Beranda / Horor / mungkin esok aku mati / Bab 4: Siapa yang Meninggal?

Share

Bab 4: Siapa yang Meninggal?

Penulis: erlee story
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-13 19:25:23

Bibirku terasa kelu mendengar kabar kecelakaan yang menimpa Marcell. Padahal baru beberapa hari lalu aku berbicara dengannya. "Kondisinya gimana, San?" tanyaku sambil berusaha menahan air mata, berharap Marcell baik-baik saja.

"Kak Marcell sudah dibawa ke rumah sakit. Lagi di ruang ICU," balas Sandy, semakin membuat hatiku hancur.

"Kamu sekarang di mana?" tanyaku lagi, dengan suara yang sedikit gemetar.

"Aku di rumah sakit sama Bi Ikah."

"Mama? Sudah kabarin Mama?"

"Sudah, Mama lagi mau pulang."

Sandy bercerita lebih lanjut tentang kecelakaan yang menimpa Marcell. Mobil yang dikendarainya menabrak pembatas jembatan saat dia pulang setelah menjaga Mama di rumah sakit. Kecelakaan itu membuat Marcell tidak sadarkan diri hingga detik ini. Kondisinya kritis dengan luka serius di kepala, dan dokter sedang berusaha menyelamatkannya.

Tak terasa, air mataku mulai jatuh, memikirkan adikku yang sedang berjuang antara hidup dan mati. Beberapa orang memandangiku dengan tatapan heran. Bagaimana bisa di tengah suasana festival yang meriah ini, aku hanya duduk sendirian di lobi hotel dan menangis.

Ting! Sebuah pesan masuk. Kuseka air mata yang sedari tadi jatuh perlahan.

Aku menatap ponsel yang ada di genggaman.

[Kak]

Tulis Sandy.

[Ya]

Kuperhatikan tombol centang abu-abu berubah menjadi biru. Sandy sudah membacanya, tapi tidak ada balasan. Notifikasi "sedang mengetik" pun tak terlihat.

[San? Ada apa?]

Kukirim beberapa pesan untuk menanyakan keadaan di sana. Lagi-lagi hanya dibaca saja. Kesal, akhirnya aku meneleponnya. Telepon diangkat. "Halo, San?" tanyaku.

Terdengar suara isak tangis di balik telepon. "Kak Zara nelpon, Den," ujar Bi Ikah, terdengar sangat sedih.

"Halo? Bi?" tanyaku, semakin khawatir.

"Maaf, Non. Den Sandy lagi nggak mau ngomong."

"Ada apa sih, Bi?"

"Non yang sabar ya," ujar Bi Ikah dengan suara pelan.

Firasatku sudah tidak enak. "Den Marcell meninggal," imbuhnya.

Seketika tubuhku lemas, seperti kehilangan separuh nyawa. Ponsel pun terlepas dari genggaman, terjatuh ke lantai. Air mata mulai mengalir deras.

Tingkahku semakin menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada di lobi hotel. Kuraih ponsel di lantai, lalu berlari menuju lift. Aku tak bisa menahan derasnya air mata, sampai beberapa orang di lift menanyakan apakah aku baik-baik saja.

"Tidak! Aku tidak sedang baik-baik saja," batinku, sambil berusaha mengurai senyum di hadapan mereka.

Keluar dari lift, tanpa sengaja aku bertemu dengan Rey. Dia nampak khawatir melihat kondisiku. Berusaha mengejarku yang langsung berlari ke kamar.

Tok! Tok! Beberapa ketukan cepat terdengar di pintu. Sudah pasti itu Rey. Dia terus menanyakan, ada apa? Apa kamu baik-baik saja? Sampai dia memaksa beberapa temanku yang lain untuk membujukku membukakan pintu. Namun aku bersikeras untuk tidak membukanya.

"Tolong, tinggalkan aku sendirian!" teriakku. Namun mereka tetap memaksa, kemudian mencoba menghubungi ponsel. Cepat-cepat kumatikan saja ponselnya, lalu berbaring di tempat tidur.

