Aku terbaring di tempat tidur, tak mampu bergerak. Rasa takut menguasai setiap sel tubuhku. Sosok wanita dengan rambut panjang yang menjuntai lebat itu melayang di atasku, matanya yang melotot tajam menatapku dengan penuh kebencian. Setiap kali ia mendekat, aku merasa seolah-olah tubuhku beku, terperangkap dalam ketakutan yang mencekam. Tidak ada suara yang keluar dari mulutku, bahkan untuk mengedipkan mata pun aku tidak bisa.Wanita itu, dengan tawa melengking yang menembus seluruh ruangan, terus mengalirkan hawa dingin ke dalam tubuhku. “USIR WANITA ITU!” Suaranya terdengar jelas, menggetarkan seluruh ruangan. Sungguh, aku merasa tubuhku tak lagi berada dalam kendali diriku sendiri. Semuanya tampak kabur, berputar, dan hilang dalam kegelapan.Tuk! Tuk! Tuk!Terdengar suara ketukan yang begitu keras dari pintu kamar. Suara yang membawaku kembali ke dunia nyata, meskipun ketakutanku belum juga mereda. "Zara, buka pintunya, Sayang," terdengar suara Papa dari luar. Tak lama kemudian, su
Sejak kami memasuki mobil, suasana di dalamnya begitu sunyi. Wajah Papa terlihat lelah, seperti baru saja melewati hari yang sangat panjang dan melelahkan. Aku hanya duduk diam di sebelahnya, menatap ke luar jendela, mencerna peristiwa yang terjadi sebelumnya.“Papa, bagaimana kemarin?” tanyaku setelah beberapa saat berlalu, berusaha memecah keheningan yang terasa kian menekan.Papa menghela napas panjang sebelum menjawab. “Gimana apanya?” jawabnya sambil menyalakan mobil dan mulai mengendarai kami pulang.“Mbok Ikah meninggal, kenapa ya?” tanyaku hati-hati, mencoba mencari penjelasan lebih lanjut.“Kata dokter, kemungkinan besar karena serangan jantung,” jawab Papa sambil mengemudi.“Dokter tahu nggak, kapan Mbok Ikah meninggal?” tanyaku penasaran, mencoba merangkai petunjuk-petunjuk yang ada.“Kurang lebih 12 jam sebelum diperiksa di rumah sakit,” jawab Papa singkat.
"Mbok!" panggilku keras, suaraku hampir membentur dinding."Ya, Non?" jawab Mbok Ikah dari dapur, suaranya terdengar biasa saja, seakan tidak ada yang aneh.Bergegas aku melangkah menuju dapur, langkahku agak terburu-buru. Aku merasa ada sesuatu yang mengganjal, meskipun aku tidak bisa mengatakan apa itu. Begitu sampai di dapur, aku melihat Mbok Ikah sedang sibuk memasak."Ada apa, Non? Kenapa teriak-teriak?" tanya Mbok Ikah dengan nada penuh rasa ingin tahu."Daritadi dipanggil nggak nyahut, kok bisa-bisanya," kataku agak kesal, meski aku tahu bahwa Mbok Ikah bukan orang yang sengaja mengabaikanku."Maaf, Non, Mbok tadi nggak denger," jawab Mbok Ikah sambil melanjutkan mengaduk masakan dalam wajan besar."Emang lagi masak apa, Mbok?" tanyaku sambil memperhatikan bahan-bahan yang ada di atas meja."Masak ayam suwir dan sayur kol," jawab Mbok Ikah, sambil sibuk dengan sayur kol yang sedang dipindah ke mangkuk besar."Oh, begitu,
