Aku tak tahu harus mulai dari mana. Semua berjalan begitu cepat. Dalam waktu satu tahun, hidupku sudah berubah 180 derajat. Keluargaku hancur begitu saja. Segalanya berawal dari satu keputusan yang fatal, yang perlahan merenggut mereka satu per satu. Rasanya air mata ini sudah habis untuk menangisi kepergian mereka yang terlalu mendalam, sementara aku hanya bisa berdiri diam, menyaksikan semuanya terjadi tanpa bisa berbuat apa-apa.Namaku Azarea Andini Sanjaya atau biasa dipanggil zara, anak pertama dari seorang pengusaha properti di timur pulau jawa milik Ardian Sanjaya nama dari papaku . Sejak kecil hidupku selalu berkecukupan. Walaupun ada satu yang kurang, yaitu kasih sayang seorang ibu.Ibu meninggal sesaat setelah aku dilahirkan. Selang dua tahun kemudian, Papa menikah dengan seorang wanita bernama Erina Reswara . Wanita yang kini kusebut Mama., sangat baik padaku. Meski aku bukan anak kandungnya, Mama selalu merawatku dengan penuh cinta. Dari pernikahannya dengan Papa, aku mend
Sejak dua hari lalu, aku hanya bisa menatap layar ponselku, berharap Mama akan segera mengangkat video call dariku. Namun, seperti biasa, tidak ada satu pun respons. Pesan-pesan yang ku kirimkan juga tetap hanya tercatat dengan tanda centang satu. Rasanya cemas sekali, dan aku merasa seolah terperangkap dalam kebingunganku sendiri.Apa yang sebenarnya terjadi di rumah? Kenapa Papa membentak Mama dengan begitu marah? Apakah Mama baik-baik saja? Beragam pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalaku tanpa henti. Aku ingin sekali menghubungi Papa, namun rasa takut mencegahku. Aku tahu, jika aku terlalu banyak bertanya, Papa mungkin akan semakin marah. Namun, jika aku diam saja, apa yang akan terjadi?Semalam, aku mencoba tidur dengan harapan bisa sedikit melupakan kecemasan yang menggerogoti hatiku, namun tetap saja tidur itu datang dengan penuh kegelisahan. Pagi harinya, aku kembali mencoba menghubungi Mama. Namun, tetap tidak ada jawaban. Aku mencoba menghubungi Marcell dan Sandy, ber
Di tengah kecemasan akan kondisi Mama, tiba-tiba ponselku berbunyi. "Papa?" batinku saat melihat nama yang tertera di layar ponsel. Segera aku mengangkat panggilan telepon itu."Hal..."Belum sempat Papa menyapa, aku sudah memotongnya terlebih dahulu. "Papa lagi ngapain sih? Gak tahu apa di rumah lagi gawat!" ucapku kesal."Gawat?" Papa terdengar terkejut."Iya, Mama sakit, sekarang lagi dibawa ke rumah sakit," balasku dengan suara tegang. "Mending sekarang Papa buru-buru pulang, kasihan Mama. Marcell sama Sandy juga gak mungkin bisa urus Mama di rumah sakit!" lanjutku."Iya, besok pagi Papa pulang," jawab Papa singkat."Papa juga gak jujur kalau usaha mebelnya lagi ada masalah! Kenapa gak jujur aja sih, Papa?" aku tidak bisa menahan emosi yang sudah terpendam."Mama cerita?" tanya Papa."Iya, kan emang udah seharusnya Zara tahu." jawabku, semakin kesal."Bukan gitu, Zara. Papa takut nanti kuliahmu keganggu. Pokoknya sekarang kamu gak usah khawatir, Papa sudah dapat solusinya.""Tapi,
