Share

Cokelat Valentine Rasa Darah
Cokelat Valentine Rasa Darah
Penulis: Bashira

Bab 1

Aku membuka pintu rumah, dan pemandangan yang menyambutku membuat kakiku hampir ambruk.

Lampu ruang tamu menyala terang benderang, diwarnai gelak tawa. Meja bundar di tengah ruangan dipenuhi hidangan mewah. Aroma manis cokelat menyeruak memenuhi udara. Pemandangan yang sangat menggembirakan.

Tapi hatiku serasa jatuh ke palung laut yang terdalam. Sekujur tubuhku kaku sedingin es.

Dhanu dan Citra duduk bersebelahan di sofa. Keduanya bersentuhan mesra dihiasi senyum bahagia.

Ibu mertuaku duduk di seberang mereka sambil memangku anak laki-laki Citra yang bernama Miko, menyuapinya makan cokelat sedikit demi sedikit.

Sekitar mulut anak itu berlumuran cokelat. Dia tertawa-tawa kecil, persis seperti anak perempuanku dulu.

Cokelat .... Anakku ....

Jantungku tiba-tiba tersentak keras. Pandangan mataku kabur, seperti akan pingsan.

"Widya sudah pulang? Sekarang hari kasih sayang loh, kenapa wajahmu cemberut begitu?" Mata tajam Citra yang paling cepat melihatku berdiri di depan pintu. Nada suaranya seperti memanas-manasi.

Dia sengaja bersandar lebih dekat kepada Dhanu, seolah menegaskan kemenangannya.

Dhanu pun menoleh kepadaku. Wajahnya sedikit tidak senang. "Jangan pasang wajah kusam terus setiap hari. 'Kan aku sudah bilang berkali-kali, belajarlah dandan seperti Citra. Paling nggak rapikan bajumu."

Pakaianku berantakan dan berlepotan. Seharusnya terlihat jelas bahwa aku telah melalui suatu masalah.

Tapi dia tidak peduli sedikit pun. Matanya hanya dipenuhi rasa tidak suka dan jijik.

Aku menarik napas dalam-dalam untuk mengendalikan emosiku, lalu menatapnya dengan dingin. "Dhanu, kamu tahu anakmu pergi ke mana?"

Mendengar pertanyaan ini, ibu mertuaku menepuk-nepuk anak yang ada di pangkuannya. Dia menggerutu, "Masih berani kamu bicara begitu? Anakmu itu sama bodoh dan nakalnya denganmu! Sudah malam, masih keluyuran nggak jelas. Nggak penurut seperti Miko."

"Kenapa kamu yang marah?!" Aku menggeram kepada ibu mertuaku dengan tangan terkepal.

Suaraku tajam dan tanpa hormat, menggelegar seperti guntur menyambar bumi, mengguncang semua orang yang ada di sana.

Mereka tidak pernah melihatku bersikap seaneh ini.

Dhanu yang paling cepat tersadar dari rasa terkejutnya. Sontak berdiri dari sofa dan menudingkan jarinya kepadaku, berteriak-teriak. "Widya! Kamu sudah gila, ya?! Jaga sikapmu!"

Tapi aku seolah tidak mendengar dan hanya berjalan menuju ibu mertuaku selangkah demi selangkah. Mataku seperti belati yang terhunus tepat kepada anak dalam pelukannya.

"Kalian nggak pantas menyebut nama anakku! Kalian semua terlalu kotor!" Suaraku semakin keras, hampir berteriak.

Dadaku naik turun dengan hebat. Mataku semerah darah. Seperti ada gelombang kemarahan yang menyala, membakar seluruh tubuhku dari dalam.

Ledakan amarahku mengagetkan Dhanu. Matanya menatapku tidak percaya, diselingi rasa jijik dan marah.

"Widya, apa sih maumu?!" Dia kembali menuding wajahku dan berkata tanpa perasaan, "Lihat sendiri seperti apa penampilanmu sekarang. Apa kamu masih terlihat seperti seorang istri dan ibu?!"

Bibirku gemetar. "Ibu? Apa kamu tahu anak kita ..."

"Dhanu, jangan marah. Widya mungkin tersinggung melihatku di sini ...." Suara lembut Citra memotong perkataanku. Dia menatap Dhanu dengan memelas, matanya sedikit berkaca-kaca. "Aku dan Miko pergi dulu saja. Aku nggak mau membuat Kak Widya kesal ...."

"Citra, jangan pergi. Yang seharusnya pergi itu dia!" Dhanu menolak tanpa pikir panjang, lalu lanjut menyerangku. "Widya, sudah cukup ribut-ributnya? Keluar dari sini sekarang juga! Pikirkan sendiri apa salahmu. Aku akan memberimu pelajaran nanti!"

"Aku ..." Satu kata sudah terucap, tapi aku tiba-tiba merasa terlalu lelah untuk menjelaskan.

Aku sudah putus asa. Pria yang pernah berkata bahwa dia mencintaiku kini terasa seperti orang asing. Dingin dan tidak punya perasaan.

Aku berbalik tanpa ragu dan berjalan dengan langkah berat menuju kamar anakku di lantai atas.

"Dhanu, kamu harusnya nurut kata Ibu sejak awal, jangan menikah dengan dia! Lihat sekarang, dia seperti habis keluar dari got, bikin malu keluarga kita saja!"

"Bu, jangan marah! Ayo lanjut makan dengan tenang, jangan pikirkan dia!"

Suara-suara itu terdengar jelas dari belakangku. Hatiku saat ini benar-benar tenggelam ke dalam jurang tak berdasar.

Aku berjalan terhuyung-huyung ke kamar putriku dan terjatuh lemas di tempat tidurnya.

Air mataku berderai tanpa suara, membasahi seprai merah muda kesayangan putriku. Air mataku itu juga seolah meresap ke dalam hatiku, membuatku menggigil kedinginan.

Kamar ini masih beraroma seperti wangi khas putriku, manis seperti permen. Tapi aku tidak bisa merasakan manisnya sedikit pun.

Ini semua salahku. Kalau saja aku tidak lemah dan tidak memilih untuk menyerah. Kalau saja aku tidak terlalu mudah percaya kepada Dhanu dan bersikeras ikut dengan putriku, dia tidak akan ...

Aku menutupi wajahku. Hatiku pilu. Perasaan menyesal dan menyalahkan diri sendiri melilit di sekujur tubuh seperti ular berbisa, membuatku tidak bisa bernapas.

Ada suara "pluk", sesuatu terlepas dari tanganku dan jatuh ke lantai.

Aku melihat ke bawah, melihat boneka kesayangan putriku tergeletak di lantai dengan sepasang mata kosong, seolah meratap tanpa suara, menangisi takdir yang tidak adil.

Dengan tangan gemetar, aku mengambil boneka itu dan mendekapnya erat-erat di dadaku, ingin merasakan sisa-sisa kehangatan putriku.

"Sedang apa kamu?" Suara tidak sabar Dhanu tiba-tiba muncul dari depan pintu, membuyarkan lamunanku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status