“Ada apa itu, Mbok?” tanyaku, heran, saat melihat Mbok Ikah membawa sebuah wadah kecil terbuat dari tanah liat. Di dalamnya, ada arang yang masih menyala dan mengeluarkan asap harum yang menyebar ke seluruh dapur.“Ke-me-nyan, Non,” jawab Mbok Ikah dengan suara pelan, seolah ragu menjelaskan sesuatu.“Kemenyan?” aku mengulang kata-kata Mbok Ikah, merasa tidak begitu paham.“Ya, Non. Wewangian tradisional, untuk pengharum ruangan,” jawab Mbok Ikah, mencoba memberi penjelasan.“Oh… jadi Papa belum pulang, Mbok?” tanyaku, mencoba mengalihkan perhatian dari asap kemenyan yang kini memenuhi ruangan.“Belum, Non,” jawab Mbok Ikah singkat.“Mbok matikan kemenyan itu dulu ya. Asapnya sudah mulai memenuhi dapur,” kataku, sedikit khawatir karena aroma wangi itu mulai membuatku merasa aneh.“Iya, Non,” jawab Mbok Ikah, lalu bergegas menuju pint
Aku tidak bisa memahami sepenuhnya kata-kata yang baru saja diucapkan oleh wanita itu. "Korban?" pikirku dalam hati. Siapa yang dimaksudnya dengan "korban"? Apa maksudnya ini? Dan yang lebih mengganggu pikiranku adalah pertanyaannya yang tiba-tiba muncul: siapa yang datang?"Kenapa kamu tidak usir wanita itu?" suaranya kembali terdengar, memecah keheningan yang mulai menghantui pikiranku. Namun, tubuhku terasa kaku. Aku tidak bisa menggerakkan jari-jari tangan. Tidak bisa bergerak sedikit pun. Seolah-olah aku terkunci dalam tubuhku sendiri.Wanita itu, yang sebelumnya hanya terlihat samar, kini menghadapkan wajahnya kepadaku. Mata kami saling bertemu, dan aku merasakan seakan-akan dunia sekelilingku menjadi hening. Wajahnya sangat pucat, jauh berbeda dengan yang terakhir kali aku lihat. Entah mengapa, meski terlihat seperti manusia, ada sesuatu yang aneh dan tidak manusiawi dari raut wajahnya. Ada kesedihan yang begitu dalam tercermin dari matanya. Aku merasa jantungku
Aku perlahan membuka mata, merasakan sensasi aneh di pergelangan tangan kiri. Selang infus terpasang di sana, mengalirkan cairan ke dalam tubuhku. Ruangan rumah sakit yang asing ini terasa sepi, kecuali suara detak jam di dinding yang terdengar monoton. Aku menatap sekeliling, mencoba menyesuaikan diri dengan kondisi yang membuatku merasa lemas.Papa terlelap di kursi sofa yang terletak di samping tempat tidurku. Aku memanggilnya dengan suara pelan, "Papa..." Namun, Papa tidak langsung terbangun. Aku mencoba lagi, sedikit lebih keras, "Papa!" kali ini, suara yang kuucapkan cukup jelas hingga akhirnya Papa terbangun."Ya, sayang?" jawab Papa, setengah terkejut, segera bangun dan mendekatiku."Aku haus, Papa..." ujarku dengan suara serak."Sebentar, sayang." Papa bergegas mengambil sebotol air mineral dari meja kecil di dekat tempat tidurku. Ia membukanya dan memberikannya padaku dengan hati-hati. "Gimana, badanmu sudah enakan?" tanyanya penuh perhatian.