Aku ingin sekali tidur, berharap semua ini hanya mimpi. Namun, setiap kali mataku terpejam, bayangan Marcell selalu muncul. Kenangan dengannya terus terbayang, mulai dari momen saat pertama kali dia hadir di dunia hingga terakhir kali kami melakukan video call. Menangis terus-terusan, membuat tubuhku lelah, hingga akhirnya tertidur.

Saat membuka mata, kulihat beberapa temanku sudah duduk di ujung tempat tidur. Termasuk Rey yang duduk di kursi di pojok kamar. Wajah mereka tersenyum, beberapa saat kemudian kami pun berpelukan. Awalnya aku tidak mau menceritakan semua permasalahanku ini, namun akhirnya aku pun menyerah dan mulai menceritakan semuanya. Mulai dari Mama yang terbaring sakit hingga Marcell yang baru saja meninggal dunia.

"Sebaiknya kamu segera pulang ke Indonesia," saran Rey.

Benar... aku harus pulang ke Indonesia.

Kuambil ponsel di atas tempat tidur. Masih dalam keadaan mati. Saat kuhidupkan, ternyata banyak notifikasi panggilan tak terjawab. Salah satunya dari Papa. Dengan gegas kulakukan panggilan telepon kepadanya. Cukup lama, sampai dia mengangkat teleponnya.

"Halo, Papa," sapaku saat telepon tersambung.

"Zara, dari pagi Papa telepon. Kamu ke mana? Kok handphonenya dimatiin?"

Aku pun menangis.

"Udah jangan nangis, kamu harus sabar," Papa berusaha menguatkanku.

"Papa."

"Ya."

"Aku mau pulang ke Indonesia," ucapku dengan suara parau.

"Kamu gak usah pulang. Sebentar lagi juga Marcell mau dimakamkan. Doakan aja Marcell dari sana. Jangan sedih. Jangan nangis. Jaga kesehatan."

"Tapi Papa... aku mau nemenin Sandy. Kasian dia sendirian."

"Ada Bi Ikah yang nemenin. Kamu jangan khawatir."

"Papa...."

"Sudah ya, Sayang. Papa lagi ngurus pemakaman."

Telepon ditutup. Aku yang kesal sampai melempar ponsel menjauh. "Gak boleh, Ya?" tanya Danila, teman kampusku yang berasal dari Indonesia. Kuanggukan kepala.

"Ya udah, sekarang kalau ada apa-apa, lu harus cerita. Semalem kita sampe panik banget loh," sambungnya.

"Apalagi Rey, dia sampe minta kunci cadangan ke resepsionis hotel. Saking khawatirnya sama lu," sambungnya lagi.

"Maaf," ucapku sambil menatap ke arah Rey yang sedang membawa dua potong roti dan segelas susu.

"Oke," balasnya sambil tersenyum.

"Lu makan dulu, pasti capek semaleman nangis terus," ucap Danila.

"Makasih," ucapku, ketika Rey meletakan sarapan untukku di atas nakas.

Danila dan Rey pun meninggalkanku sendirian di kamar. Mereka berdua sangat mengerti kalau aku masih butuh waktu untuk sendiri. Saat sedang menyantap sepotong roti, aku baru teringat dengan Sandy. Bagaimana kondisinya sekarang?

Kuambil ponsel. Ternyata ada dua pesan dari Sandy yang belum kubaca.

[Kak, kapan pulang?]

[Sandy  takut, di rumah sendirian]

Cepat-cepat kubalas pesan itu.

[Bentar lagi kakak pulang. Kamu jangan takut, jangan nangis dan harus kuat.] Balasku. Walaupun kondisiku sama-sama sedang sedih dan terpuruk, tapi aku harus terlihat kuat di hadapannya.

Ternyata Sandy membaca pesanku, dia pun membalas.

[Kapan, Kak?]

[Nanti ya, Kakak masih ada ujian semester.]

[Jangan lama-lama, Kak. Sandy takut.]

(Kamu harus berani.)

[Doain secepetnya ya, San.]

