Setelah mengambil akta cerai, aku merasa sangat lega. Tanpa peduli pada raut wajah Reyhan, aku langsung meninggalkan pengadilan negeri.Ketika aku hampir melangkah keluar, Reyhan meraih pergelangan tanganku. Aku menoleh untuk melihat. Wajahnya lesu, matanya memerah.Reyhan memohon kepadaku, "Lilies, tolong beri aku kesempatan lagi ya .... Aku pasti bisa berubah menjadi lebih baik. Percaya padaku."Aku tidak peduli, melainkan langsung mengempaskan tangannya dan menatapnya dengan angkuh. "Pak Reyhan, apa yang kamu katakan? Kita sudah cerai. Mau kesempatan apa lagi?"Reyhan seperti masih ingin berbicara, tetapi aku tidak berniat untuk mendengarnya lagi. Sesuai kesepakatan, aku memberikan perusahaan kepada Reyhan, sedangkan aku pergi ke Kota Jemala, kota yang pernah kutetapkan sebagai tempat berbulan madu.Aku berkali-kali membayangkan datang ke kota ini bersama Reyhan. Kini, aku benar-benar berada di sini dan mendapati sendirian juga bisa bahagia.Aku pergi ke banyak tempat, mengenal bany
Setelah membereskan semuanya, hari sudah larut malam. Sinar bulan yang putih menyinari ruang tamu, membuat suasana di ruang tamu terasa makin sepi.Aku memaksakan diriku untuk berjalan ke kamar. Ketika melihat dekorasi kamar pengantin, aku merasa sangat ironis. Hiasan di ranjang belum disingkirkan. Hanya saja, aku terlalu lelah hari ini.Aku langsung menyapukan semuanya ke lantai, lalu berbaring di ranjang yang empuk. Ketika mengecas ponselku, aku tidak sengaja melihat unggahan Melisa.[ Aku sangat beruntung memilikimu. ]Foto di atas adalah foto Melisa dan Reyhan berpelukan. Keduanya bertatapan dengan penuh kasih sayang. Jarak keduanya sangat dekat. Di jari mereka, terlihat cincin pasangan.Jika itu dulu, aku pasti sudah marah melihat unggahan ini. Aku pasti mencari Reyhan untuk meminta penjelasan. Namun, sekarang aku langsung mematikan ponselku dan tidur.Beberapa hari selanjutnya, aku tidak menerima pesan apa pun dari Reyhan. Hanya saja, aku sering melihat foto Reyhan di unggahan Me
Aku melirik gelang giok di tangan Melisa. Harganya seharusnya sekitar miliaran. Kemudian, aku menatap Reyhan dan menyahut, "Sesuai yang kubilang. Kamu memberinya gelang, lalu memberiku sisanya. Kamu rasa aku cuma pantas dapat barang sisa?"Reyhan mungkin tidak mengira aku akan berbicara begitu blak-blakan. Untuk sesaat, dia tampak canggung.Sementara itu, Melisa berkata, "Jangan marah, Kak. Kak Reyhan beli gelang ini karena aku suka. Aku bisa memberikannya padamu kalau kamu marah. Jangan marah pada Kak Reyhan cuma karena aku. Nggak pantas sekali."Meskipun berkata demikian, Melisa sama sekali tidak punya niat melepaskan gelangnya. Dia hanya menatap Reyhan dengan sedih. Air matanya mulai menetes.Ketika melihat Melisa sesedih ini, Reyhan langsung mendekapkannya ke pelukan. Tatapannya yang kesal sontak tertuju padaku. "Melisa, jangan dengarkan omongannya. Gelang itu sudah diberikan kepadamu, jadi itu milikmu. Lilies memang pelit dan perhitungan."Aku melirik mereka sekilas tanpa melontar
Reyhan tidak pulang semalaman. Aku sama sekali tidak kaget karena ini bukan pertama kalinya. Namun, setelah selesai mandi, aku malah melihat Reyhan yang pulang dengan membawa sarapan beserta Melisa yang mengikuti di belakang.Ketika melihatku keluar, Reyhan meletakkan sarapan di atas meja dan menjelaskan, "Semalam kami main kemalaman. Melisa nggak berani sendirian, jadi aku antar dia pulang. Karena sudah tengah malam, aku nginap di rumahnya."Melisa merangkul lengan Reyhan sambil memprovokasi, "Ya, Kak Lilies. Kamu nggak ngambek, 'kan?"Aku hanya mengangguk tanpa merespons. Reyhan seperti merasakan sikap dinginku, jadi bertanya dengan lembut, "Kamu bilang mau nonton film yang baru dirilis itu, 'kan? Kebetulan aku nggak sibuk hari ini. Kita nonton ya?"Film itu mendapat banyak ulasan bagus. Aku berkali-kali mengajak Reyhan pergi nonton, tetapi dia terus menolakku. Dia selalu bilang banyak pekerjaan di kantor. Namun, beberapa hari kemudian, aku malah melihat unggahan Melisa.[ Film terba
"Lilies, sudah kubilang sejak awal. Kamu nggak bisa menjadikan hamil sebagai alasan bertindak nggak masuk akal. Cepat minta maaf pada Melisa! Kalau nggak, aku bakal menceraikanmu sekarang juga!" hardik Reyhan.Seketika, aku tertawa saking kesalnya. Aku langsung mengeluarkan surat perjanjian cerai yang telah kusiapkan, lalu berkata, "Ayo, kita bisa pergi mengurus perceraian sekarang juga."Reyhan melirik sekilas surat perjanjian cerai itu. Wajahnya berubah drastis. Dia menatapku dengan tatapan suram. "Lilies, kamu lagi hamil. Aku tahu kamu lagi sensitif karena hamil. Aku bakal maafin kamu."Aku menatapnya dengan sinis. Sesaat kemudian, aku baru menyahut, "Reyhan, kamu pasti tahu aku serius atau nggak."Ekspresi Reyhan membeku. Melisa yang berdiri di samping ingin berbicara, tetapi malah disela oleh Reyhan, "Melisa, kamu pulang dulu. Ada yang ingin kami bicarakan berdua."Melisa masih ingin berbicara. Ketika melihat pembagian properti pada surat itu, matanya seketika terbelalak. Dia ingi
Reyhan mencengkeram lenganku dengan murka. "Sikap macam apa kamu ini? Aku ayah anak itu! Aku suamimu! Masa aku nggak berhak tahu hasil pemeriksaannya?"Aku ingin menarik tanganku, tetapi Reyhan mencengkeram dengan sangat erat. Pada akhirnya, aku melayangkan tamparan ke wajahnya. "Reyhan! Kamu rasa kamu pantas jadi ayah anak ini?"Reyhan sepertinya naik pitam mendengar omonganku. Tenaganya makin kuat. Dia menghardik, "Kenapa nggak pantas? Asal kamu tahu, sekalipun kita cerai, aku tetap bisa mendapat hak asuh anak. Jangan harap kamu bisa menemuinya nanti! Aku ...."Sebelum Reyhan menyelesaikan ucapannya, ayahku sudah kembali. Ketika melihat situasi ini, ayahku sontak meninju wajah Reyhan. "Asal kamu tahu, anakmu sudah tiada! Kamu masih mau hak asuh anak? Cari saja di tong sampah!"Reyhan menatapku dengan tidak percaya. Jari tangannya bergetar. Dia menunjukku dan ingin memarahiku, tetapi Melisa yang berada di belakang tiba-tiba memanggil dengan lemas, "Kak Reyhan ...."Namun, kali ini Rey