“I-iya ... tadi kebelet. Adek udah lama bangun?” Arya gelagapan sambil menelan ludah dengan susah payah.
Laras mengangguk tanpa menoleh, masih dalam keadaan duduk membelakangi Arya di sisi ranjang. “Tadi aku kebelet juga. Tapi nggak jadi karena Mas lama,” timpalnya parau, kali ini sambil menoleh.
Dalam sekejap Arya tercengang. Betapa menyedihkan wajah istrinya yang sedikit tembam itu berurai air mata. Seketika Arya pun sadar, Laras pasti mendengar percakapannya saat di kamar mandi.
Hening.
Arya bergeming barang sejenak, sebelum akhirnya berjalan cepat, dan bersimpuh dengan memegang kedua tangan istrinya di atas lutut. Dia menghela napas, menunggu Laras bertanya atau menegur seperti setiap kali dirinya melakukan kesalahan. Namun, Laras justru bergeming, menangis tanpa suara.
Arya menunduk, berpikir, kata apa yang pas untuk mengelak dari apa yang dipikirkan istrinya. Dia tidak mungkin mengaku, tapi lebih tidak mungkin lagi kalau sampai harus berbohon
“Serius?” tanya Al-Pian saat Laras menceritakan perselingkuhan suaminya di laman chat.“Yeah ...,” balas Laras sambil menikmati secangkir kopi di teras. Ditemani sang ibu yang asyik berceloteh dengan cucunya.“Dan kamu memaafkannya?” Di kantor, Al-Pian bersandar santai setelah selesai makan siang.“Mau bagaimana lagi?”“Keren, keren. Tapi, jangan lantas percaya begitu saja ... menurutku,” balas Al-Pian lagi dengan sederet emoticon menyengir. “Tentu. Dan aku nggak bakal kasih maaf untuk yang kedua kali.”“Yeah ... semoga saja dia beneran tobat.” Al-Pian menarik bibirnya tipis-tipis, ragu jika harus mengakui sebuah penyesalan yang tiba-tiba terjadi.Sebenarnya Laras setuju. Itu kenapa, dua minggu setelah Arya kembali pergi ke kota, Laras tak lantas membiarkan Arya begitu saja. Ia tetap mengontrol, bahkan dengan menghubungi beberapa teman sekantor Arya lewat nomor yang dicurinya.Dia pun tidak memungkiri peruba
“Astagfirullah, Dek?” Arya terperangah begitu masuk ke rumah. “Kok?” lanjutnya terheran-heran.Sambil melangkah maju Arya mengucek mata. Barang kali apa yang dilihatnya hanya halusinasi. Namun, begitu Laras berbalik dan membuka mata, Arya pun sadar kalau pandangannya memanglah benar.“Baru pulang?”Laras melirik jam yang menggantung di sisi ranjang sekilas. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Ia pun bangkit dan bersila di ranjang.“I-iya,” timpal Arya, cukup lama. “Kamu kapan datang? Kok, nggak bilang nau ke sini? Emang Adek berani pergi berdua sama bayi?”“Berani. Mana, sini ponselmu, Mas?” seloroh Laras tanpa basa-basi. Tak peduli, meski matanya terasa perih.“Eh, itu ... anu. Bentar, belum mas hapus,” celetuknya tanpa sadar.“Hapus? Apanya yang perlu dihapus?” Laras pun bangkit dan menghampiri Arya yang tengah merogoh ponsel. “Sini!” lanjutnya sambil merebut ponsel Arya secara paksa.“Dek ... di ponsel beneran nggak
“Ya, Rabb ....”Laras mendesah, berdoa sepanjang jalan saat Arya membawanya ke puskesmas dengan sepeda motor milik tetangga kos. Dipeluknya tubuh mungil bayi yang tak lagi menangis. Namun, suhu tubuh yang tadi tiba-tiba memanas berhasil membuat Laras kian khawatir. Terlebih saat bayinya berubah pucat, ia semakin takut kalau sampai terjadi apa-apa.Pun dengan Arya yang berusaha fokus menyetir, komat-kamit melafazkan doa-doa agar tak terjadi apa-apa pada anaknya. Sesekali Arya menepuk keras dadanya dengan sebelah tangan. Sebab merasa sesak, setiap kali membayangkan tamparan tadi.“Demi Allah ... maafin aku, Dek.” Akhirnya Arya berucap pelan dengan bibir bergetar. “Mas benar-benar kalap.”Laras tak menggubris. Diam tanpa suara karena tak mau memikirkan hal lain, terlebih masalah yang membuatnya nekat datang ke Jakarta. Dia hanya menunduk, menatap tubuh mungil bayinya yang tak berdaya.“Dek ....” Arya men
“Bagaimana, sah?”Rizuan, penghulu yang menikahkan Alvin dan Aini itu menengok ke sisi kiri dan kanan. Lalu mengangguk saat serempak para saksi berkata, “Sah.”Pernikahan baru saja selesai, mencipta haru bahagia dari keluarga kedua belah pihak. Bibir hitam para lelaki, juga bibir merah semerah darah dari para wanita itu mengembang diiringi tangis kebahagiaan.Tak terkecuali kedua mempelai, walau raut Aini kini berubah pucat. Sesuatu membuatnya merasa kalut, takut kalau apa yang terjadi padanya akan menjadi kemelut.Gadis berwajah tirus dengan tahi lalat di tengah-tengah dagu itu menelan ludah. Bayang-bayang di masa lalunya perlahan semakin jelas dalam ingatan, saat ia beranjak menuju kursi untuk kedua mempelai di atas panggung.***25 Desember 2013.Siang itu, langit di kota Cianjur luar biasa dingin, karena hujan terus saja mengguyur disertai kelebat angin. Sekejap cerah, sekejap me
