkah mundur setelah lama terdiam, lalu berbalik dan berlari meninggalkan sekumpulan anak seusianya yang tengah asyik bermain. Padahal, niat hati hanya ingin ikut bermain, ikut tertawa bersama anak sebaya yang juga satu sekolahan dengannya. Namun, nyatanya, keadaan yang tak sederajat membuat Laras terkucil, sampai hanya segelintir orang peduli akan keberadaannya. Laras yang tak tahu akan kesalahannya pun lagi-lagi memilih untuk menyendiri. Menyusuri jalan setapak dengan tatapan iri p
Read more

Bab. 62. Telepon Dialihkan

Laras menelan ludah dengan susah payah. Menyapu air mata yang membuat hampir seluruh wajahnya basah. Napasnya kian tersengal, sampai sesak seperti tengah terikat. Namun, setengah dari kesadarannya membuat Laras melonggarkan pelukan, lalu menyimpan bayi mungil itu di ranjang dengan perlahan-lahan.“Bagus, Sayang. Kamu pasti bisa,” lirih Dewi sambil menghela napas lega. “Sekarang ... coba tarik dan buang napasmu perlahan-lahan.”Awalnya Laras menggeleng kuat, menolak saat Dewi mengarahkan untuk bersikap tenang. Namun, begitu sesak di dadanya kian berkurang, emosinya pun tak lagi meradang. Pelan wajahnya menengadah, lalu menunduk dengan kedua tangan menangkup mulut. Dia terguguk, lalu terduduk.“Maafin aku, Bu. Aku nggak bisa mengendalikan emosi lagi,” katanya sambil memukul dan menjambak rambut sendiri.“Berhenti, Nak. Jangan sakiti dirimu seperti itu. Pelan-pelan, ibu yakin kamu bisa,” timpal Dewi sambil mela
Read more

Bab. 63. Insomnia

“Bukan gitu, Dek. Mas benar-benar sibuk setelah ada kenaikan jabatan di kantor. Tiap hari ngurus ini dan itu sampai lupa makan.” Arya nyerocos saat di telepon.“Aku ngerti kalau memang kamu sibuk, Mas. Tapi ya masa kuteleponi sibuk dan dialihkan terus. Sekalinya nggak sibuk, nomormu ini nggak aktif. Gimana aku nggak khawatir? Curiga mah iya!” sungut Laras tak mau kalah. “Kamu nggak pernah kayak gini, loh, sebelumnya.”“Ya Allah, Dek. Percaya sama mas. Pokoknya, kamu sama adek baik-baik di rumah. Satu mingguan lagi mas pulang,” jawabnya cepat. “Sekarang mas capek. Mau mandi, makan, terus istirahat.”“Kan ... gitu, deh. Baru juga lima menit kita ngobrol. Mas nggak kangen aku?” Sambil menyusui bayinya Laras cemberut. “Ini malam minggu, loh.”“Kangen, dong. Masa nggak. Tapi mas capek. Sumpah.” Arya mendengkus, terdengar lelah.“Ya, sudah. Awas aja kala
Read more

Bab. 64. Terciduk

Satu hari berlalu, dua hari terlewati dengan begitu cepat. Saat ditakut-takuti kalau Laras ingin tinggal bersama, Arya pun tiba-tiba kembali berubah hangat. Nomornya selalu aktif, membuat Laras bebas menelepon setiap waktu.Namun, sebagai wanita dewasa, Laras paham dengan reaksi Arya yang justru berbalik menjadi berlebihan. Dari suaranya, dapat dengan jelas Laras tangkap, kalau Arya selalu tertekan dan ketakutan.Terlebih lagi selepas Isya, Arya kerap mengatakan berbagai alasan untuk tidur lebih awal. Seperti malam ini, saat untuk ketiga kalinya Laras menelepon dalam sehari, Arya terdengar gelagapan.“Mas beneran ngantuk, sumpah,” katanya buru-buru.“Ya, sudah. Kalau gitu mas tidur duluan. Aku mau makan dulu,” timpal Laras mengiyakan.“Habis makan jangan langsung begadang. Istirahat yang cukup,” kata Arya lagi sebelum mengucap salam.Telepon terputus setelah Laras membalas salam. Lantas ia beranjak, mening
Read more

Bab. 65. Kesempatan

“I-iya ... tadi kebelet. Adek udah lama bangun?” Arya gelagapan sambil menelan ludah dengan susah payah.Laras mengangguk tanpa menoleh, masih dalam keadaan duduk membelakangi Arya di sisi ranjang. “Tadi aku kebelet juga. Tapi nggak jadi karena Mas lama,” timpalnya parau, kali ini sambil menoleh.Dalam sekejap Arya tercengang. Betapa menyedihkan wajah istrinya yang sedikit tembam itu berurai air mata. Seketika Arya pun sadar, Laras pasti mendengar percakapannya saat di kamar mandi.Hening.Arya bergeming barang sejenak, sebelum akhirnya berjalan cepat, dan bersimpuh dengan memegang kedua tangan istrinya di atas lutut. Dia menghela napas, menunggu Laras bertanya atau menegur seperti setiap kali dirinya melakukan kesalahan. Namun, Laras justru bergeming, menangis tanpa suara.Arya menunduk, berpikir, kata apa yang pas untuk mengelak dari apa yang dipikirkan istrinya. Dia tidak mungkin mengaku, tapi lebih tidak mungkin lagi kalau sampai harus berbohon
Read more