Bibirku terasa kelu mendengar kabar kecelakaan yang menimpa Marcell. Padahal baru beberapa hari lalu aku berbicara dengannya. "Kondisinya gimana, San?" tanyaku sambil berusaha menahan air mata, berharap Marcell baik-baik saja."Kak Marcell sudah dibawa ke rumah sakit. Lagi di ruang ICU," balas Sandy, semakin membuat hatiku hancur."Kamu sekarang di mana?" tanyaku lagi, dengan suara yang sedikit gemetar."Aku di rumah sakit sama Bi Ikah.""Mama? Sudah kabarin Mama?""Sudah, Mama lagi mau pulang."Sandy bercerita lebih lanjut tentang kecelakaan yang menimpa Marcell. Mobil yang dikendarainya menabrak pembatas jembatan saat dia pulang setelah menjaga Mama di rumah sakit. Kecelakaan itu membuat Marcell tidak sadarkan diri hingga detik ini. Kondisinya kritis dengan luka serius di kepala, dan dokter sedang berusaha menyelamatkannya.Tak terasa, air mataku mulai jatuh, memikirkan adikku yang sedang berjuang antara hidup dan mati. Beberapa orang memandangiku dengan tatapan heran. Bagaimana bis
Seharusnya kedatanganku hari ini untuk mengejutkan mereka, tapi kenapa aku yang mendapat kejutan? Jenazah siapa yang ada di dalam ambulan?"Zara," kini Papa sudah ada di hadapanku."Mama, siapa yang meninggal?" tanyaku, penuh kebingungan dan kekhawatiran."Kamu ngapain pulang?" Papa bertanya balik, suaranya penuh kejutan."Mama, siapa yang meninggal?" aku semakin panik."Jawab dulu pertanyaan Papa! Kok kamu bisa di sini?" Papa bertanya keras, tapi aku bisa merasakan kekhawatirannya."Aku pengen pulang, Papa. Pengen ketemu Mama. Pengen peluk Sandy. Pengen lihat Papa juga," jawabku dengan emosional.Tiba-tiba, Papa tertunduk lesu. Tangannya meraih pundakku, lalu memelukku dengan erat. "Mama, jenazah siapa yang ada di dalam ambulan?" bisikku, hampir tak sanggup menahan rasa takut. "Apa itu Sandy?"Papa melepaskan pelukannya, menggenggam tanganku dengan lembut. Perlahan, ia menuntunku ke ambulan. Kini aku sudah berdiri di pintu belakang ambulan, menatap kantung jenazah berwarna hitam yang
ARGH!Aku terbangun dengan tubuh terengah-engah, kepalaku berdenyut, dan napasku tersengal. Suara teriakan itu masih terngiang jelas di telingaku, menggema di lorong yang tak berujung. Aku berlari, namun entah mengapa jalan itu selalu memanjang, seolah tak ada ujungnya. Lalu, dari kejauhan, tampak sebuah cahaya. Semakin lama, cahaya itu semakin terang dan membutakan mataku...HUAAA!Aku berteriak keras, terbangun dari tidurku yang gelisah, dengan jantung yang berdetak tidak teratur. Tubuhku lemas, rasa haus melanda seketika. Segera aku meraih segelas air di meja nakas dan meminumnya dengan cepat. Waktu menunjukkan pukul dua pagi. Itu berarti aku baru tidur sekitar dua jam yang lalu.Suasana rumah yang sunyi tiba-tiba diganggu oleh suara keras yang datang dari luar.PRANG!Bunyi benda jatuh itu terdengar begitu jelas, namun aku enggan untuk mengecek. Apa yang terjadi dengan rumah ini? Sudah lebih dari setahun aku meninggalkannya, dan kenapa rasanya semakin menakutkan? Ada sesuatu yang
Sejak kecil, aku tidak pernah terlalu percaya dengan hal-hal berbau mistis. Meskipun kami tinggal di ujung timur Pulau Jawa, daerah yang terkenal dengan aura mistisnya, segala cerita tentang hantu, kutukan, atau roh-roh gentayangan hanyalah mitos di pikiranku. Tapi, baru sehari kembali ke rumah ini, aku sudah mengalami banyak kejadian aneh yang sulit dijelaskan dengan logika.Pikiranku terus mengulang-ulang kejadian tadi pagi, saat aku tidak bisa membuka pintu kamar Marcell. Padahal sebelumnya aku jelas-jelas masuk ke sana dan tidak ada tanda-tanda keanehan. Ketika mencoba menarik kenop pintu lagi, tetap saja terkunci rapat, seperti ada sesuatu yang sengaja menahannya dari dalam. Aku masih berdiri terpaku di depan pintu, mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi. "Siapa yang tadi membuka pintunya?" pikirku, merasa ada yang tidak beres. Punggungku mulai dingin oleh rasa takut yang merayap perlahan. "Mungkin aku cuma terlalu capek," gumamku mencoba menghibur diri, meskipun firasat an