[Udah dua bulan jawabannya begitu terus.] Balas Sandy.

[Ya, Kakak juga lagi usaha biar kuliahnya cepet selesai.] Dia tidak tahu, kalau aku masih mengumpulkan uang untuk biaya pulang ke Indonesia.

[Ya udah, deh.]

Pesan itu adalah pesan terakhir yang Sandy kirim. Sudah sebulan, dia tidak pernah membalas pesanku. Kata Bi Ikah, Sandy sedang marah padaku.

Bulan Februari, saat teman-temanku mulai sibuk merencanakan liburan musim dingin, aku malah mengemasi barang-barang untuk pulang ke Indonesia. Tidak satupun orang rumah tahu kalau aku akan pulang. Ini akan menjadi kejutan untuk Sandy.

Butuh waktu 24 jam untuk sampai ke kotaku. Terakhir kali pulang kira-kira satu setengah tahun lalu. Saat itu Mama lah yang menjemputku.

Jantung ini berdegup kencang, ketika mobil taksi yang kutumpangi sudah dekat dengan rumah. Aku tak sabar ingin berjumpa dengan Sandy dan memeluknya. Lalu, melihat wajah cantik Mama yang sudah tertidur selama 5 bulan terakhir ini.

Taksi pun tiba di belokan terakhir menuju rumah. Dari belokan, kulihat kondisi jalan agak ramai. Terlihat sebuah mobil ambulans terparkir di depan rumah.

Bergegas aku turun dari taksi. Hanya bisa berdiri mematung, saat melihat sebuah keranda jenazah keluar dari rumah. Tidak lama kemudian, terlihat Papa berjalan di belakangnya.

Tanpa sengaja pandangan kami pun beradu. Tampak sekali Papa terkejut dengan kedatanganku. Dia pun berjalan perlahan mendekatiku.

Papa sambil berjalan semakin dekat. Sementara aku masih menatap ambulans yang mulai menjauh, keranda jenazah itu seakan semakin menjauhkan aku dari kenyataan.

"Jenazah siapa yang ada di dalam?" batinku, namun kata-kata itu tidak bisa keluar dari mulutku. Pandanganku berkabut, jantungku berdegup kencang, seakan-akan aku tidak bisa bernapas.

Papa berhenti tepat di hadapanku. Tatapan kami bertemu, dan aku bisa melihat kejutan dan kesedihan yang terbayang di wajahnya. "Zara?" panggilnya lagi, kali ini dengan suara yang lebih lembut.

BERSAMBUNG

Bab terkait

  • mungkin esok aku mati   Bab 5: Kejutan

    Seharusnya kedatanganku hari ini untuk mengejutkan mereka, tapi kenapa aku yang mendapat kejutan? Jenazah siapa yang ada di dalam ambulan?"Zara," kini Papa sudah ada di hadapanku."Mama, siapa yang meninggal?" tanyaku, penuh kebingungan dan kekhawatiran."Kamu ngapain pulang?" Papa bertanya balik, suaranya penuh kejutan."Mama, siapa yang meninggal?" aku semakin panik."Jawab dulu pertanyaan Papa! Kok kamu bisa di sini?" Papa bertanya keras, tapi aku bisa merasakan kekhawatirannya."Aku pengen pulang, Papa. Pengen ketemu Mama. Pengen peluk Sandy. Pengen lihat Papa juga," jawabku dengan emosional.Tiba-tiba, Papa tertunduk lesu. Tangannya meraih pundakku, lalu memelukku dengan erat. "Mama, jenazah siapa yang ada di dalam ambulan?" bisikku, hampir tak sanggup menahan rasa takut. "Apa itu Sandy?"Papa melepaskan pelukannya, menggenggam tanganku dengan lembut. Perlahan, ia menuntunku ke ambulan. Kini aku sudah berdiri di pintu belakang ambulan, menatap kantung jenazah berwarna hitam yang

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-13
  • mungkin esok aku mati   Bab 6: Gambar