Bab. 66. Firasat

“Serius?” tanya Al-Pian saat Laras menceritakan perselingkuhan suaminya di laman chat.“Yeah ...,” balas Laras sambil menikmati secangkir kopi di teras. Ditemani sang ibu yang asyik berceloteh dengan cucunya.“Dan kamu memaafkannya?” Di kantor, Al-Pian bersandar santai setelah selesai makan siang.“Mau bagaimana lagi?”“Keren, keren. Tapi, jangan lantas percaya begitu saja ... menurutku,” balas Al-Pian lagi dengan sederet emoticon menyengir. “Tentu. Dan aku nggak bakal kasih maaf untuk yang kedua kali.”“Yeah ... semoga saja dia beneran tobat.” Al-Pian menarik bibirnya tipis-tipis, ragu jika harus mengakui sebuah penyesalan yang tiba-tiba terjadi.Sebenarnya Laras setuju. Itu kenapa, dua minggu setelah Arya kembali pergi ke kota, Laras tak lantas membiarkan Arya begitu saja. Ia tetap mengontrol, bahkan dengan menghubungi beberapa teman sekantor Arya lewat nomor yang dicurinya.Dia pun tidak memungkiri peruba
Read more

Bab. 67. Dan Terjadi Lagi

“Astagfirullah, Dek?” Arya terperangah begitu masuk ke rumah. “Kok?” lanjutnya terheran-heran.Sambil melangkah maju Arya mengucek mata. Barang kali apa yang dilihatnya hanya halusinasi. Namun, begitu Laras berbalik dan membuka mata, Arya pun sadar kalau pandangannya memanglah benar.“Baru pulang?”Laras melirik jam yang menggantung di sisi ranjang sekilas. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Ia pun bangkit dan bersila di ranjang.“I-iya,” timpal Arya, cukup lama. “Kamu kapan datang? Kok, nggak bilang nau ke sini? Emang Adek berani pergi berdua sama bayi?”“Berani. Mana, sini ponselmu, Mas?” seloroh Laras tanpa basa-basi. Tak peduli, meski matanya terasa perih.“Eh, itu ... anu. Bentar, belum mas hapus,” celetuknya tanpa sadar.“Hapus? Apanya yang perlu dihapus?” Laras pun bangkit dan menghampiri Arya yang tengah merogoh ponsel. “Sini!” lanjutnya sambil merebut ponsel Arya secara paksa.“Dek ... di ponsel beneran nggak
Read more

Bab. 68. Aku Mau Pisah

“Ya, Rabb ....”Laras mendesah, berdoa sepanjang jalan saat Arya membawanya ke puskesmas dengan sepeda motor milik tetangga kos. Dipeluknya tubuh mungil bayi yang tak lagi menangis. Namun, suhu tubuh yang tadi tiba-tiba memanas berhasil membuat Laras kian khawatir. Terlebih saat bayinya berubah pucat, ia semakin takut kalau sampai terjadi apa-apa.Pun dengan Arya yang berusaha fokus menyetir, komat-kamit melafazkan doa-doa agar tak terjadi apa-apa pada anaknya. Sesekali Arya menepuk keras dadanya dengan sebelah tangan. Sebab merasa sesak, setiap kali membayangkan tamparan tadi.“Demi Allah ... maafin aku, Dek.” Akhirnya Arya berucap pelan dengan bibir bergetar. “Mas benar-benar kalap.”Laras tak menggubris. Diam tanpa suara karena tak mau memikirkan hal lain, terlebih masalah yang membuatnya nekat datang ke Jakarta. Dia hanya menunduk, menatap tubuh mungil bayinya yang tak berdaya.“Dek ....” Arya men
Read more

Bab. 69. Sah

  “Bagaimana, sah?”Rizuan, penghulu yang menikahkan Alvin dan Aini itu menengok ke sisi kiri dan kanan. Lalu mengangguk saat serempak para saksi berkata, “Sah.”Pernikahan baru saja selesai, mencipta haru bahagia dari keluarga kedua belah pihak. Bibir hitam para lelaki, juga bibir merah semerah darah dari para wanita itu mengembang diiringi tangis kebahagiaan.Tak terkecuali kedua mempelai, walau raut Aini kini berubah pucat. Sesuatu membuatnya merasa kalut, takut kalau apa yang terjadi padanya akan menjadi kemelut.Gadis berwajah tirus dengan tahi lalat di tengah-tengah dagu itu menelan ludah. Bayang-bayang di masa lalunya perlahan semakin jelas dalam ingatan, saat ia beranjak menuju kursi untuk kedua mempelai di atas panggung.***25 Desember 2013.Siang itu, langit di kota Cianjur luar biasa dingin, karena hujan terus saja mengguyur disertai kelebat angin. Sekejap cerah, sekejap me
Read more

Bab. 70. Pesta Pernikahan

Pesta pernikahan masih berlangsung. Satu per satu tamu yang datang undur diri, membuat semakin lengang area prasmanan. Alvin dan Aini masih berdiri di antara tamu undangan yang semakin carang.Namun, riuh dari segala jenis suara tak membuat lamunan Aini buyar. Perempuan yang sudah dua kali mengganti gaun pengantinnya itu masih anteng mengenang masa lalu. Dia tersenyum saat menyambut uluran tangan para tamu, tapi pikirannya sama sekali tidak ada di sana.31 Desember 2013[Siap berangkat?] tanya Natalie lewat sebuah pesan WhatsApp. [Sebentar lagi aku sampai ke rumahmu ][Siap, tunggu sebentar.]Sambil berkemas, Aini membalas pesan temannya itu. Tidak lupa, ia juga kembali mengecek barang apa saja yang sudah dimasukkan ke dalam tas. Jaga-jaga, barangkali sesuatu terjadi tanpa diduga, satu setel pakaian ganti pun ia siapkan.Selesai dengan barang-barangnya, Aini keluar kamar. Ia mencari ibu dan ayahnya terlebih dulu sebelum pergi. Di halaman bel
Read more
PREV
1
...
345678
DMCA.com Protection Status