Share

Bab 2

Aku melirik gelang giok di tangan Melisa. Harganya seharusnya sekitar miliaran. Kemudian, aku menatap Reyhan dan menyahut, "Sesuai yang kubilang. Kamu memberinya gelang, lalu memberiku sisanya. Kamu rasa aku cuma pantas dapat barang sisa?"

Reyhan mungkin tidak mengira aku akan berbicara begitu blak-blakan. Untuk sesaat, dia tampak canggung.

Sementara itu, Melisa berkata, "Jangan marah, Kak. Kak Reyhan beli gelang ini karena aku suka. Aku bisa memberikannya padamu kalau kamu marah. Jangan marah pada Kak Reyhan cuma karena aku. Nggak pantas sekali."

Meskipun berkata demikian, Melisa sama sekali tidak punya niat melepaskan gelangnya. Dia hanya menatap Reyhan dengan sedih. Air matanya mulai menetes.

Ketika melihat Melisa sesedih ini, Reyhan langsung mendekapkannya ke pelukan. Tatapannya yang kesal sontak tertuju padaku. "Melisa, jangan dengarkan omongannya. Gelang itu sudah diberikan kepadamu, jadi itu milikmu. Lilies memang pelit dan perhitungan."

Aku melirik mereka sekilas tanpa melontarkan sepatah kata pun. Sesudahnya, aku mengalihkan pandanganku ke layar komputer.

Reyhan makin murka melihatku seperti ini. Pada akhirnya, dia merangkul Melisa dan membawanya keluar. Dia membuka pintu dengan kuat, lalu berdiri di tempatnya sambil menatapku.

Aku tahu Reyhan menungguku meminta maaf dan mengalah padanya, karena biasanya selalu begitu. Sikapku itulah yang membuat Reyhan makin merajalela. Makanya, kali ini aku tidak meladeninya, bahkan menambahkan gelang bernilai miliaran itu ke dalam daftar properti kami.

Karena aku tidak memberikan respons apa pun, Reyhan hanya bisa membanting pintu dan pergi. Setelah mereka pergi, orang tuaku meneleponku menyuruhku pulang untuk makan bersama.

Aku tidak menolak. Siapa sangka, aku malah bertemu Reyhan di depan rumah orang tuaku. Ketika melihatku, ekspresi Reyhan tampak agak canggung. Namun, dia tetap berusaha tenang. "Mau masuk bareng?"

Aku tidak menolak dan langsung mengangguk sambil berjalan masuk. Suasana sungguh canggung. Orang tuaku seharusnya masih keberatan karena Reyhan tidak mengadakan pesta nikah. Jadi, sikap mereka terhadap Reyhan pun kurang baik.

Jika itu dulu, aku pasti sudah mencairkan suasana. Namun, kali ini aku membiarkan Reyhan duduk sendirian di tengah suasana canggung.

Selesai makan malam, aku hendak naik taksi pulang. Reyhan tiba-tiba menghentikan mobilnya di depanku. Begitu membuka pintu, aku melihat sebuah tempelan di kursi depan.

[ Tempat duduk khusus Melisa ]

Reyhan berdeham dan menjelaskan dengan kaku, "Melisa ngotot menempelkannya. Lagian, kamu nggak sering naik mobil ini."

Aku mengangguk dan menyahut dengan nada datar, "Ya, namanya juga anak gadis. Mereka memang seperti itu."

Reyhan mengernyit dan hendak berbicara, tetapi ponselku tiba-tiba berdering. Aku pun tidak menghiraukan Reyhan dan fokus membalas pesan.

Setelah urusanku beres, mobil telah berhenti di depan sebuah vila. Kebetulan, kami punya acara malam ini. Begitu aku turun, Melisa sontak melemparkan diri ke pelukan Reyhan. "Kak, aku kangen sekali."

Mungkin karena ada aku, ekspresi Reyhan pun tampak canggung. Dia segera menghentikan Melisa yang hendak mencium pipinya. "Sudah, kamu sudah dewasa. Jangan kekanak-kanakan begini."

Melisa melirikku dengan bangga, lalu berkata dengan manja, "Kenapa memangnya? Aku tetap saja adikmu."

Aku tidak ingin meladeni kedua orang itu, jadi langsung berjalan masuk. Setibanya di depan pintu, terlihat beberapa foto diputar di layar lebar. Semuanya adalah foto Melisa dengan Reyhan.

Ada foto mereka berpelukan sambil melihat matahari terbenam, ada foto mereka makan bersama, bahkan ada foto mereka berciuman dengan intens. Aku hanya melirik sekilas.

Sementara itu, Reyhan buru-buru menghampiri untuk menjelaskan, "Lilies, semua foto ini palsu. Percaya padaku. Jangan marah ya. Nggak bagus untuk anak kita."

Aku menoleh melirik Reyhan. Tebersit rasa bersalah pada tatapannya. Kemudian, aku mengangguk. "Ya, fotonya bagus kok."

Reyhan lantas mengernyit. "Kamu nggak marah?"

Ekspresiku tampak tenang. "Nggak kok."

Saat berikutnya, ponselku berdering. Dokter meneleponku untuk membahas tentang rawat inapku besok. Aku berjalan pergi untuk menjawab panggilan, jadi tidak menghiraukan Reyhan lagi.

Sesudah urusanku beres, aku kembali dan melihat Reyhan sedang mengadang di hadapan Melisa sambil memarahi seseorang.

Dari obrolan mereka, aku tahu orang itu tidak sengaja menjatuhkan anggurnya hingga mengenai pakaian Melisa. Reyhan pun menuntut permohonan maaf dari orang itu.

Ketika melihat situasi ini, aku seketika teringat pada kejadian beberapa tahun lalu. Saat itu, aku dan Reyhan menghadiri pesta bersama. Ketika melewati menara sampanye di tengah aula, Melisa mendorongku. Aku yang kehilangan keseimbangan lantas menabrak menara sampanye.

Gelas pecah berkeping-keping. Sampanye dan darah mengalir di tubuhku. Aku menatap Reyhan dengan tatapan meminta bantuan, tetapi dia malah menegurku di depan publik.

"Kamu nggak punya mata? Kamu nggak lihat menara sampanye sebesar ini? Kamu nggak tahu acara ini sangat penting? Gimana bisa orang sepertimu masih hidup di dunia ini? Kalau aku jadi kamu, aku sudah bunuh diri!"

Aku merasa lucu melihat kejadian di depanku. Pada akhirnya, aku memilih untuk pergi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status