    ARGH!Aku terbangun dengan tubuh terengah-engah, kepalaku berdenyut, dan napasku tersengal. Suara teriakan itu masih terngiang jelas di telingaku, menggema di lorong yang tak berujung. Aku berlari, namun entah mengapa jalan itu selalu memanjang, seolah tak ada ujungnya. Lalu, dari kejauhan, tampak sebuah cahaya. Semakin lama, cahaya itu semakin terang dan membutakan mataku...HUAAA!Aku berteriak keras, terbangun dari tidurku yang gelisah, dengan jantung yang berdetak tidak teratur. Tubuhku lemas, rasa haus melanda seketika. Segera aku meraih segelas air di meja nakas dan meminumnya dengan cepat. Waktu menunjukkan pukul dua pagi. Itu berarti aku baru tidur sekitar dua jam yang lalu.Suasana rumah yang sunyi tiba-tiba diganggu oleh suara keras yang datang dari luar.PRANG!Bunyi benda jatuh itu terdengar begitu jelas, namun aku enggan untuk mengecek. Apa yang terjadi dengan rumah ini? Sudah lebih dari setahun aku meninggalkannya, dan kenapa rasanya semakin menakutkan? Ada sesuatu yang

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-13
  • mungkin esok aku mati   Bab 7. Teror yang Menimpa Adikku

    Sejak kecil, aku tidak pernah terlalu percaya dengan hal-hal berbau mistis. Meskipun kami tinggal di ujung timur Pulau Jawa, daerah yang terkenal dengan aura mistisnya, segala cerita tentang hantu, kutukan, atau roh-roh gentayangan hanyalah mitos di pikiranku. Tapi, baru sehari kembali ke rumah ini, aku sudah mengalami banyak kejadian aneh yang sulit dijelaskan dengan logika.Pikiranku terus mengulang-ulang kejadian tadi pagi, saat aku tidak bisa membuka pintu kamar Marcell. Padahal sebelumnya aku jelas-jelas masuk ke sana dan tidak ada tanda-tanda keanehan. Ketika mencoba menarik kenop pintu lagi, tetap saja terkunci rapat, seperti ada sesuatu yang sengaja menahannya dari dalam. Aku masih berdiri terpaku di depan pintu, mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi. "Siapa yang tadi membuka pintunya?" pikirku, merasa ada yang tidak beres. Punggungku mulai dingin oleh rasa takut yang merayap perlahan. "Mungkin aku cuma terlalu capek," gumamku mencoba menghibur diri, meskipun firasat an

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-22
  • mungkin esok aku mati   Bab 8. Si perempuan rambut panjang

    Alarm ponselku berbunyi, memecah keheningan malam. Mataku yang masih berat, terpejam rapat, membuatku hanya menggapai ponsel di atas nakas untuk mematikannya. “Zara, bangun!” suara itu terdengar samar, memecah lamunanku.“Iya, bentar... masih ngantuk,” jawabku tanpa membuka mata, merasa enggan untuk terjaga.Namun, seiring dengan berlalunya waktu, kesadaranku mulai pulih. Aku mulai merasa ada yang aneh. “Loh? Itu suara siapa?” batinku, pelan-pelan membuka mata, mencoba mencari asal suara.Dan tiba-tiba, teriakan tajam keluar dari mulutku, "Argh!" Aku melompat terkejut saat melihat sosok seorang wanita berambut panjang berdiri di dekat tempat tidur, tepatnya di sisi kanan tempat tidur, dekat nakas.Panik dan ketakutan langsung menguasai diriku. Dengan cepat, aku terjatuh ke sisi kiri tempat tidur, mencoba menjauh dari sosok itu sambil berteriak, “Pergi! Mau apa kamu? Pergi!”Namun, tidak ada jawaban. Sosok itu tetap diam, hanya berdiri di sana, seakan tidak peduli dengan teriakanku. Pe

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-22
  • mungkin esok aku mati   Bab 9. Tanda kehidupan