Kegelapan malam terasa semakin pekat. Aku berdiri kaku di tengah kamar, mataku terfokus pada pintu yang sudah hampir terlewati, sementara suara teriakan Mbok Ikah semakin nyaring di luar. Namun, ada sesuatu yang lebih menakutkan yang menghalangiku untuk membuka pintu. Sesosok perempuan dengan rambut panjang, hitam, dan mengerikan berdiri tepat di depan pintu, menghalangi jalananku."Non! Tolong buka pintunya!" teriak Mbok Ikah, suaranya penuh dengan kepanikan.Namun, semakin aku mendekatkan diri, semakin aku merasa terjebak. Wanita dengan rambut panjang itu berdiri tanpa bergerak, wajahnya tertunduk, dan atmosfer di sekitarnya begitu mencekam. "Non, jangan buka pintunya!" suaranya terdengar lembut namun penuh peringatan.Tentu saja aku merasa ragu. Apakah aku harus mempercayai sosok ini yang jelas-jelas menunjukkan tanda-tanda ketidakberesan? Namun, suara Mbok Ikah yang semakin panik menambah kebingunganku. Aku tahu bahwa wanita yang ada di luar kamar itu adalah
"Tok! Tok!""Non Zara," terdengar suara dari luar kamar."Masuk, Mbok!" jawabku, masih duduk di atas tempat tidur, memandangi sekeliling kamar yang terasa begitu sepi.Mbok Ikah memasuki kamar dengan senyum lembut di wajahnya, sambil membawa semangkuk sop ayam yang panas. Aromanya mengingatkanku pada masa-masa ketika kami masih sering memasak dan makan bersama di dapur."Mbok, tau aja Zara lagi lapar," kataku, merasa sedikit terhibur oleh perhatian Mbok Ikah.Mbok Ikah tersenyum manis. "Mbok selalu tahu, Non," jawabnya dengan lembut.Aku memandang sop ayam itu dan mendekatkan sendok ke mulutku. Rasanya begitu enak, meskipun di balik rasa lezat itu, hatiku terasa berat."Mbok semalem ke mana aja? Aku nungguin kok nggak diantar makanan sih. Kan lapar," keluhku, mencoba menggali lebih jauh tentang apa yang terjadi semalam.Mbok Ikah menunduk sejenak, wajahnya tampak sedih. "Mbok sudah pergi, Non.""Pagi-pagi begini pergi ke
Sejam berlalu dengan hening, kami hanya duduk diam di dalam kamar, memproses segala yang baru saja terjadi. Keheningan ini hanya dipecahkan oleh suara pintu yang tiba-tiba terbuka."Kriet!" Pintu bergerak, dan seorang perawat masuk untuk memeriksa kondisi Mama. Kami segera menoleh ke arah pintu.“Zara, kamu tidak mau keluar cari sarapan?” tanya Mama, sambil melirikku saat perawat sedang memeriksanya.“Iya, Bun. Sebentar,” jawabku sambil melirik ke arah Andre, yang masih tenggelam dalam pandangannya pada ponsel."Udah aman," bisik Tante Vira, memberi isyarat bahwa situasi sudah terkendali.Aku kemudian bangkit, menarik tangan Andre yang masih terbuai dengan layar ponselnya. Dengan langkah ragu, aku melangkah keluar kamar.Kami memilih untuk membeli sarapan di sekitar rumah sakit, tidak ingin pergi terlalu jauh. Tubuhku memang sangat lelah, dan kurang tidur membuat langkahku semakin berat.Setelah sarapan, kami m
Aku berdiri di dekat pintu kamar rumah sakit, menatap ke arah tempat tidur tempat Mama berbaring. Mataku penuh haru, seolah tak percaya bahwa Mama akhirnya sadar setelah sekian lama koma. Aku merasa gugup, hatiku dipenuhi banyak perasaan yang sulit dijelaskan."Mama!" Aku memanggilnya pelan, sedikit gemetar. Langkahku menuju ranjang Mama semakin mendekat."Zara..." Suara Mama terdengar lembut, namun penuh kesedihan. Matanya yang sembab menunjukkan betapa lelah dan terlukanya hati seorang ibu."Apa yang terjadi, Bun? Kenapa Mama bisa begini?" Tanyaku, mencoba untuk mencari jawaban atas semua yang sudah terjadi. Air mata mulai menggenang di pelupuk mataku."Kenapa kamu enggak bilang kalau Marcell dan Sandy sudah meninggal?" Mama akhirnya bertanya, suaranya terputus-putus. Ia tampak begitu terpukul dengan kenyataan yang harus diterimanya."Maafkan Zara, Mama," jawabku dengan suara yang hampir pecah. Aku menggenggam tangan Mama, merasakan