Pesta pernikahan masih berlangsung. Satu per satu tamu yang datang undur diri, membuat semakin lengang area prasmanan. Alvin dan Aini masih berdiri di antara tamu undangan yang semakin carang.Namun, riuh dari segala jenis suara tak membuat lamunan Aini buyar. Perempuan yang sudah dua kali mengganti gaun pengantinnya itu masih anteng mengenang masa lalu. Dia tersenyum saat menyambut uluran tangan para tamu, tapi pikirannya sama sekali tidak ada di sana.31 Desember 2013[Siap berangkat?] tanya Natalie lewat sebuah pesan WhatsApp. [Sebentar lagi aku sampai ke rumahmu ][Siap, tunggu sebentar.]Sambil berkemas, Aini membalas pesan temannya itu. Tidak lupa, ia juga kembali mengecek barang apa saja yang sudah dimasukkan ke dalam tas. Jaga-jaga, barangkali sesuatu terjadi tanpa diduga, satu setel pakaian ganti pun ia siapkan.Selesai dengan barang-barangnya, Aini keluar kamar. Ia mencari ibu dan ayahnya terlebih dulu sebelum pergi. Di halaman bel
IBNU BIASA berangkat ke sekolahnya lebih pagi karena jarak rumah yang cukup jauh. Dia pun harus berganti angkot dua kali untuk sampai di sana. Kemudian turun di depan sebuah warung tak jauh dari sekolah untuk membeli sarapan.Dia mendapati sekolah yang masih sepi, mungkin hanya ada beberapa siswa yang rumahnya sama jauhnya dengan Ibnu.Dia berhenti melangkah begitu menyadari keberadaan Aurel. Otaknya berhenti bekerja, diam, macet total. Dia mengamati perempuan itu; cantik, seksi, berdiri di bawah pohon bersama beberapa temannya. Dia mengamati penampilannya, tubuhnya, dan ... dia menyadari beberapa hal dalam otaknya. Sesuatu yang menggairahkan membuyarkan lamunannya.Ibnu mengerjap. Kemudian berpaling dan melanjutkan langkahnya menuju ke kelas dua belas B. Belum sampai beberapa meter dari gerbang, Said menepuk pundaknya dari belakang.“Nu!”Ibnu terkejut, kemudian berbalik sempurna melihat sahabatnya yang baru saja datang, mengejutkan. “Wowowoooi ..
DI DALAM KAMAR, Ibnu duduk pokus pada laptopnya. Jari-jari tangannya begitu cepat menjelajahi setiap situs diinternet. Kali ini, ia akan mengapload sebuah video yang ia buat sepulang dari sekolah.Ia merekam beberapa siswa yang berhamburan, kendaraan yang berlalu-lalang, pejalan kaki dan dirinya sendiri yang berjalan menyusuri trotoar seorang diri. kemudian diedit sedemikian rupa dengan iringan musik.Selesai mengapload video, Ibnu menjelajahi youtube untuk mencari sebuah review game android terbaru. Ia pikir, benar menurut Said tentang permainan lamanya. Membosankan.Klik, Ibnu menekan tombol play dan menonton sebuah ulasan tentang permainan berdarah di dalamnya. Seorang remaja menjelaskan tentang beberapa aturan dan keseruan game tersebut.Tak berhenti di situ, Ibnu kembali mencari review game yang lain. Alhasil, ia mengunduh empat permainan berdarah sekaligus. Kemudian mencobanya satu persatu.Ketergantungannya pada sebuah game online semakin me
MUTIA, Said dan Aurel baru saja sampai di rumah sakit. Ini adalah yang kedua kalinya mereka datang menjenguk. Dan tahukah? Kedatangan Aurellah yang sedikit membuat Ibnu membaik.Mutia membuka pintu ruangan, kemudian masuk diikuti Said dan Aurel. Mendapati Ibnu yang tengah tertidur, mereka saling berbisik menyapa ibunya Ibnu.“Gimana keadaannya sekarang, Bu?” tanya Aurel. Sebelah tangannya meraih tangan Ibnu, menggenggam.“Dokter bilang, Ibnu akan segera pulang.”“Syukurlah.” Mutia menjawab singkat mendahului Aurel yang hendak bercakap. “Kira-kira kapan?”“Katanya nunggu kondisi sore ini. Kalau benar-benar tidak ada keluhan lagi, Ibnu boleh pulang sore ini juga.” Nuri menatap manik Mutia dan Aurel bergantian.Sebagai seorang Ibu yang pastinya sedikit lebih banyak memiliki pengalaman, ia tahu betul arti tatapan dua remaja itu.“Baguslah,” timpal Said yang berada di samping Ibnu.Mendengar suara-suara bisikkan, Ibnu terbangun. Ia