    Mobil melaju perlahan, membawa kami melewati jalan-jalan yang sunyi. Malam semakin larut, dan hanya ada suara deru mesin mobil yang terdengar di antara keheningan. Aku duduk di samping Papa, menatap ke luar jendela, mencoba mengalihkan perhatian dari rasa cemas yang menggelayuti hati. Tetapi ada sesuatu yang aneh. Aku bisa merasakan ketegangan yang begitu kuat di udara. Papa, yang biasanya sangat tenang dan terkendali, kali ini terlihat sangat gelisah.“Papa?” Panggilku pelan, mencoba menarik perhatian Papa yang masih menatap lurus ke depan. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres, karena Papa tak pernah berhenti menatap jembatan yang kami lewati.Papa akhirnya menoleh kepadaku, matanya tampak sedikit berkaca-kaca. “Ini… tempat yang menyedihkan bagi Papa,” jawabnya dengan suara yang berat, hampir tak terdengar. Aku terkejut mendengar nada suara Papa yang begitu lemah.“Ada apa, Pa? Kenapa tiba-tiba jadi begitu serius?” tanyaku, meski dalam hati aku sudah mulai merasakan sesuatu yang t

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-22
  • mungkin esok aku mati   Bab 10. Siluman ular

    Aku terbangun dengan napas terengah-engah, tubuhku bergetar hebat. Mimpi itu begitu nyata dan menakutkan. Suara gamelan yang melambung, suara wanita itu yang memanggil-manggil namaku, semuanya seperti masih bergema di dalam kepalaku. Aku duduk tegak di ranjang, tanganku masih memegang selimut yang terkoyak sedikit karena aku terjaga secara mendadak. Sungguh, itu adalah mimpi yang paling menyeramkan yang pernah ku alami."Pantas saja," gumamku, mencoba mengumpulkan keberanian. “Itu hanya mimpi, bukan kenyataan.” Namun, meskipun aku meyakinkan diriku sendiri, rasanya aku tak bisa sepenuhnya menepis perasaan takut yang menggelayuti.Tiba-tiba, terdengar suara gemuruh di kamar. Dug! Suara yang keras membuat jantungku hampir meloncat keluar. Aku terlonjak, langsung menoleh ke arah sumber suara. "Apa itu?" bisikku cemas.Aku menekan tombol lampu meja di samping ranjang, mencoba mengusir kegelapan yang menyelubungi kamar. Tetapi saat lampu menyala, mataku terbelalak kaget. Di depan aku, berd

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-22
  • mungkin esok aku mati   Bab 11. Usir wanita itu!!!

    Aku terbaring di tempat tidur, tak mampu bergerak. Rasa takut menguasai setiap sel tubuhku. Sosok wanita dengan rambut panjang yang menjuntai lebat itu melayang di atasku, matanya yang melotot tajam menatapku dengan penuh kebencian. Setiap kali ia mendekat, aku merasa seolah-olah tubuhku beku, terperangkap dalam ketakutan yang mencekam. Tidak ada suara yang keluar dari mulutku, bahkan untuk mengedipkan mata pun aku tidak bisa.Wanita itu, dengan tawa melengking yang menembus seluruh ruangan, terus mengalirkan hawa dingin ke dalam tubuhku. “USIR WANITA ITU!” Suaranya terdengar jelas, menggetarkan seluruh ruangan. Sungguh, aku merasa tubuhku tak lagi berada dalam kendali diriku sendiri. Semuanya tampak kabur, berputar, dan hilang dalam kegelapan.Tuk! Tuk! Tuk!Terdengar suara ketukan yang begitu keras dari pintu kamar. Suara yang membawaku kembali ke dunia nyata, meskipun ketakutanku belum juga mereda. "Zara, buka pintunya, Sayang," terdengar suara Papa dari luar. Tak lama kemudian, su

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-03
  • mungkin esok aku mati   Bab 19: Pesugihan

