Share

Upacara Kedewasaan Berdarah
Upacara Kedewasaan Berdarah
Penulis: Arya Bayu

Bab 1

Desa kami terletak jauh di pegunungan dan memiliki urat mineral batu permata darah.

Konon katanya, tidur di atas tempat tidur yang terbuat dari batu permata darah bisa membantu awet muda selamanya.

Batu permata darah sulit ditemukan dan lebih sulit lagi untuk ditambang. Karena itu, desa kami sangat kaya.

Hanya saja, seluruh penduduk desa kami adalah perempuan. Tidak ada satu pun laki-laki.

Aku punya dua kakak perempuan. Seharusnya aku juga punya tiga orang kakak laki-laki, tapi mereka ditenggelamkan segera setelah lahir.

Aku pernah melihat eksekusi bayi laki-laki di desa. Mulut bayi baru lahir itu dibungkam, tidak dibiarkan menangis satu jeritan pun.

"Laki-laki itu buruk dan tercela. Kalau dewa gunung marah mendengar tangisannya, seluruh desa akan binasa!"

Sesampainya di kolam yang dalam di balik gunung, bayi laki-laki itu langsung dilempar. Tanpa sayap yang bisa dikepakkan, dia jatuh dan tenggelam setelah mengeluarkan gelembung napas beberapa kali.

Aku mengikuti di belakang dan melihat sekeliling. Kolam yang besar itu dipenuhi tengkorak-tengkorak yang dibiarkan mengapung selama bertahun-tahun. Tengkorak-tengkorak yang tua telah rusak dikerat serangga dan tidak tampak seperti tengkorak lagi.

Nenek adalah kepala desa dan bertanggung jawab atas segala urusan di desa. Tidak ada yang berani melanggar perintahnya.

Kakakku sulungku bernama Lukita. Usianya 18 tahun dan akan segera mengikuti upacara kedewasaan.

Tapi, Nenek terlalu sayang padanya dan tidak mengizinkannya untuk turut serta. Nenek sampai harus menamparnya ketika dia mau menurut.

"Jangan lancang! Pokoknya kamu nggak boleh ikut!"

Nenek sudah berumur 90 tahun, tapi dia sangat kuat. Wajah Kak Lukita langsung membengkak.

Melihat mata cucu kesayangannya berkaca-kaca, Nenek mendesah dan mengusap pipi lembut Kak Lukita. "Nenek melarangmu demi kebaikanmu sendiri. Kalau kamu ikut upacara kedewasaan, kamu nggak akan bisa jadi pemimpin desa."

Kak Lukita memeluk lengan Nenek dan mengguncangnya. "Nenek ingin aku jadi pemimpin desa?!"

Nenek tersenyum dan tidak berkata apa-apa. Tangan keriputnya mengelus lengan putih Kak Lukita. Matanya yang seharusnya keruh pun berbinar.

Gadis-gadis muda berpakaian indah berbaris untuk memasuki kuil leluhur. Saat mereka keluar, wajah mereka merona malu. Banyak dari mereka berjalan gemetaran dengan kaki terkatup.

Kak Lukita menarik salah seorang gadis yang baru saja keluar dan menanyakan seperti apa upacara kedewasaan itu.

Kenapa mereka semua menunjukkan raut wajah kesakitan sekaligus senang setelah keluar?

Wajah gadis itu memerah dan suaranya gemetar, diwarnai kehalusan seperti suara wanita dewasa. Dia ingin memberitahu Kak Lukita, tapi dia sepertinya teringat sesuatu dan akhirnya hanya tersenyum misterius. "Bukan apa-apa, cuma melakukan sesuatu yang menyenangkan."

Di tengah malam, Kak Lukita membangunkanku untuk mengawasi keadaan sementara dia menyelinap ke kuil untuk mencari tahu.

"Tapi Kak, Nenek sudah bilang, kalau kamu ingin jadi pemimpin desa, kamu nggak boleh ikut upacara kedewasaan."

Kak Lukita mencubit pergelangan tanganku dan berkata, "Cuma kamu yang tahu tentang ini. Kalau Nenek tahu, artinya kamu yang memberi tahu."

"Kenapa aku nggak boleh ikut upacara kedewasaan? Nenek cuma nggak mau aku bahagia."

Mata Kak Lukita berbinar penuh harap, seolah sudah tahu apa yang ada di kuil leluhur.

Malam itu sunyi senyap. Nyala lilin di dalam kuil berkelap-kelip tertiup angin.

Aku bersembunyi dalam kegelapan sambil menampar nyamuk-nyamuk yang hinggap di kulitku. Suara berderak bergema di malam yang gelap.

Eh? Suara itu sepertinya berasal dari kuil leluhur.

Bersamaan dengan itu, terdengar suara tercekat kakakku.

"Kak Lukita! Kamu nggak apa-apa?!"

Kukira ada sesuatu yang terjadi pada Kak Lukita, jadi aku mendorong pintunya, ingin masuk. Tapi ternyata, pintu itu dikunci dari dalam.

"Nggak ... apa-apa ...."

Kalimat Kak Lukita terpenggal-penggal, dengan nuansa panas yang lebih menggoda.

Suara di dalam semakin keras dan aku semakin khawatir, jadi aku memanjat jendela untuk memastikan Kak Lukita aman.

Tapi jendela itu sangat tinggi. Aku tetap tidak bisa melihat ke dalam kuil keseluruhan meski sudah berjinjit.

Aku hanya bisa melihat samar-samar, ada empat rantai yang diikatkan pada empat pilar. Sepertinya ada sesuatu yang ditambatkan ke lantai, dan rantai itu bergetar hebat.

Kak Lukita duduk di sana hanya mengenakan pakaian dalam. Punggung mulusnya naik turun secara teratur.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Azka Shan
wah jadi heran upacara kedewasaan itu kayak mana
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status