Share

Bab 2

Aku berusaha sekuat tenaga untuk berpegangan pada ambang jendela agar bisa melihat lebih jelas, tapi tanganku terpeleset. Aku terjatuh dan kakiku terkilir.

Aku mendesak Kak Lukita untuk segera pulang. Dia mengatakan bahwa sebentar lagi akan selesai, tapi dia keluar satu jam kemudian.

Saat Kak Lukita keluar, aku bersandar di sudut dan menggosok-gosok pergelangan kakiku.

"Maya, bantu aku." Kak Lukita terengah-engah seperti baru menyelam. Dia menyandarkan seluruh tubuhnya kepadaku.

Saat aku menyeret kaki Kak Lukita melintasi dinding, aku mendongak tanpa sengaja dan terkejut melihat kakakku tidak mengenakan celana dalam.

Aku bertanya pada Kak Lukita apa sebenarnya yang ada di dalam kuil leluhur itu. Kak Lukita tampak malu-malu dan tidak mau menjawab, hanya berkata, "Kamu masih tertawa sekarang. Tunggu saja nanti, kamu akan tahu sendiri."

Huh! Biarlah dia tidak mau bilang, aku bisa pergi sendiri.

Aku tidak kembali bersama kakakku dengan alasan sakit perut, lalu menyelinap kembali ke kuil.

Yang membuatku terkejut, Nenek ada di sana,. Dia mengarahkan sekelompok orang untuk memindahkan barang.

Benda itu adalah bungkusan kain tahan air tebal yang berbentuk panjang. Dua orang membawanya bersama-sama.

Salah seorang dari mereka terpeleset di tangga. Bungkusan itu pun terbentur dan sesuatu terjatuh di tangga.

Nenek panik dan pergi memeriksa dengan hati-hati, memerintahkan mereka untuk membungkusnya lapis demi lapis dengan kain tahan air.

Aku menutupi mulutku dan bersembunyi di balik dinding. Seluruh tubuhku menggigil.

Sesuatu yang jatuh dari bungkusan itu jelas-jelas adalah potongan tangan manusia yang pucat.

"Ini harus diproses secepat mungkin. Barang baru akan datang sebentar lagi."

Nenek tidak marah dan hanya memberi instruksi kepada para wanita di sana.

Sekelompok orang itu menarik gerobak ke arah pegunungan. Aku tersungkur lumpuh di tanah sangat lama sebelum akhirnya sadar kembali.

Setibanya di rumah, aku langsung demam tinggi dan tidak bisa menghadiri upacara kedewasaan selama beberapa hari berikutnya.

Kak Lukita pergi mengendap-endap melompati dinding dan pergi ke kuil setiap malam. Tidak ada yang memergokinya. Setelah pulang, dia akan langsung tertidur dengan wajah puas.

Nenek datang menemuiku, dan aku membuka mulut, ingin bertanya apakah mereka telah membunuh seseorang.

Baru membuka mulut saja, tangan kasar Nenek tiba-tiba menampar punggung tanganku, sakit sekali.

Setelah beberapa hari tidak bertemu, tangannya yang sudah keriput menjadi semakin kasar. Kulitnya sekering kulit mati yang hendak terkelupas.

Tanpa sadar, aku menelan kata-kataku kembali.

Aku berjalan keliling desa beberapa kali dan menemukan jumlah orang di desa tidak berkurang satu pun.

Jadi, siapa orang yang mereka bawa keluar dari kuil?

Setelah upacara kedewasaan, kondisi tubuh Nenek menurun drastis.

Dia biasanya sangat lincah, berjalan ke sana kemarin dengan tongkatnya.

Orang-orang mengatakan bahwa Nenek sedang sekarat. Beberapa dari mereka bersaing memperebutkan posisi pemimpin desa, berebutan melayani Nenek dan menangis di sisi tempat tidurnya.

"Cih! Dasar badut. Nenek sudah bilang, posisi pemimpin desa sudah jadi milikku." Kakakku menyeringai tertawa, seolah para wanita yang keluar masuk menunjukkan bakti kepada Nenek adalah sekumpulan badut.

Malam itu, tidur nyenyakku diganggu suara-suara berisik dari luar kamar.

Kak Lukita sedang menyisir rambut dan berdandan di tengah malam. Kukira dia mau pergi ke kuil lagi. Aku hendak menceritakan kejadian aneh yang kusaksikan malam itu.

Sebelum kalimat itu terucap, Kak Lukita mendorongku masuk ke dalam kamar sambil menempelkan jari telunjuk di tengah bibirnya. "Ssst, Nenek mau memberi tahu aku rahasia turun-temurun desa. Dia bilang jangan sampai ada yang tahu."

"Tidurlah dan pura-pura nggak terjadi apa-apa malam ini."

Kak Lukita keluar dengan langkah gembira.

Tak disangka, esok hari datang membawa kabar bahwa Kak Lukita telah tiada.

Aku bergegas menuju kuil dan hanya melihat jenazah Kak Lukita yang ditutupi kain putih, diistirahatkan di halaman kuil.

"Lukita! Kerasukan apa dia? Mau apa dia naik gunung malam-malam? Dia jadi seperti ini diserang binatang buas."

"Bukan, itu pasti bukan Kak Lukita."

Aku mengangkat kain putih itu dengan tangan gemetar untuk memastikannya, tapi Nenek menghentikanku. "Maya, kakakmu mati mengenaskan. Jangan lihat."

Aku memelototi Nenek. Bagaimana mungkin Kak Lukita mati di belakang gunung? Dia jelas-jelas pergi menemuinya tadi malam.

Aku menepis tangan nenek dan mengangkat kain putih itu.

Sesaat kemudian, aku berlari ke sudut dan muntah-muntah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status