    Sejak kami memasuki mobil, suasana di dalamnya begitu sunyi. Wajah Papa terlihat lelah, seperti baru saja melewati hari yang sangat panjang dan melelahkan. Aku hanya duduk diam di sebelahnya, menatap ke luar jendela, mencerna peristiwa yang terjadi sebelumnya.“Papa, bagaimana kemarin?” tanyaku setelah beberapa saat berlalu, berusaha memecah keheningan yang terasa kian menekan.Papa menghela napas panjang sebelum menjawab. “Gimana apanya?” jawabnya sambil menyalakan mobil dan mulai mengendarai kami pulang.“Mbok Ikah meninggal, kenapa ya?” tanyaku hati-hati, mencoba mencari penjelasan lebih lanjut.“Kata dokter, kemungkinan besar karena serangan jantung,” jawab Papa sambil mengemudi.“Dokter tahu nggak, kapan Mbok Ikah meninggal?” tanyaku penasaran, mencoba merangkai petunjuk-petunjuk yang ada.“Kurang lebih 12 jam sebelum diperiksa di rumah sakit,” jawab Papa singkat.

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-03

Bab terbaru

  • mungkin esok aku mati   Bab 25. Tumbal Terakhir

    Sejam berlalu dengan hening, kami hanya duduk diam di dalam kamar, memproses segala yang baru saja terjadi. Keheningan ini hanya dipecahkan oleh suara pintu yang tiba-tiba terbuka."Kriet!" Pintu bergerak, dan seorang perawat masuk untuk memeriksa kondisi Mama. Kami segera menoleh ke arah pintu.“Zara, kamu tidak mau keluar cari sarapan?” tanya Mama, sambil melirikku saat perawat sedang memeriksanya.“Iya, Bun. Sebentar,” jawabku sambil melirik ke arah Andre, yang masih tenggelam dalam pandangannya pada ponsel."Udah aman," bisik Tante Vira, memberi isyarat bahwa situasi sudah terkendali.Aku kemudian bangkit, menarik tangan Andre yang masih terbuai dengan layar ponselnya. Dengan langkah ragu, aku melangkah keluar kamar.Kami memilih untuk membeli sarapan di sekitar rumah sakit, tidak ingin pergi terlalu jauh. Tubuhku memang sangat lelah, dan kurang tidur membuat langkahku semakin berat.Setelah sarapan, kami m

  • mungkin esok aku mati   Bab 24. Teror itu sudah datang

    Aku berdiri di dekat pintu kamar rumah sakit, menatap ke arah tempat tidur tempat Mama berbaring. Mataku penuh haru, seolah tak percaya bahwa Mama akhirnya sadar setelah sekian lama koma. Aku merasa gugup, hatiku dipenuhi banyak perasaan yang sulit dijelaskan."Mama!" Aku memanggilnya pelan, sedikit gemetar. Langkahku menuju ranjang Mama semakin mendekat."Zara..." Suara Mama terdengar lembut, namun penuh kesedihan. Matanya yang sembab menunjukkan betapa lelah dan terlukanya hati seorang ibu."Apa yang terjadi, Bun? Kenapa Mama bisa begini?" Tanyaku, mencoba untuk mencari jawaban atas semua yang sudah terjadi. Air mata mulai menggenang di pelupuk mataku."Kenapa kamu enggak bilang kalau Marcell dan Sandy sudah meninggal?" Mama akhirnya bertanya, suaranya terputus-putus. Ia tampak begitu terpukul dengan kenyataan yang harus diterimanya."Maafkan Zara, Mama," jawabku dengan suara yang hampir pecah. Aku menggenggam tangan Mama, merasakan

  • mungkin esok aku mati   Bab 23: Menemui Mbah Susno

    Mataku terasa berat, saat mendengar kabar tentang kepergian Papa. Meskipun dia telah melakukan hal-hal yang tak termaafkan, dia tetaplah orang tua kandungku. Tidak mudah untuk mengabaikan rasa itu begitu saja."Zara, kamu di mana sekarang?" suara Om Har terdengar penuh kecemasan dari ujung telepon."Zara udah pulang ke Jerman, Om," jawabku sambil berusaha menahan suara yang mulai serak."Jangan bohong, Zara," jawab Om Har dengan nada yang tegas. "Tadi pagi Papa telepon, dia tanya kamu ada di rumah Om. Berarti kamu masih ada di Indonesia, kan?"Aku terdiam. Menghadapi kenyataan ini begitu sulit. Tidak tahu apa yang harus aku katakan."Zara, kamu kenapa sih? Sebenernya kamu ada masalah apa sama Papa?" Om Har kembali bertanya, seolah merasa ada sesuatu yang tak beres."Enggak ada masalah apa-apa, Om," jawabku, meskipun dalam hatiku ada banyak hal yang ingin kuungkapkan.Om Har mendengus pelan. "Zara, bohong lagi. Om tahu ada yang kamu se