Mataku terasa berat, saat mendengar kabar tentang kepergian Papa. Meskipun dia telah melakukan hal-hal yang tak termaafkan, dia tetaplah orang tua kandungku. Tidak mudah untuk mengabaikan rasa itu begitu saja."Zara, kamu di mana sekarang?" suara Om Har terdengar penuh kecemasan dari ujung telepon."Zara udah pulang ke Jerman, Om," jawabku sambil berusaha menahan suara yang mulai serak."Jangan bohong, Zara," jawab Om Har dengan nada yang tegas. "Tadi pagi Papa telepon, dia tanya kamu ada di rumah Om. Berarti kamu masih ada di Indonesia, kan?"Aku terdiam. Menghadapi kenyataan ini begitu sulit. Tidak tahu apa yang harus aku katakan."Zara, kamu kenapa sih? Sebenernya kamu ada masalah apa sama Papa?" Om Har kembali bertanya, seolah merasa ada sesuatu yang tak beres."Enggak ada masalah apa-apa, Om," jawabku, meskipun dalam hatiku ada banyak hal yang ingin kuungkapkan.Om Har mendengus pelan. "Zara, bohong lagi. Om tahu ada yang kamu se
Kereta yang aku tumpangi akhirnya sampai di Stasiun Yogyakarta tepat pukul lima sore. Dengan cepat, aku keluar dari gerbong dan langsung mencari transportasi yang bisa membawaku ke rumah Tante Vira. Berdasarkan alamat yang Mama berikan, rumah Tante Vira tak terlalu jauh dari stasiun.Tak lama setelah aku melangkah keluar stasiun, sebuah taksi melintas di depanku. Aku segera melambaikan tangan, menghentikan taksi tersebut. Setelah itu, aku memberitahu alamat yang hendak dituju. Sang sopir pun mengangguk dan segera menyalakan mesin taksi.Di dalam taksi, aku hanya duduk dengan tenang dan memandang pemandangan sekitar. Aku menikmati suasana Jogja yang mulai senja, udara yang terasa segar, dan kedamaian yang hadir setelah dua minggu penuh kecemasan dan ketegangan. Rasanya, sudah lama sekali aku tidak merasa seutuh ini—tenang dan bebas.Setelah beberapa menit berkendara, taksi mulai memasuki kawasan perumahan dengan rumah-rumah bergaya minimalis. Aku menatap se
Aku merasakan tubuhku dihantam keras ke tanah. Rasanya seperti terjatuh dari ketinggian yang luar biasa. Nafasku sesak, dadaku terasa panas dan berdetak keras, namun aku tetap bertahan. Perlahan aku membuka mata. Sesosok wajah yang aku kenal muncul di hadapanku, wajah yang selama ini menjadi simbol perlindunganku, yang seharusnya menjadi tempatku bersandar. Wajah itu adalah Papa."Zara, sayang," Papa memanggil dengan lembut, mencoba mendekatiku. Namun saat mataku menatapnya, amarahku kembali membara. Selama ini, dia lah yang menjadi sumber penderitaanku dan keluargaku. Dia yang menyebabkan kematian Marcell, Sandy, dan Mbok Ikah. Dia juga yang membuat Mama terbaring tak sadar."Papa!" aku berteriak, merasa sakit hati yang dalam. Rasanya aku ingin marah dan mengungkapkan semua kekesalanku, tapi kata-kata itu hanya keluar dalam isakan. "Papa jahat!" teriakku lagi, mendorong tubuhnya yang berdiri di dekatku. Aku tidak ingin ada yang menyentuhku, apalagi seorang pembunuh.