Alarm ponselku berbunyi, memecah keheningan malam. Mataku yang masih berat, terpejam rapat, membuatku hanya menggapai ponsel di atas nakas untuk mematikannya. “Zara, bangun!” suara itu terdengar samar, memecah lamunanku.“Iya, bentar... masih ngantuk,” jawabku tanpa membuka mata, merasa enggan untuk terjaga.Namun, seiring dengan berlalunya waktu, kesadaranku mulai pulih. Aku mulai merasa ada yang aneh. “Loh? Itu suara siapa?” batinku, pelan-pelan membuka mata, mencoba mencari asal suara.Dan tiba-tiba, teriakan tajam keluar dari mulutku, "Argh!" Aku melompat terkejut saat melihat sosok seorang wanita berambut panjang berdiri di dekat tempat tidur, tepatnya di sisi kanan tempat tidur, dekat nakas.Panik dan ketakutan langsung menguasai diriku. Dengan cepat, aku terjatuh ke sisi kiri tempat tidur, mencoba menjauh dari sosok itu sambil berteriak, “Pergi! Mau apa kamu? Pergi!”Namun, tidak ada jawaban. Sosok itu tetap diam, hanya berdiri di sana, seakan tidak peduli dengan teriakanku. Pe
Aku terbangun dengan napas terengah-engah, tubuhku bergetar hebat. Mimpi itu begitu nyata dan menakutkan. Suara gamelan yang melambung, suara wanita itu yang memanggil-manggil namaku, semuanya seperti masih bergema di dalam kepalaku. Aku duduk tegak di ranjang, tanganku masih memegang selimut yang terkoyak sedikit karena aku terjaga secara mendadak. Sungguh, itu adalah mimpi yang paling menyeramkan yang pernah ku alami."Pantas saja," gumamku, mencoba mengumpulkan keberanian. “Itu hanya mimpi, bukan kenyataan.” Namun, meskipun aku meyakinkan diriku sendiri, rasanya aku tak bisa sepenuhnya menepis perasaan takut yang menggelayuti.Tiba-tiba, terdengar suara gemuruh di kamar. Dug! Suara yang keras membuat jantungku hampir meloncat keluar. Aku terlonjak, langsung menoleh ke arah sumber suara. "Apa itu?" bisikku cemas.Aku menekan tombol lampu meja di samping ranjang, mencoba mengusir kegelapan yang menyelubungi kamar. Tetapi saat lampu menyala, mataku terbelalak kaget. Di depan aku, berd
Mobil melaju perlahan, membawa kami melewati jalan-jalan yang sunyi. Malam semakin larut, dan hanya ada suara deru mesin mobil yang terdengar di antara keheningan. Aku duduk di samping Papa, menatap ke luar jendela, mencoba mengalihkan perhatian dari rasa cemas yang menggelayuti hati. Tetapi ada sesuatu yang aneh. Aku bisa merasakan ketegangan yang begitu kuat di udara. Papa, yang biasanya sangat tenang dan terkendali, kali ini terlihat sangat gelisah.“Papa?” Panggilku pelan, mencoba menarik perhatian Papa yang masih menatap lurus ke depan. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres, karena Papa tak pernah berhenti menatap jembatan yang kami lewati.Papa akhirnya menoleh kepadaku, matanya tampak sedikit berkaca-kaca. “Ini… tempat yang menyedihkan bagi Papa,” jawabnya dengan suara yang berat, hampir tak terdengar. Aku terkejut mendengar nada suara Papa yang begitu lemah.“Ada apa, Pa? Kenapa tiba-tiba jadi begitu serius?” tanyaku, meski dalam hati aku sudah mulai merasakan sesuatu yang t