  • mungkin esok aku mati   Bab 22. Kecelakaan

    Kereta yang aku tumpangi akhirnya sampai di Stasiun Yogyakarta tepat pukul lima sore. Dengan cepat, aku keluar dari gerbong dan langsung mencari transportasi yang bisa membawaku ke rumah Tante Vira. Berdasarkan alamat yang Mama berikan, rumah Tante Vira tak terlalu jauh dari stasiun.Tak lama setelah aku melangkah keluar stasiun, sebuah taksi melintas di depanku. Aku segera melambaikan tangan, menghentikan taksi tersebut. Setelah itu, aku memberitahu alamat yang hendak dituju. Sang sopir pun mengangguk dan segera menyalakan mesin taksi.Di dalam taksi, aku hanya duduk dengan tenang dan memandang pemandangan sekitar. Aku menikmati suasana Jogja yang mulai senja, udara yang terasa segar, dan kedamaian yang hadir setelah dua minggu penuh kecemasan dan ketegangan. Rasanya, sudah lama sekali aku tidak merasa seutuh ini—tenang dan bebas.Setelah beberapa menit berkendara, taksi mulai memasuki kawasan perumahan dengan rumah-rumah bergaya minimalis. Aku menatap se

  • mungkin esok aku mati   Bab 21: Tak Disangka

    Aku merasakan tubuhku dihantam keras ke tanah. Rasanya seperti terjatuh dari ketinggian yang luar biasa. Nafasku sesak, dadaku terasa panas dan berdetak keras, namun aku tetap bertahan. Perlahan aku membuka mata. Sesosok wajah yang aku kenal muncul di hadapanku, wajah yang selama ini menjadi simbol perlindunganku, yang seharusnya menjadi tempatku bersandar. Wajah itu adalah Papa."Zara, sayang," Papa memanggil dengan lembut, mencoba mendekatiku. Namun saat mataku menatapnya, amarahku kembali membara. Selama ini, dia lah yang menjadi sumber penderitaanku dan keluargaku. Dia yang menyebabkan kematian Marcell, Sandy, dan Mbok Ikah. Dia juga yang membuat Mama terbaring tak sadar."Papa!" aku berteriak, merasa sakit hati yang dalam. Rasanya aku ingin marah dan mengungkapkan semua kekesalanku, tapi kata-kata itu hanya keluar dalam isakan. "Papa jahat!" teriakku lagi, mendorong tubuhnya yang berdiri di dekatku. Aku tidak ingin ada yang menyentuhku, apalagi seorang pembunuh.

  • mungkin esok aku mati   Bab 20. Terungkap

    Aku berlari mendekati kamar Papa, jantungku berdebar kencang. Namun, langkahku terhenti tepat di depan pintu kamar. Dari dalam kamar terdengar suara Papa sedang berbicara dengan seseorang, namun kata-katanya terdengar tegang, seperti ada ketegangan yang begitu kuat."Apa yang kamu mau di sini?" suara Papa terdengar keras, menahan amarah."Saya ingin tahu janjimu!" jawab suara seorang wanita dengan nada tinggi dan penuh desakan."Saya sudah bilang, sabar!" Papa membalas dengan nada suara yang semakin meninggi."Waktunya sudah semakin dekat. Kamu masih harus cari dua tumbal lagi!" wanita itu berbicara dengan nada yang semakin tinggi, hampir seperti mengancam."Atau saya akan ambil anak itu!" lanjut wanita itu, yang membuat seluruh tubuhku merasa dingin.Kakiku terasa lemas. Bagaimana bisa Papa terlibat dalam semua ini? Bagaimana dia bisa tega mengorbankan anak-anaknya? Bahkan, sekarang aku menjadi sasarannya. Tiba-tiba, semua terasa seperti mi