Aku berlari mendekati kamar Papa, jantungku berdebar kencang. Namun, langkahku terhenti tepat di depan pintu kamar. Dari dalam kamar terdengar suara Papa sedang berbicara dengan seseorang, namun kata-katanya terdengar tegang, seperti ada ketegangan yang begitu kuat."Apa yang kamu mau di sini?" suara Papa terdengar keras, menahan amarah."Saya ingin tahu janjimu!" jawab suara seorang wanita dengan nada tinggi dan penuh desakan."Saya sudah bilang, sabar!" Papa membalas dengan nada suara yang semakin meninggi."Waktunya sudah semakin dekat. Kamu masih harus cari dua tumbal lagi!" wanita itu berbicara dengan nada yang semakin tinggi, hampir seperti mengancam."Atau saya akan ambil anak itu!" lanjut wanita itu, yang membuat seluruh tubuhku merasa dingin.Kakiku terasa lemas. Bagaimana bisa Papa terlibat dalam semua ini? Bagaimana dia bisa tega mengorbankan anak-anaknya? Bahkan, sekarang aku menjadi sasarannya. Tiba-tiba, semua terasa seperti mi
Tanganku terasa gemetar saat memegang sepucuk surat dari Mbok Ikah. Rasa terkejut dan perasaan tidak percaya melanda hatiku. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa segala pengorbanan Mbok Ikah ternyata demi keselamatanku. Air mataku pun mulai menetes, menyesali segala sikap dan perkataan kasar yang pernah kuucapkan padanya. "Seandainya aku membukakan pintu untuk Mbok Ikah dulu..." gumamku dalam hati. Penyesalan itu mengusik pikiranku tanpa henti.Dalam surat itu, Mbok Ikah menyebutkan nama Ratih, sosok wanita misterius yang sering muncul dalam bayanganku. Aku merasa bingung. Apa yang sebenarnya diinginkan Ratih? Apakah dia ingin membantuku atau malah bersekongkol dengan si Wanita Ular yang menakutkan itu? Terlebih lagi, sikap Ratih yang tiba-tiba menyuruhku untuk tidak membuka pintu waktu itu semakin menambah kecurigaanku. Apa maksudnya itu?Selain itu, ada juga Pak Salim. Apa benar dia yang terlibat dalam hal-hal berbau ilmu hitam yang Mbok Ikah sebutkan dalam sur
"Tok! Tok!""Non Zara," terdengar suara dari luar kamar."Masuk, Mbok!" jawabku, masih duduk di atas tempat tidur, memandangi sekeliling kamar yang terasa begitu sepi.Mbok Ikah memasuki kamar dengan senyum lembut di wajahnya, sambil membawa semangkuk sop ayam yang panas. Aromanya mengingatkanku pada masa-masa ketika kami masih sering memasak dan makan bersama di dapur."Mbok, tau aja Zara lagi lapar," kataku, merasa sedikit terhibur oleh perhatian Mbok Ikah.Mbok Ikah tersenyum manis. "Mbok selalu tahu, Non," jawabnya dengan lembut.Aku memandang sop ayam itu dan mendekatkan sendok ke mulutku. Rasanya begitu enak, meskipun di balik rasa lezat itu, hatiku terasa berat."Mbok semalem ke mana aja? Aku nungguin kok nggak diantar makanan sih. Kan lapar," keluhku, mencoba menggali lebih jauh tentang apa yang terjadi semalam.Mbok Ikah menunduk sejenak, wajahnya tampak sedih. "Mbok sudah pergi, Non.""Pagi-pagi begini pergi ke
Kegelapan malam terasa semakin pekat. Aku berdiri kaku di tengah kamar, mataku terfokus pada pintu yang sudah hampir terlewati, sementara suara teriakan Mbok Ikah semakin nyaring di luar. Namun, ada sesuatu yang lebih menakutkan yang menghalangiku untuk membuka pintu. Sesosok perempuan dengan rambut panjang, hitam, dan mengerikan berdiri tepat di depan pintu, menghalangi jalananku."Non! Tolong buka pintunya!" teriak Mbok Ikah, suaranya penuh dengan kepanikan.Namun, semakin aku mendekatkan diri, semakin aku merasa terjebak. Wanita dengan rambut panjang itu berdiri tanpa bergerak, wajahnya tertunduk, dan atmosfer di sekitarnya begitu mencekam. "Non, jangan buka pintunya!" suaranya terdengar lembut namun penuh peringatan.Tentu saja aku merasa ragu. Apakah aku harus mempercayai sosok ini yang jelas-jelas menunjukkan tanda-tanda ketidakberesan? Namun, suara Mbok Ikah yang semakin panik menambah kebingunganku. Aku tahu bahwa wanita yang ada di luar kamar itu adalah