Alarm ponselku berbunyi, memecah keheningan malam. Mataku yang masih berat, terpejam rapat, membuatku hanya menggapai ponsel di atas nakas untuk mematikannya. “Zara, bangun!” suara itu terdengar samar, memecah lamunanku.“Iya, bentar... masih ngantuk,” jawabku tanpa membuka mata, merasa enggan untuk terjaga.Namun, seiring dengan berlalunya waktu, kesadaranku mulai pulih. Aku mulai merasa ada yang aneh. “Loh? Itu suara siapa?” batinku, pelan-pelan membuka mata, mencoba mencari asal suara.Dan tiba-tiba, teriakan tajam keluar dari mulutku, "Argh!" Aku melompat terkejut saat melihat sosok seorang wanita berambut panjang berdiri di dekat tempat tidur, tepatnya di sisi kanan tempat tidur, dekat nakas.Panik dan ketakutan langsung menguasai diriku. Dengan cepat, aku terjatuh ke sisi kiri tempat tidur, mencoba menjauh dari sosok itu sambil berteriak, “Pergi! Mau apa kamu? Pergi!”Namun, tidak ada jawaban. Sosok itu tetap diam, hanya berdiri di sana, seakan tidak peduli dengan teriakanku. Pe
Sejak kecil, aku tidak pernah terlalu percaya dengan hal-hal berbau mistis. Meskipun kami tinggal di ujung timur Pulau Jawa, daerah yang terkenal dengan aura mistisnya, segala cerita tentang hantu, kutukan, atau roh-roh gentayangan hanyalah mitos di pikiranku. Tapi, baru sehari kembali ke rumah ini, aku sudah mengalami banyak kejadian aneh yang sulit dijelaskan dengan logika.Pikiranku terus mengulang-ulang kejadian tadi pagi, saat aku tidak bisa membuka pintu kamar Marcell. Padahal sebelumnya aku jelas-jelas masuk ke sana dan tidak ada tanda-tanda keanehan. Ketika mencoba menarik kenop pintu lagi, tetap saja terkunci rapat, seperti ada sesuatu yang sengaja menahannya dari dalam. Aku masih berdiri terpaku di depan pintu, mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi. "Siapa yang tadi membuka pintunya?" pikirku, merasa ada yang tidak beres. Punggungku mulai dingin oleh rasa takut yang merayap perlahan. "Mungkin aku cuma terlalu capek," gumamku mencoba menghibur diri, meskipun firasat an
ARGH!Aku terbangun dengan tubuh terengah-engah, kepalaku berdenyut, dan napasku tersengal. Suara teriakan itu masih terngiang jelas di telingaku, menggema di lorong yang tak berujung. Aku berlari, namun entah mengapa jalan itu selalu memanjang, seolah tak ada ujungnya. Lalu, dari kejauhan, tampak sebuah cahaya. Semakin lama, cahaya itu semakin terang dan membutakan mataku...HUAAA!Aku berteriak keras, terbangun dari tidurku yang gelisah, dengan jantung yang berdetak tidak teratur. Tubuhku lemas, rasa haus melanda seketika. Segera aku meraih segelas air di meja nakas dan meminumnya dengan cepat. Waktu menunjukkan pukul dua pagi. Itu berarti aku baru tidur sekitar dua jam yang lalu.Suasana rumah yang sunyi tiba-tiba diganggu oleh suara keras yang datang dari luar.PRANG!Bunyi benda jatuh itu terdengar begitu jelas, namun aku enggan untuk mengecek. Apa yang terjadi dengan rumah ini? Sudah lebih dari setahun aku meninggalkannya, dan kenapa rasanya semakin menakutkan? Ada sesuatu yang
Seharusnya kedatanganku hari ini untuk mengejutkan mereka, tapi kenapa aku yang mendapat kejutan? Jenazah siapa yang ada di dalam ambulan?"Zara," kini Papa sudah ada di hadapanku."Mama, siapa yang meninggal?" tanyaku, penuh kebingungan dan kekhawatiran."Kamu ngapain pulang?" Papa bertanya balik, suaranya penuh kejutan."Mama, siapa yang meninggal?" aku semakin panik."Jawab dulu pertanyaan Papa! Kok kamu bisa di sini?" Papa bertanya keras, tapi aku bisa merasakan kekhawatirannya."Aku pengen pulang, Papa. Pengen ketemu Mama. Pengen peluk Sandy. Pengen lihat Papa juga," jawabku dengan emosional.Tiba-tiba, Papa tertunduk lesu. Tangannya meraih pundakku, lalu memelukku dengan erat. "Mama, jenazah siapa yang ada di dalam ambulan?" bisikku, hampir tak sanggup menahan rasa takut. "Apa itu Sandy?"Papa melepaskan pelukannya, menggenggam tanganku dengan lembut. Perlahan, ia menuntunku ke ambulan. Kini aku sudah berdiri di pintu belakang ambulan, menatap kantung jenazah berwarna hitam yang