  • mungkin esok aku mati   Bab 18. Tersadar dari koma

    Tanganku terasa gemetar saat memegang sepucuk surat dari Mbok Ikah. Rasa terkejut dan perasaan tidak percaya melanda hatiku. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa segala pengorbanan Mbok Ikah ternyata demi keselamatanku. Air mataku pun mulai menetes, menyesali segala sikap dan perkataan kasar yang pernah kuucapkan padanya. "Seandainya aku membukakan pintu untuk Mbok Ikah dulu..." gumamku dalam hati. Penyesalan itu mengusik pikiranku tanpa henti.Dalam surat itu, Mbok Ikah menyebutkan nama Ratih, sosok wanita misterius yang sering muncul dalam bayanganku. Aku merasa bingung. Apa yang sebenarnya diinginkan Ratih? Apakah dia ingin membantuku atau malah bersekongkol dengan si Wanita Ular yang menakutkan itu? Terlebih lagi, sikap Ratih yang tiba-tiba menyuruhku untuk tidak membuka pintu waktu itu semakin menambah kecurigaanku. Apa maksudnya itu?Selain itu, ada juga Pak Salim. Apa benar dia yang terlibat dalam hal-hal berbau ilmu hitam yang Mbok Ikah sebutkan dalam sur

  • mungkin esok aku mati   Bab 17: Dugaan

    "Tok! Tok!""Non Zara," terdengar suara dari luar kamar."Masuk, Mbok!" jawabku, masih duduk di atas tempat tidur, memandangi sekeliling kamar yang terasa begitu sepi.Mbok Ikah memasuki kamar dengan senyum lembut di wajahnya, sambil membawa semangkuk sop ayam yang panas. Aromanya mengingatkanku pada masa-masa ketika kami masih sering memasak dan makan bersama di dapur."Mbok, tau aja Zara lagi lapar," kataku, merasa sedikit terhibur oleh perhatian Mbok Ikah.Mbok Ikah tersenyum manis. "Mbok selalu tahu, Non," jawabnya dengan lembut.Aku memandang sop ayam itu dan mendekatkan sendok ke mulutku. Rasanya begitu enak, meskipun di balik rasa lezat itu, hatiku terasa berat."Mbok semalem ke mana aja? Aku nungguin kok nggak diantar makanan sih. Kan lapar," keluhku, mencoba menggali lebih jauh tentang apa yang terjadi semalam.Mbok Ikah menunduk sejenak, wajahnya tampak sedih. "Mbok sudah pergi, Non.""Pagi-pagi begini pergi ke

  • mungkin esok aku mati   Bab 16. Salah tuduh

    Kegelapan malam terasa semakin pekat. Aku berdiri kaku di tengah kamar, mataku terfokus pada pintu yang sudah hampir terlewati, sementara suara teriakan Mbok Ikah semakin nyaring di luar. Namun, ada sesuatu yang lebih menakutkan yang menghalangiku untuk membuka pintu. Sesosok perempuan dengan rambut panjang, hitam, dan mengerikan berdiri tepat di depan pintu, menghalangi jalananku."Non! Tolong buka pintunya!" teriak Mbok Ikah, suaranya penuh dengan kepanikan.Namun, semakin aku mendekatkan diri, semakin aku merasa terjebak. Wanita dengan rambut panjang itu berdiri tanpa bergerak, wajahnya tertunduk, dan atmosfer di sekitarnya begitu mencekam. "Non, jangan buka pintunya!" suaranya terdengar lembut namun penuh peringatan.Tentu saja aku merasa ragu. Apakah aku harus mempercayai sosok ini yang jelas-jelas menunjukkan tanda-tanda ketidakberesan? Namun, suara Mbok Ikah yang semakin panik menambah kebingunganku. Aku tahu bahwa wanita yang ada di luar kamar itu adalah

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status