Bibirku terasa kelu mendengar kabar kecelakaan yang menimpa Marcell. Padahal baru beberapa hari lalu aku berbicara dengannya. "Kondisinya gimana, San?" tanyaku sambil berusaha menahan air mata, berharap Marcell baik-baik saja."Kak Marcell sudah dibawa ke rumah sakit. Lagi di ruang ICU," balas Sandy, semakin membuat hatiku hancur."Kamu sekarang di mana?" tanyaku lagi, dengan suara yang sedikit gemetar."Aku di rumah sakit sama Bi Ikah.""Mama? Sudah kabarin Mama?""Sudah, Mama lagi mau pulang."Sandy bercerita lebih lanjut tentang kecelakaan yang menimpa Marcell. Mobil yang dikendarainya menabrak pembatas jembatan saat dia pulang setelah menjaga Mama di rumah sakit. Kecelakaan itu membuat Marcell tidak sadarkan diri hingga detik ini. Kondisinya kritis dengan luka serius di kepala, dan dokter sedang berusaha menyelamatkannya.Tak terasa, air mataku mulai jatuh, memikirkan adikku yang sedang berjuang antara hidup dan mati. Beberapa orang memandangiku dengan tatapan heran. Bagaimana bis
Di tengah kecemasan akan kondisi Mama, tiba-tiba ponselku berbunyi. "Papa?" batinku saat melihat nama yang tertera di layar ponsel. Segera aku mengangkat panggilan telepon itu."Hal..."Belum sempat Papa menyapa, aku sudah memotongnya terlebih dahulu. "Papa lagi ngapain sih? Gak tahu apa di rumah lagi gawat!" ucapku kesal."Gawat?" Papa terdengar terkejut."Iya, Mama sakit, sekarang lagi dibawa ke rumah sakit," balasku dengan suara tegang. "Mending sekarang Papa buru-buru pulang, kasihan Mama. Marcell sama Sandy juga gak mungkin bisa urus Mama di rumah sakit!" lanjutku."Iya, besok pagi Papa pulang," jawab Papa singkat."Papa juga gak jujur kalau usaha mebelnya lagi ada masalah! Kenapa gak jujur aja sih, Papa?" aku tidak bisa menahan emosi yang sudah terpendam."Mama cerita?" tanya Papa."Iya, kan emang udah seharusnya Zara tahu." jawabku, semakin kesal."Bukan gitu, Zara. Papa takut nanti kuliahmu keganggu. Pokoknya sekarang kamu gak usah khawatir, Papa sudah dapat solusinya.""Tapi,
Sejak dua hari lalu, aku hanya bisa menatap layar ponselku, berharap Mama akan segera mengangkat video call dariku. Namun, seperti biasa, tidak ada satu pun respons. Pesan-pesan yang ku kirimkan juga tetap hanya tercatat dengan tanda centang satu. Rasanya cemas sekali, dan aku merasa seolah terperangkap dalam kebingunganku sendiri.Apa yang sebenarnya terjadi di rumah? Kenapa Papa membentak Mama dengan begitu marah? Apakah Mama baik-baik saja? Beragam pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalaku tanpa henti. Aku ingin sekali menghubungi Papa, namun rasa takut mencegahku. Aku tahu, jika aku terlalu banyak bertanya, Papa mungkin akan semakin marah. Namun, jika aku diam saja, apa yang akan terjadi?Semalam, aku mencoba tidur dengan harapan bisa sedikit melupakan kecemasan yang menggerogoti hatiku, namun tetap saja tidur itu datang dengan penuh kegelisahan. Pagi harinya, aku kembali mencoba menghubungi Mama. Namun, tetap tidak ada jawaban. Aku mencoba menghubungi Marcell dan Sandy, ber